Hidup Di Masa Kini, Kunci Transformasi Diri

27 Januari 2015 17:24

Perubahan atau transformasi diri bagi kebanyakan orang (sangat) sulit dilakukan. Kerja keras saja ternyata tidak cukup untuk berubah. Bila ditilik lebih dalam, perubahan diri memang tidak mudah karena ada dua faktor penting yang sangat berpengaruh, faktor pikiran dan fisik. Selama ini fokus lebih sering diarahkan pada pikiran. Ternyata, dari hasil penelitian diketahui bahwa sulitnya perubahan juga disebabkan oleh faktor fisik, tepatnya apa yang terjadi pada otak dan tubuh.

Selama ini kita tidak menyadari atau mungkin mengabaikan kenyataan bahwa pikiran dan tubuh bukan dua aspek diri yang terpisah namun sesungguhnya saling terhubung erat dan memengaruhi.

Pandangan dan keyakinan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua aspek yang terpisah, yang saling berdiri sendiri, sejatinya berawal dari era Descartes di abad ketujuh belas. Descartes, yang terkenal dengan pernyataan “Cogito ergo sum” atau “Aku berpikir maka aku ada”, adalah ilmuwan cemerlang dan berdasar penelitian mendalam yang ia lakukan menyimpulkan bahwa tubuh dan pikiran adalah dua entitas yang terpisah.

Descartes memutuskan untuk membatasi diri hanya memelajari anatomi tubuh manusia. Sedangkan segala hal yang berhubungan dengan pikiran dan jiwa menjadi wilayah yang diurus oleh lembaga keagamaan.

Para ilmuwan  membatasi diri hanya meneliti sesuatu yang dapat dilihat, dihitung, dan nyata. Sedangkan mereka yang berada di jalur keagamaan “mengangkat” pikiran dan emosi keluar dari tubuh dan memasukannya ke ranah spiritual. Sejak saat itulah studi mengenai pikiran dan tubuh menjadi dua bidang yang berbeda dan muncul dualisme.

Dari jalur timur, para guru agung spiritual, filsuf, dan juga pemikir besar sejak dulu selalu menyatakan dan mengajarkan bahwa pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan, tidak terpisah, saling memengaruhi.

Baru sekitar dua atau tiga puluh tahun terakhir ini, berdasar riset intensif yang dilakukan di barat, diketahui bahwa apa yang dikatakan dan diajarkan di timur adalah benar. Pikiran dan tubuh saling terhubung dan adalah satu kesatuan.

Lalu, bagaimana hubungan antara pikiran dan tubuh?

Setiap kali kita berpikir atau memikirkan sesuatu, sel otak yang disebut neuron menjadi aktif dan berkomunikasi dengan neuron lain dan otak menghasilkan neurotransmitter seperti serotonin, dopamin, asetilkolin, dll. Neuron yang aktif saat kita berpikir bukan hanya satu atau dua neuron tapi jumlahnya banyak. Neuron yang aktif bersama semakin lama menjadi semakin kuat dan membentuk kelompok sendiri yang disebut synaptic potentiation. Bila kita sering atau selalu memikirkan hal yang sama, melakukan hal yang sama, maka kelompok neuron ini menjadi semakin terhubung, permanen, dan mengendalikan pola pikir dan perilaku kita.

Setiap kali kita memikirkan satu bentuk pikiran, otak, selain menghasilkan neurotransmitter, juga menghasilkan senyawa kimiawi lain, protein yang disebut neuropeptida yang menyebar ke seluruh tubuh dan berfungsi sebagai pembawa pesan (messenger) ke sel-sel tubuh. Caranya adalah dengan mencari reseptor yang sesuai, atau docking station, pada berbagai sel sehingga ia dapat menyampaikan pesan kepada DNA dalam sel.

Tubuh kita, selanjutnya, bereaksi dengan merasakan perasaan tertentu. Otak mengetahui bahwa tubuh sedang merasakan perasaan tertentu dan menghasilkan bentuk pikiran lain yang persis sejalan dengan perasaan ini yang mana menghasilkan lebih banyak senyawa kimiawi yang sama yang membuat kita berpikir sejalan dengan yang kita rasakan.

Dengan demikian pikiran menghasilkan perasaan, dan selanjutnya perasaan menghasilkan pikiran yang sejalan atau sama dengan perasaan-perasaan ini. Ini adalah lingkaran yang pada kebanyakan orang bisa berlangsung bertahun-tahun. Dan karena tubuh berespon atas perasaan yang ia rasakan dengan cara menghasilkan bentuk pikiran yang sama yang menghasilkan perasaan yang sama, maka jelaslah bahwa berbagai bentuk pikiran yang muncul memengaruhi sel-sel otak sehingga membentuk rangkaian permanen.

Kendala untuk berubah, dari sisi pikiran, disebabkan karena 90% bentuk pikiran yang kita pikirkan sama dengan sehari sebelumnya dan 70% adalah bentuk pikiran yang negatif dan tidak bermanfaat.

Saat kita memikirkan hal yang sama, terus menerus, maka neuron-neuron menyala dengan cara yang sama, mereka memicu pelepasan senyawa kimiawi neurotransmitter dan neuropeptida yang sama di otak dan tubuh.

Lalu, bagaimana dengan tubuh? Karena perasaan adalah modus operandi tubuh, emosi yang konsisten dirasakan berdasar bentuk pikiran otomatis yang selalu kita pikirkan mengkondisikan tubuh untuk tidak hanya mengenal tapi juga merekam emosi-emosi ini sejalan dengan rangkaian tubuh dan pikiran yang terjadi secara tidak sadar. Hal ini berarti pikiran sadar sebenarnya tidak lagi memegang kendali. Tubuh secara tanpa disadari telah diprogram dan dikondisikan menjadi pikirannya sendiri.

