Beberapa waktu lalu, seorang klien mengajukan pertanyaan yang cukup menarik, “Pak Adi, apakah hipnoterapi bisa digunakan untuk mengalahkan kuasa setan?”
Terus terang, saya sempat bingung. Sebagai hipnoterapis, saya tidak boleh langsung berasumsi atau menarik kesimpulan sepihak. Maka saya tanyakan kembali, “Maksud Anda, kuasa setan itu seperti apa?”
Klien kemudian menjelaskan bahwa ia kerap melakukan masturbasi, menonton video porno, dan setiap kali melihat perempuan, pikirannya dipenuhi oleh fantasi seksual. Ia merasa ini adalah dosa, dan yakin bahwa dorongan-dorongan itu muncul karena godaan setan.
Ia mengaku sudah berusaha keras menahan diri, tetapi selalu gagal. Dorongan itu terlalu kuat. Saya pun kembali bertanya, “Sebelum Anda melakukan hal-hal yang menurut Anda tidak baik itu, apa yang biasanya muncul di pikiran? Apa yang Anda rasakan?”
Klien menjawab, ketika ia sedang santai dan tidak ada kegiatan, dorongan untuk menonton video porno muncul. Ia bahkan mengaku mendengar “suara setan” di dalam kepalanya—suara yang seolah-olah terus mendorong, merayu, dan membujuknya. Akhirnya, ia pun menyerah. Menonton video porno dan bermasturbasi, sambil tentu saja berfantasi.
Apakah benar ini karena godaan setan?
Sebagai hipnoterapis, saya telah beberapa kali menangani dan berhadapan dengan she Tan. Ada juga yang she Liem, she Go, dan she-she lainnya. Tapi kalau berhadapan langsung dengan setan, belum pernah.
Saya jelaskan kepadanya bahwa apa yang ia alami, dari sudut pandang ilmu pikiran, khususnya hipnoterapi klinis, tidak ada hubungannya dengan setan.
Namun klien bersikeras. “Tapi Pak Adi, setan itu kan ada. Setan memang menggoda manusia untuk berbuat dosa. Saya yakin, saya ini dipengaruhi setan.”
Sebagai terapis, saya tidak memasuki ranah teologi. Tugas saya adalah membantu klien menyelesaikan masalahnya. Maka saya edukasi klien tentang cara kerja pikiran.
Apa yang dialaminya bermula dari kontak antara indera dan objek. Dalam hal ini, antara indera penglihatan dan pendengaran dengan objek berupa video porno. Saat melihat dan mendengar isi video tersebut, muncullah makna, sensasi, dan perasaan menyenangkan. Perasaan inilah yang diperkuat oleh daya imajinasi dalam Pikiran Bawah Sadar (PBS).
Rasa senang itu menciptakan keinginan untuk mengulang pengalaman yang sama. Ini adalah prinsip kerja pikiran yang didasari loba atau keserakahan. Semakin sering diulang, dorongannya semakin kuat—seperti bola salju yang terus membesar.
Apa yang tidak disadari klien adalah bahwa semua ini telah terekam sangat kuat di PBS-nya. Dalam hal pengaruh terhadap perilaku, kekuatan PBS dibanding Pikiran Sadar (PS) adalah 99 banding 1. Jadi, saat PBS berkata “ya,” sekuat apa pun PS menolak, hasilnya tetap kalah.
PBS mendorong individu bertindak melalui emosi, sensasi, bahkan bisikan. Dalam hipnoterapi klinis, suara ini bukanlah suara setan, melainkan ekspresi dari Bagian Diri tertentu—disebut juga Ego Personality.
Semakin sering suatu tindakan atau perilaku diulang, ia menjadi semakin kuat, emosi yang menyertainya menjadi semakin intens, daya dorong, kendali, dan kelekatannya juga menjadi semakin kuat membelenggu seseorang. Tanpa kesadaran dan kendali diri yang kuat adalah mustahil untuk bisa mengalahkan dorongan hawa nafsu.
Lalu bagaimana cara membantu klien ini?
Saya melakukan hipnoanalisis, mencari dan menemukan kejadian paling awal yang mendasari perilakunya, momen saat bola salju ini pertama kali mulai menggelinding. Saya menelusuri akar masalah di dalam PBS-nya dan melakukan proses netralisasi, termasuk terhadap rasa nikmat dari masturbasi yang sebelumnya menjadi “hadiah” dari perilaku tersebut.
Hasilnya, dorongan untuk menonton video porno hilang total. Bersamaan dengan itu, dorongan untuk masturbasi juga lenyap, begitu pula fantasi seksual yang biasanya muncul setiap kali melihat perempuan.
Saya menyarankan klien untuk menyibukkan diri dengan aktivitas positif serta memperkuat nilai-nilai agama dan kemoralan. Ini menjadi benteng yang kuat untuk mencegah perilaku yang tidak bermanfaat.
Saya cukup prihatin ketika mendengar seseorang menyatakan bahwa mereka berbuat dosa atau melanggar nilai agama karena “godaan setan.” Ungkapan ini seringkali menjadi bentuk pelimpahan tanggung jawab. Mereka mencari “kambing hitam” untuk sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi. Akibatnya, mereka beroperasi dengan mentalitas korban.
Ketika seseorang bermental korban, ia merasa tidak berdaya. Ia menyerahkan kendali hidupnya pada faktor luar—bukan dirinya sendiri. Dan saat itu terjadi, perubahan menjadi sesuatu yang sangat sulit dicapai.
.
.
(Credit photo: Jetrel)