Mengatasi Hambatan dalam Proses Induksi Hipnosis

Hipnoterapi, sesuai namanya, terdiri dari dua komponen, hipnosis dan terapi. Dengan demikian, definisi hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Sebelum melakukan hipnoterapi, terapis perlu menuntun klien masuk kondisi hipnosis, mencapai kedalaman tertentu sesuai kebutuhan dan teknik intervensi yang digunakan, melalui proses yang dinamakan induksi.

Dengan demikian, sangatlah penting bagi hipnoterapis untuk mampu secara sadar dan cermat mengenali kondisi hipnosis yang dialami klien. Hal ini sejalan dengan Fromm (1987) yang menyatakan bahwa identifikasi kondisi hipnosis fundamental bagi praktik klinis dan juga untuk penelitian mengenai sifat-sifat hipnosis.

Menjadi hipnoterapis melibatkan integrasi kreatif kompetensi psikologis terapis dan kemampuan membangun dan mempertahankan relasi dengan setiap klien, setelah membangun motivasi, kerjasama, dan komitmen (Gilligan, 1987; Kane dan Olness, 2004), dan menemukan kombinasi yang tepat untuk membuka hati dan pikiran klien melalui konteks komunikasi efektif (Zeig, 2006).

Hipnoterapi sejatinya adalah upaya bersama, klien dan terapis, dalam menyiapkan pikiran bawah sadar menjalani dan menghasilkan perubahan terapeutik bagi klien. Dengan pemahaman ini, hipnoterapi butuh keseimbangan dan perlu dibangun atas dasar rasa saling percaya dan persetujuan secara sadar antara klien dan terapis. Hal ini medakan hipnoterapi dengan hipnosis yang dipraktikkan atau digunakan untuk pertunjukan hiburan (Hassan, 2012), atau oleh interogator CIA (Central Intelligence Agency) (Ross, 2007).

Proses induksi tidak selamanya berlangsung mulus atau mudah. Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya hambatan terdapat pada terapis dan klien. Hipnoterapis yang bersikap sangat kaku, otoriter, bersifat memaksa, atau tidak peka akan kondisi dan kebutuhan klien pasti akan mengalami masalah selama induksi (Fromm, 1980; Lazar dan Dempster, 1984; Yapko, 2013). Bila klien merasa dihargai, diundang untuk berpartisipasi aktif dalam proses permisif, kolaboratif, dan didasari penghormatan pada tujuan yang hendak ia capai, maka kecil kemungkinan muncul kendala dalam proses induksi (Fromm, 1980). Saat hipnoterapis bersikat lentur, penuh perhatian, tulus, terbuka, dan fokus pada kebaikan klien maka sangat tinggi peluang keberhasilan induksi dan terapi (Gunawan, 2010).

Sebelum membahas tentang faktor-faktor yang menyebabkan kendala dalam proses induksi, ada baiknya dibahas terlebih dahulu tentang hipnosis dan fenomenanya.

Hipnosis Sebagai Fenomena Alamiah

Trance atau kondisi hipnosis adalah fenomena alamiah dan sekaligus kondisi kesadaran khusus pada garis kontinum. Sebagai fenomena alamiah, trance dialami oleh setiap individu. Sebagai kondisi kesadaran khusus, trance adalah kondisi kesadaran dengan rentang lepas dari kondisi sadar normal hingga kondisi hipnosis sangat dalam. Setiap individu, dengan demikian, memiliki kemampuan alamiah untuk masuk dan keluar kondisi hipnosis. Berdasar pemahaman ini, saat melakukan induksi, yang sesungguhnya terjadi adalah terapis hanya membimbing klien mengakses dan menggunakan kemampuan alamiah yang telah dimiliki klien dan selanjutnya klien masuk kondisi hipnosis sendiri, bukan karena terapis melakukan sesuatu padanya (Gunawan, 2014).

Walau trance adalah fenomena alamiah, untuk bisa menuntun klien masuk kondisi hipnosis, terapis perlu memahami motivasi klien dan latar induksi dilakukan. Dalam latar klinis, tujuan utama klien adalah untuk mengatasi masalah, meningkatkan kualitas hidup, mengubah perilaku, sikap, atau pikiran disfungsional. Dalam latar laboratorium, motivasi subjek adalah karena rasa ingin tahu, ingin mengalami hal baru, berkontribusi pada riset atau belajar. Sementara di latar demonstrasi, motivasi subjek biasanya adalah belajar sambil melakukan atau praktik, bukan dari mengamati atau mendengar (Kane dan Olness, 2004). Dan di latar pertunjukan hiburan, tujuan subjek biasanya adalah untuk mendapat perhatian dari audiens dan mencoba sesuatu yang baru dan menantang (Gunawan, 2014).

Hipnosis Sebagai Fenomena Intrapersonal

Sebagai fenomena intrapersonal, trance dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, pemahaman individu akan kondisi hipnosis, termasuk kepercayaan tentang hipnosis, yang selanjutnya memengaruhi persepsi. Persepsi ini yang diterima klien sebagai realita dan kebenaran. Menurut Bandler dan Grinder (9175), kita tidak dapat memahami dunia luar diri apa adanya sehingga kita mencipta representasi internal, sebuah peta berdasar proses seleksi, generalisasi, dan distorsi. Namun seringkali kita lupa bahwa peta ini bukan teritori (Korzybski, 1958), sehingga kita menipu diri sendiri dengan menyatakan peta internal ini adalah realita eksternal dan memperlakukan kepercayaan ini sebagai fakta (Bateson, 1972).

Kedua, trance juga dipengaruhi oleh interpretasi individu terhadap kondisi kesadaran dan pengalaman yang ia alami. Seseorang bisa saja telah masuk kondisi hipnosis namun ia memberi makna beda dan bersikeras bahwa ia belum berhasil masuk. Ada juga yang mengatakan bahwa dirinya sangat mudah masuk trance atau sebaliknya, sangat sulit atau tidak mungkin bisa dihipnosis. Interpretasi ini tentunya dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya.

Ketiga, trance sangat dipengaruhi pengharapan atau ekspektasi. Saat individu berharap atau tidak berharap bisa masuk kondisi hipnosis maka pengharapan ini, melalui mekanisme bawah sadar, akan mewujud menjadi realita. Mekanisme ini disebut “self-fulfilling prophecy” (ramalan swawujud) dan pertama kali diungkap oleh sosiolog Robert K. Merton. Self-fulfilling prophecy menyatakan bahwa suatu keyakinan, benar atau salah, akan mendorong perilaku tertentu yang mengakibatkan keyakinan ini terwujud menjadi realita atau terbukti benar (Merton, 1948).

Hipnosis Sebagai Fenomena Interpersonal

Trance juga adalah fenomena interpersonal karena merupakan akibat dari relasi antara hipnoterapis dan klien (Watkins, 1999), dengan keterlibatan empatik satu dengan lainnya (Yapko, 2011). Relasi ini perlu dibangun atas dasar saling percaya, kerjasama, saling menghargai (Gunawan, 2012). Membangun dan menjaga kerjasama terapeutik sangat penting dalam setiap upaya psikoterapi dan wajib dalam hipnosis dan hipnoterapi. Tanpa rasa saling percaya dan kerjasama, sangat sulit untuk bisa mencipta suasana yang mampu memfasilitasi terjadinya dan pemanfaatan trance (Gilligan, 1987).

Takut

Para pakar sepakat bahwa salah satu penyebab utama munculnya hambatan dalam induksi adalah perasaan takut (Frauman, Lynn, dan Brentar, 1993; Weizenhoffer, 1989; Yapko, 2013). Rasa takut ini bisa terjadi hanya pada diri klien, pada terapis, atau keduanya. Rasa takut pada diri terapis terjadi karena ia tidak menguasai dengan baik dan benar teknik induksi yang digunakan, merasa tidak cakap, atau tidak percaya diri karena pengetahuan yang minim akibat pelatihan yang tidak memadai (Gunawan, 2014).

Perasaan takut dalam diri klien bisa muncul karena banyak hal. Di masa awal saya praktik sebagai hipnoterapis klinis, awal tahun 2005, perasaan takut klien didominasi oleh pandangan salah bahwa hipnoterapi melibatkan kuasa gelap, mantra, atau makhuk halus. Seiring waktu berjalan, dengan semakin maraknya publikasi dan edukasi tentang hipnosis dan hipnoterapi yang ilmiah, kini sudah sangat jarang dijumpai klien yang merasa takut karena hal di atas.

Dari interaksi dengan para klien selama ini, secara umum, dapat disimpulkan bahwa perasaan takut yang dialami klien antara lain berupa takut hilang kesadaran, mengungkap hal-hal yang menjadi rahasia pribadi, takut kehilangan kendali atas pikiran dan diri, takut dengan kondisi hipnosis karena seperti memasuki dunia atau dimensi lain, takut gagal atau tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis, takut tersangkut dan tidak bisa keluar dari kondisi hipnosis, takut hilang ingatan setelah menjalani terapi (Gunawan, 2014).

Mengatasi Takut

Sangat penting bagi terapis untuk mengatasi rasa takutnya dalam melakukan induksi. Bila rasa takut ini disebabkan karena pengetahuan yang minim, kurang berlatih, tidak yakin dengan teknik induksi yang digunakan, terapis bisa mengatasinya dengan belajar, menambah pengetahuan, dan rajin berlatih. Ketakutan lain yang dialami terapis adalah takut melakukan kesalahan. Untuk yang satu ini, terapis tidak perlu terlalu khawatir bila melakukan kesalahan kecil. Klien sebenarnya tidak tahu apakah teknik yang digunakan sudah benar atau tidak, atau terapis melakukan kesalahan atau tidak. Selama klien tahu terapis sungguh-sungguh fokus, tulus, dan memerhatikan kesejahteraan klien, mereka biasanya bisa memaklumi kesalahan kecil yang terjadi. 

Untuk mengatasi rasa takut dalam diri klien, sebelum dilakukan induksi terapis perlu menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan proses, kondisi hipnosis, bagaimana rasanya berada dalam kondisi hipnosis, bahwa klien tetap sadar sepenuhnya, bisa mendengar suara, klien tetap memegang kendali penuh atas pikiran dan dirinya, klien bisa buka mata kapanpun ia inginkan. Terapis juga bisa menceritakan pengalaman klien sebelumnya, tentunya yang dapat masuk ke kondisi hipnosis dengan mudah, dengan tujuan untuk membangun ekspektasi dalam diri klien. Menurut Weitzenhoffer (1989), hipnoterapis berpengalaman tahu benar bahwa saat klien sangat percaya satu metode dapat menghipnosis dirinya maka metode-metode induksi lainnya juga akan sama efektif.

Saat membimbing klien, dalam proses induksi, terapis perlu memberi sugesti pada klien secara bertahap. Saat satu sugesti diterima dan dijalankan oleh klien, ini membuka peluang dan memperkuat peluang sugesti berikutnya dijalankan. Kata-kata yang digunakan juga perlu sesederhana dan sejelas mungkin, tanpa klien perlu menafsirkan maknanya.

Sugesti Pascahipnotik dan Secondary Gain

Resistensi juga bisa terjadi akibat sugesti salah yang diberikan oleh hipnoterapis sebelumnya. Seorang rekan sejawat hipnoterapis pernah membantu klien yang tidak bisa masuk kondisi hipnosis. Setiap kali klien ini mendengar kata “rileks”, “nyaman”, “tenang”, tubuhnya menjadi tidak enak, merasa sakit, dan menjadi sulit fokus. Rekan sejawat ini sangat berpengalaman dalam melakukan terapi. Ia melakukan modifikasi teknik induksi tanpa menggunakan kalimat panjang, menghindari penggunaan kata-kata yang bisa memicu perasaan tidak enak dalam diri klien, dan fokus pada induksi berbasis pendekatan somato-psikis. Dengan cara ini ia berhasil menuntun klien masuk kondisi hipnosis dalam dan melakukan hipnosis forensik untuk mencari tahu apa yang telah dilakukan terapis sebelumnya.

Melalui penggalian data di pikiran bawah sadar klien akhirnya diketahui bahwa klien, sebelumnya, telah datang ke seorang hipnoterapis untuk minta bantuan meningkatkan kinerjanya. Klien merasa kurang motivasi untuk membangun bisnis lebih besar karena telah puas dengan apa yang ia capai. Oleh terapisnya, klien diberi sugesti, “Saat anda merasa puas, senang, tenang, atau nyaman maka tubuh anda menjadi sakit. Semakin anda merasa nyaman, puas, tenang, atau nyaman semakin tubuh anda menjadi sakit atau tidak enak.” Selanjutnya, rekan sejawat saya melakukan terapi untuk menetralisir sugesti salah yang diberikan terapis sebelumnya.

Resistensi klien untuk masuk kondisi hipnosis bisa juga diakibatkan oleh sugesti yang berfungsi sebagai segel hipnosis (hypnotic seal). Resistensi ini terjadi karena pikiran bawah sadar secara aktif menolak atau melawan upaya induksi mengikuti sugesti yang diberikan oleh terapis sebelumnya (Gunawan, 2010).

Ada juga klien yang datang ke terapis dengan tujuan gagal diterapi. Klien ini tidak sungguh-sungguh bermaksud mengatasi masalahnya. Yang ia tuju adalah kebanggaan karena telah menjumpai banyak hipnoterapis dan tidak ada satupun yang berhasil menghipnosis dirinya. Selanjutnya klien ini dengan bangga menceritakan pengalamannya kepada orang lain untuk mendapat perhatian. Kondisi ini disebut secondary gain.

Ambivalensi

Ambivalensi didefinisikan sebagai ketidaksesuaian antara niat sadar dan perilaku nirsadar yang berakibat pada tindakan-tindakan kontradiktif dalam diri. Contohnya, ada klien datang ke terapis dan secara sadar ingin dibantu mengatasi masalahnya dengan hipnoterapi. Namun ia mendominasi pembicaraan sehingga terapis tidak punya cukup kesempatan untuk melakukan yang ia minta. Ada juga klien yang ingin dibantu dengan hipnoterapi namun kekeh menyatakan ia tidak bisa dihipnosis (Erickson, Rossi, dan Rossi, 1976).

Ambivalensi menunjukkan keberadaan konflik internal pada klien. Ada satu bagian dalam diri klien yang ingin dibantu dan ada bagian lain yang menolak. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk mengatasi hal ini. Erickson menggunakan empat kursi di ruang praktiknya. Ia menghipnosis klien di kursi pertama, kedua, ketiga dan semuanya gagal. Kegagalan ini memberi kepuasan pada bagian diri yang yakin dirinya tidak bisa dihipnosis. Dan pada kursi ke empat, bagian diri yang ingin dibantu mendapat kesempatan untuk aktif dan klien akhirnya bisa masuk kondisi hipnosis dengan mudah.

Pendekatan kedua, ini yang biasa kami, para hipnoterapis AWGI, lakukan adalah mengaktifkan dan berbicara langsung dengan bagian diri yang merasa yakin dirinya tidak bisa dihipnosis. Kami melakukan edukasi, negosiasi, dan bila perlu terapi pada bagian diri ini sehingga ia bisa mengijinkan atau melepas keyakinan tidak bisa dihipnosis. Baru setelahnya terapis sesungguhnya dilakukan. 



Dipublikasikan di https://www.adiwgunawan.com/articles/mengatasi-hambatan-dalam-proses-induksi-hipnosis pada tanggal 17 Juli 2017 23:52