Belajar Untuk Menjadi Cerah Dan Bijak

23 Januari 2024 11:14

Salah satu kegiatan yang sangat saya nikmati adalah sarapan pagi bersama istri dan anak-anak kami. Di kesempatan ini kami biasanya diskusi ringan membahas topik-topik hangat.

Saya gunakan kesempatan ini untuk cerita tentang hidup, kehidupan, sukses, nilai-nilai kebaikan, kemoralan, spiritualitas, terapi, dan hal-hal lain yang bermanfaat.

Pagi ini kami diskusi tentang sikap dan proses belajar yang baik dan benar. Saya sampaikan pada putri kami bahwa sejatinya ilmu itu sangat luas dan tiada batas. Apa yang kita tahu saat ini, hanya seperti sebutir pasir di hamparan pantai nan luas.

Untuk bisa terus maju, berkembang, dan menjadi diri terbaik, proses belajar harus berlanjut, tidak boleh berhenti. Kita harus menjadi pembelajar seumur hidup. Dan ini tentu belajar yang terarah, selektif, terstruktur, dan konsisten.

Saya jelaskan, ada begitu banyak pakar dan ilmuwan menghasilkan pemikiran, pengetahuan, dan teori. Kita perlu sungguh-sungguh belajar dan memutuskan untuk mendalami pemikiran pakar atau teori yang sejalan dan dibutuhkan untuk kegiatan praktis guna mencapai tujuan spesifik.

Kita, tidak bisa belajar semua atau sekadar menggabungkan satu teori dengan teori lain tanpa memiliki landasan pengetahuan yang benar dan kuat.

Bila suatu teori yang dijadikan acuan ternyata tidak bisa memberi hasil seperti yang diharapkan, atau justru menghambat upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, karena teorinya sudah usang dan ada teori baru yang lebih valid, teori lama ini harus segera ditinggalkan dan kita belajar teori baru. Bila perlu, kita membangun teori baru.

Yang jadi masalah adalah bila orang sudah belajar satu teori, kemudian ia merasa pintar, hebat, paling benar dan menutup diri dari informasi lain yang bisa jadi adalah informasi benar, berharga, bermanfaat.

Orang ini berpikiran sempit dan berhenti bertumbuh. Apalagi bila ia mulai menghakimi orang lain yang tidak sejalan dengan dirinya sebagai orang yang salah.

Kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya relatif, tentatif, tidak mutlak. Artinya, kebenaran ini bisa berubah. Hal yang saat ini diyakini benar, suatu saat nanti bisa salah.

Sangat naif bila seseorang yang belajar teori tertentu, memperlakukan teori ini sebagai kebenaran mutlak, dan menghakimi teori lain salah, padahal ia belum mendalami teori lain ini.

Lebih memprihatinkan lagi bila ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup di satu bidang tertentu, dengan keterbatasan pengetahuannya, menolak atau menghakimi hal yang bukan bidang keahliannya.

Penolakan seseorang terhadap hal baru atau yang tidak sejalan dengan teori yang ia pegang, yang ia yakini benar, sangat bisa dipahami dan dijelaskan dari persepektif ilmu pikiran, khususnya terkait sifat dan cara kerja pikiran bawah sadar (PBS).

Salah satu kebutuhan utama manusia adalah konsistensi. Bila ia menerima hal baru, yang tidak sejalan dengan teori yang ia yakini benar, maka dalam hal ini ia telah bertindak tidak konsisten. Dan ini sangat mengganggu dirinya dan dianggap bisa meruntuhkan eksistensi dirinya.

Ia tidak meyadari bahwa teori yang ia pelajari, yang ia yakini benar, sejatinya hanyalah ide atau produk pikiran. Teori bukan dirinya dan dirinya bukan teori.

Satu pernyataan Andrew Greeley sangat perlu direnungkan, "Science is a faith-based system with gatekeepers ever ready to persecute its heretics" atau "Sains adalah sebuah sistem berbasis keyakinan dengan para penjaga gerbang yang senantiasa siap menganiaya para bidah / orang sesat."

Harusnya, pola pikir ilmuwan sejati adalah mengikuti data, bahkan bila ternyata data ini tidak sejalan dengan teori. Saya beri beberapa contoh, bagaimana seringkali pionir atau orang yang berbeda pemikiran atau karya mendapat cemooh atau dirundung oleh sejawat atau komunitas, karena sesungguhnya karya atau pemikiran mereka jauh melampaui zamannya.

Di tahun 1890an, Willem Einthoven, seorang dokter Belanda, mulai mengukur medan elektromagnetik jantung manusia. Ia mulai membuat alat yang disebut galvanometer. Einthoven menghadapi banyak skeptisisme dan pertentangan dari rekan sejawat dan komunitasnya.

Bagi banyak rekan medisnya, yang terbiasa melihat hanya pada materi, gagasan tentang medan energi yang tak terlihat, tampak sebagai sesuatu yang mencurigakan.

Percobaan pertamanya tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Mesinnya berbobot 270 kg dan membutuhkan lima orang untuk mengoperasikannya. Sistem radiator berisi air diperlukan untuk mendinginkan elektromagnet kuat yang menjadi tumpuannya.

Setelah bertahun-tahun bekerja keras, Einthoven berhasil mengembangkan galvanometer yang jauh lebih sensitif daripada galvanometer manapun yang ada pada saat itu. Ia mampu menghubungkan subjek dan mengukur detak jantung mereka. Dia akhirnya membangun teori substansial tentang bagaimana jantung berfungsi dan apa arti pembacaan elektrokardiogram (EKG) untuk diagnosis dan pengobatan.

Einthoven mengabaikan para pengkritiknya dan terus bekerja. Ia memenangkan hadiah Nobel di bidang kedokteran pada tahun 1924. Ia mengilhami pencarian medan energi otak, yang ditemukan pada tahun 1926. Para peneliti kemudian dapat memetakan medan energi bahkan pada satu sel.

Kisah lain, dokter Hans Berger. Pada tahun 1929, setelah menyempurnakan peralatan dan keterampilannya, Hans Berger mendeskripsikan dua gelombang otak pertama yang pernah ditemukan: alfa dan beta.

Sayangnya, karya Berger ini bertentangan dengan teori otak yang lazim dalam pengobatan saat itu, dan karyanya ditolak oleh sebagian besar sejawatnya.

Ilmuwan Inggris dan Amerika percaya bahwa apa yang Berger ukur hanyalah artefak listrik. Salah satu ilmuwan menulis bahwa ia sangat skeptis terhadap kemungkinan merekam sesuatu yang penting dari permukaan otak.

Hans Berger dipaksa pensiun dari jabatan profesor di universitas dan kesehatannya memburuk. Ia mengalami depresi dan akhirnya bunuh diri di tahun 1941.

Baru setelah para peneliti kesadaran mulai menyelidiki hubungan antara pikiran dan otak pada tahun 1960an, mesin EEG mulai digunakan secara luas. Saat ini mesin EEG digunakan untuk memetakan kondisi kesadaran, fungsi otak, dan menemukan gelombang-gelombang baru, antara lain gamma.

Contoh lain adalah yang terjadi di tahun-tahun awal Gary Craig mengajar teknik ciptaannya, Emotional Freedom Technique (EFT). EFT adalah teknik terapi berbasis energi, menggunakan ketukan pada titik-titik meridian, sangat efektif mengatasi banyak masalah emosi.

Saat itu, saya ingat betul dan mengalami sendiri, para pihak "arus utama" menolak keras EFT dan menyatakan bahwa EFT tidak efektif, klien sembuh hanya karena kebetulan, hanya karena efek plasebo, tidak ilmiah, dan hanya berdasar pseudosains. Walau sudah ada begitu banyak data, hasil yang memvalidasi keefektifan EFT, tetap saja para pihak "arus utama" bergeming menolak keras.

Namun, masyarakat atau pengguna teknik ini, yang merasakan manfaat atau hasilnya, tetap menggunakan EFT karena memang hasilnya sangat fenomenal.

Saat itu saya pernah diskusi dengan sejawat pengajar di salah satu universitas, yang mengambil posisi menolak EFT. Ia beralasan bahwa cara kerja EFT tidak bisa dijelaskan dengan teori yang ia pelajari.

Saya tanya sejawat ini, bila memang teori yang ia pelajari tidak bisa menjelaskan cara kerja EFT, mengapa ia masih berpegang teguh pada teorinya, mengapa tidak belajar teori baru. Ia tidak menjawab pertanyaan saya dan tetap bergeming bahwa EFT adalah pseudosains.

Sejawat ini mengalami refleks Semmelweis, yaitu kecenderungan refleks untuk menolak bukti atau pengetahuan baru yang bertentangan dengan norma, keyakinan, atau paradigma yang sudah ada. Orang yang mengalami refleks Semmelweis sebenarnya terpenjara oleh pikirannya sendiri.

Saat ini, EFT diterima dan diakui sebagai salah satu teknik terapi yang sangat efektif dan ilmiah. Ada banyak buku mengulas EFT. Ada banyak penelitian aplikasi EFT untuk mengatasi banyak masalah emosi dan perilaku. Hasil penelitian ini juga telah diterbitkan di banyak jurnal ilmiah.

Penolakan pada hal-hal baru, terutama yang sifatnya disruptif, mengganggu kestabilan tatanan yang telah ada, adalah hal yang lumrah dan pasti terjadi.

Walau perubahan adalah keniscayaan, orang sering menentang dan tidak bersedia berubah, karena untuk berubah butuh kesediaan dan kesiapan, proses, upaya, dan kita harus belajar lagi. Ini yang seringkali membuat orang tidak nyaman.

Saya tutup diskusi pagi hari dengan pesan bahwa tujuan belajar bukan sekadar mendapat pengetahuan, menjadi pintar, tapi menjadi cerah dan bijak. Dan ciri orang cerah dan bijak adalah berpikiran terbuka, terus belajar, bertumbuh, dan tetap rendah hati.

Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online4
Hari ini489
Sepanjang masa34.521.151
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique