Mengapa Umumnya Hipnoterapis Tidak Melakukan Regresi?

22 Februari 2014 09:03

Beberapa waktu lalu saya menangani klien yang datang dari luar kota. Klien ini, sebut saja Pak Budi, mengalami kecemasan tinggi yang berakibat pada meningkatnya produksi asam lambung dan sering mimpi buruk.

Saat wawancara, sesuai prosedur standar yang diterapkan di lembaga AWG Institute, saya bertanya antara lain seputar riwayat masalah yang Pak Budi alami: kapan ia mulai mengalami cemas berlebih, apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya, bagaimana kondisinya hingga saat ini, dan apa saja yang telah ia lakukan untuk mengatasi masalahnya.

Pak Budi menjelaskan bahwa ia telah “berobat” ke empat hipnoterapis di dalam negeri dan Singapore. Ia menjelaskan bahwa para hipnoterapis ini menerapi dirinya hanya membutuhkan waktu rata-rata sekitar satu jam dan semuanya hanya menggunakan sugesti.

Pak Budi kebetulan banyak membaca dan cukup memahami proses dan teknik hipnoterapi. Ia bertanya, “Pak Adi, apa memang teknik terapi itu hanya dengan sugesti? Saya baca di beberapa buku dan situs internet ada teknik regresi. Selama saya menjalani hipnoterapi belum pernah saya diregresi. Apakah teknik regresi memang jarang dipraktikan dalam hipnoterapi?”

Saya jelaskan pada Pak Budi bahwa sebenarnya teknik yang digunakan tentu perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi klien, tidak harus dengan regresi. Terapi tidak harus menggunakan regresi. Ada banyak teknik lain yang juga sangat efektif. Dan setahu saya ada banyak hipnoterapis di Indonesia atau di luar negeri yang cakap melakukan regresi. Mungkin saja ia belum sempat bertemu hipnoterapis ini.

Kembali Pak Budi bertanya, “Tapi mengapa dari empat hipnoterapis ini tidak ada satupun yang menggunakan regresi? Apakah teknik regresi tidak efektif, sulit dipelajari, atau memang jarang diajarkan sehingga jarang ada yang menggunakannya?”

Saya berusaha mendapatkan informasi lebih mendalam dan bertanya, “Pak Budi, berapa sesi terapi yang Bapak jalani dengan masing-masing hipnoterapis?”

“Saya hanya menjalani masing-masing hanya sekali saja. Dengan dua hipnoterapis saya hanya diajak bicara. Dengan yang lainnya saya diminta rileks dan diberi sugesti,” jawabnya.

Nah, di sinilah saya mendapat titik terang. Setiap terapis tentu punya strategi terapi yang akan ia gunakan untuk membantu klien. Dan tentu strategi ini tidak perlu dijelaskan pada klien. Teknik terapi adalah sesuatu yang dipelajari, dipahami, dan dipraktikkan oleh terapis dan dialami oleh klien. Ada terapis yang baru akan menggunakan regresi di sesi kedua atau ketiga, bergantung kesiapan, kebutuhan, situasi, dan kondisi klien. Jadi, tidak serta merta langsung menggunakan teknik regresi di sesi pertama. Dan belum tentu hipnoterapis sebelumnya tidak menguasai teknik regresi.

Setelah selesai menerapi Pak Budi saya duduk termenung di ruang kerja saya. Pertanyaannya kembali mengiang di telinga saya, “Apakah teknik regresi tidak efektif, sulit dipelajari, atau memang jarang diajarkan sehingga jarang ada yang menggunakannya?” Semakin lama pertanyaan ini membuat saya semakin pemasaran dan mendorong saya untuk menemukan jawabannya.

