Pikiran, Emosi, Gen, dan Kesehatan

11 Februari 2015 13:55

(Artikel ini ditulis dengan tujuan memberi informasi hubungan antara pikiran, emosi, dan kesehatan, dan untuk memberi harapan bahwa masih ada peluang untuk sembuh dari sakit “berat” dengan pendekatan berbeda sebagai komplemen tindakan medis. Pembaca disarankan untuk selalu mengutamakan konsultasi ke dokter atau menjalani tindakan medis bila sakit.)

Di artikel sebelumnya, “Hidup Di Masa Kini, Kunci Transformasi Diri”, sekilas saya menyinggung keterkaitan pikiran, emosi, dan tubuh. Beberapa waktu lalu di sela acara seminar, salah satu peserta berdiskusi dengan saya mengenai kondisi kesehatannya. Rekan ini adalah pebisnis sukses, usianya baru sekitar 30an, dan sudah lima tahun menderita penyakit autoimun, ankylosing spondylitis. Rekan ini merasakan lehernya sakit setiap kali ia menoleh. Ia juga berkata bahwa penyakit ini tidak ada obatnya, tidak bisa sembuh, karena disebabkan oleh kelainan gen.

Benarkah semua ini karena gen? Bila benar karena gen, bisakah kondisi ini disembuhkan? Sebelumnya, ia dalam kondisi sehat, bugar. Namun, entah apa yang terjadi padanya, ia menjadi sakit. Dapatkah kita memengaruhi kerja gen untuk kebaikan, kesembuhan, dan kesehatan?

Kelainan gen tunggal yang memengaruhi hidup manusia dan mengakibatkan penyakit seperti Huntington’s disease (HD), beta thalasemia, dan cystic fibrosis, hanyalah sebesar 2%. Mayoritas manusia, 98%, lahir dengan gen-gen yang seharusnya mampu membuat kita hidup sehat dan bahagia. Penyakit yang menjadi momok manusia modern seperti diabet, sakit jantung, dan kanker, bukanlah karena pengaruh gen tunggal, namun adalah akibat atau hasil interaksi banyak gen dan faktor lingkungan.

James Watson, Ph.D., dan Francis Crick, Ph.D., adalah penemu struktur DNA double helix, yang menyatakan, di jurnal Nature, terbit tahun 1970, bahwa kondisi biologis manusia ditentukan sepenuhnya oleh gen. Hingga saat ini, dogma ini masih sangat kuat memengaruhi pandangan awam.

Pergesaran paradigma luar biasa terjadi saat ilmuwan akhirnya berhasil memetakan gen manusia melalui Human Genome Project (HGP). HGP diawali tahun 1990 dan berakhir tahun 2003. Semula para ilmuwan berharap dapat menemukan 140.000 gen berbeda. Angka ini berasal dari 100.000 jenis protein yang ada di tubuh manusia dan 40.000 protein pengatur yang dibutuhkan untuk membuat protein lainnya, dan setiap gen menghasilkan protein spesifik.

Di akhir proyek pemetaan gen manusia, tahun 2003, para ilmuwan hanya menemukan 23.688 gen. Dari dogma Watson tampak jelas bahwa jumlah gen yang terpetakan tidak sejalan dengan jumlah protein yang ada dan membentuk struktur tubuh manusia.

Satu kemungkinan yang bisa terjadi hanyalah gen-gen ini bekerjasama dengan kombinasi tertentu, ada yang “nyala” (aktif) dan “padam” (tidak aktif) dalam waktu bersamaan di dalam sel. Sama halnya dengan lampu pohon natal yang menyala dan padam. Kombinasi “nyala” dan “padam” ini menentukan jenis protein yang dihasilkan.

Gen dikelompokkan berdasar stimulus yang mengaktifkan dan menonaktifkan mereka. Ada experience-dependent gen atau activity dependent gen yaitu gen yang aktif saat seseorang belajar hal baru, mengalami pengalaman baru, atau sedang dalam proses penyembuhan. Gen-gen ini menghasilkan sintesa protein dan senyawa kimiawi yang memberi perintah pada stem sel untuk berubah menjadi sel yang dibutuhkan untuk penyembuhan.

Behavioral-state-dependent gen menjadi aktif saat individu sedang mengalami kondisi emosi intens, stres, atau mengalami beragam kondisi kesadaran yang berbeda, termasuk saat kita sedang bermimpi. Gen-gen ini menghubungkan pikiran dan tubuh.

Bagaimana pikiran dan emosi sampai bisa memengaruhi gen dalam inti sel?

Saat kita berpikir dan merasakan emosi tertentu otak menghasilkan senyawa kimiawi yang disebut neuropeptida. Neuropeptida ini berfungsi sebagai pembawa pesan dan menyebar ke sel-sel di seluruh tubuh dan mencari reseptor atau docking station yang sesuai untuk dapat menyampaikan pesan kepada DNA dalam sel. Ini sama seperti kita memasukkan flashdisk ke USB-port di laptop dan selanjutnya mengunduh datanya ke komputer.

Melalui gen-gen inilah akhirnya dimengerti bagaimana kita dapat memengaruhi kesehatan tubuh melalui kondisi pikiran dan tubuh guna meningkatkan kesehatan, ketahanan fisik, dan kesembuhan.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa hampir 90% gen dipengaruhi oleh interaksi dengan keluarga, lingkungan, tempat kerja, teman, rekan kerja, stres, makanan, gaya hidup, praktik spiritual, kondisi emosi, dll.

Riset terkini di bidang genetika menemukan bahwa faktor di luar sel memengaruhi gen. Ini dinamakan epigenetics yang secara harafiah berarti “control above genetics” atau “kendali atas gen”. Faktor ini bisa yang berasal dari luar sel, masih di dalam tubuh, dan bisa berasal dari luar diri individu seperti interaksi dengan lingkunan, keluarga, teman, rekan kerja, stres, emosi, pikiran, polusi, makanan, gaya hidup, praktik spiritual, kondisi emosi, dll.

Epigenetics menyatakan bahwa nasib kita tidak sepenuhnya ditentukan oleh gen-gen kita dan perubahan kondisi kesadaran manusia dapat menghasilkan perubahan fisik, baik pada struktur dan fungsi di tubuh manusia.

Contoh nyata epigenetics adalah pada kembar identik dengan DNA yang persis sama. Jika mengacu pada pernyataan bahwa semua penyakit ditentukan oleh gen – genetic predeterminism, berarti kedua kembar ini punya ekspresi gen yang sama dan sakit yang sama.

Namun ternyata tidaklah demikian. Kembar identik bisa punya gen yang sama namun kondisi fisik atau kesehatan yang berbeda. Studi epigenetics memunculkan satu pertanyaan penting: Bagaimana bila kita tidak dapat mengubah lingkungan eksternal?

Bagaimana bila kita melakukan hal yang sama setiap hari, bertemu orang yang sama pada waktu yang sama setiap hari – hal-hal yang mengakibatkan pengalaman yang sama dan menghasilkan emosi yang sama yang memberi sinyal kepada gen-gen dengan cara yang sama?

Selama kita melihat atau menjalani hidup dengan kacamata masa lalu dan bereaksi pada kondisi yang kita alami menggunakan jaringan otak yang sama, merasakan emosi yang sama, maka senyawa kimiawi yang dihasilkan otak, neurotransmitter dan neuropeptida yang menyebar ke sel-sel tubuh, yang berperan sebagai pembawa pesan (messenger), adalah sama, dan kita mengirim sinyal yang sama pada gen-gen yang sama, dan membuat gen-gen ini aktif atan nonaktif dengan cara yang sama, dan mengakibatkan kondisi kita tetap sama.

Dengan kata lain, tubuh kita tinggal di masa lalu. Salah satu sebab utama dan paling kuat dari perubahan epigenetics adalah stres. Stres menyebabkan tubuh kehilangan keseimbangan (homeostasis). Ada tiga bentuk stres: stres fisik (trauma), stres kimiawi (racun), dan stres emosi (takut, khawatir, kewalahan, terluka, marah, benci, dll).

Setiap bentuk stres ini dapat mengakibatkan terjadinya 1.400 reaksi kimia dan menghasilkan lebih dari 30 hormon. Saat senyawa kimiawi/hormon ini terpicu, pikiran memengaruhi tubuh melalui sistem saraf otonom dan kita mengalami keterhubungan pikiran dan tubuh.

Ironisnya, merasakan atau mengalami stres bersifat adaptif, maksudnya semua makhluk hidup diprogram untuk mampu mengalami stres jangka pendek guna memobilisasi dan menggunakan semua sumber daya yang mereka miliki untuk mengatasi kondisi genting.

Saat Kita merasakan adanya ancaman di lingkungan, nyata atau hanya dalam pikiran, repson lawan atau lari (fight or flight) mengaktifkan sistem saraf simpatik (subsistem dari sistem saraf otonom), dan denyut jantung meningkat, tekanan darah naik, otot menegang, hormon seperti adrenalin dan kortisol membanjiri tubuh menyiapkan kita untuk menyelamatkan diri melalui mekanisme lawan atau lari.

Setelah melewati masa genting, misalnya berhasil lolos dari kejaran anjing liar, tubuh akan kembali ke kondisi normal, homeostasis, segera setelah kita merasa aman atau berada di tempat yang aman. Inilah cara tubuh kita dirancang. Tubuh bisa keluar dari kondisi homeostasis namun hanya untuk waktu yang singkat, hingga bahaya lewat.

Hal serupa terjadi di dunia modern. Saat sedang mengendarai mobil dan tiba-tiba ada pengemudi lain memotong jalur kita, untuk beberapa saat kita mungkin kaget dan marah. Ini bisa kita rasakan tidak hanya di perasaan namun juga terutama di tubuh Kita. Ini adalah respon stres. Beberapa saat setelah menyadari bahwa kita tidak sampai menabrak atau tertabrak, kita menjadi kembali rileks.

Respon stres juga bisa terjadi saat kita mengingat kejadian di masa lalu, yang berisi muatan emosi negatif intens namun belum terselesaikan, atau membayangkan kejadian di masa depan, yang juga menimbulkan emosi negatif.

Semua ini mengakibatkan kita hidup dalam mode survival yang nyata namun tidak nyata. Dan setiap kali kita merasakan emosi tertentu, otak menghasilkan neuropeptida yang akan menyebar ke sel-sel di seluruh tubuh dan memengaruhi gen-gen yang ada pada inti sel.

Bila emosi yang dirasakan adalah emosi negatif maka gen-gen ini akan terpengaruh secara negatif. Sebalilknya bila yang dirasakan adalah emosi positif maka gen-gen juga akan terpengaruh secara positif. Dalam mode fight-flight, energi kehidupan dimobilisasi dan digunakan oleh tubuh untuk melawan atau lari. Namun, bila tubuh tidak kembali ke homeostasis, karena kita terus merasa atau yakin ada bahaya, energi vital ini hilang tak berbekas.

Energi kehidupan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel atau penyembuhan terpakai untuk tujuan lain. Komunikasi antarsel terhambat. Semua sistem diri fokus hanya pada upaya keselamatan hidup secara fisik. Sistem imun dan endokrin melemah karena gen-gen pada wilayah yang berhubungan dengan fungsi-fungsi ini terganggu.

Ini sama seperti 98% sumberdaya yang ada pada satu negara semuanya digunakan untuk pertahanan, dan tidak lagi ada yang tersisa untuk membangun infrastruktur, sistem komunikasi, produksi makanan, kesehatan, pendidikan, dll.

Peneliti di Ohio State Universty Medical Center menemukan lebih dari 170 gen yang terpengaruh oleh stres, 100 di antaranya benar-benar “off” (termasuk banyak di antaranya adalah gen yang memfasilitasi pembentukan protein untuk penyembuhan). Para peniliti melaporkan bahwa luka pada pasien yang mengalami stres butuh waktu 40% lebih lama untuk sembuh. Stres yang kita alami berbeda dari masa ke masa.

Stres di masa sekarang bisa muncul dari banyak kondisi atau sebab seperti akibat tekanan pekerjaan, berusaha memenuhi target perusahaan, kondisi finansial yang kurang baik, cemas akan masa depan, kerja berlebih dan kurang istirahat, menentukan target pribadi terlalu tinggi sehingga diri merasa tidak berdaya, lingkungan atau suasan kerja yang tidak kondusif, masalah rumah tangga, dan berbagai masalah lainnya.

Stres juga lebih sering dialami seseorang akibat pola pikir yang salah. Kondisi, kejadian, atau situasi yang sebenarnya tidak perlu menjadi masalah, bisa menjadi masalah (besar) dan mengakibatkan stres karena sikap dan pola pikir yang salah. Dan saat stres berlangsung dalam waktu lama, yang kita sebut stres kronis, tubuh terpengaruh, tidak mampu beroperasi optimal, menjadi tidak sehat atau bahkan sakit.

