Kecemasan bukan sekadar rasa takut tanpa alasan atau akibat dari “ketidakseimbangan kimia otak”. Ia merupakan hasil interaksi kompleks antara pengalaman emosional, cara otak memproses stres, dan program bawah sadar yang terbentuk dari pengalaman masa lalu (McEwen, 2007; McEwen & Morrison, 2013).
Dalam pandangan neurosains modern dan hipnoterapi klinis, kecemasan muncul ketika terjadi ketidakharmonisan antara sistem limbik dan korteks prefrontal. Sistem limbik berperan sebagai pusat deteksi bahaya dan reaksi emosional, sedangkan korteks prefrontal (PFC) berfungsi mengatur emosi dan berpikir rasional. Saat stres berlangsung lama, keseimbangan antara keduanya terganggu, dan sistem emosional mengambil alih kendali (McEwen & Morrison, 2013; Herman & Tasker, 2016).
Pengalaman, stres, dan emosi terbukti mengubah kimia, struktur, dan fungsi otak (McEwen & Morrison, 2013). Inilah sebabnya mengapa kecemasan dapat bertahan lama meski ancaman sudah berlalu, otak membentuk pola respons baru yang terus aktif bahkan tanpa stimulus eksternal.
Otak dalam Mode Siaga: Aktivasi Poros HPA
Ketika seseorang menghadapi peristiwa traumatis seperti kehilangan, penolakan, atau tekanan berat, amigdala, pusat deteksi bahaya di otak, segera mengaktifkan hipotalamus dan memulai reaksi stres melalui poros HPA (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal) serta sistem saraf otonom.
Prosesnya berlangsung sebagai berikut:
1. Hipotalamus melepaskan corticotropin-releasing hormone (CRH).
2. Kelenjar pituitari menanggapi dengan melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH).
3. Kelenjar adrenal memproduksi kortisol dan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) melalui aktivasi sistem simpatis.
Hormon-hormon ini menjaga tubuh tetap waspada menghadapi ancaman. Namun, jika aktivasi ini berlangsung terus-menerus, poros HPA menjadi hiperaktif dan tubuh hidup dalam kondisi siaga berkepanjangan. McEwen (2007) menyebut kondisi ini sebagai allostatic load, kelelahan sistem stres akibat paparan berulang tanpa pemulihan, yang menimbulkan perubahan struktural dan fungsional di amigdala, hipokampus, dan PFC (Herman & Tasker, 2016).
Dalam keadaan ini, amigdala menjadi terlalu sensitif, sementara PFC kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan emosi. Pikiran pun menjadi tidak stabil, sulit fokus, mudah terganggu, dan terus berputar memikirkan bahaya yang belum tentu nyata.
Disregulasi Neurotransmiter: Serotonin, GABA, dan Norepinefrin
Stres kronis menimbulkan perubahan kompleks pada sistem neurotransmiter otak. Aktivitas serotonin dan GABA, dua neurotransmiter yang berperan menenangkan sistem saraf, cenderung menurun, sementara aktivitas norepinefrin dan dopamin meningkat di wilayah-wilayah otak yang terlibat dalam kewaspadaan dan respons terhadap ancaman, terutama di korteks prefrontal dan sistem limbik (Savitz, Lucki, & Drevets, 2009; Arnsten, 2015; Liu et al., 2014).
Perubahan-perubahan ini menyebabkan sistem limbik menjadi hiperreaktif, sedangkan PFC melemah. Akibatnya, individu sulit memusatkan perhatian, mudah terdistraksi, dan rentan terjebak dalam pola pikir negatif berulang.
Peran SSRI dan Batasannya
Dalam praktik medis, dokter sering meresepkan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) untuk menstabilkan sistem serotonin. Obat ini membantu menurunkan aktivitas amigdala terhadap stimulus negatif dan menormalkan keseimbangan suasana hati (Schuyler et al., 2012). Penelitian pencitraan otak (neuroimaging) juga menunjukkan bahwa SSRI menurunkan hiperaktivitas amigdala pada individu dengan gangguan kecemasan dan depresi (Arnone et al., 2020).
Namun, farmakoterapi hanya menyentuh lapisan biologis, bukan akar emosional. Akar kecemasan yang bersumber dari memori emosional bawah sadar tetap memerlukan penyembuhan melalui pendekatan psikoterapeutik yang menjangkau lapisan emosi terdalam.
Trauma, Emosi yang Tertahan, dan Program Bawah Sadar
Dalam pendekatan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis yang dikembangkan oleh Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), trauma tidak dianggap sebagai peristiwa masa lalu semata, tetapi sebagai program emosional aktif di pikiran bawah sadar.
Emosi seperti takut, marah, kecewa, atau kehilangan tersimpan dalam sistem limbik dan membentuk emotional memory. Saat individu menghadapi situasi yang mirip, amigdala memicu kembali respons bahaya yang sama.
Semakin sering siklus ini berulang, kadar kortisol meningkat, dan kemampuan berpikir rasional menurun. Akibatnya, muncul gejala seperti kecemasan kronis, mudah lupa, dan kelelahan mental (McEwen, 2007; Sousa & Almeida, 2012).
Beberapa individu memiliki kerentanan biologis bawaan yang dikaitkan dengan peningkatan kecenderungan sifat cemas (Lesch et al., 1996) dan, dalam sebagian penelitian, berperan sebagai moderator antara paparan stres kehidupan dan timbulnya gejala depresi (Caspi et al., 2003), meskipun hasil tersebut tidak selalu konsisten pada meta-analisis berikutnya (Risch et al., 2009).
Saat Cemas, Pikiran Menjadi Tidak Tenang
Ketika amigdala terlalu aktif dan PFC melemah, kemampuan berpikir logis menurun. Seseorang menjadi:
• Sulit fokus dan berkonsentrasi,
• Mudah terdistraksi,
• Terjebak dalam overthinking,
• Sulit membuat keputusan dengan tenang.
Studi menunjukkan bahwa kecemasan, melalui gangguan kendali perhatian (attentional control), menurunkan efisiensi dan, pada kondisi tertentu, efektivitas kinerja memori kerja (working memory), karena perhatian mudah teralihkan oleh sinyal ancaman (Eysenck et al., 2007; Owens et al., 2012). Dalam kondisi ini, otak cenderung beroperasi dalam mode bertahan hidup, bukan mode reflektif.
Jalan Pemulihan: Integrasi Biologis dan Psikologis
Otak manusia bersifat plastis; ia dapat menata ulang koneksi saraf melalui pengalaman dan kesadaran baru (McEwen & Morrison, 2013). Pemulihan kecemasan yang efektif memerlukan dua arah:
1. Pendekatan biologis, seperti penggunaan SSRI, latihan pernapasan, tidur cukup, dan teknik relaksasi untuk menurunkan aktivitas poros HPA serta menyeimbangkan sistem saraf (Herman & Tasker, 2016).
2. Pendekatan psikologis, seperti hipnoterapi berbasis hipnoanalisis yang membantu klien mengakses pikiran bawah sadar, melepaskan emosi yang tertahan, dan membangun makna baru atas pengalaman masa lalu.
Setelah muatan emosional diproses, sistem limbik menjadi tenang, poros HPA kembali stabil, dan keseimbangan neurokimia pun pulih secara alami.
Pulih Seutuhnya
Kecemasan bukan tanda kelemahan, melainkan pesan dari tubuh dan pikiran bahwa sistem sedang mencari keseimbangan. Ketika seseorang mulai menyadari, memproses, dan menyembuhkan akar emosinya, aktivasi HPA menurun, amigdala stabil, dan korteks prefrontal kembali aktif. Pikiran menjadi lebih jernih, fokus meningkat, dan rasa aman tumbuh dari dalam diri.
Pulih seutuhnya tidak lahir dari obat semata, tetapi dari keselarasan antara pikiran sadar, bawah sadar, dan tubuh biologis. Inilah esensi penyembuhan sebagaimana diajarkan dalam program pendidikan hipnoterapis profesional Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH): menyatukan psikologi kedalaman (depth psychology), neurosains, dan kesadaran dalam satu proses transformasi yang utuh.
Referensi:
Dipublikasikan di https://www.adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=488 pada tanggal 6 November 2025