Detraumatisasi, Neurosains, dan Hipnoterapi Klinis

Hipnoterapi klinis, salah satu pendekatan dalam psikoterapi, sangat efektif mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan perilaku, mental, dan emosi (Barios, 2009). Hipnoterapi klinis, bila dipraktikkan dengan benar, mengikuti protokol yang sahih, mampu membantu klien mengatasi masalah, dari pengalaman klinis kami,  antara satu hingga maksimal empat sesi terapi.

Terkait keefektifan dan kecepatan hipnoterapi klinis mengatasi masalah hingga tuntas, dengan hasil terapi yang stabil hingga waktu lama, saya sengaja menghindari menggunakan kata permanen, ada tiga pertanyaan penting untuk dijawab. Pertama, “Apa yang membuat seseorang trauma, sementara yang lain mengalami hal sama, sama sekali tidak terpengaruh?” Kedua, “Apa yang terjadi di pikiran klien, khususnya pikiran bawah sadar, saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat dan hasil terapi yang stabil, bertahan untuk waktu lama?” Dan ketiga, “Apa yang sebenarnya terjadi di otak klien saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat?”

Jawaban pertanyaan pertama sudah saya jelaskan di artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dan Memahami Trauma dan Penyembuhannya dari Perspektif Hipnoterapi Klinis dan Neurosains. Pertanyaan kedua juga telah saya jawab dengan jelas dan gamblang dalam banyak artikel yang telah dipublikasikan di AdiWGunawan.com. Jawaban untuk pertanyaan ketiga dijelaskan di artikel ini.

Dalam artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dijelaskan suatu kejadian untuk dapat terekam di otak sebagai memori traumatik butuh lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini memiliki makna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian ini. Kelima, individu merasa tidak berdaya. Bila kelima syarat ini terpenuhi, individu yang mengalami kejadian itu mengalami trauma dengan segala akibat bawaannya.

Apa yang Terjadi di Otak?

Pengalaman traumatik, yang terekam sebagai memori, sejatinya terdiri atas minimal empat komponen. Pertama, emosi atau perasaan. Kedua, komponen kognitif pikiran sadar yaitu konten mental yang kita pikirkan atau perhatikan, kita sadari keberadaan dan maknanya. Ketiga, komponen kognitif pikiran bawah sadar yaitu konten mental yang muncul karena terpicu oleh faktor internal atau eksternal, tidak kita sadari keberadaannya, namun mengakibatkan gejala fisik dan emosi. Keempat, komponen somatosensori yaitu sensasi yang dirasakan di tubuh fisik seperti sakit, tegang, kesemutan, perubahan temperatur kulit, hipersensitif terhadap sentuhan atau cahaya, dan sensasi lainnya. Dari keempat komponen ini, komponen emosi berperan sebagai perekat yang menyatukan komponen-komponen lainnya.

Bila disederhanakan, memori traumatik hanya terdiri atas dua komponen utama, narasi kejadian dan emosi. Setiap kali seseorang mengingat kembali kejadian traumatik, yang terjadi adalah ia secara sadar memilih dan mengaktifkan satu memori spesifik, dari sekian banyak memori di pikiran bawah sadar, dan “menaikkan” data ini ke memori kerja pikiran sadarnya. Pada memori traumatik ini lekat pula emosi intens yang turut aktif saat memori diaktifkan. Emosi ini selanjutnya memengaruhi tubuh melalui jalur somatosensori. 

Para peneliti awal trauma seperti Janet dan Freud menyatakan bahwa trauma membuat invididu, yang mengalaminya, mengalami fiksasi dan terkunci di masa lalu, dan dalam kasus tertentu menjadi obsesif dengan trauma. Janet mengamati perilaku dan perasaan para kliennya yang meliputi mimpi buruk, reaksi intens dan berlebih terhadap stimuli sederhana, rasa takut berlebih tanpa alasan jelas, dan kesedihan mendalam tanpa tahu apa penyebabnya. Mereka tersandera di masa lalu, tak berdaya untuk lepas dari situasi ini. Memori-memori kejadian ini tidak memudar atau hilang seiring waktu berjalan seperti memori pada umumnya, bahkan setelah puluhan tahun kemudian. Bagi para korban ini, masa lalu selalu hadir di masa sekarang (Van der Kolk, Weisaeth, dan van der Hart, 2007).

Mekanisme suatu kejadian disimpan dalam bentuk memori disebut konsolidasi. Konsolidasi adalah proses menstabilkan jejak memori setelah akuisisi awal. Konsolidasi kejadian bermuatan emosi intens terdiri atas dua tahap. Konsolidasi sinaptik di amigdala dan hipokampus yang terjadi dengan cepat dalam rentang waktu beberapa menit, melibatkan reseptor-reseptor glutamat, norepinefrin, kortisol, dan senyawa kimiawi lain. Selanjutnya, konsolidasi sistem terjadi saat memori ini menjadi independen, berdiri sendiri, lepas dari hipokampus, dalam rentang waktu beberapa minggu hingga bertahun-tahun kemudian. Memori-memori traumatik ini disimpan di korteks otak. Dan saat ini, proses ketiga, rekonsolidasi, sedang menjadi fokus penelitian, yaitu memori yang sebelumnya telah terkonsolidasi dapat dibuat labil lagi, melalui reaktivasi jejak memori. Pada kejadian yang bersifat traumatik, komponen emosi, konten sensori, dan konten kognitif terikat menjadi satu, menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Proses fundamental dalam pembentukan memori bergantung pada neurotransmiter glutamat dan reseptor-reseptornya. Glutamat adalah asam amino eksitator yang dibutuhkan untuk setiap pembelajaran baru dan menghubungkan materi baru dengan yang telah dipelajari sebelumnya (Rainine dan Ressler, 2009). Memori traumatik dapat digambarkan sebagai jalur neuron menghubungkan reseptor-reseptor glutamat yang tercipta saat individu mengalami kejadian traumatik. Saat jalur neuron ini teraktivasi ulang oleh pemicu, individu mengalami kembali kejadian seolah-olah baru terjadi (revivifikasi). Ini dinamakan konsolidasi sinaptik. Aktivasi ulang jalur sinaptik neuron yang dikonsolidasi oleh glutamat, pada saat mengingat kembali kejadian traumatik, membuat jalur ini rentan untuk diputus (Nader, Schafe, dan LeDoux, 2000).

Traumatisasi dari Perspektif Neurosains

Proses trauma berawal dari masuknya informasi, pengalaman atau kejadian yang dialami seseorang, melalui lima indra dan masuk ke otak untuk diproses lebih lanjut menggunakan dua jalur. Jalur pertama, informasi dari mata, telinga, kulit (sentuhan), dan lidah (pengecapan) masuk ke talamus. Talamus berperan sebagai kantor pos, mendistribusi informasi ke bagian otak yang sesuai untuk memrosesnya. Bila informasi yang masuk dipersepsi sebagai ancaman maka, dari talamus, ia langsung dikirim ke amigdala. Bila informasi awal dipersepsi bukan sebagai ancaman, ia akan dikirim ke korteks untuk dianalisis. Namun bila hasil analisis korteks menyatakan bahaya, informasi ini langsung dikirim ke amigdala melalui hipokampus.

Kedua, informasi dari indra penciuman, hidung, tidak melalui talamus, namun langsung dikirim ke accessory basal nucleus (AB) amigdala, bila informasi dipersepsi sebagai ancaman, dan ke korteks untuk dianalisis, bila tidak dipersepsi sebagai ancaman. Namun bila korteks menyatakan ini adalah ancaman, informasi langsung dikirim ke amigdala, melalui hipokampus, untuk ditindaklanjuti. Bau, stimulus yang dibawa oleh angin, digunakan sebagai informasi akan keberadaan predator dan ini butuh respon cepat sehingga tidak melewati talamus.

Amigdala, khususnya bagian kanan, berperan besar dalam mengendalikan respon emosi dan fisiologis, terdiri dari beberapa wilayah yang disebut nuclei. Ada lima nuclei: lateral nucleus (LA), basolateral nucleus (BLA), basomedial nucleus (BM), central nucleus (CE), dan accessory basal nucleus (AB). LA, BLA, dan AB membentuk kesatuan yang disebut basolateral complex atau BLC. BLC adalah tempat di mana informasi berbahaya atau mengancam keselamatan hidup memulai proses aktivasi tindakan dan emosi (Rainine dan Ressler, 2009).

Bagian korteks yang berperan melakukan evaluasi kondisi bahaya dan berpengaruh dalam proses traumatisasi adalah medial prefrontal cortex (mPFC). Ia memiliki hubungan timbal balik dengan amigdala. Saat BLC amigdala pertama kali merasakan emosi takut, ia akan menghambat dan mencegah mPFC agar tidak mematikan respon takut. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan tubuh dan pikiran untuk bersiap lari (flight) atau lawan (fight). Bila setelah dilakukan evaluasi oleh mPFC ternyata ancaman ini tidak benar atau signifikan maka mPFC segera mengirim sinyal inhibisi (hambatan) ke amigdala dan menekan respon takut tersebut. Dalam kondisi ketakutan atau kemarahan ekstrim, atau kondisi stres kronis, sinyal inhibisi yang dikirim oleh mPFC ini menjadi sangat lemah dan tidak lagi dapat memengaruhi amigdala.

BLC amigdala adalah tempat memroses komponen emosi dari memori, namun ia bukan tempat memori. BLC mengaktifkan CE dan wilayah otak lainnya, termasuk hipokampus dan medial prefrontal korteks (mPFC). BLC juga mengirim sinyal ke hipokampus (Strage dan Dolan, 2004), struktur penting di otak untuk proses encoding dan pengambilan kembali komponen kognitif. BLC adalah tempat di mana komponen sensori dan konteks kejadian memulai proses penggabungan/asosiasi.

Respon emosi terhadap ancaman bergantung pada BLC mengaktifkan bagian amigdala lainnya, central nucleus (CE). CE mengaktifkan dan mengkoordinir respon fisik (Tanimoto dkk, 2003) terhadap input sensori yang mengendalikan proses somatik, endokrin, dan autonomik. CE mengirim sinyal ke wilayah yang terlibat dalam fight atau flight, evaluasi bahaya, motivasi bertindak, kewaspadaan, orientasi, freeze (tubuh kaku), memori, dan persepsi sakit (Akmaev, Kalmillina, dan Sharipova, 2004).

Trauma dan Sakit Fisik

Rasa sakit fisik yang terjadi saat kejadian traumatik disimpan di memori otak. Hal ini pertama kali dijelaskan di akhir tahun 1800an oleh Charcot, Janet, Freud, dan Breuer yang meyakini bahwa stimuli dari pikiran bawah sadar dapat menyebabkan sakit di fisik dan simtom somatik lainnya. Mereka percaya bawah rasa sakit terekam bersama trauma psikologis namun terpisah dari kesadaran normal. Dengan demikian, rasa sakit hanya bisa dihilangkan bila pengalaman traumatik “dibawa naik” ke kondisi sadar normal sehingga diketahui dan diproses tuntas.

Sarno (2006) menyatakan simtom fisik muncul sebagai upaya mencegah kemarahan dan berbagai emosi negatif lain yang terekam di pikiran bawah sadar naik ke permukaan dan disadari individu. Ketidakmampuan mengekspresi emosi negatif intens bisa berasal dari rasa takut akan hukuman, perasaan tidak berdaya yang dipelajari, kebutuhan akan kendali, dan kebutuhan untuk terlihat atau tampil sebagai “orang baik”.

Bila dicermati, bagian tubuh yang sering sakit adalah punggung, leher, kepala, dan tungkai atas. Banyak juga yang mengatup rahang dan menggerinda giginya. Ini semua adalah wilayah otot yang digunakan saat marah. Sakit leher, punggung, dan sindroma sendi rahang (temporomandibular) kerap dijumpai dalam praktik klinis.

Saat seseorang mengalami trauma, misalnya tabrakan dengan mobil lain, ia tidak merasakan sakit fisik, walau sebenarnya tubuhnya, misal kepala, mengalami benturan atau luka. Ini adalah pengaruh CE amigdala. Pada CE amigdala terdapat pusat sakit yang disebut nociceptive amigdala. Di sini sinyal sakit yang berasal dari bagian otak lainnya dikelola. Pada saat invididu mengalami flight (lari), fight (lawan), atau marah, terjadi peningkatkan norepinefrin (NE) yang menghambat kerja nociceptive CE sehingga individu tidak bisa merasakan sakit.

Kejadian -> BLC -> NE meningkat -> nociceptive CE -> memengaruhi kesadaran -> sakit tidak dirasakan (tapi terekam di PBS)

Komponen somatik (fisik) dari trauma bisa berupa rasa sakit fisik, perasan terbakar, perubahan suhu tubuh, lemas tidak bertenaga, dan beragam simtom lain yang muncul di fisik.

Setelah kejadian kecelakaan dan individu mengingat atau melihat mobil yang sama atau serupa dengan mobil yang terlibat kecelakaan dengannya dulu, tiba-tiba muncul rasa sakit di kepala. Ini terjadi karena mobil, yang ia lihat atau ingat, menstimulasi BLC –> CE -> Sakit. Mobil tidak berbahaya atau mengancam sehingga batang otak tidak memproduksi norepinefrin dan individu merasa sakit, yang terekam di memorinya.

Traumatisasi dan Detraumatisasi dari Perspektif Neurosains

Merujuk pada uraian di atas maka proses traumatisasi, masuknya informasi ke otak hingga terekam sebagai memori traumatik, berlangsung sebagai berikut:  

Informasi -> talamus -> BLC amigdala -> muncul emosi takut atau marah defensif -> noerepinefrin (NE) dan kortisol di amigdala meningkat   -> Inhibisi mPFC -> informasi masuk ke amigdala -> lima syarat trauma terpenuhi -> reseptor glutamat di BLC amigdala terpotensiasi -> BLC mengikat komponen-komponen kejadian -> memori traumatik tercipta dan terekam di otak.

Potensiasi adalah meningkatnya jumlah dan kekuatan respon pascasinaptik yang diakibatkan oleh glutamat. Sinapsis, titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain, yang berhubungan dengan memori traumatik, yang ditemukan di BLC memiliki jumlah reseptor glutamat lebih banyak dari kondisi normal. Terapi paparan membuka reseptor-reseptor glutamat ini dan membuat jejak memori menjadi labil dan mudah dinetralisir (Rasolkhani-Kalhorn dan Harper, 2006).

Memori traumatik diaktifkan kembali oleh reseptor gulatamat overpotensiasi, alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolproprioninc (AMPA) (Harper dkk, 2009). Depotensiasi terjadi melalui reseptor-reseptor glutamat ini, bisa menggunakan beragam teknik salah satunya hipnoterapi klinis, menghilangkan reseptor aktif AMPA, mencegah neuron menumbuhkembangkan memori traumatik dan komponen-komponennya (Ronald, 2014)

Mengacu pada model di atas, untuk dapat menetralisir atau menyembuhkan memori traumatik, langkah pertama adalah mengaktifkan kembali memori ini, secara sadar atau sengaja, dengan cara mengingat kembali kejadiannya. Konten memori yang telah aktif ini akan masuk ke memori kerja dan selanjutnya mengaktifkan BLC amigdala. Aktivasi ini berhubungan dengan pelepasan glutamat di jalur khusus neuron BLC saat kejadian traumatik terekam (encoding) di memori otak. Proses penyembuhan trauma adalah dengan decoding, yaitu membalik proses encoding sehingga mencegah BLC mengirim sinyal ke CE, yang akan mengaktifkan locus coeruleus, di batang otak, menghasilkan norepinefrin untuk menyiapkan pikiran menghadapi kondisi genting, dan wilayah otak lain di mana komponen memori lainnya tersimpan.

Mengaktifkan memori adalah satu hal. Langkah selanjutnya, yang menjadi kunci penyembuhan trauma adalah menetralisir emosi pada kejadian paling awal. Tanpa menghilangkan emosi, yang adalah salah satu komponen penting trauma, klien akan kambuh dan simtom muncul kembali bisa dalam bentuk yang sama atau lain (Sarno, 2006).

Simtom trauma sejatinya tidak disebabkan oleh kejadian pemicu. Simtom bersumber dari residu energi yang terperangkap dalam sistem saraf dan sangat menganggu keseimbangan serta kesejahteraan tubuh dan pikiran. Residu ini terjadi karena individu tidak dapat menyelesaikan proses melewati atau keluar dari kondisi tak berdaya saat mengalami kejadian (Levine, 1997).

Dari dua pendapat di atas, Sarno (2006) dan Levine (1997), jelas sekali bahwa dalam proses detraumatisasi sangat penting menetralisir emosi yang lekat pada memori. Dan memori yang perlu diaktifkan, agar proses detraumatisasi dapat tuntas dilakukan, adalah memori paling awal (Ronald, 2014).

Proses detraumatisasi dengan hipnoterapsi klinis dari perspektif neurosains:

Aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik -> memori kerja -> hipokampus -> aktivasi reseptor BLC glutamat di amigdala -> restrukturisasi kejadian dengan hipnoterapsi klinis -> serotonin meningkat -> GABA meningkat -> depotensiasi reseptor glutamat di BLC -> keluaran amigdala menurun -> komponen emosi pada kejadian dinetralisir -> Trauma sembuh.

Kadar serotonin, sebagai neuromodulator, berkaitan erat dengan ketahanan seseorang terhadap trauma. Bila kadar serotonin meningkat, daya tahan terhadap trauma juga meningkat. Demikian pula sebaliknya. Bila kadarnya rendah, seseorang menjadi rentan terhadap trauma. Sementara GABA (gamma-aminobutyric acid) adalah asam amino inhibitor (penghambat) neuron lain dan bekerja berlawanan dengan glutamat.

Proses Hipnoterapi Klinis

Dari uraian di atas tampak bahwa proses hipnoterapi klinis memengaruhi dan mengakibatkan terjadinya depotensiasi reseptor glutamat di BLC. Tapi, bagaimana caranya?

Dalam hipnoterapi klinis, terapis membimbing klien untuk melakukan aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik dengan meminta klien mengingat dan merasakan kembali kejadian beserta emosinya. Informasi ini masuk ke memori kerja untuk diproses. Selanjutnya terapis menuntun klien menemukan awal mula kejadian pertama yang menjadi akar masalah klien, menggunakan teknik yang sesuai. Kejadian paling awal disebut initial sensitizing event (ISE). Di ISE akan dilakukan pengurasan emosi, bila terdapat emosi intens, hingga benar-benar tuntas, dan dilanjutkan dengan restrukturisasi kejadian dengan teknik partial atau complete rewriting history (Gunawan, 2017).

Bila rangkaian kejadian mengikuti alur normal maka saat klien mengalami revivifikasi, lima komponen trauma kembali muncul: kejadian, makna, kondisi senyawa kimiawi otak, perasaan terperangkap, dan perasaan tidak berdaya. Dalam proses hipnoterapi klinis dilakukan intervensi pada kelima komponen ini.

Klien mengalami kejadian yang sama namun dengan beberapa perubahan pada komponen atau alur cerita. Klien dituntun untuk memberi makna baru pada kejadian yang ia alami. Senyawa kimiawi otak tentu juga berbeda karena klien menjalani proses hipnoterapi dalam kondisi hipnosis dalam. Klien juga disiapkan untuk mengalami kejadian, dengan teknik tertentu skenario diatur sedemikian rupa sehingga ia tahu di depan apa yang akan terjadi, dan ini membuat klien tidak merasa terperangkap dalam situasi itu. Dan yang terutama, dalam diri klien tidak muncul perasaan tidak berdaya karena ego strength-nya telah mengalami penguatan.

Bila trauma telah berhasil diatasi, klien menjadi tenang, rileks, dan saat diminta mengingat kembali kejadiannya, bisa terjadi salah satu dari lima kemungkinan berikut:

1.     Klien bisa mengingat kejadian dengan jelas namun perasaannya datar, tidak lagi merasakan emosi negatif yang sebelumnya sangat mengganggu dirinya.

2.     Klien sulit atau tidak bisa mengingat kejadian.

3.     Klien bisa mengingat namun kejadiannya kabur dan tidak lengkap, muncul hanya sepotong-sepotong.

4.     Klien bisa mengingat kembali namun ia melihat kejadian itu dari kejauhan, sebagai pengamat atau disosiatif.

5.     Klien bisa mengingat kejadian. Namun peristiwa inti yang sebelumnya menyebabkan trauma menjadi kabur atau tidak ada, yang ada hanyalah detil peristiwa atau situasi yang berada di sekitar peristiwa inti. 



Dipublikasikan di https://www.adiwgunawan.com/articles/traumatisasi-neurosains-dan-hipnoterapi-klinis pada tanggal 3 Januari 2018 18:59