Memahami Jenis Dan Fungsi Filter Mental

Beberapa waktu lalu saya membaca kembali buku karya maestro hipnoterapi Charles Tebbetts yang berjudul Miracles on Demand. Saya memang biasa membaca ulang buku-buku yang telah saya baca sebelumnya. Tujuannya adalah untuk bisa mendapatkan sari pati pengetahuan yang terkandung di buku-buku itu, yang mungkin sebelumnya terlewatkan.

Dulu saat saya pertama kali membaca judul buku “Miracles on Demand” saya bertanya, “Ah , apa mungkin kita bisa menciptakan mujizat sesuai dengan yang kita inginkan?”. Ternyata setelah membaca tuntas buku Tebbets ini dan juga mempraktikkan berbagai teknik terapi yang dijelaskannya, benar, kita dapat menciptakan atau menghasilkan mujizat sesuai dengan keinginan kita, yang kalau mengutip kata Tebbetts “by demand” atau sesuai permintaan.

Pembaca, jangan salah mengerti ya. Mujizat yang dimaksud oleh Tebbets adalah mujizat perubahan/kesembuhan diri sebagai hasil aplikasi hipnoterapi dalam membantu seseorang keluar dari masalah (emosi) yang selama ini menghambat atau mengganggu hidupnya.

Untuk bisa melakukan Miracles On Demand kita perlu memahami cara kerja berbagai teknik yang dijelaskan di bukunya. Dan yang lebih penting lagi kita harus sungguh-sungguh mengerti cara kerja pikiran. Saya telah banyak mengulas mengenai cara kerja pikiran di berbagai artikel dan buku yang saya tulis. Dalam kesempatan ini saya akan mengulas satu bagian dari mekanisme pikiran, yang sangat penting, yang selama ini hanya saya ajarkan di pelatihan sertifikasi hipnoterapi 100 jam yang saya selenggarakan melalui Quantum Hypnosis Indonesia.

Sebelum saya menjelaskan lebih jauh saya perlu secara jujur mengakui bahwa di awal karir saya sebagai seorang Re-Educator dan Mind Navigator saya banyak mengalami kegagalan melakukan terapi. Seringkali klien yang saya tangani hanya “sembuh” untuk beberapa saat dan setelah itu masalahnya muncul lagi (relapse).

Seringkali saat sedang asyik melakukan restrukturisasi berbagai program pikiran bawah sadar klien, saya mendapat penolakan hebat dari diri klien (baca: pikiran bawah sadar). Saya cukup pusing memikirkan hal ini. Dan ini berpengaruh terhadap kepercayaan diri saya melakukan terapi. Saya pernah sampai memutuskan untuk cuti melakukan terapi karena merasa diri saya gagal total setelah 4 kali berturut-turut gagal membantu klien.

Jadi, beginilah kemampuan saya dulu. Payah.. kan? Berbekal perasaan malu kepada diri sendiri dan dorongan untuk bisa memberikan yang terbaik untuk klien maka saya memutuskan untuk belajar lebih mendalam lagi. Saya membeli lebih banyak buku dan berbagai program pelatihan yang direkam dalam bentuk DVD.

Hasilnya? Ya… lumayan lah.

Ternyata kesalahan utama saya adalah saya belum tahu cara efektif untuk membawa klien masuk ke kedalaman trance yang dibutuhkan untuk terapi yang efektif. Teknik yang saya gunakan ternyata sangat uzur dan tidak efektif karena tidak ada uji kedalaman trance yang presisi.

Teknik apa yang saya gunakan? He.. he.. malu ah kalau saya harus ceritakan di sini. Tapi, biar anda tidak penasaran saya perlu mengungkapkan teknik “rahasia”, yang ternyata tidak efektif, yang saya gunakan untuk induksi.  Teknik ini adalah teknik Progressive Relaxation.

Mengapa Progressive Relaxation tidak efektif?

Karena saat itu saya berpikir, berdasar pembelajaran saya pada saat itu, bahwa bila seseorang sudah rileks, secara fisik, maka ini sama dengan kondisi hipnosis. Ternyata saya salah. Kondisi hipnosis sama sekali tidak ada hubungannya dengan relaksasi fisik. Kondisi hipnosis adalah relaksasi pikiran. Jadi, walaupun fisiknya tidak rileks, bila pikirannya rileks maka klien sudah masuk ke kondisi hipnosis. Semakin rileks pikirannya maka semakin dalam level hipnosis yang berhasil dicapai klien.

Kondisi lain untuk membawa seseorang masuk ke kondisi deep trance adalah dengan menggunakan emosinya. Teknik ini dikenal dengan nama Emotionally Induced Induction. Jadi, tanpa klien perlu merilekskan tubuhnya, justru pada saat emosinya sedang bergejolak, misalnya klien menangis saat menceritakan pengalaman hidupnya, maka pada saat itu klien sudah masuk ke kondisi trance yang dalam.

Nah, setelah mengetahui bahwa teknik Progressive Relaxation tidak efektif saya lalu meng-update diri saya dengan menggunakan teknik yang lebih advanced. Dari sekian banyak teknik saya akhirnya menyimpulkan, dari berbagai literatur yang saya pelajari dan juga dari pengalaman praktik, bahwa ada 3 (tiga) teknik induksi yang sungguh-sungguh efektif untuk membawa seeorang masuk ke kondisi (very) deep hypnosis, atau yang biasa disebut dengan profound somnambulism,  dengan sangat cepat dan sangat mudah. Teknik ini diajarkan di kelas sertifikasi hipnoterapis 100 jam yang saya selenggarakan. Saya tidak mengajarkan teknik lain.

Bagaimana hasil terapi saya setelah bisa membawa klien masuk ke kondisi somnnambulism?

Semakin baik. Secara statistik keberhasilan saya meningkat sangat drastis. Saya ikut senang dengan pencapaian ini. Tapi ini bukanlah akhir dari masalah yang saya hadapi.

Seperti yang saya jelaskan di depan, beberapa kasus yang saya tangani ternyata tidak maksimal. Terutama saat membantu klien berhenti merokok dan menurunkan berat badan.

Apa yang terjadi?

Klien yang sudah berhenti merokok ternyata setelah beberapa saat, bisa beberapa minggu atau bulan, eh… tiba-tiba kembali merokok. Dan kalau mereka kembali merokok biasanya menghabiskan lebih banyak rokok dari sebelum diterapi.

Apa yang salah?

Saya juga bingung kok bisa begini. Saya sudah berhasil membawa klien masuk kondisi sangat dalam. Saya merasa telah menggunakan teknik yang sesuai dengan kondisi klien. Tapi mengapa kok bisa kambuh lagi? Saya tahu pasti ada some thong wring dengan teknik terapi yang saya gunakan.

Kembali lagi saya harus jujur melakuan evaluasi diri. Jika saya belum berhasil membantu klien dengan optimal maka saya tidak akan pernah menyalahkan klien saya. Yang saya salahkan adalah diri saya. Walaupun sebenarnya faktor klien juga sangat menentukan. Terapi adalah kontrak upaya dari dua pihak, klien dan terapis. Bukan kontrak hasil.

Berbekal rasa penasaran ini saya akhirnya mulai melakukan indepth thinking. Saya melakukan kaji ulang terhadap berbagai kasus yang telah saya tangani. Saya melihat catatan yang saya buat selama menangani berbagai kasus itu. Setelah dipelajari dengan sungguh-sungguh tetap tidak ditemukan “kesalahan” prosedur dalam terapi saya. Lalu apa yang salah ya?

Jawaban muncul saat saya mempelajari kembali sifat-sifat pikiran bawah sadar seperti yang dinyatakan oleh Milton Erickson. Salah satu fungsi pikiran bawah sadar kita adalah melindungi diri kita dari bahaya fisik dan bahaya mental/emosi, baik itu bahaya yang sebenarnya atau sesuatu yang dipersepsi sebagai bahaya. Selain itu, Milton Erickson juga mengatakan bahwa pikiran bawah sadar malas untuk berubah.

Semuanya menjadi jelas saat saya membaca karya Georgi Lozanov, Suggestology and Outline of Suggestopedia, yang mengatakan bahwa di pikiran bawah sadar terdapat mental barrier yang berfungsi sebagai filter mental. Filter mental ini menghambat perubahan yang dilakukan pada “isi” pikiran bawah sadar.

Nah, kalau sampai terapi yang saya lakukan tidak efektif, terbukti dengan klien kembali ke pola kebiasaan lama, maka hal ini mengindikasikan bahwa terapi yang saya lakukan mendapat perlawanan dari pikiran bawah sadar klien. Perlawanan ini muncul dalam bentuk dianulirnya restrukturisasi yang telah saya lakukan dan klien kembali lagi ke kebiasaan lama.

So… what’s wrong?

Ternyata setelah dikaji dengan hati-hati akhirnya saya menemukan mengapa terapi saya kurang efektif. Saya telah salah berasumsi. Saya berpikir bahwa dengan berhasil membawa klien masuk kondisi hipnosis yang sangat dalam maka saya bisa melakukan apa saja dengan pikiran klien. Bukankah saat dalam hipnosis filter pikiran klien sudah off alias tidak bekerja? Wah.. ini pandangan yang benar-benar ngawur dan tidak ilmiah.

Memang benar saat dalam kondisi hipnosis  filter mental, yang disebut critical factor, sudah off. Namun, ini kan filter yang ada di pikiran sadar. Bukan di pikiran bawah sadar. Secara intuitif saya yakin bahwa di pikiran bawah sadar juga ada filter mental. Ini yang selama ini jarang dibahas.

Seorang pakar lainnya mengatakan bahwa filter mental ini, critical factor, sebagian terletak di pikiran sadar dan sebagian lagi ada di pikiran bawah sadar. Namun sayangnya ia tidak secara detil menjelaskan filter yang ada di pikiran bawah sadar.

Berbekal kesimpulan ini saya selanjutnya berburu informasi mengenai filter mental. Ternyata walaupun saya punya sangat banyak literatur mengenai hipnoterapi jarang ada yang secara khusus membahas mengenai filter mental. Saya akhirnya harus membaca ulang berbagai literatur dan memberikan perhatian khusus pada kasus-kasus terapi yang diceritakan di literatur itu. Dari sini akhirnya saya mendapat pencerahan. Saya melihat ada satu pola yang konsisten yang terjadi pada kasus-kasus yang semula “gagal” diterapi oleh para pakar itu. Setelah pakar itu melakukan beberapa perubahan pada teknik dan semantik yang digunakan akhirnya klien sembuh total.

Nah, apa sih yang saya temukan?

Saya menyimpulkan bahwa saat dalam kondisi hipnosis, saat critical factor yang ada di pikiran sadar tidak bekerja, maka pada saat itu masih ada 4 (empat) filter mental di pikiran bawah sadar yang tetap aktif.

Berbeda dengan pandangan umum ,yang mengatakan bahwa saat berada dalam kondisi deep hypnosis klien sama sekali tidak berdaya sehingga terapis bisa melakukan apa saja terhadap diri klien, ternyata sedalam apapun kondisi klien, ia tetap mendapat proteksi dari 4 filter mentalnya.

Untuk bisa melakukan perubahan permanen maka restrukturisasi berbagai program pikiran bawah sadar, termasuk pemberian sugesti, harus bisa menembus saringan 4 filter ini. Jika tidak lolos salah satu saja dari keempat filter ini maka perubahan yang hendak dilakukan akan mendapat perlawanan/penolakan dan akhirnya bisa dianulir oleh pikiran bawah sadar.

Apa saja 4 filter ini?

Pertama, filter keselamatan hidup atau survival. Segala perintah atau sugesti yang diberikan, walaupun klien dalam kondisi deep hypnosis, bila membahayakan keselamatan hidup klien pasti langsung ditolak.

Kedua, filter nilai moral atau agama. Bila perintah berhasil menembus filter pertama maka akan disaring oleh filter kedua ini. Perintah yang bertentangan dengan nilai moral atau agama pasti akan ditolak.

Misalnya seorang anak, saat berada dalam kondisi deep hypnosis, diminta untuk “memegang” pisau (ini hanya dalam imajinasinya) dan membunuh ibunya. Apakah akan ia lakukan perintah ini? Tentu tidak.

Demikian juga jika klien diminta menginjak kitab suci agamanya. Apakah akan ia lakukan? Tentu tidak. Mengapa? Karena sejak kecil ia dididik bahwa kalau sampai ia menginjak kitab suci agamanya maka nanti ia akan masuk neraka dan akan dibakar  7 (tujuh) kali. Ini benar-benar siksaan yang luar biasa. Tentu pikiran bawah sadar klien tidak akan mengijinkan klien mengalami hal ini.

Contoh lain, misalnya terapis pria memberikan sugesti kepada klien wanita untuk melakukan tindakan yang kurang pantas. Perintah ini akan serta merta ditolak. Klien bisa langsung keluar dari kondisi hipnosis dan bisa sangat marah kepada terapis kurang ajar ini.
Namun tidak menutup kemungkinan klien wanita ini menuruti apa yang disugestikan oleh terapis. Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya sangat sederhana dan logis. Bila klien wanita melakukan perintah, yang seharusnya menurut nilai moral dan agama tidak pantas, maka hal ini menunjukkan bahwa filternya mengijinkan hal ini terjadi. Dengan kata lain si wanita ini “agak kurang beres”. Anda mengerti lah maksud saya. Tidak perlu saya jelaskan lebih detil.

Ketiga, filter kebenaran data. Misalnya terapis memberikan sugesti pascahipnosis (post hypnotic suggestion) bahwa klien akan berhenti merokok karena rokok baunya seperti ikan busuk, sangat menjijikkan, dan membuat klien mual. Sugesti ini bisa bekerja untuk beberapa saat saja. Pikiran bawah sadar akan melakukan pengecekan kebenaran data ini. Apa benar rokok itu baunya seperti ikan busuk? Tentu tidak. Akibatnya, cepat atau lambat sugesti ini akan dianulir secara otomatis.

Keempat, filter masuk akal. Jika sugesti yang diberikan ternyata tidak masuk akal maka akan ditolak. Masuk akal ini ukurannya adalah berdasarkan pengalaman dan pengetahuan klien. Misalnya klien mempunyai berat badannya 90 kg. Klien ingin menurunkan berat badan hingga menjadi 45 kg. Terapis memberikan sugesti bahwa 1 bulan kemudian berat badan klien akan turun ke 45 kg. Sugesti ini sudah pasti akan ditolak karena tidak masuk akal. Selain itu filter survival juga akan langsung aktif menolak perintah ini. Mengapa? Karena sugesti ini akan berakibat sangat negatif pada kesehatan klien.

Pembaca, anda jelas sekarang?

Ternyata urusan pikiran ini cukup njlimet … eh… rumit, maksud saya. Semoga penjelasan saya di artikel ini bisa membantu anda untuk lebih memahami cara kerja pikiran dan bisa diterapkan untuk kemajuan hidup anda.



Dipublikasikan di https://www.adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=37 pada tanggal 21 Juli 2010