The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Baru-baru in saya mendapat klien, seorang pria, sebut saja Pak Rudi, yang mengeluh sakit kepala sebelah yang sudah berlangsung sekitar 6 bulan. Pak Rudi telah berobat ke dokter, telah melakukan cek darah lengkap, dan bahkan telah menjalani CT Scan dan MRI. Hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan Pak Rudi sehat, sama sekali tidak ada masalah.
Tidak puas dengan hasil pemeriksaan lab dalam negeri, Pak Rudi memutuskan berobat ke negeri jiran dan kembali menjalani pemeriksaan menyeluruh. Hasilnya? Sama, Pak Rudi dinyatakan sepenuhnya sehat. Dokter tidak bisa menemukan apa yang menyebabkan sakit kepala Pak Rudi.
Dokter di dalam negeri dan di negeri jiran sama-sama mengatakan bahwa sakit kepala Pak Rudi ini disebabkan karena pikiran, bukan karena masalah fisik. Mereka menyarankan Pak Rudi untuk tidak banyak pikiran, hidup lebih santai, berolahraga, dan kalau perlu mengambil cuti dan berlibur untuk menenangkan pikiran.
Pembaca, apa yang dialami oleh Pak Rudi dikenal sebagai penyakit psikosomatis. Psiko artinya pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi, penyakit psikosomatis artinya penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang. Penyakit ini juga disebut dengan penyakit akibat stress. Penyakit psikosomatis sekarang sering disebut dengan penyakit psikofisologis. Namanya saja yang sedikit berbeda namun maknanya sama.
Salah satu hipnoterapis alumnus Quantum Hypnosis Indonesia juga pernah menangani klien, seorang wanita, yang alergi gula atau makanan yang manis. Jika ia makan permen atau minum minuman yang manis maka seluruh tubuhnya akan gatal dan bengkak. Yang aneh adalah bila ia makan nasi atau roti tidak apa-apa. Padahal yang namanya gula itu kan glukosa. Bukankah karbohidrat setelah masuk ke tubuh akan diubah menjadi glukosa? Secara logika, harusnya kalau ia makan nasi atau roti maka reaksi tubuhnya akan sama dengan makan permen atau minum minuman yang manis.
Banyak orang menderit penyakit psikosomatis namun tidak menyadarinya. Mereka biasanya akan terus berusaha sembuh dari sakit yang dideritanya dengan terus berobat namun tidak bisa sembuh. Kalaupun ada perubahan biasanya intensitas penyakitnya saja yang menurun tapi tidak bisa sembuh total. Selang beberapa saat biasanya akan kambuh lagi dan bisa lebih parah dari sebelumnya.
Baik Pak Rudi dan klien wanita ini sembuh hanya dalam  satu sesi terapi setelah akar masalah yang mengakibatkan penyakit  psikosomatisnya berhasil ditemukan dan dibereskan. 
Apa saja sakit  yang masuk kategori psikosomatis? Semua sakit fisik yang disebabkan oleh  kondisi mental atau emosi penderitanya; mulai sakit kepala, sesak  napas, badan lemas lunglai tak bertenaga, jantung berdebar, sulit tidur,  sakit maag, mata berkunang-kunang, bahkan lumpuh, dan masih banyak  lagi. 
Bagaimana Terjadinya?
Untuk memahami  terjadinya penyakit psikosomatis kita perlu mencermati hukum pikiran dan  pengaruh emosi terhadap tubuh. Ada banyak hukum yang mengatur cara  kerja pikiran, salah duanya adalah:
• Setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik.
• Simtom yang muncul dari emosi cederung akan mengakibatkan perubahan pada tubuh fisik bila simtom ini bertahan cukup lama.
Hukum pertama mengatakan setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik. Bila seseorang berpikir, secara konsisten, dan meyakinkan dirinya bahwa ia sakit jantung, maka cepat atau lambat ia akan mulai merasa tidak nyaman di daerah dada, yang ia yakini sebagai gejala sakit jantung. Bila ide ini terus menerus dipikirkan dan akhirnya ia menjadi sangat yakin, menjadi belief, karena gejalanya memang “benar” adalah gejala sakit jantung maka, sesuai dengan bunyi hukum yang kedua, ia akan benar-benar sakit jantung.
Biasanya orang tidak akan secara sadar menginginkan mengalami sakit tertentu. Umunya yang mereka rasakan adalah suatu perasaan tidak nyaman, secara emosi. Sayangnya mereka tidak mengerti bahwa perasaan tidak nyaman ini sebenarnya adalah salah satu bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar.
Ada lima cara pikiran bawah sadar berkomunikasi dengan pikiran sadar. Bisa melalui perasaan, kondisi fisik, intuisi, mimpi, dan dialog internal. Umumnya pikiran bawah sadar menyampaikan pesan melalui perasaan atau emosi tertentu. Bila emosi ini tidak ditanggapi atau diperhatikan maka ia akan menaikkan level intensitas pesannya menjadi suatu bentuk gangguan fisik dan terjadilah yang disebut dengan penyakit psikosomatis.
David Cheek M.D., dan Leslie LeCron menulis dalam buku mereka,  Clinical Hypotherapy (1968), terdapat 7 hal yang bisa mengakibatkan  penyakit psikosomatis: 
-Internal Conflict : konflik diri yang melibatkan minimal 2 Part atau Ego State.
-Organ  Language : bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam mengungkapkan  perasaannya. Misalnya, “Ia bagaikan duri dalam daging yang membuat tubuh  saya sakit sekali.”  Bila pernyataan ini sering diulang maka pikiran  bawah sadar akan membuat bagian tubuh tertentu menjadi sakit sesuai  dengan semantik yang digunakan oleh klien.  
-Motivation / Secondary  Gain: keuntungan yang bisa didapat seseorang dengan sakit yang  dideritanya, misalnya perhatian dari orangtua, suami, istri, atau  lingkungannya, atau menghindar dari beban tanggung jawab tertentu.
-Past  Experience : pengalaman di masa lalu yang bersifat traumatik yang  mengkibatkan munculnya emosi negatif yang intens dalam diri seseorang. 
-Identification  : penyakit muncul karena klien mengidentifikasi dengan seseorang atau  figur otoritas yang ia kagumi atau hormati. Klien akan mengalami sakit  seperti yang dialami oleh figur otoritas itu. 
-Self  Punishment :  pikiran bawah sadar membuat klien sakit karena klien punya perasaan  bersalah akibat dari melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan  nilai hidup yang klien pegang. 
-Imprint : program pikiran yang masuk  ke pikiran bawah sadar saat seseorang mengalami emosi yang intens.  Salah satu contohnya adalah orangtua menanam program ke pikiran bawah  sadar anak dengan berkata, “Jangan sampai kehujanan, nanti bisa flu,  pilek, dan demam."
Sedangkan Tebbets, pakar hipnoterapi terkemuka, mengatakan bahwa kebanyakan penyakit bersifat psikosomatik dan dipilih (untuk dimunculkan) pada level pikiran bawah sadar untuk lari dari suatu situasi yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan mental yang berlebihan (overload) yang disebabkan oleh emosi destruktif seperti marah, benci, dendam, takut, dan perasaan bersalah.
Bagaimana Mengatasinya?
Karena yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah emosi maka terapis harus mampu membantu klien memproses emosi terpendam yang menjadi sumber masalah.
Tebbets mengatakan bahwa ada 4 langkah yang harus  dilakukan untuk mengatasi penyakit psikosomatis dan menghilangkan  simtomnya melalui teknik uncovering:
1.Memori yang menyebabkan munculnya simtom harus dimunculkan dan dibawa ke level pikiran sadar sehingga diketahui.
2.Perasaan atau emosi yang berhubungan dengan memori ini harus kembali dialami dan dirasakan oleh klien.
3.Menemukan hubungan antara simtom dan memori.
4.Harus  terjadi pembelajaran pada secara emosi atau pada level pikiran bawah  sadar, sehingga memungkinkan seseorang membuat keputusan, di masa depan,  yang mana keputusannya tidak lagi dipengaruhi oleh materi yang ditekan  (repressed content) di pikiran bawah sadar.
Mencari tahu apa yang menjadi sumber masalah dilakukan dengan hypnoanalysis mendalam. Ada banyak teknik hipnoterapi yang bisa digunakan untuk melakukan hypnoanalysis. Setelah itu, emosi yang berhubungan dengan memori dialami kembali, dikeluarkan, diproses, dan di-release. Dan yang paling penting adalah kita mengerti pesan yang selama ini berusaha disampaikan oleh pikiran bawah sadar dengan membuat klien mengalami penyakit psikosomatis. Baru setelah itu proses kesembuhan bisa terjadi.
Pada saat alasan untuk terciptanya penyakit psikosomatis telah berhasil dihilangkan maka pikiran bawah sadar tidak lagi punya alasan untuk mempertahankan penyakit itu atau memunculkannya lagi di masa mendatang.
Saya akhiri artikel ini dengan kalimat bijak yang disampaikan oleh Dr. Raymond Charles Barker, “When there is a problem, there is not something to do. There is something to know.”