Ingatan saya bergerak mundur ke masa awal saya belajar hipnosis dan hipnoterapi di tahun 2004/2005. Selanjutnya, menyusuri garis waktu, muncul memori saat saya menghabiskan begitu banyak waktu dan tenaga membaca berbagai buku yang saya beli dari Amazon.com dan berbagai toko buku bekas di Amerika, dan juga membaca sangat banyak informasi di situs para praktisi dan pakar hipnoterapi di luar negeri. Saya juga ingat waktu dulu saya dengan antusias, sehari sampai enam jam, memelajari berbagai teknik terapi, termasuk regresi, dengan menonton dan memelajari ratusan DVD yang saya beli dari luar negeri.

Singkat cerita, setelah sungguh-sunguh mencermati, saya akhirnya sampai pada satu simpulan menarik. Ternyata memang tidak banyak trainer hipnoterapi di luar negeri yang benar-benar mendalami teknik regresi secara sangat mendalam. Demikian juga dengan buku. Ada banyak buku bagus membahas topik hipnosis dan hipnoterapi. Namun hanya sedikit yang khusus membahas regresi. Kalaupun ada, pembahasannya hanya pada tataran teori atau konsep, sangat jarang ada yang membahas hal yang sifatnya praktis. Apalagi sampai menjelaskan langkah demi langkah cara melakukan regresi dengan contoh kasus riil. Sejauh ini, buku yang menjelaskan dengan detil teknik dan proses regresi yang dilanjutkan dengan penanganan abreaksi sangat sedikit.

Regresi, selain sangat efektif untuk mencari dan menemukan akar masalah juga dapat digunakan untuk mengakses memori positif dari kejadian tertentu di masa lalu. Regresi jenis ini bertujuan untuk mengalami kembali pengalaman positif, sikap dan pola pikir positif yang mungkin selama ini dorman atau tidak aktif, emosi-emosi positif yang telah "pudar" seiring waktu berjalan. Ini sangat baik untuk membangkitkan kembali berbagai kondisi mental dan emosi yang konstruktif dan bermanfaat bagi kemajuan hidup klien. 

Beberapa kendala yang biasanya dialami hipnoterapis pemula dalam melakukan regresi, seperti yang dulu saya alami saat baru belajar dan mempraktikkan hipnoterapi, antara lain:

1. terapis merasa tidak mampu atau tidak siap karena ego strength yang kurang kuat.

2. klien tidak siap, bisa tidak siap mengingat kembali pengalaman traumatik atau cemas dengan kemungkinan emosi yang muncul.

3. ketidakmampuan membawa klien masuk ke kedalaman hipnosis yang sesuai untuk teknik regresi. Agar teknik regresi yang dilanjutkan dengan revivifikasi, bukan sekedar hipermnesia, bisa bekerja dengan baik dan optimal dibutuhkan kedalaman profound somnambulism. Tanpa kedalaman ini regresi yang berlanjut dengan revivifikasi mustahil bisa dilakukan.

4. terapis tidak siap dan merasa tidak mampu menangani abreaksi atau luapan emosi yang terjadi saat klien mengalami revivifikasi pengalaman traumatik berisi muatan emosi yang intens. Umumnya, bila terjadi abreaksi, apalagi sampai abreaksi hebat, terapis akan panik atau takut saat melihat klien “mengamuk” atau marah, berteriak, memukul, menangis, dll. Belum lagi kalau klien sampai sesak napas, kram di daerah perut, lengan, atau kaki.

5. terapis tidak paham teknik regresi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien serta tidak menggunakan semantik yang sesuai saat memulai regresi dan mempertahankan klien dalam kondisi teregresi.

6. terapis tidak menguasai teknik resolusi trauma. Abreaksi adalah satu hal dan tidak bersifat terapeutik. Abreaksi perlu dilanjutkan dengan resolusi trauma sehingga masalah klien benar-benar tuntas ditangani.

7. terapis telah mencoba teknik regresi namun tidak berhasil menemukan akar masalah sehingga beranggapan teknik ini tidak efektif. Memang ada banyak teknik regresi. Dan dari sekian banyak teknik, dari pengalaman klinis kami, hanya ada satu atau dua teknik yang benar-benar sangat efektif untuk menemukan akar masalah.

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online3
Hari ini322
Sepanjang masa34.520.984
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique