Client-Centered Therapy Rogers dan Client-Centered Hypnotherapy AWGI

10 Juli 2016 16:45

Client-centered therapy, terapi bicara non-direktif, “lahir” tanggal 11 Desember 1940 saat psikolog humanis Carl Ransom Rogers, dalam pertemuan kelompok Psi Chi di Universitas Minnesota, menyampaikan pemikirannya tentang psikoterapi. Selanjutnya, dalam kurun waktu 1940an hingga 1950an Rogers mengembangkan pendekatan terapi yang kini lebih dikenal sebagai person-centered therapy (PCT) atau psikoterapi Rogerian (Wedding dan Corsini, 2013).

Jenis terapi ini berbeda dengan model terapi tradisional. Pada terapi tradisional, terapis berlaku sebagai pihak yang sepenuhnya mengendalikan dan mengarahkan proses terapi. Sementara dalam PCT, proses terapi bersifat nondirektif dengan pendekatan empati dan bertujuan memberdayakan dan memotivasi klien dalam proses terapi.

Hal penting dalam PCT, klien tidak dipandang sebagai individu cacat atau sakit, dengan perilaku dan pikiran bermasalah butuh penanganan. PCT menerima setiap individu sebagai pribadi dengan kapasitas dan keinginan untuk bertumbuh dan berubah. Rogers menamakan dorongan alamiah ini sebagai aktualisasi diri (Rogers, 1951). Menurut Rogers, setiap individu memiliki, dalam dirinya, sumberdaya luar biasa untuk memahami diri dan untuk meningkatkan konsep diri, sikap dasar, dan perilaku. Semua sumberdaya ini dapat diakses dan dimanfaatkan bila tersedia kondisi psikologis yang mendukung.

Terapis PCT mengenali dan memercayai potensi manusia, memberi klien empati dan penerimaan, kasih tanpa syarat untuk membantu memfasilitasi perubahan. Terapis sebisa mungkin menghindar dari mengarahkan jalannya terapi, dan lebih memilih mengikuti arah yang dipilih klien. Terapis menawarkan dukungan, bimbingan, dan struktur sehingga klien dapat menemukan solusi permasalahannya dari dalam dirinya sendiri.

Guna menstimulasi pertumbuhan individu, menurut Rogers, dibutuhkan enam faktor kunci. Menurutnya, saat enam kondisi ini terpenuhi, individu tergerak mencapai pemenuhan potensi diri secara konstruktif.

Enam faktor kunci sebagai syarat pertumbuhan, menurut teori Rogerian, adalah:

1. Kotak psikologis terapis dan klien: syarat pertama ini menyatakan harus ada relasi antara terapis dan klien agar klien dapat mencapai perubahan personal positif. Lima faktor berikut ini adalah karakteristik relasi terapis dan klien, dan sifatnya variatif.

2. Inkongruensi atau kerentanan klien: ketidaksesuaian antara citra diri klien dan pengalaman aktualnya mengakibatkan klien rentan mengalami perasaan takut dan cemas. Klien seringkali tidak menyadari inkongruensi ini.

3. Kongruensi dan ketulusan terapis: terapis bersikap sadar, tulus, dan kongruen. Hal ini tidak berarti terapis perlu menjadi orang sempurna, tetapi ia bersikap jujur dalam konteks relasi terapeutik.

4. Penerimaan positif tanpa syarat oleh terapis: pengalaman-pengalaman klien, positif atau negatif, diterima oleh terapis tanpa syarat atau penghakiman. Dengannya, klien dapat berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi.

5. Empati terapis: terapis menunjukkan empati dalam memahami pengalaman klien dan mengenali pengalaman emosional tanpa turut larut kedalamnya.

6. Persepsi klien: sampai derajat tertentu, klien memaknai penerimaan positif tanpa syarat dan pemahaman empatik terapis. Hal ini dikomunikasikan melalui kata-kata dan perilaku terapis.

Prinsip client-centered juga berlaku dalam hipnoterapi. Client-centered hypnotherapy sejatinya bermakna berpusat pada klien, dalam pengertian terapis melakukan terapi sesuai dengan kebutuhan atau permintaan klien.

Terdapat kesamaan antara pendekatan PCT Rogerian dan client-centered hypnotherapy AWGI (Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology). Keduanya adalah terapi bicara (verbal therapy) berdasar keyakinan bahwa setiap individu ingin menjalani hidup yang lebih baik, lebih bermakna, dan memiliki kapasitas/sumberdaya untuk mewujudkan potensi ini, berpusat pada klien, menggunakan pendekatan empati, welas asih tanpa kelekatan (detached compassion), tidak memandang klien sebagai individu sakit, dan bertujuan memberdayakan klien melalui proses terapi.

Perbedaan mendasar di antara keduanya, PCT Rogerian bermain di pikiran sadar, bersifat nondirektif, dan lebih berserah pada dan mengikuti “tuntunan” klien. Sementara client-centered hypnotherapy AWGI awalnya nondirektif, saat pikiran bawah sadar menuntun terapis menemukan akar masalah. Selanjutnya, setelah berhasil memukan akar masalah, proses terapi berubah menjadi direktif. Terapis mengarahkan proses terapi, mengikuti dinamika dan tuntunan pikiran bawah sadar klien, dengan memanfaatkan segenap sumberdaya klien, khususnya yang ada di pikiran bawah sadarnya.

Walau bersifat direktif, proses terapi sepenuhnya dijalankan atas ijin dan kerjasama penuh dari klien. Dengan demikian, pendekatan client-centered hypnotherapy AWGI menempatkan klien dalam posisi sejajar dengan terapis, sebagai co-therapist yang juga bertanggung penuh atas proses dan hasil terapi.

Dalam konteks hipnoterapi, hipnoterapis AWGI bekerja dengan dasar prinsip dan keyakinan berikut:

  • setiap individu berhak untuk hidup bahagia, dan melalui upaya sadar maupun tidak sadar berusaha mencapai kondisi bahagia ini.
  • semua hipnosis adalah self-hypnosis.  
  • terapi adalah kontrak upaya, bukan kontrak hasil.
  • setiap individu memiliki sumberdaya untuk mencapai tujuan ini.
  • semua sumberdaya untuk perubahan ada dalam diri klien, di pikiran sadar dan terutama di pikiran bawah sadar.
  • tidak ada klien yang sakit. Klien adalah individu normal yang “bermasalah” karena tidak mengerti cara kerja pikiran, tidak mampu menggunakan pikiran dengan benar dan konstruktif.
  • yang menyembuhkan klien adalah dirinya sendiri dengan bantuan terapis.
  • simtom, yang umumnya disebut sebagai masalah, adalah komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar dengan pesan spesifik. Tugas klien, dengan bantuan terapis, menemukan makna pesan ini melalui proses terapi.
  • pikiran bawah sadar sangat menyadari pentingnya resolusi trauma namun ia tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Untuk itu pikiran bawah sadar akan terus memunculkan simtom atau menempatkan individu dalam situasi tertentu hingga resolusi trauma berhasil tuntas dilakukan.

 

Untuk mencapai hasil terapi optimal, seperti yang telah dijelaskan di atas, posisi terapis dan klien adalah sejajar. Untuk itu baik hipnoterapis dan klien, perlu memenuhi syarat tertentu. Syarat hipnoterapis antara lain:

  • melakukan terapi dengan dasar welas asih dan empati tanpa kelekatan.
  • memberi klien rasa aman, tidak menghakimi.
  • memiliki kemampuan dan kecakapan yang dibutuhkan untuk membantu klien. Ini berkaitan dengan standar mutu pendidikan yang dijalani hipnoterapis.
  • melakukan upaya maksimal dalam membantu klien.
  • memahami simtom adalah kunci penyelesaian masalah.
  • melakukan terapi dengan memroses akar masalah (causal therapy), bukan hanya menghilangkan simtom (symptomatic therapy).

 

Sementara syarat klien antara lain:

  • menyadari, mengakui, dan menerima (keberadaan) masalahnya.
  • memiliki motivasi tinggi untuk mengatasi masalah.
  • minta bantuan terapis atas kesadarannya sendiri.
  • percaya sepenuhnya pada terapis.
  • melakukan upaya maksimal.

 

Dari uraian pemahaman client-centered hypnotherapy di atas, dalam praktiknya, muncul beberapa pertanyaan mendasar yang sangat perlu dijawab, antara lain:

  • Bagaimana bila permintaan klien, dari sudut pandang terapis, tidak baik untuk perkembangan dan pertumbuhan klien di masa depan?
  • Bagaimana bila permintaan klien melanggar nilai-nilai spiritual/agama, dan norma yang berlaku di masyarakat?
  • Bagaimana bila permintaan klien tidak sejalan dengan nilai-nilai hidup terapis?
  • Bagaimana bila klien menjalani terapi atas permintaan orangtua, pasangan, atau keluarganya dan ini bukan atas kemauan klien?

 

Apa yang akan dilakukan terapis bila menemui kondisi seperti di atas? Apakah terapis memutuskan untuk tetap melakukan terapi atau tidak?

Client-centered hypnotherapy benar berpusat pada kepentingan klien namun harus dilandasi akal sehat, tidak melanggar nilai-nilai spiritual, moral, dan agama. Terapis dalam melakukan terapi tentu tidak bebas dari pengaruh nilai-nilai hidupnya. Dengan demikian, untuk menjadi hipnoterapis yang cakap dalam arti sesungguhnya membutuhkan kematangan berpikir, kedewasaan, serta kearifan.

Hipnoterapi dipelajari sebagai cabang ilmu psikologi dan dipraktikkan sebagai seni yang membutuhkan kesadaran, integritas, kejujuran, rasa welas asih, tanggung jawab, kedewasaan sikap, kearifan, dan kreatifitas yang tinggi.

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online1
Hari ini496
Sepanjang masa34.480.131
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique