The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel
Penyembuhan adalah Proses Spiritual yang Mendalam
13 Juni 2025

Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, kata “penyembuhan” sering kali diasosiasikan dengan hilangnya gejala atau perbaikan fungsi fisik. Namun, semakin banyak orang menyadari bahwa penyembuhan sejati tidak hanya terjadi di tingkat tubuh atau pikiran, melainkan menyentuh dimensi yang lebih dalam—dimensi spiritual.

Ketika seseorang mengalami luka, terlebih luka batin yang mendalam seperti kehilangan, pengkhianatan, atau trauma masa kecil, yang terguncang bukan hanya pikiran atau emosi, tetapi juga identitas terdalam dan makna hidupnya.

Rasa aman, kepercayaan, bahkan eksistensi diri bisa ikut retak. Dalam kondisi seperti ini, penyembuhan tidak lagi cukup bila hanya diarahkan pada aspek biologis atau kognitif. Ia harus menjangkau, merawat, dan memulihkan inti terdalam keberadaan manusia.

Lebih dari Sekadar Menghilangkan Gejala

Penyembuhan sejati bukan sekadar hilangnya rasa sakit. Ia adalah pemulihan makna, penerimaan terhadap masa lalu, dan rekonsiliasi dengan diri sendiri. Dalam proses ini, seseorang akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial:

- Mengapa ini terjadi pada saya?
- Apa makna dari penderitaan ini?
- Apa yang perlu saya pelajari dan lepaskan?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah wilayah farmakologi atau terapi perilaku semata. Mereka adalah panggilan jiwa—sebuah perjalanan batin yang menuntun seseorang kembali ke pusat dirinya.

Ruang Keheningan dan Kesadaran

Penyembuhan spiritual berlangsung dalam keheningan, tidak tergesa, tidak ramai, berjalan secara alamiah. Ia menuntut keberanian untuk duduk bersama luka, merasakan yang tak ingin dirasa, dan menatap yang selama ini dihindari. Meditasi, doa, refleksi, dan praktik-praktik kesadaran menjadi jembatan menuju keutuhan kembali.

Melalui perjalanan ini, seseorang mulai menyadari bahwa ia bukan sekadar kumpulan luka, melainkan pribadi yang tetap utuh meski pernah retak. Ada kekuatan di dalam diri yang tidak hancur oleh trauma. Dan dari sanalah, penyembuhan sejati bermula.

Dari Keterpecahan Menuju Keutuhan

Trauma memecah. Ia menciptakan jarak antara pikiran dan tubuh, antara sekarang dan masa lalu, antara diri yang tampak dan jiwa yang terluka. Penyembuhan spiritual adalah proses penyatuan kembali. Saat emosi yang selama ini direpresi akhirnya mampu dilepaskan, saat makna yang hilang ditemukan, dan saat luka yang tersembunyi diakui tanpa penolakan—di situlah benih penyembuhan tumbuh.

Penyembuhan bukan berarti menjadi seperti semula. Melainkan menjadi pribadi baru yang lebih utuh, lebih sadar, dan lebih berbelas kasih—termasuk kepada diri sendiri.

Jalan Sunyi yang Menguatkan

Penyembuhan adalah proses spiritual yang mendalam. Ia tak selalu riuh. Ia tak menuntut sorotan. Namun, justru di dalam keheningan yang utuh, pemulihan yang paling sejati terjadi. Dan bagi jiwa-jiwa yang berani menempuh jalan ini, akan ditemukan tidak hanya kesembuhan, tetapi juga kedamaian, keutuhan, dan kebijaksanaan hidup yang tidak dapat diberikan oleh dunia luar.

Sembuh Adalah Pulang ke Diri

Sembuh bukan berarti melupakan apa yang telah terjadi. Bukan pula menutup luka dengan berpura-pura kuat, sementara diri luruh dalam kerapuhan.

Sembuh adalah keberanian untuk menatap masa lalu tanpa gentar—dengan mata yang baru, dengan hati yang telah melembut oleh kasih dan kearifan.

Sembuh adalah kembali ke fitrah—menyadari bahwa diri kita sejatinya baik adanya. Bahwa semua yang kita alami, termasuk luka dan keterpurukan, adalah bagian dari kurikulum jiwa.

Sebuah jalan pembelajaran dan pertumbuhan yang membawa kita menuju versi terbaik dari diri: insan yang sadar, bijaksana, mulia, dan paripurna.

Tidak ada peristiwa yang sia-sia. Bahkan luka sekalipun, bila diolah dengan kasih dan kesadaran, bisa menjadi pintu masuk untuk pulang ke rumah terdalam: rumah batin yang damai, rumah jiwa yang utuh.

Luka adalah bagian dari perjalanan, bukan inti dari siapa kita. Di balik semua itu, ada kesadaran—yang lembut, jernih, dan tetap utuh—menunggu untuk dikenali sebagai rumah sejati diri kita.

 

 

Baca Selengkapnya

Video

𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇)
Informasi Hasil Regresi, Valid?
Cara Mudah Menanam Impian ke Pikiran Bawah Sadar

Artikel

Penyembuhan adalah Proses Spiritual yang Mendalam
13 Juni 2025

Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, kata “penyembuhan” sering kali diasosiasikan dengan hilangnya gejala atau perbaikan fungsi fisik. Namun, semakin banyak orang menyadari bahwa penyembuhan sejati tidak hanya terjadi di tingkat tubuh atau pikiran, melainkan menyentuh dimensi yang lebih dalam—dimensi spiritual.

Ketika seseorang mengalami luka, terlebih luka batin yang mendalam seperti kehilangan, pengkhianatan, atau trauma masa kecil, yang terguncang bukan hanya pikiran atau emosi, tetapi juga identitas terdalam dan makna hidupnya.

Rasa aman, kepercayaan, bahkan eksistensi diri bisa ikut retak. Dalam kondisi seperti ini, penyembuhan tidak lagi cukup bila hanya diarahkan pada aspek biologis atau kognitif. Ia harus menjangkau, merawat, dan memulihkan inti terdalam keberadaan manusia.

Lebih dari Sekadar Menghilangkan Gejala

Penyembuhan sejati bukan sekadar hilangnya rasa sakit. Ia adalah pemulihan makna, penerimaan terhadap masa lalu, dan rekonsiliasi dengan diri sendiri. Dalam proses ini, seseorang akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial:

- Mengapa ini terjadi pada saya?
- Apa makna dari penderitaan ini?
- Apa yang perlu saya pelajari dan lepaskan?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah wilayah farmakologi atau terapi perilaku semata. Mereka adalah panggilan jiwa—sebuah perjalanan batin yang menuntun seseorang kembali ke pusat dirinya.

Ruang Keheningan dan Kesadaran

Penyembuhan spiritual berlangsung dalam keheningan, tidak tergesa, tidak ramai, berjalan secara alamiah. Ia menuntut keberanian untuk duduk bersama luka, merasakan yang tak ingin dirasa, dan menatap yang selama ini dihindari. Meditasi, doa, refleksi, dan praktik-praktik kesadaran menjadi jembatan menuju keutuhan kembali.

Melalui perjalanan ini, seseorang mulai menyadari bahwa ia bukan sekadar kumpulan luka, melainkan pribadi yang tetap utuh meski pernah retak. Ada kekuatan di dalam diri yang tidak hancur oleh trauma. Dan dari sanalah, penyembuhan sejati bermula.

Dari Keterpecahan Menuju Keutuhan

Trauma memecah. Ia menciptakan jarak antara pikiran dan tubuh, antara sekarang dan masa lalu, antara diri yang tampak dan jiwa yang terluka. Penyembuhan spiritual adalah proses penyatuan kembali. Saat emosi yang selama ini direpresi akhirnya mampu dilepaskan, saat makna yang hilang ditemukan, dan saat luka yang tersembunyi diakui tanpa penolakan—di situlah benih penyembuhan tumbuh.

Penyembuhan bukan berarti menjadi seperti semula. Melainkan menjadi pribadi baru yang lebih utuh, lebih sadar, dan lebih berbelas kasih—termasuk kepada diri sendiri.

Jalan Sunyi yang Menguatkan

Penyembuhan adalah proses spiritual yang mendalam. Ia tak selalu riuh. Ia tak menuntut sorotan. Namun, justru di dalam keheningan yang utuh, pemulihan yang paling sejati terjadi. Dan bagi jiwa-jiwa yang berani menempuh jalan ini, akan ditemukan tidak hanya kesembuhan, tetapi juga kedamaian, keutuhan, dan kebijaksanaan hidup yang tidak dapat diberikan oleh dunia luar.

Sembuh Adalah Pulang ke Diri

Sembuh bukan berarti melupakan apa yang telah terjadi. Bukan pula menutup luka dengan berpura-pura kuat, sementara diri luruh dalam kerapuhan.

Sembuh adalah keberanian untuk menatap masa lalu tanpa gentar—dengan mata yang baru, dengan hati yang telah melembut oleh kasih dan kearifan.

Sembuh adalah kembali ke fitrah—menyadari bahwa diri kita sejatinya baik adanya. Bahwa semua yang kita alami, termasuk luka dan keterpurukan, adalah bagian dari kurikulum jiwa.

Sebuah jalan pembelajaran dan pertumbuhan yang membawa kita menuju versi terbaik dari diri: insan yang sadar, bijaksana, mulia, dan paripurna.

Tidak ada peristiwa yang sia-sia. Bahkan luka sekalipun, bila diolah dengan kasih dan kesadaran, bisa menjadi pintu masuk untuk pulang ke rumah terdalam: rumah batin yang damai, rumah jiwa yang utuh.

Luka adalah bagian dari perjalanan, bukan inti dari siapa kita. Di balik semua itu, ada kesadaran—yang lembut, jernih, dan tetap utuh—menunggu untuk dikenali sebagai rumah sejati diri kita.

 

 

Baca Selengkapnya
Reseat SECH, Shock Induction, Diskon dan Bonus
12 Juni 2025

Seorang sahabat yang berminat mengikuti kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) menghubungi saya dan mengajukan beberapa pertanyaan. Ia bertanya apakah AWGI memberikan fasilitas kepada alumni berupa kesempatan mengulang kelas SECH.

Saya sampaikan bahwa AWGI memberikan fasilitas ini sebagai bentuk layanan dan dukungan berkelanjutan bagi para alumni yang ingin terus belajar, berkembang, dan memperbarui pengetahuan mereka sesuai materi terkini yang diajarkan dalam kelas SECH.

Terdapat dua skema reseat yang kami sediakan. Pertama, kelas reseat SECH berdurasi 4 (empat) hari, khusus bagi hipnoterapis AWGI yang masih aktif menjalankan praktik terapi. Kedua, kelas reseat penuh selama 10 hari, ditujukan bagi alumni yang sudah sangat lama tidak aktif sebagai hipnoterapis dan perlu menyegarkan kembali seluruh materi dari awal.

Ia kemudian bertanya, apakah reseat ini diberikan secara gratis. Saya jawab, tidak. Setiap peserta, termasuk alumni, tetap diwajibkan membayar biaya pendidikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Sahabat ini lalu membandingkan kebijakan AWGI dengan beberapa lembaga lain yang, menurutnya, memberikan fasilitas reseat seumur hidup secara gratis bagi semua alumni.

Saya jelaskan kepadanya bahwa hal tersebut tidak berlaku di AWGI. Sejak pertama kali saya mengajar hipnoterapi pada tahun 2008, saya memperlakukan AWGI setara dengan lembaga pendidikan tinggi terkemuka yang menghasilkan lulusan di bidang kesehatan seperti dokter, psikiater, atau psikolog klinis.

Saya belum pernah mendengar ada dokter atau psikolog yang meminta untuk mengulang perkuliahan secara penuh, kembali ke kampus, dan belajar dari awal. Hal yang sama berlaku di AWGI.

Untuk alumni yang mengikuti kelas reseat 4 hari, mereka tetap dikenakan biaya pendidikan tertentu. Sedangkan bagi yang mengikuti kelas SECH secara penuh selama 10 hari, mereka diperlakukan sebagai peserta baru.

Sejak awal, saya telah menanamkan dalam pikiran bawah sadar setiap peserta SECH bahwa mereka perlu belajar dengan sungguh-sungguh dan membangun kompetensi terapeutik yang tinggi. Jika mereka tidak berniat belajar secara serius, maka lebih baik tidak mengikuti kelas ini karena hanya akan membuang waktu, tenaga, dan biaya.

Kelas SECH hanya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar serius dan merasa terpanggil untuk menjadi penyembuh—seorang hipnoterapis profesional yang ingin berkarya nyata dan memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Sahabat ini juga bertanya apakah saya masih mengajarkan teknik shock induction atau induksi kejut. Saya jelaskan bahwa dahulu saya memang mengajarkannya, sebelum akhirnya saya menciptakan Adi W. Gunawan Induction (Adi Induction). Sejak saat itu, saya tidak lagi mengajarkan shock induction.

Dulu, saya tidak hanya mengajarkan cara melakukan shock induction, tetapi juga menjelaskan secara detail bagaimana teknik ini bekerja, proses yang terjadi di aspek fisik dan mental klien, serta risiko-risiko yang mungkin timbul.

Ada beberapa alasan saya berhenti mengajarkan teknik ini. Pertama, shock induction bersifat agresif dan sangat dominatif, yang dapat membuat klien merasa tidak nyaman bahkan terintimidasi. Bila terapis tidak cermat dan hati-hati, teknik ini dapat menimbulkan reaksi kejut yang berdampak negatif pada klien, baik secara psikologis maupun fisik. Kedua, banyak terapis wanita merasa tidak nyaman melakukannya. Ketiga, teknik ini juga sulit diterapkan jika klien duduk di kursi terapi, karena keterbatasan posisi dan ruang gerak.

Pertanyaan lain yang ia ajukan: apakah AWGI memberikan diskon atau bonus? Saya jawab dengan tegas, AWGI tidak menawarkan diskon maupun bonus materi dalam bentuk e-book, audio, video, skrip, atau bentuk lainnya.

Namun sesungguhnya, peserta kelas SECH memperoleh “bonus” yang jauh lebih berharga—yaitu materi ajar yang selalu diperbarui, pengetahuan terkini, strategi intervensi terbaru, teknik-teknik klinis yang terus saya kembangkan, serta kesempatan untuk mendapatkan bimbingan dan supervisi yang personal serta berkelanjutan dari pengajar yang merupakan hipnoterapis aktif dengan pengalaman lebih dari dua puluh tahun. Saya sendiri terus belajar dan menyempurnakan keilmuan hipnoterapi yang saya ajarkan.

Kebijakan ini telah saya terapkan secara konsisten sejak kelas SECH pertama diselenggarakan pada tahun 2008. Saya ingin peserta datang ke AWGI karena mereka sungguh ingin belajar dan memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi—bukan karena tergiur oleh diskon atau bonus.

Sahabat ini kemudian menanyakan kapan kelas SECH diselenggarakan. Saya jawab bahwa kelas SECH saat ini sedang berlangsung. Kelas berikutnya akan diselenggarakan pada pertengahan tahun depan.

Ia tampak kecewa karena tidak bisa mengikuti kelas tahun ini. Ia mengatakan bahwa bila harus menunggu sampai tahun depan, ia tidak lagi berminat.

Saya menanggapinya dengan santai. Saya katakan, "Tidak apa-apa bila sudah tidak berminat. Anda tidak harus belajar hipnoterapi di AWGI. Silakan belajar di lembaga lain. Bila memang ada jodoh, kita akan bertemu. Kalau tidak ada jodoh, sekeras apa pun upaya kita, pertemuan itu tak akan terjadi. Jadi, santai saja. Semua akan indah pada waktunya."

Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...

Baca Selengkapnya
Entropi Emosional dan Abreaksi: Kekacauan yang Menyembuhkan
10 Juni 2025

Dalam jagat fisika, Hukum Termodinamika Kedua yang digagas oleh Ilya Prigogine menyatakan bahwa dalam sistem tertutup, entropi—ukuran ketidakteraturan atau kekacauan—selalu meningkat. Artinya, tanpa intervensi eksternal, semua sistem akan bergerak menuju disorganisasi, menuju keadaan di mana energi menjadi tak lagi dapat digunakan secara efektif. Sebuah sistem yang hanya menyimpan, tanpa mengalirkan atau melepaskan energi, pada akhirnya akan mengalami stagnasi dan keruntuhan.

Namun, bagaimana jika prinsip ini kita tarik ke dalam ruang batin manusia?

Setiap manusia menyimpan emosi. Ketika emosi—khususnya emosi negatif—tidak terproses, seperti marah yang direpresi, duka yang tak ditangisi, atau trauma yang tak pernah diungkap, maka entropi emosional mulai terakumulasi, menekan dan mendesak keseimbangan sistem psikis kita. Semakin lama dibiarkan, semakin tinggi tekanan yang tercipta. Pikiran menjadi kabur, tubuh tegang, dan respons menjadi tidak proporsional. Sistem psikis pun menyerupai sistem tertutup: penuh energi yang tak tersalurkan, menyimpan kekacauan tersembunyi yang terus bergejolak menuju “keruntuhan.”

Di sinilah abreaksi menemukan relevansinya.

Abreaksi adalah pelepasan emosi yang terakumulasi dan tertahan di pikiran bawah sadar (PBS) melalui pengalaman ulang yang disadari dalam kondisi aman—biasanya difasilitasi dalam sesi hipnoterapi. Saat seseorang dalam kondisi hipnosis kembali mengakses momen-momen traumatis atau luka batin, dan diizinkan untuk mengungkapkan respons emosional yang selama ini tertahan, maka energi psikis yang selama ini “terperangkap” di PBS dapat dilepaskan.

Tangisan, tubuh yang bergetar, gerakan memukul, menendang, jeritan, atau napas yang mendesak—semuanya merupakan bentuk “kekacauan” yang, bila difasilitasi dengan benar, justru menyembuhkan. Ia bukan destruksi, melainkan restabilisasi dan rehabilitasi. Sama seperti dalam sistem termodinamika terbuka yang menerima energi dari luar, manusia pun membutuhkan ruang, relasi, dan fasilitasi eksternal untuk mencapai bentuk keseimbangan baru.

Konsep ini sangat sejalan dengan gagasan Ilya Prigogine, peraih Nobel yang mengkaji struktur disipatif—yakni sistem terbuka yang mampu mempertahankan keteraturan melalui reorganisasi setelah mengalami ketidakseimbangan signifikan. Menurut Prigogine, justru karena adanya kekacauan, suatu sistem dapat berevolusi ke tingkat keteraturan yang lebih tinggi. Sistem hidup, termasuk manusia, bukanlah sistem tertutup yang stagnan, melainkan entitas dinamis yang terus beradaptasi.

Dengan kata lain, dalam terapi, abreaksi dapat dipahami sebagai bentuk struktur disipatif dalam ranah psikologis. Klien datang dalam kondisi psikis tak seimbang, membawa entropi yang terus meningkat dan termanifestasi dalam berbagai gejala. Melalui sesi terapi yang tepat, klien diberi ruang aman, dukungan dan jalan untuk melepaskan tekanan tersebut, mengintegrasikannya, dan secara alami menyusun ulang dirinya dalam kondisi yang lebih sehat dan seimbang.

Manusia, dengan kesadarannya, adalah sistem terbuka yang selalu bergerak mencari homeostasis baru. Dan jalan menuju keseimbangan itu tidak selalu tenang—sering kali harus dilalui melalui badai emosi yang dilepaskan dengan keberanian dan penerimaan.

Abreaksi bukanlah kekacauan yang merusak. Ia adalah fase transisi menuju keteraturan yang lebih tinggi. Dalam konteks hipnoterapi, abreaksi merupakan proses yang disengaja dan difasilitasi dengan aman, tepat, dan terkendali oleh hipnoterapis yang memiliki kompetensi terapeutik tinggi. Saya menyebutnya sebagai controlled chaos atau kekacauan yang terkendali.

Abreaksi mengacu pada proses mengalami kembali dan mengekspresikan peristiwa atau emosi traumatis masa lalu—sering kali dengan respons emosional yang intens—sebagai cara untuk melepaskan perasaan yang terpendam dan memperoleh kelegaan psikologis (Wadsworth et al., 1995).

Namun, proses ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Untuk mengembalikan sistem psikis ke keseimbangan yang sehat, abreaksi harus menyentuh kejadian paling awal (ISE) yang menjadi akar masalah. Klien perlu mengalami pengalaman emosional korektif—yakni kembali hadir dan mengalami peristiwa tersebut, melepaskan emosi yang terperangkap, serta memperoleh pemahaman baru melalui proses pemaknaan, baik melalui analisis transferensi maupun dalam kondisi hipnosis (Alexander & French, 1946).

