Memahami LGBT dari Perspektif Ego Personality

31 Mei 2017 23:20

Istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) telah digunakan sejak tahun 1990an menggantikan frasa komunitas gay. LGBT bisa disebabkan oleh faktor fisik dan nonfisik atau psikologis. Ada yang mengatakan LGBT disebabkan oleh faktor keluarga, genetik, lingkungan, pergaulan, dan trauma. Artikel ini membahas penyebab LGBT dari perspektif ilmu pikiran, khususnya teori Ego Personality.

Kami, hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), telah berulang kali berhasil membantu klien-klien yang tadinya adalah LGBT, sesuai pilihan dan keputusan mereka, untuk kembali menjadi heteroseksual sesuai dengan kondisi lahiriahnya. 

Ego Personality

Manusia, dari perspektif Ego Personality, bukan entitas tunggal. Dalam diri manusia terdapat banyak Bagian Diri atau Ego Personality (EP) dengan tugas, fungsi, tujuan, dan agendanya masing-masing. Ada sepuluh kemungkinan terciptanya EP. Tiga di antaranya adalah melalui proses pengalaman normal yang dialami individu, melalui introjeksi figur penting, dan trauma. Lebih lengkapnya bisa dibaca di https://goo.gl/xOvh5c.  

Saat EP tercipta dalam diri individu, ia bisa bertumbuh dan bekembang mengikuti usia kronologis individu. Ada juga EP yang semula turut bertumbuh mengikuti usia kronologis individu lalu mengalami fiksasi. Dan ada yang begitu tercipta, tidak bertumbuh sama sekali atau mengalami fiksasi. Ini biasanya disebabkan oleh trauma.  Dengan demikian, rentang usia EP bisa mulai sebagai janin hingga dewasa dan tua. EP memiliki jenis kelamin, laki dan perempuan. EP laki tentunya bersifat maskulin dan EP wanita, feminin. Tidak pernah ada EP yang sifatnya banci.  Untuk memudahkan pemahaman, EP adalah “individu” dalam diri kita, lengkap dengan memori, perilaku, cara berpikir, kebiasaan, karakter, sikap, emosi, tujuan, dan sebagainya.

EP dan LGBT

Ani adalah wanita dewasa, cerdas, dengan karir yang sangat baik. Semua hal dalam diri Ani, menurut ukuran awam, normal kecuali ia lebih suka pada sesama wanita daripada pria. Sebenarnya ada banyak pria yang berusaha mendekati dirinya namun selalu ia tolak. Dengan kata lain, Ani lesbian.

Melalui proses penelusuran di pikiran bawah sadar (PBS) Ani diketahui ada satu EP, namanya Johan, yang sangat dominan mengendalikan diri Ani. Johan, sesuai namanya adalah EP laki dan dengan demikian bersifat maskulin.

EP Johan pertama kali muncul saat Ani dilahirkan. Saat itu ayah Ani yang sangat berharap mendapat anak laki kecewa berat dan menolak melihat Ani. Ani dengan sangat jelas, sesuai dengan data yang terekam di PBS-nya, mendengar ucapan ayahnya pada suster di rumah sakit, “Anak perempuan lagi. Tidak ada gunanya. Saya mau anak laki. Nggak usah saya lihat.”

EP Johan ini saat muncul masih sangat kecil, lemah. Seiring waktu berjalan, ayah Ani, yang sangat berharap Ani adalah anak laki, memperlakukan Ani sebagaimana layaknya anak laki. Ayah membelikan Ani mainan dan baju untuk anak laki. Perlakuan ayah ini tanpa disadari telah semakin mengaktifkan dan memperkuat EP Johan. Ani yang ingin mendapat perhatian dan kasih sayang ayah berusaha bersikap sesuai yang ayah harapkan yaitu sebagai anak laki. Dengan demikian, EP Johan semakin hari menjadi semakin kuat.

EP Johan adalah pria, bersifat maskulin. Saat Ani dewasa, EP Johan, sesuai karakteristiknya, mencari pasangan wanita. Yang tampak dari luar adalah Ani, seorang wanita, tertarik pada sesama wanita, dan oleh sebab itu disebut lesbian. Yang terjadi sesungguhnya adalah Ani, benar adalah seorang wanita, dikendalikan oleh satu EP dominan, Johan, bersifat maskulin, yang mencari pasangan wanita. Masyarakat awam menilai Ani “tidak normal”. Kami, hipnoterapis klinis, yang memelajari dan paham teori EP, menilai Ani “normal”. Selain EP Johan dalam diri Ani juga ada EP perempuan. Namun sayangnya EP ini kalah kuat.

Kondisi lain yang mengakibatkan seorang wanita lebih tertarik pada wanita lain adalah dalam dirinya ada satu EP yang sangat merindukan kasih sayang ibu. EP ini tentunya akan sangat tertarik pada wanita lain, yang lebih dewasa dan matang tentunya, untuk bisa mendapatkan kasih sayang.

Saya pernah menangani klien gay, sebut sebagai Budi. Dari hasil penelusuran PBS klien ditemukan data bahwa waktu kecil Budi tidak mendapat kasih sayang ayah. Ayahnya meninggalkan Budi dan ibunya saat ia masih kecil dan menikah dengan wanita lain. Budi, lebih tepatnya ada satu EP, merasa sangat rindu pada ayah. EP ini yang membuat Budi mencari perhatian, cinta, atau kasih sayang pada pria lain sebagai pengganti ayahnya.

Klien saya yang lain, Bambang, datang ke saya untuk minta pendapat sebelum ia berangkat ke Thailand menjalani operasi kelamin. Bambang sudah sangat yakin dengan keputusannya. Namun, atas permintaan tante yang sangat ia hormati, ia jumpa saya konsultasi. Saat saya berbicara dengan PBS Bambang diperoleh informasi bahwa ada satu EP bernama Michelle yang mendorong Bambang untuk menjadi wanita. Tujuan EP Michelle adalah agar Bambang mendapat bisa perhatian.

Ternyata Bambang sangat benci ibunya. Ia merasa tidak mendapat kasih sayang dari ibunya. Dan saat Bambang di SMP kelas dua, tanpa disadari ia tertawa sambil menggerakkan tangan dan mengerlingkan mata secara halus seperti wanita, dan teman-temannya memberi tepuk tangan dan menyorakinya. Respon rekan-rekannya ini oleh PBS dianggap sebagai perhatian. Dan ini yang Bambang sangat inginkan. Di kejadian inilah muncul EP Michelle.

EP Michelle selanjutnya mendorong Bambang mengulangi perilaku seperti wanita dan kembali Bambang mendapat “perhatian” dari rekan-rekannya. Demikian selanjutnya dan EP Michelle ini menjadi semakin sering aktif, semakin kuat menguasai diri Bambang. Dalam diri Bambang ada EP yang memegang sifat maskulin namun sayangnya EP ini lemah.

Bagaimana dengan biseksual? Biseksual menandakan keberadaan dua EP yang sama kuat, satu EP laki, satu EP perempuan. Masing-masing mencari pasangan berlainan jenis gender. EP laki tentunya akan mencari pasangan wanita sementara EP perempuan akan mencari pasangan pria.

Menyembuhkan LGBT

Kata “menyembuhkan” sebenarnya kurang tepat digunakan dalam konteks penanganan kasus LGBT. LGBT bukan penyakit namun pilihan. Saat klien datang ke kami, terapis, dan minta tolong dibantu agar bisa kembali “normal” maka yang sebenarnya terjadi adalah klien memutuskan untuk mengubah orientasi seksualnya.

Sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas, LGBT disebabkan oleh EP. Untuk membantu klien kembali “normal” yang perlu dilakukan adalah mengakses EP yang selama ini membuat klien menjadi LGBT. EP ini perlu diedukasi agar mengijinkan klien menjadi normal dengan menjadi tidak aktif atau memberi kesempatan pada EP lainnya, yang sesuai dengan kondisi fisik klien, aktif dan mengendalikan diri klien.

Walau uraiannya di atas tampak mudah namun dalam praktiknya tidak semudah yang dibayangkan. EP punya agenda dan tujuannya sendiri untuk klien. Butuh kecakapan khusus untuk bisa merayu, membujuk, memberi edukasi pada EP ini agar ia bersedia mendukung klien menjadi “normal”. Dalam beberapa kasus ada EP yang bersikeras tidak bersedia mendukung klien. EP ini ingin klien tetap sebagai LGBT sementara klien ingin menjadi “normal”.

Untuk bisa membuat EP akhirnya berubah pikiran dan bersedia mendukung klien, terapis perlu mengerti tentang kekuatan EP. Kekuatan EP ditentukan sembilan hal berikut: alasan terciptanya, motivasi / tujuan yang ingini dicapai, intensitas emosi, level energi psikis, repetisi, pengetahuan yang dimilikinya, dan level otoritas dalam sistem psikis. Bila setelah mencoba segala cara ternyata EP tetap tidak bersedia bekerjasama maka satu-satunya cara untuk bisa mengubah pendirian EP ini adalah dengan mengubah struktur pembentukannya. Dan untuk ini dibutuhkan teknik tersendiri. Saat struktur pembentukannya berubah, lebih tepatnya diubah oleh terapis, maka sikap, perilaku, dan tujuan EP juga berubah.

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online8
Hari ini385
Sepanjang masa34.507.758
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique