Hipnoterapi Klinis, Solusi Alternatif Menangani Perilaku Predator Seksual

Setelah marak kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak, dalam rangka memberi perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat, pemerintah bertindak cepat dan sigap memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perppu ini mengatur hukuman bagi predator seksual/pedofil berupa kebiri kimiawi, paling lama dua tahun, dan pemasangan alat deteksi elektronik yang ditanamkan ke tubuh pelaku setelah keluar dari penjara, guna mendeteksi pergerakannya di masyarakat.

Terdapat dua jenis kebiri atau kastrasi, fisik dan kimiawi. Kebiri fisik dilakukan dengan pembedahan/mengamputasi testis pelaku pedofilia dengan tujuan membuat pelaku kejahatan ini mengalami kekurangan hormon testoteron yang memengaruhi dorongan seksualnya. Negara yang menerapkan kebiri fisik adalah republik Ceko dan Jerman.

Berbeda dengan kebiri fisik, kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memasukkan zat kimiawi antitestoteron ke dalam tubuh pelaku, baik melalui pil atau suntikan dengan tujuan memengaruhi produksi hormon testoteron sehingga menghilangkan dorongan atau hasrat seksual dan kemampuan ereksi.

Walau efek kebiri kimiawi sama dengan kebiri fisik namun sifatnya temporer dan hanya efektif selama pelaku tetap diberi antitestoteron secara rutin. Bila pemberian antitestoteron dihentikan, hasrat dan kemampuan seksualnya pulih kembali.

Terlepas dari pro dan kontra pemberlakukan hukuman kebiri kimiawi, terdapat dua pertanyaan penting untuk dijawab, pertama, apakah ini efektif untuk mengatasi perilaku predator seksual, mengingat setelah masa dua tahun hukuman mereka tidak lagi mendapat suntikan antitestoteron dan kemampuan seksual mereka pulih kembali, kedua, apakah bentuk hukuman ini mampu membuat jera para predator seksual?

IDI (Ikatan Dokter Indonesia) telah mengeluarkan pernyataan resmi menolak menjadi pelaksana kebiri kimiawi karena tidak sesuai dengan kode etik kedokteran.

Pedofil

The American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V) mendefinisikan pedofil sebagai individu yang selama lebih dari periode enam bulan mengalami fantasi seksual, dorongan seksual intens, atau perilaku yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak atau anak-anak prapuber (umumnya berusia 13 tahun atau lebih muda), individu berusia minimal 16 tahun dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari anak atau anak-anak yang menjadi korbannya.

Terdapat dua jenis pedofil yaitu eksklusif dan noneksklusif. Pedofil eksklusif hanya tertarik pada anak-anak. Sementara pedofil noneksklusif tertarik baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Sebagian besar pedofil pria adalah homoseks atau biseks, yang tertarik baik pada anak laki dan perempuan (Schiffer, 2008). Umumnya masyarakat berasumsi bahwa pedofil selalu pria. Namun dari hasil studi juga ditemukan wanita pedofil (Chow, 2002)

Pedofilia bisa disebabkan baik oleh faktor biologis maupun psikologis, sebagai dampak lingkungan dan proses tumbuh kembang. Studi kasus mengindikasikan disfungsi otak dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam membentuk pedofil, termasuk dalam hal ini masalah kendali diri, dorongan-dorongan ekstrim, dan distorsi kognisi (Scott, 1984).

Terdapat bukti kuat yang mengindikasikan abnormalitas pada struktur otak pedofil. Abnormalitas ini terjadi karena pada saat masa perkembangan otak di usia muda, anak mengalami pengalaman traumatik tertentu seperti pelecehan seksual. Abnormalitas pada otak pedofil ini mengakibatkan ia tidak mampu menilai dengan baik dan benar, kompulsif, dan pikiran repetitif (Schiffer, 2008).

Hasil pemindaian menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) dan positron emission tomography scans (PET) mengungkap abnormalitas di wilayah otak bagian depan dan tengah.

Banyak pakar meyakini bahwa pedofil terbentuk akibat pengalaman traumatik di masa kecil, khususnya pelecehan seksual (DiChristina, 2009). Pedofil yang dulunya saat sebagai anak kecil mengalami pelecehan seksual tidak dapat mengendalikan situasi yang ia alami. Saat dewasa mereka secara seksual menganiaya anak-anak kecil dengan tujuan mengalami kembali pengalaman traumatik ini dan belajar untuk mengendalikannya. Namun kali ini situasinya berbeda. Dulu saat sebagai korban mereka dalam posisi tidak berdaya. Sekarang mereka yang memegang kendali.

Kebanyakan pedofil merasa malu dan bersalah setelah melakukan tindakan tak bermoral ini karena disfungsi neurologis membuat mereka hanya menuruti dorongan biologis dan bukan emosi (Schiffer dkk., 2007).

Apakah Pedofil Dapat Disembuhkan?

Pedofilia bersifat multikausal, mulai dari disfungsi otak, pengkondisian oleh lingkungan, anak terpapar materi pornografi sejak kecil, hingga akibat pengalaman traumatik saat kecil seperti pelecehan seksual atau pemerkosaan.

Menurut Yuli Grebchenko, MD, yang intensif meriset pedofilia, pedofilia butuh penanganan seumur hidup (Lamberg, 2005). Studi lain menunjukkan bahwa kombinasi antara psikoterapi dan farmakoterapi dapat memberi hasil paling efektif dalam menangani penderita pedofilia (Kersebaum, 2007).

Pendekatan terapi yang digunakan adalah terapi kognitif, meliputi mendiskusikan pengalaman traumatik, khususnya dari sisi masa kecil pelaku. Terapis juga membantu klien mengenali situasi yang mungkin memunculkan dorongan melakukan tindakan kasar dan merugikan anak-anak. Dalam proses terapi, terapis juga membantu meluruskan pemahaman yang salah dalam diri pelaku, misal anak menikmati saat mereka dilecehkan. 

Dari sisi farmakoterapi, penanganan pedofilia menggunakan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH), and leuprolide acetate (LA) (Briken, 2003). Tujuannya adalah menarget hormon dan senyawa kimiawi tertentu di dalam tubuh, namun memiliki efek samping. SSRI efektif untuk kasus yang tidak terlalu berat dan individu sering hanya mengalami efek samping seksual (Kraus, 2007). Untuk kasus yang lebih berat, LA dapat sangat mengurangi testoteron dan dorongan seksual pedofil. Walau sangat efektif, LA memiliki efek samping yang cukup berbahaya (Schober, 2005). LHRH mengurangi respon neural pada stimuli seksual visual dan memiliki efek samping minim (Briken, 2003).

Hipnoterapi Klinis dan Pedofilia

Pedofilia, seperti yang telah diuraikan di atas, dapat disebabkan baik oleh faktor biologis, abnormalitas otak, dan psikologis, pengalaman traumatik masa kecil akibat pelecehan seksual.

Hipnoterapi klinis, dalam hal ini, hanya bisa digunakan untuk membantu menangani dorongan seksual tidak wajar, dalam diri pedofil, akibat pengalaman traumatik, dan tidak efektif bila ini murni akibat faktor biologis.

Berdasar penelusuran yang dilakukan penulis, aplikasi hipnoterapi untuk mengurangi dorongan seksual tak wajar dalam diri pedofil pria pernah dilakukan menggunakan teknik pengungkapan hipnotik melalui induksi mimpi (Sacerdote, 1967) dan affect bridge (Watkins, 1971). Proses hipnoterapi dilakukan sebanyak 25 sesi dalam kurun waktu sekitar sembilan bulan. Di akhir terapi, pengukuran psikofisiologis menunjukkan penurunan pasti dan signifikan rangsangan seksual dalam diri subjek saat ditunjukkan gambar anak-anak prapuber. Pengujian psikologis mengindikasikan berkurangnya sifat defensif dan juga kecemasan seksual terhadap wanita dewasa.

Dari perspektif hipnoterapi klinis modern, pengalaman traumatik yang dialami anak saat masih kecil, khususnya dalam bentuk pelecehan seksual, meninggalkan “luka” dalam bentuk memori yang dilekati emosi sangat intens dan tersimpan di pikiran bawah sadar mereka. Dari pengalaman traumatik ini dapat tercipta ego personality (EP) atau Bagian Diri yang selanjutnya dapat mendominasi hidup individu.

Terdapat tiga kemungkinan jenis EP yang tercipta. Pertama, “Part” yaitu EP dengan fungsi menyimpan semua jejak pengalaman ini dan melindungi individu dari kemungkinan mengalami kejadian yang sama atau segala sesuatu yang berhubungan dengan seks, di masa depan. Kedua, EP yang disebut “Alter” yang bersifat sangat ganas, di luar kendali individu, dapat melukai atau bahkan membunuh individu, Bagian Diri lain di dalam individu, atau orang di sekitarnya. Ketiga, Introject, yaitu EP yang adalah manifestasi dari pelaku tindak kejahatan atau kekerasan seksual pada anak, berdasar pengalaman dan persepsi saat anak mengalami pengalaman itu, dan Introject ini “hidup” di dalam pikiran bawah sadar anak.

Bisa jadi, perilaku seksual tidak wajar yang dilakukan oleh pedofil, yang dulunya adalah korban kekerasan seksual, sebenarnya dilakukan bukan oleh si individu namun oleh Introject yang ada dalam dirinya.

Penulis pernah menangani klien, pria muda berusia 23 tahun, yang bila marah, selalu melakukan tindakan dengan eskalasi mulai dari teriak-teriak, membanting atau merusak barang di sekitarnya, dilanjutkan dengan memukul kepalanya sendiri, hingga akhirnya, pada puncak kemarahannya, membentur-benturkan kepalanya dengan keras ke tembok. Klien sama sekali tidak tahu apa yang membuatnya berperilaku seperti ini dan mengatakan bahwa ia tidak sadar saat membenturkan kepalanya ke tembok.

Kondisi ini dapat dipahami dengan mengacu pada sifat dan fungsi pikiran bawah sadar.  Pikiran bawah sadar sangat menyadari pentingnya resolusi trauma, namun ia bukan problem solver. Untuk itu, ia akan mengirim pesan ke pikiran sadar dengan terus memunculkan memori traumatik agar individu segera mencari solusi. Namun sayangnya, pesan ini sering tidak dipahami. Dengan demikian, memori traumatik repetitif ini justru mengakibatkan individu mengalami trauma ulang dan menempatkan individu di situasi yang sama atau serupa dengan yang dulu ia alami (Gunawan, 2012).

Dari proses hipnoanalisis mendalam terungkap bahwa klien pertama kali mengalami kepalanya dibenturkan ke pintu saat berusia enam tahun. Dan yang melakukannya adalah ibu klien. Pengalaman ini tidak hanya sekali, namun beberapa kali.

Dari pengalaman traumatik ini, dalam diri klien tercipta Introject ibunya yang aktif setiap kali klien mengalami emosi marah. Introject, dalam kondisi normal bersifat dorman, tidak aktif, sampai ada pemicu spesifik yang mengaktifkannya. Saat Introject ini aktif, klien sepenuhnya dikendalikan oleh Introject. Dan yang memukul kepala dan membentur kepala klien ke tembok bukanlah klien tapi Introject ibunya.

Proses terapi yang dilakukan meliputi menemukan kejadian paling awal, resolusi trauma pada kejadian ini, memaafkan, edukasi ulang pikiran bawah sadar, restrukturisasi memori, dan yang juga sangat penting adalah menetralisir Introject ini.

Alhasil, setelah semua proses ini berhasil dilakukan dengan baik, dari hasil wawancara pascaterapi seminggu kemudian, klien melaporkan bila marah ia tidak lagi pernah membanting atau merusak barang, dan membenturkan kepalanya ke tembok.

Hipnoterapi klinis adalah bagian dari psikoterapi dapat digunakan untuk menangani perilaku pedofil atau predator seksual, secara lebih manusiawi, karena mampu melakukan resolusi trauma dengan cepat, efisien, dan efektif langsung di pikiran bawah sadar.



Dipublikasikan di https://www.adiwgunawan.com/articles/hipnoterapi-klinis-sebagai-solusi-alternatif-menangani-perilaku-predator-seksual pada tanggal 19 Juni 2016 22:49