Terapi yang memberdayakan tidak sekadar bertujuan mengeluarkan entropi emosi negatif dari dalam sistem psikis, melainkan juga membangun pemahaman dan meningkatkan kesadaran. Dengan demikian, ketika klien di kemudian hari menghadapi pengalaman serupa, ia telah memiliki kapasitas baru untuk merespons secara lebih sehat, dengan perspektif dan kebijaksanaan yang lebih matang.

Agar aberaksi dapat menghasilkan dampak terapeutik optimal dan bertahan lama, beberapa syarat berikut perlu dipenuhi (Gunawan, 2013):

1. Dilakukan pada kejadian paling awal (initial sensitizing event) dari rangkaian memori yang memicu gangguan emosi dan perilaku.

2. Tuntas dan menyeluruh, memastikan seluruh emosi dalam memori awal dilepaskan sepenuhnya.

3. Klien dibantu memperoleh pemaknaan baru, agar mampu melihat kembali peristiwa tersebut dari perspektif yang lebih dewasa dan sehat.

4. Perlu dilakukan rekonstruksi memori sehingga yang tersimpan di pikiran bawah sadar klien, usai terapi, adalah memori positif dan menyenangkan.

Baca Selengkapnya
Pakai Skrip Ini, Dijamin 1000% Trance?
6 Juni 2025
Beberapa hari lalu, saya mendapat DM dari seorang sahabat. Ia bertanya tentang induksi, setelah membaca salah satu tulisan saya. Pertanyaannya singkat:
“Pak Adi, apakah skrip induksi yang Bapak ajarkan di kelas SECH dijamin berhasil membawa klien masuk ke deep trance? Berapa persen tingkat keberhasilannya?”
 
Ini pertanyaan yang tampak sederhana, namun membutuhkan jawaban yang lugas dan jujur. Tentu, saya sangat ingin menjawab, “Skrip Adi Induction yang saya ajarkan di kelas SECH memiliki tingkat keberhasilan 100% dalam membawa klien masuk kondisi deep trance.”
 
Namun, nilai hidup dan integritas keilmuan saya tidak mengizinkan saya memberikan jawaban seperti itu—apalagi bila harus berbohong hanya demi mendapat pengakuan atau membuat orang lain terkesan.
 
Saya memberikan jawaban cukup panjang, dan secara ringkas, berikut poin-poin utamanya:
 
Satu hal sangat penting yang menentukan keberhasilan induksi adalah rasa percaya diri, keyakinan, dan kemampuan yang dimiliki terapis. Bila terapis tidak yakin dengan dirinya, maka keraguan inilah yang menjadi sumber resistensi terbesar dalam praktik induksi—bukan karena skrip atau kliennya.
 
Setelah itu, barulah kita bicara soal klien. Perlu dipahami, tidak semua orang bisa diinduksi dan masuk ke kondisi hipnosis dalam (deep trance). Ada beberapa kondisi yang membuat induksi tidak dapat dilakukan secara efektif, antara lain:
 
• retardasi mental
• sulit fokus
• gangguan neurologis
• hambatan komunikasi
• kendala bahasa
• ketidaksediaan klien
• tidak nyaman atau tidak percaya kepada terapis
• kecemasan dan ketakutan
• adanya resistensi dari pikiran bawah sadar
 
Untuk hasil induksi optimal, terapis harus memastikan semua hambatan dan resistensi dalam diri klien sudah diatasi. Ini baru langkah awal.
 
Skrip induksi yang efektif harus disusun dengan cermat dan detail: pemilihan diksi yang tepat, mempertimbangkan tingkat literasi, tipe kepribadian, karakter, sugestibilitas, tanpa dualisme, dan kebutuhan klien.
 
Dalam konteks terapi, terapis harus memastikan bahwa klien benar-benar siap dan bersedia untuk diterapi.
 
Sejauh ini, tingkat keberhasilan hipnoterapis AWGI dalam melakukan induksi dan membawa klien masuk ke kondisi hipnosis dalam adalah hampir 100%.
 
“Kegagalan” biasanya terjadi karena klien, karena alasan atau kondisi tertentu, hanya mencapai medium trance. Namun ini bukan masalah besar, karena kami tahu bagaimana cara mengatasi resistensi dan menuntun klien hingga mencapai deep trance.
 
Jika keberhasilan dinilai setelah resistensi teratasi dan klien berhasil masuk ke deep trance, maka tingkat keberhasilannya adalah 100%.
 
Kedalaman deep trance yang menjadi standar hipnoterapis AWGI ditentukan melalui Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, yang menggunakan indikator mental, bukan indikator fisik seperti napas melambat, wajah datar, REM, tubuh lemas, atau lainnya—yang semua itu adalah indikator light trance.
 
Sahabat yang bertanya ini akhirnya menyampaikan apresiasi atas jawaban jujur saya. Saya mengatakan padanya, “Saya bisa saja salah, tapi saya tidak boleh berbohong. Data harus disampaikan apa adanya. Tidak boleh dimanipulasi demi kepentingan sesaat.”
 
Saya balik bertanya, “Mengapa Anda menanyakan soal keberhasilan skrip?”
Ia menjawab bahwa dirinya juga seorang coach dan praktisi hipnoterapi. Dalam sebuah grup WA diskusi hipnoterapi, seseorang menyatakan bahwa skrip induksi yang ia ajarkan dijamin 1000% berhasil membuat subjek trance.
 
Sahabat ini mempertanyakan validitas klaim tersebut. “1000% berhasil? Trance level apa yang dimaksud? Apa indikator kedalamannya?”
 
Menurut sahabat ini, klaim bahwa sebuah skrip induksi dijamin 1000% pasti membawa subjek masuk ke kondisi trance merupakan pernyataan yang tidak didasarkan pada landasan ilmiah yang kuat, cenderung sembarangan, dan kurang mencerminkan kapasitas intelektual serta integritas akademik yang baik.
 
Ia bercerita bahwa terjadi perdebatan seru di grup tersebut. Sayangnya, pihak yang membuat klaim justru tidak bisa memberikan validasi dan jawaban tegas perihal kedalaman trance yang dimaksud.
 
Skripnya pun hanya sederhana, serta indikator yang dijadikan acuan menentukan kondisi trance adalah indikator fisik semata, yang adalah indikasi trance dangkal, seperti dalam skala Davis-Husband. Akhirnya pihak yang membuat klaim merasa terganggu oleh pertanyaan kritis yang diajukan.
 
Ketika saya menanyakan apakah diskusi masih dapat dilanjutkan, sahabat ini menjawab bahwa hal tersebut tidak memungkinkan. Ia telah dianggap mengganggu dan akhirnya dikeluarkan dari grup tersebut.
 
Dalam kondisi seperti ini, tentu diskusi tidak dapat diteruskan. Padahal, akan sangat menyenangkan apabila sebuah ruang diskusi ilmiah dapat menjadi tempat berbagi pandangan secara terbuka dan saling menghargai. Bisa saja pihak yang menyampaikan klaim memiliki data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
 
Di sisi lain, keraguan terhadap klaim tersebut juga merupakan hal yang wajar dan sah untuk diajukan, selama disampaikan secara etis dan ilmiah.
 
Idealnya, dalam sebuah forum diskusi yang sehat, perbedaan pendapat menjadi pintu masuk bagi pertukaran informasi, pemaparan data, serta penajaman pemahaman. Diskusi semacam ini justru dapat saling menumbuhkan dan memberdayakan seluruh pihak yang terlibat.
 
Apabila ternyata klaim yang diajukan tidak dapat dibuktikan, maka hal tersebut semestinya diakui secara terbuka dan jujur, serta disikapi dengan kerendahan hati untuk kemudian diperbaiki. Sebaliknya, jika klaim tersebut dapat divalidasi dan dibuktikan secara sahih, maka hal itu patut disambut dengan antusias, sebagai kontribusi berharga bagi pengembangan ilmu hipnosis dan hipnoterapi.
 
Namun demikian, dari pengalaman yang saya jumpai selama ini, tidak mudah memisahkan antara ide dan diri. Sering kali, ketika suatu pendapat dikritisi, alih-alih berterima kasih atas masukan yang memperkaya perspektif, individu justru bersikap defensif—seolah-olah yang diserang adalah dirinya, bukan ide yang ia kemukakan.
 
Padahal, dibutuhkan kedewasaan dan kematangan sikap agar sebuah diskusi dapat berlangsung secara bermakna, objektif, dan bermanfaat, tanpa ada rasa tersinggung hanya karena pendapat atau klaim yang diajukan ternyata dapat dipatahkan. Bukankah ide hanyalah produk dari pikiran? Ia bukanlah identitas diri kita yang sejati.
Baca Selengkapnya