Memahami Trauma dan Penyembuhannya dari Perspektif Hipnoterapi Klinis dan Neurosains

1 November 2016 20:58

Perspektif Hipnoterapi Klinis

Setiap kejadian yang kita alami sejatinya netral namun berpotensi menjadi masalah. Kejadian menjadi masalah atau tidak sepenuhnya bergantung pada makna yang diberikan padanya. Pemberian makna diikuti dengan munculnya emosi, bisa positif, negatif, atau netral, yang lekat pada memori kejadian ini. Suatu kejadian disebut traumatik bila emosi yang muncul dan lekat pada memori kejadian adalah emosi negatif dengan intensitas tinggi. Semakin tinggi intensitasnya semakin traumatik.

Pemaknaan yang diberikan pada satu kejadian tentunya sangat dipengaruhi pengalaman hidup individu. Saat masih kecil, makna kejadian berasal dari meniru pola orangtua atau pengasuh utama. Setelah lebih besar, makna dilakukan dengan mengandalkan data yang telah terakumulasi di pikiran bawah sadar (PBS). Proses pemaknaan berlangsung dengan sangat cepat, bekerja di level PBS, dan akan terus demikian sampai dilakukan upaya sadar untuk mengubahnya (Gunawan, 2014).

Kejadian traumatik, berdasar temuan di ruang praktik hipnoterapi klinis, bisa berawal sedini sejak dalam kandungan ibu. Namun, pada umumnya, pengalaman traumatik terjadi antara usia 0 hingga 10 tahun. Berbagai pengalaman ini tersimpan di memori pikiran bawah sadar. Ada yang masih bisa diingat dan ada yang sudah terlupakan namun tetap mengganggu hidup individu.

Terdapat perbedaan signifikan antara memori normal dan memori traumatik. Memori normal dapat diakses dengan mudah, bersifat sosial, adaptif, lentur, dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi tertentu. Sementara memori traumatik muncul kembali, lebih sering karena terpicu oleh satu atau beberapa pemicu spesifik, yang selanjutnya diikuti dengan elemen memori terkait lainnya. Memori traumatik, karena adanya emosi intens yang lekat padanya, berubah sifat dan menjadi terpisah (split off) dari struktur memori global, memiliki kehidupan sendiri, kehilangan kemampuan untuk integrasi dan mengasimilasi pengalaman baru. Dengan kata lain, individu berhenti bertumbuh/fiksasi (LeDoux, 2016).

Split off yang juga dikenal sebagai disosiasi mencegah pengalaman traumatik terintegrasi ke dalam memori autobiografi yang terus menerus berkembang seiring perjalanan hidup individu. Dengan demikian tercipta dua sistem memori. Memori normal mengintegrasi elemen dari setiap pengalaman ke dalam aliran berkesinambungan dari pengalaman diri melalui proses asosiasi yang kompleks. Sementara memori traumatik disimpan terpisah, sebagai fragmen-fragmen beku yang sangat sulit dipahami.

Pengalaman atau memori traumatik muncul dalam dua skenario gangguan. Pertama, individu mengalami flasback atau tiba-tiba teringat kejadian atau elemen kejadian masa lalu disertai intensitas emosi yang tinggi. Setelah beberapa saat, bentuk pikiran ini hilang namun terus menyisakan residu emosi yang mengganggu. Kedua, individu tidak lagi mengingat apapun dari kejadian masa lalu namun yang muncul adalah perasaan tidak nyaman yang tidak diketahui sumber atau penyebabnya (Gunawan, 2016).

Jean-Martin Charcot, Pierre Janet, dan Sigmund Freud menyebut memori traumatik sebagai “rahasia patogen” (pathogenic secrets) atau parasit mental (mental parasites) karena walau penderita sangat ingin menghilangkan, melupakan, tidak lagi mau mengingat apa yang telah terjadi namun memori ini terus menerus muncul tanpa dapat dicegah atau dikendalikan, dan memerangkap individu dalam teror dan horor berkepanjangan.

Dua skenario yang dijelaskan di atas sepenuhnya adalah hasil kerja PBS. Pengalaman klinis kami menangani sangat banyak klien memampukan kami menarik simpulan penting perihal fungsi PBS yang dapat menjelaskan apa yang dialami individu. Pertama, PBS berfungsi melindungi individu, dalam hal ini pikiran sadar dan tubuh fisik, dari hal-hal yang ia, PBS, rasa, yakin, persepsikan merugikan atau membahayakan. Kedua, PBS sangat menyadari pentingnya resolusi trauma namun ia bukan penyelesai masalah. PBS butuh bantuan orang lain untuk bisa menuntaskan masalah individu. Untuk itu, ia akan terus berkomunikasi dengan pikiran sadar dalam bentuk flashback atau perasaan tidak nyaman atau menempatkan individu pada situasi yang sama atau mirip dengan pengalaman traumatik (reenactment) sampai masalah ini tuntas terselesaikan.

Hal di atas sejatinya sejalan dengan paper Josef Breuer dan Sigmund Freud berjudul “Hysterics suffer mainly from reminiscences” yang dipublikasi tahun 1893. Dalam tulisan ini mereka menyatakan bahwa memori traumatik tidak tunduk pada proses “pemudaran” seperti yang terjadi pada memori normal. Memori traumatik terus aktif, segar, seolah baru terjadi. Individu dengan memori traumatik tidak dapat mengendalikan atau tahu kapan memori ini akan muncul (kembali).

Trauma terselesaikan tuntas, dari pengalaman klinis kami, hanya bila emosi yang melekat pada memori kejadian sepenuhnya berhasil dinetralisir. Selama masih ada sisa emosi, resolusi belum tuntas dan individu tetap akan mengalami gangguan. Goal terapi adalah mengintegrasi elemen beku, yang berasal dari pengalaman traumatik, melalui proses yang tepat, ke dalam narasi hidup sehingga otak mengenalinya sebagai “itu terjadi di masa lalu, ini yang sekarang”.

Perspektif Neurosains

Uraian berikut ini tidak bermaksud menjelaskan secara detil dan teknis mengenai cara kerja otak, saat individu mengalami trauma, namun lebih bertujuan untuk memberi gambaran besar agar pembaca bisa mendapat pemahaman mendasar.

Salah satu fungsi utama otak manusia adalah proteksi keselamatan melalui sistem peringatan dini akan bahaya atau hal-hal yang bisa mengancam keselamatan individu. Sistem saraf otonom mengatur tiga kondisi fisiologis fundamental yang diaktifkan, pada satu waktu tertentu, mengacu pada tingkatan bahaya atau ancaman yang sedang dihadapi individu. Dalam kondisi normal, saat individu merasa terancam, secara instingtif ia akan mengaktifkan jenjang pertama pengaman yaitu keterlibatan sosial (social engagement). Dalam hal ini, individu akan berteriak minta tolong, bantuan, dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Namun bila tidak ada yang datang menolong, atau bila bahaya semakin mendekat, individu akan kembali pada upaya penyelamatan hidup yang lebih primitif: lawan atau lari (fight or flight). Ia akan melawan pihak yang menyerang atau lari ke tempat aman. Namun, saat upaya ini gagal dan ia tertangkap maka individu akan mencoba mempertahankan diri dengan menjadi pasif dan mengeluarkan sedikit mungkin energi. Kondisi ini disebut freeze atau collapse.

Dalam konteks perlindungan diri individu dari bahaya, informasi atau stimuli yang berasal dari luar diri, yang diperoleh dari indera mata, telinga, hidung, dan kulit, semuanya berkumpul di thalamus. Dari thalamus informasi ini diteruskan turun ke amygdala, di sistem limbik, dan ke atas ke lobus frontalis untuk kita sadari.

Neurosaintis Joseph LeDoux (2008) menyebut jalur ke amygdala sebagai “jalur bawah” di mana kecepatan transmisi datanya sangat cepat. “Jalur atas” berawal dari thalamus, melalui hippocampus dan anterior cingulate, dan lanjut ke prefrontal cortex, otak rasional, untuk pemaknaan secara sadar dan lebih baik. Kecepatan transmisi data melalui “jalur atas” butuh waktu lebih lama beberapa milidetik dibanding “jalur bawah”.

Fungsi utama amygdala adalah seperti detektor asap yaitu mengenali apakah input yang diterima bersifat netral atau berpotensi membahayakan keselamatan. Amygdala melakukan ini dengan bantuan hippocampus, bagian otak yang berfungsi menghubungkan input baru dengan pengalaman masa lalu.  

Bila amygdala mendeteksi bahaya, ia segera mengirim sinyal ke hypothalamus sehingga terjadi aktivasi poros HPA (hypothalamus, pituitary, adrenal) dan terjadi sekresi hormon stres, seperti adrenalin dan cortisol, yang meningkatkan detak jantung, menaikkan tekanan darah, napas menjadi lebih cepat, pandangan mata menjadi lebih awas, dengan tujuan menyiapkan individu untuk menghadapi bahaya atau ancaman.

Sensitivitas amygdala, menurut Gray (1985), dalam penelitiannya dengan hewan, dalam menentukan apakah suara, gambar, atau sensasi tubuh adalah ancaman atau tidak, dipengaruhi di antaranya oleh jumlah neurotransmiter serotonin di bagian otak ini. Bila jumlah serotonin di amygala rendah maka hewan menjadi hiperaktif terhadap stimuli yang dapat mengakibatkan stres (seperti suara keras), sementara level serotonin yang tinggi membuat mereka lebih kuat dan tidak mudah bersikap agresif atau “membeku” sebagai respon terhadap situasi yang mengancam.

Scott Rauch, dari Massachusetts General Hospital Neuroimaging Laboratory, menggunakan fMRI (functional magnetig resonance imaging), merekam aktivitas otak saat seseorang mengalami “trauma”. Yang aktif daerah sistem limbik, tepatnya amygdala, bagian otak yang bertanggung jawab dalam memberi sinyal bahaya dan mengaktifkan respon stres tubuh. Daerah Broca’s, pusat bahasa, menjadi nonaktif, mengakibatkan individu tidak mampu mengungkap perasaan dan pikiran ke dalam kata-kata. Daerah Broca’s nonaktif setiap kali muncul gambar kejadian traumatik.

Satu bagian dari korteks visual, Brodmann’s area 19, aktif. Ini adalah bagian otak yang menerima gambar-gambar saat pertama kali masuk ke otak melalui mata. Dalam kondisi normal, setelah bagian ini menerima gambar, gambar ini diteruskan ke bagian lain yang memberi makna atas apa yang dilihat individu. Saat bagian ini menyala, aktif, seolah-olah kejadian ini baru terjadi. Dengan demikian trauma membuat gambar ini terus muncul dan mengganggu hidup individu (revivifikasi). 

Hasil pemindaian pada otak juga mengungkap data menarik yaitu saat individu mengalami trauma, wilayah otak yang aktif dominan adalah otak kanan sementara otak kirinya menjadi tidak aktif. Deaktivasi otak kiri berpengaruh langsung pada kemampuan mengorganisir pengalaman ke dalam alur logis dan menerjemahkan perubahan perasaan dan persepsi ke dalam kata-kata. Tanpa kemampuan mengurutkan seperti ini kita tidak dapat mengenali sebab dan akibat, memahami pengaruh jangka panjang dari setiap tindakan kita atau membuat perencanaan masa depan. Orang yang sedih atau dalam kondisi emosinya terganggu sering berkata bahwa pikiran mereka “buntu”. Secara teknis yang terjadi adalah mereka, pada saat itu, kehilangan fungsi eksekutif dari otaknya.

Saat sesuatu mengingatkan seseorang yang pernah mengalami trauma di masa lalu, otak kanan mereka bereaksi seolah-olah pengalaman traumatik ini sedang terjadi. Berhubung otak kiri mereka sedang tidak bekerja dengan baik, mereka tidak sadar bahwa yang mereka alami adalah pengalaman dari masa lalu. Mereka kembali merasakan berbagai emosi sama seperti yang dulu mereka alami seperti marah, kecewa, takut, sedih, sakit hati, atau malu.

Hasil pemindaian yang sama sekali berbeda tampak pada individu yang melakukan penyangkalan (denial). Saat terjadi penyangkalan, di pikiran individu seolah-olah tidak ada masalah atau tidak ada yang terjadi. Ini sejatinya adalah bentuk proteksi diri (defense mechanism) yang dilakukan PBS untuk melindungi individu. Hasil pemindaian otak indivdu yang melakukan penyangkalan menunjukkan hampir semua wilayah otak tidak terdapat aktivitas berarti. Semuanya “padam”. Walau hasil pemindaian menunjukkan demikian, padamnya aktivitas otak, individu tidak merasa apapun secara emosi, namun fisik mereka tetap menunjukkan reaksi stres.

Trauma juga mengakibatkan wilayah otak yang berperan mengenali diri menjadi nonaktif. Wilayah otak yang dimaksud meliputi medial prefrontal cortex (MPFC), anterior cingulate (koordinasi emosi dan berpikir), lobus parietal (integrasi informasi sensori), dan insula (meneruskan berita dari organ dalam ke pusat emosi). Satu bagian yang sedikit aktif adalah posterior cingulate yang bertanggung-jawab untuk orientasi ruang atau GPS internal sehingga kita tahu di mana posisi dan keberadaan diri.

Ini terjadi sebagai bentuk respon terhadap trauma, dan dalam upaya mengatasi ketakutan yang terus menghantui seseorang sebagai akibat dari trauma itu, individu belajar menonaktifkan wilayah otak yang mengirim perasaan yang berasal dari organ dalam dan emosi yang menyertai dan mendefinisikan teror. Sementara, dalam kehidupan sehari-hari, bagian otak yang sama berfungsi untuk meregister semua bentuk sensasi dan emosi yang membentuk kesadaran akan diri. Ketidakmampuan merasakan sensasi fisik akibat emosi tertentu mengakibatkan individu tidak mampu mengungkap perasaannya, khususnya dengan ungkapan verbal. Kondisi ini dinamakan alexithymia.

Medial prefrontal yang nonaktif menjelaskan mengapa begitu banyak individu yang mengalami trauma kehilangan arah dan tujuan. Ini juga yang menyebabkan klien yang meminta saran atau masukan, setelah diberi oleh terapis, tidak menjalankan saran tersebut walau mereka tahu ini penting dilakukan untuk kebaikan mereka. Ini terjadi karena relasi mereka dengan realita internal terganggu. Mereka tidak dapat melakukan suatu tindakan atau putusan karena mereka tidak lagi tahu atau mengenali tujuan secara spesifik, bagaimana sensasi atau rasa di tubuh, yang menjadi dasar dari semua hal tentang emosi yang kita ceritakan pada mereka.

Hipnoterapi untuk Mengatasi Pengalaman Traumatik

Hipnoterapi, sesuai namanya, terdiri atas dua kata, “hipnosis” dan “terapi”. Saya mendefinisikan hipnoterapi sebagai terapi, bisa menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Berdasar definisi ini muncul sangat banyak varian hipnoterapi bergantung teknik yang digunakan.

Namun, secara garis besar, terdapat dua mazhab hipnoterapi yaitu hipnoterapi berbasis sugesti dan hipnoanalisis. Tipe pertama sepenuhnya mengandalkan sugesti untuk membantu klien mengatasi masalah. Sementara tipe kedua mengutamakan upaya mencari dan menemukan akar masalah dan memroses emosi yang ada pada kejadian awal. Hipnoterapi berbasis hipnoanalisis lebih kompleks namun jauh lebih efektif.

Dalam mencari akar masalah biasanya menggunakan tenik regresi, baik regresi berbasis afek maupun ego personality. Kedua teknik regresi ini mirip namun berbeda signifikan dalam cara penelusuran ke akar masalah dan kompleksitas emosi yang diproses.

Para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), dalam upaya membantu klien mengatasi masalah, menggunakan prinsip “The symptom is the key to the solution”. Kami menggunakan simtom untuk menemukan sumber masalah yang terletak di PBS klien.

Intinya, setelah berhasil menemukan akar masalah, kami melakukan restrukturisasi PBS dan menetralisir tuntas emosi-emosi yang muncul akibat kejadian itu. Setelahnya kami melakukan edukasi PBS untuk memberi pemahaman, pengetahuan, atau strategi baru dalam menghadapi kejadian yang mirip atau sama dengan yang sebelumnya dialami klien. Dengan demikian, di kemudian hari, kejadian serupa tidak lagi bisa menjadi sumber trauma. 

Apa yang dilakukan hipnoterapis klinis AWG Institute sejatinya sangat sejalan dengan yang dinyatakan Breuer dan Freud. Dalam paper Breuer dan Freud (1893) secara gamblang diungkap bahwa cara untuk menyembuhkan klien histeria segera dan permanen adalah dengan mengungkap memori kejadian beserta emosi yang menyertainya, klien menceritakan secara detil yang ia rasakan dengan kata-kata, dan terjadi “reaksi energetik” pada kejadian traumatik untuk menguras habis emosi. Bila klien hanya menceritakan tanpa emosinya dikuras habis melalui proses abreaktif, bisa dengan menangis hingga tindakan tertentu, maka proses yang dialami klien tidak terapeutik.

Berikut ini adalah kutipan pernyataan Breuer dan Freud (1893):

“ ……We found, to our great surprise, at first, that each individual hysterical symptom immediately and permanently disappeared when we had succeeded in bringing clearly to light the memory of the event of which it was provoked and in arousing its accompanying affect, and when the patient has described that event in the greratest possible detail and had put the affect into words. Recollection with out affect invariably produces no result.

……it brings to an end the operative force … which was not abreacted in the first instance by allowing its strangulated affect to find a way out through speech; and it subjects it to associative correction by introducing it into normal consciousness.”

Dari hasil pemikiran dan tulisan Breuer dan Freud inilah sebenarnya bermula terapi bicara yang sekarang digunakan dalam dunia psikologi. Namun sayangnya, umumnya dipercaya bahwa hanya dengan menceritakan trauma dengan detil dapat membantu seseorang mengatasi trauma itu. Kenyataannya tidaklah demikian. Mengutamakan pikiran sadar baik untuk eksplorasi sumber masalah maupun untuk mengatasi emosi tidak efektif dan juga tidak terapeutik.

Trauma hanya bisa selesai bila emosi yang lekat pada kejadian berhasil dinetralisir. Dan hasil pemindaian otak menunjukkan dengan jelas bahwa saat inividu diminta menceritakan kembali pengalaman traumatik, otak rasionalnya tidak mampu bekerja dengan baik.

Sejalan dengan pemikiran Breuer dan Freud, AWGI telah mengembangkan teknik terapi berbasis pengungkapan kejadian awal dan teknik-teknik abreaksi yang jauh lebih maju, aman, dengan tingkat ketuntasan dan signifikansi abreaktif sangat tinggi karena langsung bekerja di pikiran bawah sadar, bukan pikiran sadar.

Mengatasi Trauma dengan Pendekatan Neurosains

Reaksi pascatrauma dijalankan oleh “mesin” yang terletak di otak emosi yang biasanya bereaksi dalam dua bentuk, sikap waspada berlebih, cemas, emosi meningkat tinggi, agitasi (hyperarousal) atau merasa sedih, “down”, lesu, tidak semangat, apatis, respon dan aktivitas fisik melambat (hypoarousal). Berbeda dengan otak rasional yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk pikiran, otak emosi berekspresi melalui reaksi fisik seperti perasaan tidak nyaman di perut, degup jantung lebih cepat, napas memburu, bicara dengan nada tinggi, dan berbagai gerakan tubuh yang menunjukkan kemarahan, situasi bertahan, atau beku (freeze).

Otak rasional sangat baik dalam membantu kita memahami asal emosi namun ia tidak dapat menghilangkan emosi, sensasi atau bentuk pikiran yang muncul. Dengan memahami mengapa kita merasakan perasaan tertentu tidak serta merta mengubah bagaimana kita merasa.

Hal terpenting dalam mengatasi trauma adalah dengan mengembalikan keseimbangan operasional antara otak rasional dan otak emosi. Untuk mengubah reaksi pascatrauma dibutuhkan akses langsung ke otak emosi dan melakukan “terapi sistem limbik” yaitu memperbaiki sistem peringatan bahaya yang “rusak” dan mengembalikan otak emosi pada tugas normalnya sebagai pengatur kerja tubuh, memastikan kita makan, tidur, relasi dengan pasangan, melindungi anak-anak, dan menghadapi bahaya.

Otak rasional berpusat di dorsolateral prefrontal cortex dan tidak memiliki koneksi langsung dengan otak emosi di mana hampir semua jejak trauma tersimpan. Bagian otak, medial prefrontal cortex, pusat kesadaran diri, memilki koneksi langsung dengan otak rasional. Dengan demikian, untuk mengakses otak emosi secara sadar, seperti yang dinyatakan oleh neurosaintis Joseph LeDoux (1998) adalah melalui kesadaran diri yaitu mengaktifkan medial prefrontal cortex guna mengetahui dan menyadari apa yang sedang terjadi dalam diri dan memungkinkan kita merasakan apa yang kita rasakan. Secara teknis, ini disebut interoception. Riset neurosains menunjukkan bahwa satu-satunya cara kita dapat mengubah cara kita mengelola emosi adalah dengan menjadi sadar akan pengalaman di dalam diri dan belajar bersahabat dengan apa yang terjadi di dalam diri. Secara ringkas, kunci kesembuhan adalah kesadaran diri (mindfulness).

Aplikasi mindfulness dalam mengatasi emosi yang lekat pada pengalaman traumatik adalah dengan menyadari munculnya memori traumatik, hanya menyadari atau mengamati, hanya tahu, tanpa masuk ke dalam kejadian, tidak memberi label atau makna. Saat memori traumatik muncul dan diperlakukan seperti ini, ia akan tenggelam atau hilang. Kemudian, ia akan muncul lagi, hilang, muncul, hilang, demikian seterusnya. Setiap kali ia muncul dan diperlakukan seperti ini, emosi yang lekat padanya menjadi semakin pudar hingga akhirnya hilang dan memori traumatik menjadi memori biasa.

Mindfulness telah terbukti memiliki efek positif pada beragam simtom psikologis, psikiatris, psikosomatis, termasuk depresi dan rasa sakit kronis (Hofmann dkk., 2010). Midfulness juga berpengaruh positif pada respon kekebalan tubuh, tekanan darah, dan level kortisol (Davidson, dll., 2003; Carlson dkk., 2007), dan juga berpengaruh positif pada wilayah otak yang terlibat dalam regulasi emosi (Hölzel dkk., 2010) yang selanjutnya memengaruhi perubahan pada wilayah otak yang terlibat dalam kesadaran akan tubuh dan rasa takut (Craig, 2003). Berlatih mindfulness juga dapat mengurangi keaktifan amygdala, dengan demikian mengurangi reaktivitas terhadap pemicu situasi atau tanda bahaya (Banks, 2007).

Cara lain untuk mengatasi emosi adalah dengan melatih atau olah napas, melakukan gerakan tubuh tertentu dengan lambat dan ritmik, dan chanting (membaca berulang kalimat tertentu). Teknik ini bekerja karena sekitar 80% jaringan saraf vagus, yang menghubungkan otak dengan banyak organ dalam, memiliki arah koneksi dari tubuh ke otak.

Sengaja bernapas dengan sangat lambat dan dalam, serta tetap dalam kondisi tubuh rileks, saat mengakses memori yang menyakitkan, sangat penting untuk penyembuhan (Brown dan Gerbarg, 2005). Saat kita secara sengaja menarik napas panjang dan lambat, sistem saraf parasimpatik menjadi aktif. Semakin seseorang fokus pada napas, semakin besar manfaat yang akan ia peroleh, terutama bila fokus atau perhatian ini diarahkan hingga momen akhir embusan napas dan sebelum tarikan napas berikutnya.

Mengendalikan emosi dengan melalui media prefrontal cortex disebut regulasi melalui “jalur atas” sementara bila menggunakan napas dan gerakan tubuh adalah regulasi melalui “jalur bawah”.

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online8
Hari ini1.215
Sepanjang masa34.519.379
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique