The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Hidup, Luka, dan Pilihan untuk Bebas

6 April 2025
Hidup, Luka, dan Pilihan untuk Bebas

Dalam kebijaksanaan timur yang telah diwariskan berabad-abad, penderitaan manusia sering diibaratkan seperti dua anak panah yang meluncur kencang ke arah kita. Anak panah pertama adalah 𝐩𝐚𝐢𝐧—rasa sakit fisik atau emosional yang muncul akibat pengalaman hidup: kehilangan, kegagalan, penolakan, luka hati. Anak panah ini tidak bisa dihindari. Ia pasti datang dalam perjalanan siapa pun yang hidup di dunia ini.

Namun setelah anak panah pertama menancap, datanglah anak panah kedua: 𝐬𝐮𝐟𝐟𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠 atau penderitaan batiniah. Tidak seperti yang pertama, anak panah ini tidak selalu harus menancap—ia bersifat opsional. Kita bisa memilih apakah akan membiarkan anak panah ini mengenai kita, menancap lebih dalam ke hati, atau membiarkannya meluncur lewat begitu saja.

Suffering muncul dari cara kita memaknai rasa sakit. Bila kita menyikapi peristiwa menyakitkan dengan kesadaran dan penerimaan, penderitaan bisa tidak terjadi, atau hanya menyentuh sebentar lalu pudar. Tetapi jika kita menolak kenyataan, mengutuk kejadian, atau menggenggam terlalu erat kenyamanan yang telah berlalu, maka kita sendirilah yang mengizinkan anak panah kedua itu melukai lebih dalam.

Antara Pain dan Suffering

Dalam kehidupan, pain adalah sesuatu yang tak bisa kita hindari. Ia adalah bagian dari kodrat manusia. Namun suffering—penderitaan batiniah yang memperpanjang rasa sakit—adalah sesuatu yang bisa kita pahami, kita kelola, bahkan kita hindari.

Suffering muncul bukan karena rasa sakit itu sendiri, melainkan karena kita tidak tahu, tidak menyadari, tidak mengakui, atau tidak bersedia menerima satu hukum paling mendasar dari alam semesta: bahwa tidak ada yang kekal kecuali ketidakkekalan itu sendiri.

Saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai—orang, jabatan, status, materi, kenyamanan—kita sering lupa bahwa semua itu hanyalah bagian dari arus kehidupan yang bergerak. Kita bersikeras ingin hidup tetap nyaman, tetap stabil, kalau bisa bahkan semakin menyenangkan. Kita ingin menggenggam yang enak dan menolak yang pahit.

Di sinilah penderitaan lahir. Semakin kuat kita menolak perubahan, semakin kita ingin mempertahankan hal-hal menyenangkan yang telah lewat, semakin dalam penderitaan yang kita alami. Kita terseret dalam kemarahan, kesedihan, kebencian, dan penyesalan. Bukan karena kenyataan itu sendiri, tetapi karena kita tidak ingin menerima kenyataan sebagaimana adanya.

Kelekatan—bahkan terhadap emosi positif—jika tidak disertai kesadaran akan ketidakkekalan, akan melahirkan penderitaan yang dalam. Dan semakin besar intensitas emosi yang melandasi kelekatan itu, semakin besar pula penderitaan yang dirasakan ketika harus melepaskannya.

Semua ini sejatinya bekerja mengikuti sifat alamiah pikiran: yaitu cenderung mencari, mengejar, serta berusaha mempertahankan atau mengulangi perasaan senang, sekaligus secara otomatis menghindari hal-hal yang tidak nyaman.

Ketika kita mengalami sesuatu yang menyenangkan, pikiran secara naluriah ingin menggenggam dan mengulang pengalaman itu. Namun, saat kita tidak mampu mempertahankannya—karena hidup selalu bergerak dan berubah—pikiran mulai bereaksi: memunculkan emosi negatif seperti marah, kecewa, benci, terluka, atau perasaan bersalah.

Inilah awal dari penderitaan yang kita ciptakan sendiri. Bukan karena hidup bersalah, tetapi karena kita tidak menyadari permainan batin yang terjadi di dalam diri.

Jalan Menuju Kebebasan

Namun kabar baiknya adalah: kita bisa belajar untuk tidak menambah penderitaan dalam rasa sakit yang kita alami. Kita bisa memilih untuk menyikapi pain dengan kesadaran, bukan dengan reaksi otomatis. Ada beberapa jalan yang bisa ditempuh:

1. Diam yang jernih
Saat kita hadir sepenuhnya, menyadari apa yang kita rasakan tanpa menambah cerita, kita mulai melihat bahwa rasa sakit hanyalah sensasi hidup yang bergerak. Ia datang, dan ia akan pergi. Kita adalah saksi, bukan pelaku mutlak dari peristiwa.

2. Penerimaan terhadap perubahan
Penerimaan bukan kelemahan. Ia adalah keberanian untuk melihat hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita inginkan. Dengan menerima ketidakkekalan, kita belajar melepas.

3. Berhenti menuntut kenyataan tunduk pada keinginan pribadi
Kita tidak menderita karena hidup berubah, tetapi karena kita menolak perubahan. Semakin kita memaksa kenyataan untuk sesuai dengan keinginan kita, semakin kita menjauh dari damai yang hakiki.

4. Memberi makna atas rasa sakit
Rasa sakit bisa menjadi batu loncatan menuju pemahaman yang lebih dalam, jika kita mengizinkannya membentuk hati yang lebih lembut, lebih bijak, lebih sadar.

“Suffering ceases to be suffering at the moment it finds a meaning.”
—Viktor E. Frankl

Ketenangan dalam Keheningan

Rasa sakit adalah bagian dari hidup. Ia tidak dapat dihindari, tetapi penderitaan bisa dicegah. Suffering is optional.

Ketika kita mulai menyadari bahwa segala sesuatu yang muncul pasti akan berlalu, bahwa kenyamanan pun bukan milik selamanya, kita tidak lagi menggenggam terlalu erat. Kita belajar mengalir. Kita belajar menerima.

Maka, saat luka datang mengetuk pintu, izinkan ia masuk sebagai guru.
Resapi kehadirannya.
Dengarkan pesannya.
Belajarlah darinya.
Dan ketika waktunya tiba, lepaskan ia dengan kesadaran penuh dan cinta.

Dan di sanalah, dalam ruang batin yang sunyi namun utuh, kita temukan kebebasan yang sesungguhnya—bukan karena rasa sakit tidak ada, tetapi karena kita tidak lagi menambahkan penderitaan di dalamnya.

_PRINT