Di artikel sebelumnya, mengenai Teori Tungku Mental, saya bercerita mengenai api yang membakar tungku mental kita. Ada banyak teknik yang bisa digunakan untuk menemukan sumber api itu.
Nah, apa yang akan dilakukan setelah sumber apinya berhasil ditemukan? Apa yang harus dilakukan agar apinya bersedia dipadamkan?
Pembaca, bila anda cukup jeli membaca kalimat terakhir, dari paragraf di atas, anda pasti akan bertanya, “Mengapa kok ada kata “bersedia dipadamkan”? Ini maksudnya apa?”
Api emosi yang membakar tungku mental ini harus dipadamkan bila seseorang benar-benar ingin sembuh. Namun padamnya harus berdasarkan persetujuan dan keikhlasan klien. Kita tidak bisa serta merta mensugesti agar api emosi itu padam. Tidak bisa.
Nah, mengapa harus melalui “forgiveness”? Mengapa bukan dengan cara lain?
Ada sangat banyak teknik terapi. Namun dari sekian banyak teknik, Forgiveness Therapy, adalah salah satu yang paling dahsyat efeknya. Terapi yang dilakukan tanpa diakhiri dengan memaafkan adalah terapi yang tidak tuntas.
Mengapa bisa tidak tuntas?
Karena untuk bisa benar-benar tuntas mematikan api emosi itu klien harus bersedia melepaskan semua emosi negatif yang berhubungan dengan kejadian, peristiwa, atau situasi tertentu dan menggantinya dengan emosi positif seperti cinta kasih.
Keseriusan untuk melepaskan semua emosi negatif ini dilihat dari apakah ia bersedia dengan sungguh-sungguh memaafkan orang atau peristiwa yang “menyakiti” dirinya.
“Tapi mengapa walaupun sudah memaafkan, saya tetap tidak bisa keluar dari masalah saya?”
Jangan kaget atau heran, ini yang paling sering kita alami. Kita sering merasa sudah sungguh-sungguh memaafkan tapi kok masalah yang sama tetap muncul. Jawabannya sederhana. Kita belum sungguh-sungguh memaafkan.
“Lho, saya ini sudah sungguh-sungguh memaafkan.”
Ah, yang benar. Kalau sudah benar-benar memaafkan seharusnya masalah atau emosi itu sudah benar-benar tuntas. Tidak mungkin akan muncul lagi emosi negatif yang sama pada kejadian itu.
Nah, pembaca, anda pernah mengalami hal ini? Katanya sudah memaafkan tapi kok masih merasa sakit hati?
Kesalahan yang dilakukan kebanyakan kita adalah kita hanya memaafkan pada level kognisi. Kita menyadari bahwa kita memang perlu memaafkan. Lalu kita memutuskan untuk memaafkan.
Namun apabila memaafkan dilakukan pada level kognisi, atau yang dikenal dengan level pikiran sadar, maka tidak akan bisa efektif. Memaafkan harus dilakukan pada level afeksi atau pikiran bawah sadar.
Mengapa perlu melakukan pada level pikiran bawah sadar?
Karena emosi dan memori letaknya di pikiran bawah sadar. Kita perlu masuk lokasi yang tepat, ke pikiran bawah sadar, untuk melakukan forgiveness. Dengan cara ini baru bisa efektif, efisien, dan permanen hasilnya.
Ok, kalau begitu, bagaimana cara memaafkan yang baik dan benar?
Begini, memaafkan akan sangat mudah kita lakukan bila tekanan “uap” yang ada di dalam Tungku Mental berhasil kita keluarkan semuanya. Tentu ini menggunakan teknik yang sesuai dan “uap” tidak asal dikeluarkan.
Mengapa perlu mengeluarkan “uap” terlebih dahulu?
Karena tekanan “uap” pada dinding tungku mental ini akan termanifestasi dalam bentuk resistensi atau penolakan untuk berubah. Semakin kuat tekanan “uap” maka semakin sulit untuk berubah atau memaafkan.
Setelah “uap” keluar semua maka tekanan mental yang tadinya sangat mengganggu diri klien berhasil dihilangkan. Nah setelah itu barulah dilakukan reedukasi pikiran bawah sadar. Tekniknya bisa macam-macam tergantung situasi dan kebutuhan.
Apa yang terjadi bila memaafkan dilakukan tanpa terlebih dahulu mengeluarkan”uap”?
Wah.. ini sangat sulit. Pikiran sadar bersedia memaafkan tapi pikiran bawah sadar akan bersikeras berkata, “Kok enak. Sudah menyakiti hati saya, melukai hati saya, sekarang mau dimaafkan. Nggak usah ya.”
Apakah memaafkan bisa dilakukan dengan menggunakan kekuatan Will Power? Oh, tentu bisa. Tapi ini makan waktu yang sangat lama.
Seorang kawan saya yang begitu terluka karena perlakuan orangtuanya kepadanya membutuhkan waktu hampir 10 (sepuluh) tahun untuk bisa memaafkan kedua orangtuanya.
Ck..ck.. ck.. 10 tahun ini bukan waktu yang singkat. Dan teman saya ini bisa memaafkan karena ia menggunakan jalur spiritual. Ia belajar memberikan makna baru pada pengalaman hidupnya itu. Menurut kawan saya ia mengalami ini semua karena Tuhan menyiapkan dirinya menjalankan suatu misi yang besar. Dan akhirnya ia berhasil memaafkan kedua orangtuanya.
Apa yang dialami kawan saya ini sebenarnya dapat diselesaikan hanya dalam waktu 1 atau 2 sesi terapi, masing-masing 2 jam, bila ia mengerti prinsip Tungku Mental, atau mendapat bantuan dari seorang terapis atau healer yang kompeten.
Nah, setelah “uap” berhasil dikeluarkan semua, tekanan sudah hilang, maka klien perlu memaafkan orang lain. Selanjutnya klien perlu memaafkan diri sendiri. Klien harus bisa memaafkan dirinya.
Saat klien bersedia memaafkan dirinya sendiri, bersedia menerima segala kesalahan yang pernah ia lakukan, memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri untuk belajar dari kesalahan itu, mengijinkan dirinya untuk memulai lembaran hidup baru, bersedia menghargai dan mencintai dirinya apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, maka pada saat itu ia telah sembuh.
Pada titik ini klien telah benar-benar mematikan api emosi negatif yang selama ini membakar tungku mentalnya. Pada titik ini klien mengganti emosi negatif dengan emosi positif seperti cinta, kasih, penghargaan, dan pengharapan yang sangat konstruktif bagi diri klien.
Jadi, sebenarnya yang menyembuhkan klien adalah diri klien sendiri. Dan yang menyembuhkannya adalah kesediaan klien untuk memulai satu lembaran baru dengan melepas semua emosi negatif yang selama ini mengganggu hidupnya yaitu dengan cara memaafkan, memaafkan orang lain yang telah menyakitinya dan yang lebih penting lagi adalah memaafkan dan menerima diri seutuhnya.
Dipublikasikan di https://www.adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=34 pada tanggal 21 Juli 2010