The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Dalam praktik hipnoterapi, keberhasilan tidak semata ditentukan oleh teknik atau protokol terapi yang digunakan, melainkan juga oleh kualitas kehadiran terapis dalam mendampingi klien. Salah satu kualitas penting yang harus dimiliki oleh seorang hipnoterapis adalah kemampuan merespons emosi klien secara tepat. Dalam konteks ini, penting untuk memahami secara mendalam perbedaan antara simpati dan empati, serta bagaimana keduanya berdampak terhadap proses terapi.
Asal Usul dan Definisi
Secara etimologis, simpati berasal dari bahasa Yunani syn (bersama) dan pathos (perasaan). Simpati merujuk pada perasaan iba atau kasihan terhadap penderitaan orang lain, tanpa perlu turut merasakannya secara langsung. Dalam simpati, seseorang menyadari perasaan orang lain, namun tetap menjaga jarak emosional.
Sebaliknya, empati berasal dari bahasa Yunani em (di dalam) dan pathos (perasaan), yang bermakna kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, seolah-olah berada dalam posisi mereka. Empati mencakup dimensi yang lebih dalam dan lebih personal dibanding simpati.
Tiga Jenis Empati
Dalam kajian psikologi modern (Goleman, 2006; Ekman, 2008), empati diklasifikasikan ke dalam tiga jenis:
- Empati Kognitif: kemampuan memahami perasaan dan pikiran orang lain secara intelektual. Jenis empati ini bersifat rasional dan tidak melibatkan emosi secara mendalam.
- Empati Emosional: kemampuan untuk turut merasakan emosi orang lain. Empati ini dapat memperkuat ikatan emosional, tetapi bila tidak dikelola dengan baik, berisiko menyebabkan kelelahan emosional (emotional burnout) pada terapis.
- Empati Berwelas Asih (Compassionate Empathy): bentuk empati yang paling ideal, karena selain memahami dan merasakan emosi orang lain, terapis juga terdorong untuk membantu dengan tulus, namun tetap menjaga keseimbangan emosional pribadi. Ini adalah bentuk empati yang sehat dan berkelanjutan dalam praktik hipnoterapi.
Simpati vs. Empati dalam Praktik Hipnoterapi
Dalam sesi hipnoterapi, simpati yang berlebihan justru dapat menimbulkan jarak psikologis antara terapis dan klien. Simpati sering kali menempatkan terapis pada posisi superior, merasa kasihan tanpa benar-benar memahami kedalaman emosi klien. Hal ini dapat menghambat terbentuknya rasa aman dan keterbukaan.
Empati emosional yang tak terkendali juga dapat menimbulkan persoalan. Ketika terapis terlalu larut dalam emosi klien, batas antara diri dan klien menjadi kabur. Ini mengurangi objektivitas, mengganggu penilaian terapeutik, bahkan dapat menguras energi psikis terapis dalam jangka panjang.
Sebaliknya, empati berwelas asih adalah bentuk yang ideal. Terapis hadir secara utuh: terbuka secara batin, peka terhadap emosi klien, namun tetap stabil, jernih, dan tidak larut. Dalam keadaan ini, terapis berperan sebagai cermin yang tenang dan netral, tempat klien bisa melihat, mengenali, dan menyembuhkan dirinya sendiri.
Jenis Empati |
Definisi |
Hubungan dengan Simpati |
1. Cognitive Empathy |
Kemampuan memahami pikiran dan perasaan orang lain secara mental (tanpa ikut merasakan). |
Mirip simpati, karena ada jarak emosional. Namun empati kognitif lebih analitis dan digunakan untuk memahami, bukan merasa iba. |
2. Emotional/Affective Empathy |
Kemampuan merasakan secara langsung emosi yang dirasakan orang lain (emosinya menular). |
Berbeda dari simpati. Ini lebih dalam. Dalam simpati, Anda merasa "kasihan", dalam empati emosional Anda ikut merasa sedih, takut, atau marah seperti orang itu. |
3. Compassionate Empathy (Empati Welas Asih) |
Empati yang mendorong tindakan untuk membantu. Anda merasa dan memahami, lalu bertindak. |
Simpati bisa mendorong bantuan, tapi empati welas asih didasarkan pada pemahaman dan rasa yang lebih utuh. Ini bentuk empati tertinggi dan paling sehat. |
Dampak terhadap Emosi dan Kehidupan Individu
Empati yang sehat, khususnya empati berwelas asih, memberikan dampak positif dalam pertumbuhan pribadi dan relasi interpersonal. Individu yang mampu hadir dengan empati semacam ini cenderung lebih sabar, bijak, dan penuh pengertian. Sebaliknya, simpati yang tidak disertai pemahaman, maupun empati emosional yang berlebihan, bisa mengakibatkan kelelahan batin, ketegangan psikologis, atau bahkan keterputusan relasi.
Dalam praktik hipnoterapi, hal ini sangat krusial. Terapis bukan hanya fasilitator perubahan, tetapi juga penjaga ruang kesadaran. Dengan empati yang tepat, terapis dapat membantu klien menavigasi emosi kompleks, menjangkau ingatan terdalam, serta membentuk ulang persepsi dan makna hidup secara adaptif dan konstruktif.
Seperti yang dinyatakan oleh Pema Chödrön, “Compassion is not a relationship between the healer and the wounded. It’s a relationship between equals.” Welas asih bukanlah relasi antara penyembuh dan yang terluka, melainkan hubungan antara dua insan yang setara.
Pernyataan ini menekankan bahwa dalam hubungan terapeutik yang sehat, tidak ada posisi superior. Terapis tidak menolong dari tempat yang lebih tinggi, melainkan hadir sebagai sahabat kesadaran—yang menemani klien menjelajahi batin dan menemukan kembali keutuhan dirinya.
Dengan sikap ini, ruang terapi menjadi tempat yang aman dan hangat, di mana klien tidak merasa dihakimi atau dikasihani, melainkan dihormati dan didampingi. Inilah bentuk kehadiran terapeutik yang memungkinkan penyembuhan sejati terjadi: dua manusia yang setara, berjalan bersama dalam kejujuran, kesadaran, dan kasih.
Kesimpulan
Hipnoterapis perlu melatih kepekaan emosional tanpa kehilangan keseimbangan diri. Simpati harus dihindari bila menjebak dalam rasa iba tanpa kedalaman pengertian. Empati emosional perlu dikelola agar tidak menyedot energi batin. Empati berwelas asih adalah bentuk paling ideal, karena memadukan pemahaman, kehadiran, dan keutuhan batin dalam mendampingi klien menuju pemulihan.
Inilah seni hadir secara utuh sebagai hipnoterapis: merasakan tanpa larut, memahami tanpa melemah, dan membantu dengan kasih yang tidak menguras diri.