Akhirnya, saat lingkaran pikiran dan perasaan dan kemudian perasaan dan pikiran berjalan cukup lama, tubuh kita merekam emosi-emosi yang semula berasal dari otak. Siklus ini menetap dan terpatri dengan sangat kuat dan mencipta kondisi diri yang kita kenal – satu kondisi berdasar informasi lama yang terus berputar. Emosi-emosi ini, yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar rekaman kimiawi dari pengalaman masa lalu, mengendalikan pikiran kita dan terus dimainkan. Selama ini terus berlangsung, kita tinggal di masa lalu.

Bila proses ini terus berlanjut selama bertahun-tahun, kita berpikir, bertindak, dan merasakan perasaan yang sama setiap hari, tidak ada pikiran baru, tidak ada pilihan baru, tidak ada keputusan baru, tidak ada tindakan baru, tidak ada pengalaman baru, dan tidak ada perasaan baru yang tercipta, maka ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.

Pertama, karena sel konsisten menerima informasi yang sama, ia melakukan modifikasi dan membuat lebih banyak reseptor sehingga mampu menerima lebih banyak senyawa kimiawi yang berasal dari otak.

Dengan jumlah reseptor yang lebih banyak, saat otak tidak menghasilkan senyawa kimiawi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan reseptor, konsekuensinya perasaan kita akan menentukan pikiran kita – dengan kata lain tubuh mengingat emosi.

Kedua, sel menjadi kewalahan menerima pesan dari senyawa kimiawi yang dihasilkan oleh pikiran dan emosi tertentu dan akhirnya mengalami desensitisasi atau “terbiasa”/“kebal”. Dengan demikian sel-sel ini hanya akan bereaksi bila mendapat senyawa kimiawi yang berasal dari emosi yang lebih intens atau dosis yang lebih tinggi. Dengan kata lain, agar tubuh bisa terstimulasi atau diperbaiki butuh emosi yang lebih intens dari sebelumnya.

Kondisi ini yang mendorong orang untuk menjadi lebih pemarah, lebih merasa bersalah, lebih sedih, tidak bisa berhenti menceritakan pengalaman tertentu. Semua ini bertujuan, secara sadar maupun tidak sadar, untuk memenuhi kebutuhan senyawa kimiawi dengan dosis dan kekuatan yang cukup untuk menstimulasi sel. Atau kita mulai membayangkan satu kejadian tertentu yang mengerikan sehingga tubuh menghasilkan adrenalin. Saat tubuh tidak mendapat senyawa kimiawi yang ia butuhkan, tubuh akan memberi sinyal pada otak untuk menghasilkan lebih banyak senyawa kimiawi itu. Dengan demikian tubuh mengendalikan pikiran. Ini sangat mirip dengan adiksi, lebih tepatnya adiksi emosi.

Saat perasaan menjadi alat untuk berpikir, atau kita tidak bisa berpikir lebih besar dari perasaan kita, maka saat itu kita tunduk pada program yang terekam di tubuh. Pikiran kita adalah apa yang kitaa rasakan, dan perasaan kita adalah bagaimana kita berpikir. Apa yang kita alami adalah gabungan antara pikiran dan perasaan.

Kita terperangkap dalam lingkaran ini, tubuh kita yang bertindak atau menjadi pikiran bawah sadar, percaya bahwa ia hidup di pengalaman yang sama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 365 hari setahun. Tubuh dan pikiran kita adalah satu, bersekutu untuk menjalani takdir yang ditentukan oleh program-program di pikiran bawah sadar.

Untuk mengubah ini dibutuhkan sesuatu yang lebih besar dan kuat daripada tubuh dan semua memori emosi, adiksi, dan kebiasaan-kebiasaan tak sadar. Dengan kata lain, tidak lagi ditentukan oleh tubuh yang bertindak sebagai pikiran.

Lingkaran repetisi dari berpikir dan merasa dan kemudian merasa dan berpikir adalah proses pengkondisian dari tubuh  yang dicipta pikiran sadar. Saat tubuh menjadi pikiran itulah yang kita sebut “kebiasaan”.

Lalu, bagaimana caranya berubah?

Langkah awal adalah dengan menyadari bahwa selama ini pikiran dan tubuh kita hidup di masa lalu, terhubung pada berbagai kejadian masa lalu melalui emosi yang kita rasakan atau alami. Langkah selanjutnya, memutuskan hidup seperti apa yang ingin kita jalani. Keputusan ini harus dilakukan secara sadar dan bijaksana.

Pikiran yang berbeda menghasilkan keputusan yang berbeda, berlanjut ke pilihan yang berbeda, tindakan dan perilaku berbeda, pengalaman berbeda, dan akhirnya menghasilkan perasaan atau emosi berbeda.

Perasaan atau emosi berbeda mengaktifkan jaringan neuron yang berbeda dan juga menghasilkan neuropeptida yang berbeda yang dikirim ke seluruh tubuh. Bila ini berlangsung dalam waktu yang lama, cepat atau lambat, jaringan neuron yang sebelumnya sangat aktif karena berdasar pikiran dan pengalaman lama menjadi lemah karena jarang digunakan dan akhirnya tidak lagi aktif, tercipta jaringan neuron baru di otak dan sel-sel tubuh mendapat kiriman senyawa kimiawi yang berbeda, dan akhirnya berubah.  

Untuk itu, sangat penting hidup di masa kini, sekarang. Saat kita hidup di masa sekarang, pikiran dan tubuh tidak lagi hidup di masa lalu dan tidak lagi terhubung dengan berbagai pengalaman di masa lalu. 

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online7
Hari ini1.165
Sepanjang masa34.479.564
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique