Saya Tidak Bisa Dihipnosis, Kata Siapa?

19 September 2017 18:52

“Pak Adi, saya ini sudah ke tujuh hipnoterapis. Tidak ada satupun yang bisa hipnotis saya. Semua hipnoterapis bilang saya tipe orang yang tidak bisa dihipnotis,” demikian kalimat pembuka yang diucapkan seorang klien saat duduk di ruang praktik saya, sambil menunjukkan wajah agak frustrasi.

“Pertama, saya mau luruskan penggunaan istilah. Yang benar adalah “dihipnosis”, bukan “dihipnotis”. Hipnosis adalah ilmu, sedangkan hipnotis adalah orang yang melakukan hipnosis. Hipnoterapis adalah orang yang melakukan terapi dengan bantuan atau dalam kondisi hipnosis,” jelas saya pada klien.

Cukup sering saya jumpa klien yang telah “shopping” ke beberapa terapis dan dikatakan tidak bisa dihipnosis. Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan rekan sejawat, hipnoterapis AWGI, mereka juga kerap jumpa klien yang oleh hipnoterapis lain dinyatakan tidak bisa dihipnosis. Apakah benar ada orang tidak bisa dihipnosis?

Untuk mengenali individu yang bisa mendapat manfaat maksimal dari hipnosis, dan untuk menyelidiki karakteristik kondisi hipnosis, selama lebih dari lima puluh tahun, para pakar dan peneliti telah mengembangkan sejumlah skala untuk mengukur dan menentukan responsiveness atau kesigapan (kecepatan dalam merespon) hipnotik. Namun, manfaat skala-skala ini, dalam konteks klinis, masih terus menjadi perdebatan hingga saat ini, khususnya aplikasi klinis dari hipnosis (hipnoterapi).

Pengukuran kesigapan hipnotik yang dinyatakan dalam skala-skala ini, dibuat terutama berdasar pada sejumlah perilaku konsisten yang muncul dalam kondisi hipnosis, seperti katalepsi, mata tertutup, amnesia, dan respon pascahipnosis. Tes yang diberikan pada individu juga terus mengalami revisi oleh pencipta skala ini, dan tes-tes ini masih terus dikembangkan. Skala-skala yang paling umum digunakan para peneliti dan klinisi, secara singkat, adalah sebagai berikut:

Stanford Hypnotic Susceptibility Scale (SHSS), Forms A, B, and C (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1959, 1962). Formulir A telah menjadi standar bagi skala-skala respon hipnotik lainnya. Formulir A dan B, berisi 12 tes, terutama menguji respon fungsi motorik. Formulir C mencakup lebih banyak tes guna mengukur fantasi dan distorsi kognisi.

Harvard Group Scale of Hypnotic Susceptibility, Form A (Shor dan Orne, 1962). Skala ini adalah adaptasi dari SHSS, Formulir A, dan digunakan untuk group.

Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility (SPS), Forms I and II (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1963). Penggunaan skala ini butuh waktu lebih lama daripada SHS, namun skala-skala ini lebih baik dalam mengenali individu dengan suseptibilitas tinggi. SPS juga menyediakan informasi diagnostik lebih banyak bagi peneliti yang ingin memilih individu dengan suseptibilitas moderat hingga tinggi dengan talenta hipnotik spesifik.

Stanford Hypnotic Clinical Scales for Adults (Hilgard dan Hilgard, 1975) dan Stanford Hypnotic Clinical Scale for Children (Morgan dan Hilgard, 1979). Skala-skala ini telah distandarisasi mengikuti SHSS dan dipersingkat untuk penggunaan klinis. Skala dewasa berisi lima item dan butuh waktu dua puluh menit pelaksanaan. Skala anak digunakan untuk anak usia enam hingga enam belas tahun.

Children’s Hypnotic Susceptibility Scale (London, 1963). Skala ini mengukur respon anak terhadap sugesti hipnotik. Ada juga formulir, untuk anak usia 5 – 12 tahun, dan 13-16 tahun. Skala ini terdiri atas 22 item dan butuh waktu sekitar satu jam untuk pelaksanaannya.

Barber Suggestibility Scale (Barber dan Glass, 1962). Skala ini digunakan, terutama, untuk tujuan eksperimen, meliputi delapan uji sugesti terstandarisasi dan butuh 10-12 menit pelaksanaan.

Creative Imagination Scale (Wilson dan Barber, 1978). Skala ini dirancang untuk memehuni kebutuhan akan uji sugesti permisif terstandarisasi untuk keperluan eksperimen dan klinis. Ia dapat diberikan kepada perorangan atau kelompok, dengan atau tanpa didahului induksi hipnotik, dan butuh waktu pelaksanaan sekitar 23 menit.

Hypnotic Induction Profile (HI) (Spiegel, 1973). HIP adalah skala pertama yang dirancang secara khusus untuk tujuan klinis. Ia berfungsi baik sebagai induksi maupun uji sugestibilitas yang dapat dilaksanakan hanya dalam waktu 5-10 menit.

Alman-Wexler Indirect Hypnotic Susceptibility Scale (Wexler, 1982). Tes ini berdasar pada Harvard Group Scale, namun tidak seperti skala-skala Harvard yang menggunakan bahasa langsung (direct), skala Alman-Wexler menggunakan bahasa tidak langsung (indirect).

Beberapa peneliti berusaha mencari korelasi antara kesigapan hipnotik dan variabel usia, jenis kelamin, dan kepribadian. Ternyata, tidak terdapat perbedaan signifikan antara pria dan wanita dalam hal kesigapan hipnotik (Weitzenhoffer dan Weitzenhoffer, 1958). London dan Cooper (1969) menemukan anak-anak lebih responsif dibandingkan orang dewasa. Sementara studi yang dilakukan Hilgard dan Morgan (1973) pada 1.232 subjek menemukan kesigapan hipnotik mencapai puncak pada usia antara 9 – 12 tahun dan menurun secara gradual setelahnya. Studi yang dilakukan di laboratorum menunjukkan korelasi positif antara kesigapan hipnotik dan kemampuan menghilangkan persepsi sakit melalui hipnosis (Evans dan Paul, 1970; Hilgard dan Hilgard, 1975). Peneliti lain menemukan korelasi positif antara kesigapan hipnotik dan keberhasilan terapi (Frankel, dkk., 1979; Mott, 1979).

Skala suseptibilitas hipnotik, dengan demikian, dipandang sebagai prediktor keberhasilan dalam seting klinis. Namun, banyak klinisi mempertanyakan asumsi ini. Salah satu poin penting yang masih menjadi perdebatan yaitu konsep hipnotisabilitas, mudah atau sulit seseorang masuk kondisi hipnosis, adalah sifat bawaan sejak lahir, bervariasi antara satu orang dengan yang lain, namun sifatnya konstan dalam diri seseorang (Morgan, Johnson, dan Hilgard, 1974). Implikasi serius dari konsep ini yaitu bila klien “tidak bisa dihipnosis” maka dengan sendirinya hipnosis tidak boleh digunakan untuk menerapi klien ini.

Walaupun benar bahwa individu dengan skor tinggi pada skala terstandarisasi adalah kandidat baik untuk penanganan menggunakan hipnosis, orang-orang yang mendapat skor rendah tidak seharusnya diabaikan. Beberapa pakar memandang hipnosis sebagai keterampilan (skill), bukan sifat bawaan (trait). Dari penelitian diketahui bahwa banyak metode bisa diterapkan untuk memodifikasi keterampilan ini, seperti meniru, instruksi, dan berlatih (Kinney dan Sachs, 1974; Diamond, 1977; Reilley, Perisher, Corona, dan Dobrovolsky, 1980). Gardner dan Olness (1981, p.25) menyatakan bahwa kemampuan seseorang mengalami hipnosis kini lebih tepat disebut sebagai “kemampuan merespon”, bukan “suseptibilitas”. Ini berimplikasi pada pemahaman bahwa sejatinya untuk mengalami kondisi hipnosis, kendali sepenuhnya ada dalam diri klien, bukan terapis. Bila kemampuan merespon dapat ditingkatkan, dan dari pengalaman kami, hipnoterapis AWGI, sangat bisa dan mudah dilakukan, maka tidak ada klien yang boleh disebut sebagai “tidak bisa dihipnosis” karena semua orang sebenarnya bisa masuk kondisi hipnosis, asalkan ia menginginkan dan mengijinkan.

Dalam seting eksperimen, penggunaan pengukuran respon hipnotik terstandar memberi informasi berharga perihal karakteristik hipnosis dan mengidentifikasi subjek yang paling responsif. Namun, satu hal yang sangat perlu diperhatikan, skor rendah pada skala hipnotisalibiltas tidak serta merta berarti hipnosis tidak efektif sebagai modalitas terapi.

Respon hipnotik juga sangat dipengaruhi oleh motivasi. Perry, Gelfand, dan Marcovith (1979) menemukan motivasi pasien adalah faktor paling penting yang menentukan keberhasilan intervensi menggunakan hipnosis untuk mengurangi kebiasaan merokok. Faktor motivasi klien untuk sembuh dari suatu masalah, situasi, atau kondisi yang mengganggu hidupnya tidak bisa muncul dengan kuat dalam eksperimen yang dilakukan di laboratorium universitas yang menggunakan mahasiswa sebagai subjek penelitian. Sudah tentu ini sangat memengaruhi skor yang dicapai saat menjalani tes terstandarisasi. Dan seperti yang dinyatakan oleh Crasilneck dan Hall (1975), “The only final reliable test of hypnotizability is a clinical attempt at induction, repeated several times (Satu-satunya tes akhir hipnotisabilitas yang dapat diandalkan adalah upaya induksi klinis yang dilakukan beberapa kali.)”

Tapi, mengapa hingga kini masih ada hipnoterapis suka melabel klien mereka “tidak bisa dihipnosis”?

Ada beberapa kemungkinan penyebab klien “tidak bisa dihipnosis”. Pertama, bila terapis berpegang pada hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium, seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa individu terbagi menjadi mudah, moderat, sulit, sangat sulit atau tidak bisa dihipnosis, maka pemahaman ini dengan sendirinya mewujud dalam praktik yang ia lakukan. Saat ia mengalami kendala menuntun kliennya masuk kondisi hipnosis, alih-alih mencari tahu mengapa ini terjadi atau menyesuaikan teknik induksi mengikuti karakter klien, terapis dengan cepat menyimpulkan bahwa kliennya masuk kategori tidak bisa dihipnosis. Dengan demikian, upaya induksi tidak perlu dilanjutkan. Kedua, terapis tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk melakukan hipnosis. Ini berkaitan erat dengan pendidikan hipnoterapi yang pernah ia jalani, dan akumulasi pengalaman yang telah ia kumpulkan melalui praktik hipnoterapi berkelanjutan. Ketiga, teknik induksi yang terapis gunakan tidak tepat. Keempat, dan ini adalah alasan paling utama klien tidak bisa masuk kondisi hipnosis, adalah klien tidak percaya, tidak nyaman dengan terapis, dan ada rasa takut, baik pada terapis atau pada proses hipnosis/hipnoterapi yang akan ia jalani. 

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online11
Hari ini913
Sepanjang masa34.479.312
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique