The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Salah satu sejawat hipnoterapis AWGI, alumnus SECH tahun 2023, kirim pesan melaporkan kasus yang ia tangani. Kasus pertama, fobia terbang dengan pesawat. Kasus ini di permukaan tampak sederhana, namun di baliknya terdapat akar masalah serius. Kasus kedua, klien dengan kecenderungan melakukan tindakan bunuh diri. Ia mampu menangani keduanya dengan sangat baik dan tuntas, masing-masing dalam satu sesi terapi. Hasil tindak lanjut pada kedua klien ini, sebulan kemudian, didapatkan hasil bahwa keduanya sangat baik dan stabil kondisinya.
Sejawat ini secara khusus menyampaikan terima kasih karena saat mengikuti pendidikan hipnoterapis di AWGI, ia berkesempatan tidak hanya menonton dan mempelajari video rekaman live therapy, juga terutama ia menyaksikan langsung live therapy yang saya lakukan di depan kelas.
Menurutnya, dengan menyaksikan live therapy ia belajar cara cepat membangun relasi terapeutik yang kuat, membangun rasa percaya dan aman dalam diri klien sehingga klien bersedia terbuka dan menceritakan masalahnya.
Ia menjadi lebih cermat dan teliti saat mendengar cerita klien dan mengamati bahasa tubuh dan ekspresi wajah klien sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Ia mendapat "feel" bagaimana sikap, perhatian, keyakinan dan hati terapis saat membantu klien di ruang praktik.
Dan yang juga sangat penting, ia menyaksikan langsung, belajar, dan mengerti cara efektif dan efisien dalam menggunakan strategi dan teknik terapi seturut dinamika yang terjadi di ruang praktik. Menurutnya, ia mengerti bagaimana menjadi peka, tanggap, dan lentur dalam membantu klien. Pembelajaran ini berdampak signifikan dan memampukan dirinya bekerja optimal membantu klien.
Saya menyadari bahwa proses hipnoterapi sangat kompleks. Sejak pertama kali saya mengajar hipnoterapi di tahun 2008, hingga saat ini, saya menetapkan live therapy di depan kelas sebagai salah satu syarat mutlak untuk membangun kompetensi terapeutik setiap peserta didik.
Berdasar pengalaman saya belajar dan membangun kecakapan terapi, terapis pemula tidak akan bisa membangun kompetensi terapeutik tinggi hanya dengan mendapat pelajaran di kelas, baca workbook, nonton video, dan kemudian langsung praktik mandiri. Bila ini yang terapis pemula lakukan, sama seperti saya dulu, yang terjadi adalah kebingungan, tak tahu arah, dan akhirnya mengalami kegagalan berulang.
Hipnoterapis pemula sangat butuh melihat langsung proses terapi yang benar agar mereka memilik basis data yang kuat sebagai acuan dan tolok ukur (benchmark). Mereka juga butuh mendapat bimbingan berkelanjutan hingga akhirnya mencapai standar kompentensi yang ditetapkan.
Di kelas SECH saya menunjukkan langsung aplikasi ilmu yang diajarkan di kelas ke dalam praktik nyata. Masalah yang saya tangani tidak boleh masalah ringan atau sederhana seperti fobia. Masalahnya harus cukup kompleks sehingga teknik yang diajarkan di kelas dapat dipraktikkan dan ditunjukkan dengan segala dinamikanya.
Saat peserta didik melihat langsung teknik yang mereka pelajari berhasil membantu klien mengatasi masalah, pengalaman dan bukti ini menumbuhkan rasa percaya diri kuat bahwa mereka pun pasti bisa.
Saya melakukan total empat sesi live therapy di depan kelas, dengan klien yang berasal dari luar peserta. Jika klien adalah peserta workshop, proses terapinya tidak dapat menunjukkan dinamika yang terjadi di ruang praktik, karena peserta mengenal saya sebagai pengajar dan figur otoritas. Sebaliknya, jika klien berasal dari luar dan tidak mengenal saya, proses terapi berjalan persis seperti yang terjadi di ruang praktik saya.
Di kelas SECH saya hanya mengajarkan teknik yang saya gunakan di ruang praktik. Teknik-teknik ini telah teruji aman dan efektif mengatasi masalah klien dengan cepat dan tuntas. Saya tidak mengajarkan teknik yang belum pernah saya gunakan, walau di berbagai literatur diklaim efektif. Teknik yang saya ajarkan adalah intisari dari hasil belajar, praktik, dan temuan kami sejak tahun 2005 hingga kini.
Di awal karir saya sebagai hipnoterapis, saya punya banyak sekali teknik untuk kasus berbeda. Misal, untuk menangani klien yang mengalami fobia, saya gunakan teknik A. Untuk masalah kecemasan, teknik B. Masalah adiksi, teknik C. Untuk insomnia, teknik D. Kebiasaan menunda, teknik E, dan seterusnya.
Karena ada banyak teknik yang harus saya ingat, saya sering mengalami kebingungan. Setiap kali menangani klien, saya tidak dapat fokus mendengarkan dan memahami masalah mereka, karena pikiran saya justru sibuk memikirkan teknik mana yang akan saya gunakan.
Kondisi ini menjadi semakin rumit bila ternyata masalah klien bersifat multilayer atau berlapis. Misal klien mengalami adiksi rokok. Dari hasil wawancara diketahui klien merokok karena stres. Ia stres karena sedang ada masalah di pekerjaan. Bila seperti ini kondisinya, teknik apa yang akan digunakan?
Akhirnya, saya memutuskan untuk menyederhanakan proses terapi. Melalui proses yang tidak mudah, selama tiga tahun saya mengamati dan mempelajari setiap masalah klien untuk menemukan pola. Saya juga membaca buku dan artikel jurnal. Dengan memahami pola-pola tersebut, penanganan setiap masalah dapat menggunakan protokol yang sama, meskipun dengan dinamika yang berbeda.
Pola yang saya temukan, untuk setiap masalah (simtom) pasti ada sebab (akar masalah). Bila ada asap, pasti ada api. Cari, temukan, dan padamkan apinya, maka asap dengan sendirinya pasti hilang.
Dengan logika yang sama, jika saya bisa membantu klien mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalahnya, maka masalah klien akan berhasil diatasi. Setelah hati-hati dan cermat menelaah serta mengujicobakan berbagai teknik, merujuk pada buku teks, artikel jurnal, serta pengalaman dan temuan di ruang praktik, saya akhirnya memutuskan untuk fokus hanya pada dua teknik utama. Semua teknik lainnya, yang sebelumnya cukup merepotkan, saya tinggalkan.
Dua teknik ini, dengan varian strateginya, telah diterapkan dalam lebih dari 130.000 sesi konseling dan terapi selama hampir 20 tahun dengan hasil yang sangat baik. Teknik-teknik ini terus diperbarui dan ditingkatkan berdasarkan temuan dan pembelajaran kami, para hipnoterapis AWGI.
Mengingat proses pendidikan yang sangat intensif, saya mewajibkan setiap peserta didik untuk hadir dan mengikuti program pendidikan hipnoterapis SECH secara lengkap dan utuh selama 110 jam tatap muka atau 10 hari. Jika ada peserta yang, karena alasan tertentu, tidak dapat hadir meskipun hanya setengah hari, sesuai ketentuan, mereka harus mengundurkan diri.
Seluruh proses pendidikan SECH dilaksanakan secara tatap muka dan tidak dapat dilakukan secara daring (online), karena proses belajar tidak hanya sekadar melihat atau mendengar apa yang disampaikan oleh pengajar seperti yang terjadi dalam pembelajaran daring.
Proses belajar yang baik dan benar melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ada perbedaan yang signifikan dalam hal pengalaman dan dampak antara pembelajaran daring dan tatap muka. Hal ini juga berlaku untuk menyaksikan live therapy, baik secara daring maupun langsung di kelas.
Hipnoterapis pemula, yang dibekali dengan rasa percaya diri yang tinggi, mampu melaksanakan praktik sesuai protokol dengan hasil yang sangat baik. Ini tidak hanya membangun kompetensi terapeutik mereka tetapi juga semakin meningkatkan dan memperkuat rasa percaya diri mereka.
Sebaliknya, hipnoterapis yang kurang percaya diri atau meragukan kemampuan dan kompetensinya karena tidak menerima pendidikan dan bimbingan yang tepat, tidak akan mampu melaksanakan hipnoterapi dengan benar dan efektif. Semakin mereka tidak percaya diri, semakin tidak efektif terapi yang mereka lakukan.
Hipnoterapis tidak kompeten bisa saja mendapat klien lewat promosi yang dilakukan di media sosial. Namun, bila ia berulang kali gagal membantu klien-kliennya, rasa percaya dirinya pasti akan terdampak hingga akhirnya ia memutuskan berhenti praktik. Tentunya ini sangat disayangkan, mengingat investasi waktu, tenaga, dan biaya yang telah ia keluarkan, dan terutama jumlah hipnoterapis profesional masih sangat sedikit di Indonesia.