Sehat Berkat Pikiran

Setiap bentuk pikiran yang kita pikirkan, baik yang menyenangkan atau tidak menyenangkan/stres, setiap emosi yang kita rasakan, dan setiap kejadian yang kita alami, dapat menjadi penyebab perubahan epigenetics dari sel-sel tubuh. Dengan menyadari keterhubungan pikiran, emosi, dan perubahan epigenetics kita dapat membalik proses yang membuat kita sakit.

Caranya, pertama adalah dengan menetralisir emosi-emosi negatif yang selama ini terus dirasakan dan menganggu hidup kita. Emosi negatif, yang adalah stres, harus dihilangkan secepatnya dan setuntasnya. Selanjutnya adalah dengan memrogram pikiran bawah sadar untuk mencapai kondisi tubuh sehat.

Kunci untuk memrogram pikiran bawah sadar untuk kesembuhan dan kesehatan adalah dengan relaksasi mental dan fisik yang dalam (deep trance) yang digabungkan dengan teknik sensualisasi yang tepat, dan merasakan emosi positif spesifik dan intens.

Penjelasan detil teknik mengolah pikiran, perasaan, dan tubuh untuk kesembuhan dan kesehatan akan sangat panjang bila dijelaskan di sini. Teknik ini yang saya ajarkan kepada salah satu klien penderita kanker tulang stadium empat guna melengkapi perawatan medis yang ia jalani. Sel-sel kankernya telah menyebar ke tulang rusuk dan tulang belakang L2 dan L5.

Dengan rutin mempraktikkan teknik penyembuhan berbasis sensualisasi dan emosi positif, tentunya dengan tetap menjalani perawatan medis, hasilnya klien dinyatakan sembuh total. Hasil PET Scan menunjukkan ia telah benar-benar bersih.

Dua penelitian penting tentang pengaruh relaksasi mental dan fisik yang dalam dan emosi positif yang memicu perubahan epigenetics untuk meningkatkan kesehatan diselenggarakan di Benson-Henry Institute for Mind Body Medicine di Massachusetts General Hospital di Boston.

Relaksasi mental dan fisik yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan perasaan tenang, damai, sangat menyenangkan, dan melihat pengaruhnya pada ekspresi gen. Dalam penelitian pertama, tahun 2008, dua puluh relawan mendapat pelatihan selama delapan minggu mempraktikan teknik yang berhubungan dengan pikiran dan tubuh (termasuk beberapa jenis meditasi, yoga, dan doa repetitif) yang bertujuan menghasilkan respon relaksasi, satu kondisi fisik yang sangat rileks dan nyaman.

Penelitian ini juga melibatkan sembilan belas meditator berpengalaman. Di akhir masa penelitian, meditator pemula menunjukkan perubahan pada 1.561 gen (874 mengalami upregulated untuk kesehatan dan 687 downregulated untuk stres), penurunan tekanan darah, denyut jantung dan napas. Sementara praktisi berpengalaman menunjukkan ekspresi 2.209 gen. Sebagian besar perubahan genetik ini meningkatkan respon tubuh terhadap stres psikologis kronis.

Penelitian kedua, tahun 2013, menemukan bahwa respon relaksasi mengakibatkan perubahan ekspresi gen setelah hanya satu sesi relaksasi mental dan fisik baik pada para pemula maupun praktisi berpengalaman. Gen yang mengalami upregulated antara lain yang memengaruhi fungsi kekebalan tubuh, metabolisme, energi, dan sekresi insulin, sementara gen yang mengalami downregulated antara lain yang behubungan dengan radang dan stres.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting berikut:

- Pikiran, otak, dan tubuh saling terhubung dan memengaruhi satu terhadap yang lain.

- Bentuk pikiran dan emosi yang kita pikirkan atau rasakan setiap hari membentuk siapa diri kita pada level seluler.

- Betuk pikiran dan emosi yang sama menghasilkan pengaruh yang sama pada sel-sel tubuh dan mengakibatkan kondisi tubuh yang sama, bisa sehat atau sakit.

- Saat memikirkan atau merasakan hal yang berbeda, kita mengubah pola listrik otak dan memulai pengaruh sistemik yang meliputi perubahan pada tegangan otot, ritme napas, dan aliran neurotransmitter dan hormon.

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online3
Hari ini845
Sepanjang masa34.480.480
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique