Aktivasi Ego Personality

Usai seminar “Hipnoterapi Klinis: Solusi Efektif untuk Masalah Emosi & Perilaku”  di Denpasar beberapa waktu lalu, saya mendapat pertanyaan dari tiga peserta melalui email. Di seminar ini saya menjelaskan bahwa di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH) saya mengajarkan dua teknik utama untuk mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalah: regresi berbasis afek dan teknik EP. Mereka bertanya tentang teknik terapi yang saya ajarkan dan praktikkan, khususnya teknik ego personality atau yang mereka sebut dengan teknik ego state. 

Inti pertanyaan mereka adalah mereka sudah belajar teknik ego state, sudah mempraktikkannya, tapi hasilnya masih kurang maksimal. Dari tanya jawab yang terjadi, saya simpulkan ada dua hal yang menjadi kendala mereka. Pertama, mereka kurang fasih dalam berkomunikasi dengan EP. Kedua, bila EP berhasil dipanggil keluar, teknik yang mereka gunakan untuk membantu klien berubah adalah hanya melakukan negosiasi dengan EP penyebab masalah. Dan seringkali EP bersikeras pada pendiriannya, tidak bersedia berubah. Bila ini terjadi, terapis menyerah.

Dalam artikel ini saya menyebut Bagian Diri sebagai Ego Personality (EP). Bagi pembaca yang familiar dengan istilah ego state (ES), untuk mudahnya, EP sama dengan ES.

Perlu disadari bahwa saat terapis berbicara dengan klien, sebenarnya yang terjadi adalah ia sedang berkomunikasi dengan satu EP. EP ini yang mendorong klien jumpa terapis untuk mengatasi masalah. Sementara yang membuat masalah adalah EP lain. Dengan demikian terapis perlu memiliki kecakapan untuk mengundang keluar atau mengaktifkan atau memunculkan EP yang ingin diproses.

Cara Mengaktifkan EP

Ada banyak cara untuk mengaktifkan EP. Idealnya, proses komunikasi dengan EP dilakukan  dalam kondisi hipnosis, lebih baik hipnosis dalam, untuk dapat mengakses EP yang tinggal di kedalaman. Berikut ini adalah cara yang bisa digunakan:

1.     Komunikasi tidak langsung: dalam hal ini terapis berbicara pada klien, tapi sebenarnya yang dituju adalah EP spesifik. Komunikasi seperti ini mengandung banyak elemen psikoedukasi. Komunikasi tidak langsung juga bisa memasukkan pengharapan, kekuatan, dan kecakapan ke pikiran bawah sadar (Phillips dan Frederick, 1995). 

2.     Komunikasi langsung. Ini adalah pendekatan “to the point” di mana terapis langsung mengarahkan komunikasi ke EP yang dituju, yaitu EP yang membuat masalah atau mengganggu hidup klien. Kalimat yang bisa digunakan: Saya ingini bicara dengan Bagian Diri atau EP yang membuat X (klien) melakukan ……. (Frederick, 2005, p. 372). 

3.     Memanggil keluar EP untuk interaksi verbal langsung. Cara ini berbeda dengan poin no 2. Kalimat yang digunakan: Saya ingin tahu apakah ada Bagian Diri dari (klien) yang tahu atau yang membuat munculnya simtom …. Dalam diri X. Bila ada Bagian Diri ini, saya mau bicara langsung dengan Anda (Frederick, 2005, p. 372). 

4.     Teknik Imajinasi. Teknik ini menggunakan kemampuan imajinasi klien. Terapis mengundang beberapa EP klien untuk duduk di meja bundar untuk diskusi (Watkins dan Watkins, 1997; Frasier, 2003). Frederick (2005) menggunakan pendekatan imajinatif yang lebih longgar di mana terapis secara eksplisit memberitahu EP bahwa mereka tidak harus berinteraksi dengan EP lainnya. 

5.     Eksplorasi Ideomotor. Ini adalah teknik yang sangat disarankan untuk praktisi EP pemula. Penggunaan teknik ini memberi keleluasaan pada pikiran bawah sadar klien untuk sepenuhnya memegang kendali atas apa yang terjadi. EP tidak perlu langsung berbicara dengan terapis namun cukup melalui gerakan jari. 

6.     Aktivasi afek dan somatik. Metode aktivasi ini fokus pada apa yang klien rasakan secara emosi atau sensasi fisik saat muncul simtom masalah. Dari sini terapis melanjutkan dengan eksplorasi emosi, persepsi, pikiran, dan yang lain untuk menggali dan mendapatkan informasi lebih lanjut. 

7.     Teknik-teknik eskternalisasi. Teknik yang digunakan bertujuan untuk mengaktifkan EP melalui tindakan seperti menggunakan kursi (Watkins dan Watkins, 1997; Fagan dkk, 1974). Termasuk dalam kelompok teknik ini adalah menulis otomatis (automatic writing), membuat patung dengan menggunakan plastisin (soft sculture), menggambar, melakukan gambar atau coretan-coretan bebas (doodling), dan teknik topi berpikir Edward de Bono. 

8.     Aktivasi gambaran mental. Teknik ini sangat jarang dipraktikkan karena praktisi sering tidak cermat akan hal ini. Dalam proses terapi, saat terapis berusaha mengaktifkan EP tertentu, bisa jadi tidak muncul respon apapun, baik secara perasaan atau fisik. Namun yang muncul di pikiran klien adalah gambara mental, bisa konkrit atau abstrak, bisa berupa warna atau cahaya. Bila ini terjadi, sebenarnya sudah ada EP yang aktif. Terapis perlu melakukan eksplorasi lanjutan (Gunawan, 2014, p. 373). 

9.     Aktivasi EP berlapis. Dalam beberapa kasus, bisa terjadi EP yang pertama kali aktif bukan EP yang membuat masalah. EP ini adalah “anak buah” dari EP lain yang lebih kuat atau berkuasa. Secara teknis kondisi ini disebut EP multilayer atau berlapis. Untuk itu, terapis, melalui EP yang pertama muncul, mengakses EP di lapis kedua dan seterusnya (Gunawan, 2014, p. 373). 

10. EP aktif spontan. EP juga bisa aktif spontan, tanpa terapis melakukan apapun. EP seperti ini biasanya sudah sangat ingin berkomunikasi dengan seseorang untuk membantu menyelesaikan masalah klien. Saat mendapat kesempatan, tanpa diminta, EP ini langsung aktif dan mengajak bicara terapis. Dan bisa terjadi yang aktif beberapa EP sekaligus (Gunawan, 2014, p. 373). 

11. Aktivasi EP melalui mimpi hipnotik. Bila klien mengalami mimpi berulang dengan tema yang sama, ini adalah satu bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar. Terapis bisa memberi sugesti agar klien mengalami kembali mimpinya dan dari sini dilakukan eksplorasi dengan memanggil keluar EP yang memberi mimpi (Gunawan, 2014, p. 374).

Mengaktifkan EP adalah keterampilan yang perlu dikuasai dengan baik oleh terapis. Dengan aktifnya EP tidak berarti masalah klien serta merta selesai. Ini barulah langkah awal. EP yang telah aktif perlu divalidasi untuk memastikan bahwa benar EP inilah yang memunculkan simtom atau membuat masalah dalam diri klien.

Setelah EP muncul, langkah berikutnya adalah penyelesaian masalah. Teknik yang sangat sering digunakan, namun kurang efektif, adalah dengan hanya melakukan negosiasi dengan EP. Terapis mewakili klien berbicara dengan EP, bisa juga terapis memfasilitasi komunikasi antara klien dan EP, dan meminta EP berhenti melakukan apa yang selama ini ia lakukan sehingga klien tidak lagi bermasalah. Contohnya, bila klien adalah perokok, maka terapis akan berbicara dengan EP yang membuat klien merokok, misal sebut saja sebagai EP Perokok, agar berhenti merokok. Bila EP Perokok setuju berhenti merokok, masalah klien juga selesai.

Teorinya seperti ini. Dalam praktiknya, tidak semudah teori. Seringkali EP Perokok punya tujuan, alasan, agenda tersendiri yang membuat ia merokok. Negosiasi, rayuan, atau bujukan terapis seringkali tidak membuahkan hasil. Dalam banyak kasus, setelah EP Perokok setuju berhenti merokok, benar klien juga berhenti merokok. Namun ini hanya berlangsung satu atau dua hari. Setelahnya, klien kembali merokok.

Untuk mengatasi hal ini terapis butuh teknik lain, selain negosiasi. Ada banyak cara untuk melunakkan EP sehingga akhirnya setuju untuk mendukung hidup klien. Teknik-teknik ini sangat penting untuk dikuasai agar terapi berbasis EP efektif dan tuntas. Pada beberapa kasus, terjadi EP berlapis (multilayer). Bahkan pernah dijumpai empat lapis EP. Artinya, EP yang pertama muncul, sebut saja sebagai EP A, dikendalikan oleh EP B. EP B dikendalikan oleh EP C, dan EP C dikendalikan oleh EP D. Masalah klien hanya bisa terselesaikan bila terapis mampu mengakses EP D dan membuat EP ini bersedia menuruti permintaan klien. 



Dipublikasikan di https://www.adiwgunawan.com/articles/aktivasi-ego-personality1 pada tanggal 12 Juni 2017 23:29