Konstruksi Diri

9 April 2014 21:04

It's better to build children than repair adults.

Adalah impian setiap orangtua untuk bisa membesarkan anak yang percaya diri, cakap, mampu, bertangggung jawab, mandiri, cerdas dan bahagia. Orangtua menempuh sangat banyak cara untuk bisa memberikan stimulasi pada otak anak sehingga, diharapkan, anak bisa menjadi cerdas atau bahkan jenius.

Banyak orangtua, khususnya para ibu, setelah mendengar dari berbagai sumber, yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, ramai-ramai menyekolahkan anak mereka sedini mungkin. Ada yang mengikutkan anak mereka di baby-class, baik yang menggunakan pengantar bahasa Indonesia maupun yang full bahasa Inggris. Bahkan ada yang sudah memberikan les pelajaran bahasa Mandarin dan Inggris pada anak mereka yang baru berusia 3 tahun.

Ada lagi yang menggunakan CD audio tertentu untuk menstimulasi otak anaknya agar bisa terjadi banyak koneksi sel otak. Cara lain yang juga sangat sering digunakan adalah mengajar bayi, yang masih sangat kecil, dengan menggunakan flash card. Semua ini dengan harapan membuat anak menjadi cerdas dan bahkan jenius.

Pembaca, tahukah anda bahwa jenius tidak semata-mata diukur dengan hasil tes IQ? Memang, dalam dunia psikologi, dengan menggunakan tes IQ, kita bisa mendapatkan skor tertentu yang menunjukkan tingkat kecerdasan. Bila menggunakan skala Weschler seseorang disebut jenius bila skornya 141 atau lebih.

Namun, apakah hanya ini cara kita mengukur kejeniusan seseorang? Bagaimana bila saya mengusulkan satu definisi bahwa jenius adalah mengenal dan mengembangkan potensi diri yang telah ada di dalam diri kita hingga ke titik optimal untuk mencapai keberhasilan hidup.

Pembaca, tahukah anda bahwa anak cerdas sebenarnya memiliki ciri berikut: 

1. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya)

2. Rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan

3. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berpikir logis dan kritis

4. Mampu belajar / bekerja secara mandiri

5. Ulet menghadapi kesulitan

6. Mempunyai tujuan yang jelas dalam setiap kegiatannya

7. Cermat / teliti dalam mengamati

Untuk bisa membantu anak berkembang menjadi anak yang cerdas, percaya diri, bahagia, bertanggung jawab, cakap, dan mampu maka kita perlu benar-benar memperhatikan proses dan waktu konstruksi diri anak. 

Setiap anak lahir dengan membawa pola psikis bawaan (predetermined psychic pattern). Pola psikis bawaan ini berfungsi untuk mengembangkan fondasi sukses anak, pada level psikis, sebagai persiapan untuk mempelajari hal-hal penting yang akan digunakan dalam hidup anak kelak. 

Pola psikis bawaan ini terdiri atas:

1.    Hukum Kerja

2.    Hukum Kemandirian

3.    Kekuatan Perhatian

4.    Pengembangan Kemauan

5.    Pengembangan Kecerdasan

6.    Pengembangan Imajinasi / Kreativitas

Hukum Kerja

Yang dimaksud dengan kerja, di sini, adalah kegiatan yang dilakukan oleh anak untuk mengembangkan konsentrasi, motorik kasar, motorik halus, kebiasaan, dan konsep diri. Orang dewasa menyebutkan “kerja” ini dengan istilah “bermain”. 

Saya menggunakan istilah kerja, untuk menjelaskan “bermain” yang dilakukan anak, guna memberikan pemahaman pada orangtua betapa pentingnya proses ini bagi seorang anak. Orangtua umumnya memandang “bermain” sebagai satu kegiatan yang memang secara alamiah suka anak lakukan. Padahal, saat melakukan “bermain” ada begitu banyak hal yang terjadi dalam diri anak yang tidak diketahui orangtua. 

Saat anak bekerja maka anak sedang menggunakan lingkungannya untuk meningkatkan kemampuan dirinya, melatih dirinya, mengembangkan potensi laten dalam dirinya, menyempurnakan dirinya. Hal ini tampak sangat jelas saat anak mulai belajar memegang sesuatu. Saat pertama kali hendak menyentuh atau memegang objek tertentu anak pasti akan mengalami kesulitan. Hal ini terjadi karena koordinasi antara mata dan motor masih belum bagus. Dengan melakukan pengulangan, terus menerus berusaha untuk memegang atau menyentuh, akhirnya anak berhasil. Dalam hal ini anak sebenarnya bekerja demi proses, bukan hasil akhir. 

Ditinjau dari nerusains, saat anak terus menerus mengulang satu tindakan maka ia membentuk koneksi antarneuron di otaknya. Semakin banyak neuron yang saling terkoneksi, semakin baik. Pada tahap awal kehidupan, dorongan untuk melakukan sesuatu, misalnya memegang benda yang ada di sekitarnya, diarahkan oleh insting, bukan oleh kehendak sadar.

Dalam melakukan kerja anak harus diberi kesempatan untuk melakukannya sendiri dengan upaya maksimal. Orangtua tidak boleh membantu anak. Dengan melakukannya sendiri, walaupun tampak susah payah, saat anak berhasil, maka akan membangun dan membetuk konsep diri yang baik. 

Seringkali orangtua yang tidak sabar melihat anaknya melakukan sesuatu, misalnya mengikat tali sepatu, tanpa persetujuan anak langsung mengikatkan tali sepatu anak. Orangtua beralasan anak lama baru bisa menyelesaikan kerja ini. Orangtua secara tidak sadar telah mengirim pesan kepada anak, “Kamu nggak bisa melakukan hal ini.”

Ini juga terjadi saat anak tidak dilatih untuk makan sendiri, mandi sendiri, pakai baju sendiri, menyiapkan peralatan tulis/sekolah sendiri, dll. 

Banyak orangtua yang tidak mau repot, apapun alasannya, menyuapi anak yang sebenarnya bisa makan sendiri, atau minta pembantu/suster menyuapi anak. Padahal, bila anak dilatih, diberi kesempatan untuk memegang sendok dengan benar, dan belajar makan sendiri, dalam waktu singkat anak pasti mampu melakukannya. 

Tindakan orangtua yang kesannya ingin memudahkan hidup anak, ingin membantu anak melakukan sesuatu, ternyata bertentangan dengan Hukum Kerja. Akibatnya... tentu sangat tidak baik untuk anak. 

Hukum Kemandirian

Banyak orangtua yang mengeluh anak mereka tidak mandiri. Sebenarnya ketidakmandirian anak terjadi akibat pola asuh yang salah. Orangtua sendiri yang mengakibatkan anak mereka tidak mandiri. Cara kita membantu anak untuk bisa menjadi mandiri adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk memilih apa kerja (permainan) yang akan ia lakukan dan berikan kesempatan anak untuk bekerja (bermain) sendiri. 

Saat anak memilih sendiri melakukan kerja tertentu maka saat itu anak telah mengembangkan kemauannya (sendiri) dan energinya diarahkan melakukan sesuatu yang konstruktif dalam memgembangkan disiplin diri. Dalam hal ini anak juga perlu diberi kebebasan dan diajarkan mengenai hal yang baik dan buruk. 

Kekuatan Perhatian

Dengan melakukan kerja maka anak juga mengembangkan kekuatan konsentrasi. Tidak mungkin anak bermain tanpa konsentrasi pada objek yang ia pilih untuk bermain. Dengan terus bekerja dengan menggunakan objek (mainan) tertentu anak mengembangkan konsentrasinya dan menggantikan impuls ketertarikan yang bersifat primitif dengan ketertarikan yang bersifat intelektual. 

Orangtua atau lingkungan sebaiknya memberikan anak banyak pilihan untuk bekerja sehingga eksplorasi diri yang anak lakukan bisa lebih beragam dan maksimal. 

Sayangnya, tren saat ini, anak-anak lebih banyak diberi mainan gadget yang mana sangat tidak baik untuk mengembangkan kekuatan perhatian dan interaksi sosial. Konsentrasi anak pada gadget justru melemahkan kemampuan konsentrasi mereka pada hal lain.

Idealnya, mainan yang digunakan anak untuk bekerja haruslah mainan atau objek yang dapat dimanipulasi dan melibatkan seluruh indera, tidak hanya mata dan pendengaran namun juga, terutama, indera perabaan. Intinya, kerja yang melibatkan stimulasi sensori.

Saya pernah mengamati salah satu murid PG Sekolah Anugerah Pekerti, yang saat itu berusia sekitar 3 tahun, mampu melakukan kerja, bermain menggunakan satu alat tertentu, dengan konsentrasi penuh selama 1 jam tanpa berhenti. Anak ini memindahkan 100 (seratus) butir kelereng dari satu wadah dan menempatkan setiap kelereng ini, dalam urutan dan posisi tertentu, di sebuah papan yang telah disiapkan. Ia melakukannya satu demi satu, dengan penuh perhatian, hati-hati, dan cermat. 

Usai menempatkan semua kelereng ini di tempatnya ia melanjutkan dengan mengembalikan semuanya, juga dengan penuh perhatian, satu demi satu, hingga semua kelereng yang tadinya ada di atas papan berpindah ke dalam wadah. 

Pengembangan Kemauan

Kemauan berkembang melalui tiga tahap. Pertama, melalui dorongan kerja dengan pengulangan kegiatan yang bersifat tidak sadar. Contohnya adalah saat anak bermain, misalnya cuci tangan. Anak akan melakukan “cuci tangan” ini mulai dari membuka keran air, membasahi tangannya, menyabuni tangan, membilas tangan yang telah disabuni, menutup keran, dan akhirnya mengeringkan tangan dengan menggunakan lap. 

Setelah satu siklus ini selesai anak akan berhenti sejenak, beberapa detik dan setelah itu kembali mengulangi proses yang sama dari awal hingga selesai. Demikian selanjutnya, anak melakukan hal yang sama berulang kali tanpa bosan. 

Saat anak melakukan kerja dan pengulangan ini anak sebenarnya sedang mengembangkan disiplin diri dan kekuatan untuk mentaati siklus kerja. Anak disiplin memulai hingga mengakhiri proses cuci tangan dengan lengkap. Anak taat dalam menjalankan proses ini. Manfaat positif terjadi di dalam diri anak. Orangtua yang tidak mengerti hal ini biasanya akan marah atau menegur anak karena dipandang melakukan hal yang tidak ada manfaatnya. 

Pengembangan Kecerdasan

Inilah rahasia yang tidak diketahui kebanyakan orangtua. Upaya yang dilakukan orangtua untuk mengembangkan kecerdasan anak, sejak masih kecil sekali, baik itu dengan menggunakan flash card, CD audio, menyekolahkan anak sejak usia dini sekali, dan berbagai cara lain tidak akan membuahkan hasil maksimal. 

Mengapa? Karena kecerdasan anak berkembang berdasarkan pada kemampuan sensorial. 

Yang dimaksud dengan kemampuan sensorial adalah kemampuan untuk mengenali panjang, lebar, tinggi, warna, berat, temperatur, bau, rasa, dan tekstur. Dengan bahasa yang lebih sederhana kecerdasan anak berkembang sejalan dengan stimulasi yang ia dapatkan melalui kelima inderanya. Dan yang paling besar pengaruhnya adalah stimulasi melalui indera perabaan, sentuhan, dan segala sesuatu yang menggunakan tangan atau jari. 

Saat anak masih kecil jari-jari tangannya berfungsi sebagai keyboard yang digunakan untuk memprogram otaknya. Pada ujung jari tangan terdapat begitu banyak saraf yang mampu menerima sangat banyak input. Input ini merangsang sel otak atau neuron untuk menumbuhkan akson sehingga terjadi koneksi dengan sel otak lain. Semakin banyak koneksi yang terjadi maka anak menjadi semakin cerdas. 

Bisa anda bayangkan apa yang akan terjadi pada anak yang hanya diberi mainan NDS atau PS? Kecerdasan anak ini tidak akan berkembang optimal karena minimnya stimulasi sensorial yang ia alami atau dapatkan dari lingkungannya. 

Pengembangan Imajinasi / Kreativitas

Untuk membantu mengembangkan imajinasi dan atau kreativitas anak membutuhkan kekuatan konsentrasi dan kebebasan. Anak harus punya banyak pengalaman dengan benda nyata. Anak juga harus mendapat kesempatan untuk melakukan manipulasi objek konkrit. 

Satu contoh. Anak bisa berimajinasi dengan kreatif bahwa sebuah kotak karton adalah mobil. Dari mana imajinasi atau kreativitas ini muncul? Karena anak telah punya pengalaman dengan mobil sungguhan. Mobil sudah ada di database memorinya. Tanpa adanya mobil (yang konkrit) yang pernah ia temui dalam hidupnya maka akan sangat sulit atau bahkan mustahil bagi anak untuk bisa membayangkan kotak karton sebagai mobil. 

Untuk semakin membantu mengembangkan imajinasi dan kreativitas anak maka orangtua bisa sering-sering membacakan cerita pada anak, khususnya di malam hari saat anak akan tidur. Anak juga perlu berinteraksi dengan alam. 

Misalnya anak pernah melihat burung di alam. Maka anak bisa membayangkan dirinya sebagai burung dan terbang bebas di angkasa. 

Dalam proses tumbuh kembang anak juga mengalami enam periode sensitif yang bersama dengan pola psikis bawaan membantu anak berkembang. 

Enam Periode Sensitif terdiri atas:

1. Sensitif terhadap keteraturan (0 – 2 thn)
2. Belajar melalui lima indera
3. Sensitif terhadap objek berukuran kecil (2 – 2 ½ thn)
4. Sensitif terhadap koordinasi gerakan/berjalan (2 - 4 thn)
5. Sensitif terhadap bahasa (1 – 3 thn)
6. Sensitif terhadap aspek sosial kehidupan (2 ½ - 6 thn) 

1. Sensitif Terhadap Keteraturan (0 – 2 thn)

Pada periode ini anak sangat membutuhkan konsistensi keteraturan di lingkungan. Anak perlu tinggal di rumah yang sama, di kamar yang sama, diasuh oleh pengasuh yang sama, dengan cara yang sama dan rutinitas yang sama. 

Kebutuhan akan keteraturan ini sangat mudah dilihat saat anak diajak ke menginap di kamar, selain kamar yang biasa ia gunakan. Biasanya anak tidak akan tidur sampai larut malam dan merasa gelisah sambil melihat-lihat sekeliling ruangan. 

Bila periode sensitif terhadap keteraturan tidak terakomodasi dengan baik maka di kemudian hari akan timbul efek negatif dalam diri anak:
- anak tidak mampu menyesuaikan diri dan tidak mampu membentuk gambar mental dari dunia di sekitarnya 
- anak akan merasa tidak aman (insecure) dan tidak percaya diri

2. Belajar Melalui Lima Indera

Saat masih kecil anak sangat membutuhkan kesempatan dan kebebasan untuk bisa belajar dan melakukan penjelajahan terhadap lingkungannya melalui kelima inderanya. Artinya anak butuh bisa menggunakan mata, telinga, hidung, penciuman, dan perabaannya untuk belajar dan mengenal diri dan lingkungannya. 

Bila anak tidak mendapat kesempatan belajar melalui lima indera maka di kemudian hari akan mengalami:
- anak akan mengalami kesulitan belajar
- anak suka memberontak karena pengembangan kemauan yang terhambat karena tidak mendapat kesempatan bekerja dengan material di lingkungannya.
- anak akan sulit berkonsentrasi
- anak akan sulit membuat perbandingan dan penilaian.

3. Sensitif Terhadap Objek Berukuran Kecil (2 – 2 ½ thn)

Ada masa di mana anak sangat tertarik dengan objek atau benda berukuran kecil seperti semut, ulat, butir beras, kacang hijau, atau apa saja yang berukuran kecil. Yang sebenarnya terjadi dalam diri anak adalah proses penyempitan fokus pandang mata, dari yang lebar menjadi sangat sempit. 

Selama ini anak melihat dunia di sekitarnya menggunakan sudut pandang yang lebar. Saat anak tertarik melihat objek berukuran kecil, misalnya semut hitam, maka pada saat itu anak, secara tidak sadar, melatih kemampuan fokusnya, dari fokus yang melebar menjadi fokus yang sangat sempit dan presisi, dan juga melatih konsentrasinya. 

Efek negatif bila periode sensitif ini tidak terakomodasi dengan baik: maka di masa depan anak akan mengalami:
- rasa ingin tahu anak akan hal yang baru kurang berkembang.
- Anak kurang cermat dalam pengamatan dan ini akan mempengaruhi kemampuan belajarnya.
- Anak bisa menjadi sangat pasif. 

4. Sensitif Terhadap Koordinasi Gerakan/Berjalan (2 - 4 thn)

Usia antara 2 hingga 4 tahun adalah usia di mana anak sangat aktif bergerak. Anak berlari, berjalan, naik turun tangga, memanjat pohon atau teralis jendela, melakukan gerakan berputar atau rolling dengan tak kenal lelah. Orangtua dan lingkungan yang tidak memahami hal ini cenderung akan memberikan anak label hiperaktif. Apakah benar anak hiperaktif? Belum tentu. Yang sering kali terjadi adalah anak overactive alias sangat aktif. 

Aktifnya anak dalam melakukan berbagai gerakan ini adalah dorongan dari dalam dirinya untuk menyempurnakan koordinasi otot-otot besar, menyempurnakan motorik kasar yang ia gunakan dalam bergerak, berlari, dan atau berjalan. 

Bila anak tidak mendapat kesempatan melatih koordinasi, karena batasan atau larangan orangtua atau lingkungan, maka anak akan besar dengan kemampuan motorik yang kurang optimal. Hal ini akan sangat tampak saat anak berolahraga, menari, atau melakukan aktivitas fisik lain yang membutuhkan keterampilan dan koordinasi otot yang baik. 

5. Sensitif Terhadap Bahasa (1 – 3 thn)

Anak umumnya mulai belajar bicara saat usia 1 tahun. Untuk mengembangkan kecakapan bahasa anak maka orangtua atau lingkungan perlu memberikan stimulasi bahasa secara terus menerus kepada anak, bisa dengan mengajak anak bicara, membacakan cerita, atau bernyanyi, bukan nonton tv atau video.

Satu hal yang harus sungguh-sungguh diperhatikan orangtua dalam menstimulasi kecakapan bahasa anak yaitu sebaiknya hanya menggunakan satu bahasa utama, sebaiknya bahasa ibu, untuk komunikasi. Banyak orangtua yang terlalu berambisi mengajari anak beberapa bahasa sekaligus, misalnya bahasa Inggris, Mandarin, dan bahasa Indonesia. Bila ini dilakukan maka anak akan mengalami rancu bahasa dan akan sulit berkomunikasi dengan baik dan lancar. 

Menurut Vygotsky idealnya anak punya satu bahasa yang sangat ia kuasai sebagai alat komunikasi dan membangun kemampuan abstraksinya. Baru setelah itu anak belajar bahasa lain. Bahasa yang sebaiknya dikuasai anak adalah bahasa Indonesia. Bahasa lainnya boleh diberikan namun hanya sebagai stimulasi saja. Kalau anak bisa, baik. Tidak bisa, juga tidak apa-apa. 

Bila anak tidak terstimulasi dengan baik pada masa ini maka berakibat buruk pada kemampuan berbahasanya. Sekali kemampuan ini tidak berkembang maka tidak akan ada kesempatan lagi untuk memperbaiki keadaan ini. Akibatnya anak akan kurang peka terhadap bunyi bahasa, menjadi kurang percaya diri, dan akan berakibat buruk pada konsep dirinya karena anak tidak mampu mengungkapkan dirinya. 

Beberapa kali saya dimintai bantuan untuk menerapi anak yang mengalami kesulitan bahasa. Ada anak yang sudah berusia 5 tahun tapi masih belum bisa bicara lancar. 

Dalam sesi wawancara dengan ibunya saya menemukan bahwa anak ini sejak bayi diasuh oleh suster. Ibu dan ayahnya sibuk berbisnis sehingga tidak sempat mengurusi anak. Suster yang merawatnya pendiam, jarang bicara, dan setiap hari anak diberi tontonan Cartoon Network. Dan yang lebih luar biasa lagi anak ini disekolahkan di sekolah yang mengajarkan tiga bahasa.

Tidak banyak yang bisa saya lakukan dalam hal ini selain menyarankan ibunya untuk memberikan stimulasi bahasa sebanyak mungkin kepada anaknya dan harus hanya menggunakan bahasa Indonesia. 

6. Sensitif Terhadap Aspek Sosial Kehidupan (2 ½ - 6 thn)

Dalam proses tumbuh kembang anak membutuhkan teman bermain untuk interaksi sosial dan mengembangkan kecakapan komunikasi. Melalui interaksi sosial ini anak belajar untuk mengenali anak lain, belajar menyampaikan keinginannnya, belajar untuk menghargai rekan, belajar berbagi, menghormati, dan menyayangi. 

Bila anak tidak boleh atau tidak mendapat kesempatan bermain dengan anak lain, maka anak akan merasa kesepian, rewel, dan tidak nyaman sehingga akan menuntut sangat banyak perhatian dari orangtua. Anak juga bisa menjadi sulit bergaul, merasa tidak aman dan tidak nyaman dengan hadirnya orang lain di sekitarnya. 

Saat ini anak lebih banyak hidup dalam dunianya sendiri, ditemani gadget. Anak jarang bermain yang melibatkan anak lain.

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online4
Hari ini1.180
Sepanjang masa34.515.659
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique