Meretas Belenggu Hypnotizability

1 November 2011 14:30

“Pak Adi, nama saya Agus. Saya punya masalah dengan diri saya. Sudah satu bulan ini saya mengalami kecemasan yang datangnya tiba-tiba. Kalau malam tidur sebentar-sebentar terbangun.. sudah terapi ke psikiater dan dapat obat yang diminum tiap malam. Keceriaan saya hilang dan sering keluar keringat dingin. Saya sudah coba hipnoterapi tapi saya tidak bisa dihipnosis. Hal ini justru menambah kecemasan saya karena terbayang saya tidak bisa sembuh. Apakah ada saran dari Bapak mengenai hal ini?”

Demikianlah email dari seorang rekan yang saya terima beberapa hari lalu. Penasaran dengan apa yang terjadi dengannya, khususnya dalam konteks hipnoterapi saya membalas emailnya berikut ini, “Siapa yang menerapi Pak Agus? Apa yang ia lakukan dan sudah berapa sesi?”

Jawabnya, “Saya sudah coba tiga terapis yang berbeda di kota saya. Ketiganya gagal menghipnosis saya, dan setelah saya tanya ternyata katanya memang ada 10% dari manusia masuk kategori tidak bisa dihipnosis. Hal ini membuat saya menjadi kecewa dan akhirnya yang saya terima adalah terapi sugesti yang menyugesti diri saya untuk bisa menghilangkan perasaan dalam pikiran saya. Sampai saat ini masih ada perasaan mengganjal dalam hati saya dan tidak tahu apa itu.”

Ini sungguh berita menarik yang layak untuk dibahas. Apakah benar klien ini tidak bisa dihipnosis? Apakah benar ada 10% manusia yang masuk kategori tidak bisa dihipnosis?

Sebelum saya teruskan mari kita bahas dulu arti kata hypnotizability yang menjadi judul artikel ini. Hypnotizability terdiri atas dua kata yaitu hypnosis dan succesptibility yang artinya kemampuan untuk mengalami kondisi hipnosis atau hypnotic trance, biasanya dengan cara self-hypnosis atau dengan bantuan orang lain sebagai operator (hipnoterapis).

Lalu, apakah definisi hipnosis?

Ada sangat banyak definisi yang dikemukakan oleh para pakar. Saat ini definisi yang paling banyak dipakai dan diterima dalam dunia hipnoterapi adalah definisi yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Amerika yaitu hipnosis adalah penembusan faktor kritis dari pikiran sadar dan diikuti dengan diterimanya suatu sugesti atau pemikiran tertentu.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kemampuan seseorang untuk mengalami kondisi hipnosis. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi atau dilakukan oleh hipnoterapis yang menangani Pak Agus. Saya akan memberikan uraian agar kita sama-sama dapat lebih memahami hipnotizability.

Saya juga beberapa kali menjumpai klien yang mengatakan bahwa ia telah pergi ke beberapa hipnoterapis dan tidak ada satupun yang berhasil menghipnosis dirinya. Dari banyak kasus yang saya temukan “ketidakberhasilan dihipnosis atau menghipnosis” sebenarnya hanya ada dua kemungkinan.

Kemungkian pertama ada pada diri klien. Klien sebenarnya tidak mengerti apa itu kondisi hipnosis. Klien punya persepsi yang salah mengenai kondisi hipnosis. Umumnya klien berpikir bahwa kondisi hipnosis sama seperti yang ia lihat di televisi yaitu subjek “dihipnosis” dan langsung menjadi “tidak sadar”. Berpegang pada pemahaman ini saat klien dihipnosis ia berharap mengalami yang seperti di televisi. Saat ia tetap sadar, tetap bisa mendengar, tetap bisa berpikir maka ia merasa hipnoterapisnya tidak cakap sehingga tidak bisa menghipnosis dirinya.

Pernah juga saya bertemu dengan klien yang mengatakan bahwa kondisi hipnosis itu sama dengan tidur, badannya lemas atau rileks. Ini juga pemahaman yang salah. Hipnosis bukanlah rileksasi fisik. Hipnosis adalah rileksasi pikiran. Jadi, walaupun badannya tidak rileks, asalkan pikirannya sudah rileks, maka klien sudah berada dalam kondisi hipnosis.

Bila ini yang dialami klien maka dapat disimpulkan terapis tidak melakukan edukasi yang cukup pada klien. Solusinya adalah terapis perlu menjelaskan dengan detil apa itu kondisi hipnosis sebelum melakukan induksi atau terapi. 
 
Ada juga klien yang tetap bersikeras pada pemahamannya yang salah mengenai kondisi hipnosis. Saya pernah mengalami hal ini. Klien sudah saya jelaskan dengan sangat detil apa itu kondisi hipnosis, apa yang akan ia alami atau rasakan, bahwa ia tetap sadar, bisa berpikir, mendengar, dan menjawab semua pertanyaan saya, namun klien memilih tetap berpegang teguh pada pemahamannya yang salah. Nah, kalau sudah begini terpaksa terapi tidak bisa dilanjutkan.

Alasan lain klien tidak bisa dihipnosis adalah karena takut. Takutnya bisa macam-macam. Namun umumnya semua ini karena persepsi atau informasi yang salah atau kurang pas yang klien dapatkan selama ini mengenai hipnosis atau hipnoterapis.

Perasaan takut yang umum dialami klien adalah hipnosis menggunakan kuasa gelap, hipnosis melanggar kehendak bebas seseorang karena pikiran klien dikuasai oleh hipnoterapis, takut rahasianya terbongkar, takut tidak bisa keluar dari kondisi hipnosis, tidak nyaman berdua dalam satu ruangan dengan terapis yang baru ia kenal, klien tidak percaya pada kemampuan dan atau integritas terapis, takut dipermainkan seperti yang ia lihat di tv, takut sembuh (secondary gain), dan masih banyak takut lainnya.

Bisa juga klien secara bawah sadar menolak menjalani terapi karena ia datang bukan atas kesadarannya sendiri namun atas dorongan, rayuan, bujukan, paksaan, atau bahkan ancaman orang lain. Kalau ini yang terjadi maka ia sangat sulit atau tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis.

Secara umum saat seseorang dalam kondisi hipnosis maka akan muncul fenomena tertentu pada fisik dan atau pikirannya. Fenomena yang terjadi di fisik antara lain REM (Rapid Eye Movement) atau gerakan bola mata ke kiri/kanan, menelan ludah, wajah pucat, napas melambat, detak jantung melambat, tubuh terasa hangat, produksi air mata (lakrimasi) meningkat, dan bagian putih mata menjadi merah. Sedangkan yang terjadi pada pikirannya antara lain ammnesia, analgesia, anestesi, halusinasi (visual,auditori,kinestetik), munculnya Ego Personallity (Ego State, Part, Introject, dan Alter),  regresi, revivifikasi, katarsis atau abreaksi, dan distorsi waktu.

Sekarang saya akan bahas kemungkinan kedua yaitu hipnoterapis. Bila membaca informasi di atas yang berbunyi, “………ternyata katanya memang ada 10% dari manusia masuk kategori tidak bisa dihipnosis….” dapat disimpulkan bahwa hipnoterapis yang menerapi Pak Agus mengacu pada SHSS atau Stanford Hypnotic Susceptibility Scale yang merupakan hasil riset Weitzenhoffer dan Ernest Hilgard. Sebenarnya SHSS ada tiga macam yaitu Forms A, B, dan C atau SHSS: A, SHSS: B, dan SHSS:C.

SHSS menyatakan bahwa manusia terbagi menjadi tiga kategori yaitu 10% sangat mudah dihipnosis, 85% moderat, dan 5% yang sangat sulit dihipnosis. Ini adalah informasi yang banyak dijadikan pegangan oleh hipnoterapis, baik yang di luar negeri maupun di Indonesia. Setiap kali klien tidak bisa masuk kondisi hipnosis atau tidak bisa dihipnosis maka terapis akan menggunakan dalih kliennya masuk kategori yang 5%.

Jika mengacu pada SHSS maka yang dikatakan oleh terapis ini benar. Bukankah SHSS menyatakan ada 5% populasi yang sangat sulit dihipnosis? Nah, bisa saja si klien masuk kategori ini.

Pakar lain menyatakan bahwa hipnotizability dipengaruhi oleh tipe sugestibilitas. Manusia terbagi menjadi dua tipe yaitu yang physically suggestible dan emotionally suggestible. Yang mudah dihipnosis adalah yang tipe pertama. Sedangkan tipe kedua adalah yang bersifat analitikal dan sulit untuk dihipnosis. Di dalam emotional suggestibility ada sub-tipe lagi yang dikenal dengan tipe intellectual. Ini adalah tipe yang sangat-sangat kritis atau analitikal sehingga sangat sulit untuk dihipnosis. 

Pertanyaan yang sangat menggelitik saya dulu waktu baru belajar hipnosis dan hipnoterapi adalah apakah SHSS ini benar-benar valid dan bersifat absolut? Artinya, ini sudah harga mati?

Ernest Hilgard adalah tokoh hipnoterapi dan peneliti yang sangat saya hormati. Saya tidak dapat posisi mengatakan bahwa hasil riset Beliau tidak valid. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa beberapa pakar lain punya pandangan berbeda mengenai hipnotizability.

Setidaknya ada dua pakar yang juga sangat saya hormati menyatakan bahwa sebenarnya semua orang bisa masuk kondisi hipnosis. Kedua pakar ini berbeda pendapat dengan Hilgard dengan alasan bahwa semua riset yang dilakukan Hilgard menggunakan relawan mahasiswa (volunteer) sebagai subjek penelitian dalam setting laboratorium. Data yang digunakan bukan berasal dari klien yang datang ke terapis untuk menjalani hipnoterapi. Jadi, kesimpulannya Hilgard melakukan riset tidak dalam konteks hipnoterapi klinis.

Jadi, sebaiknya saya mengikuti pendapat siapa?

Seiring waktu berjalan, dengan jam terbang dan pengalaman yang semakin banyak, belajar langsung ke berbagai pakar terkenal di luar negeri, membaca lebih banyak buku dan jurnal, saya sampai pada satu kesimpulan yang mengubah paradigma saya. Sekarang saya yakin seyakin-yakinnya, dan ini didukung bukti empiris, bahwa semua orang (100%) bisa masuk ke kondisi hipnosis asalkan ia bersedia dan mengijinkannya. Dan ini sama sekali tidak membutuhkan terapis yang cakap. Intinya, asalkan klien bersedia dan mengijinkannya maka ia pasti bisa masuk ke kondisi hipnosis, tanpa terapis perlu melakukan apapun. Lebih spesifik lagi yang sangat mempengaruhi hipnotizability hanya tiga yaitu motivasi, keyakinan, dan ekspektasi.

Bila anda ingin mendalami riset hipnotizability maka ada banyak studi mengenai level dan kemampuan mencapai kondisi kedalaman hipnosis yang disusun menjadi skala tertentu. Yang cukup terkenal adalah skala yang disusun oleh Liebault (1892), Bernheim (1895), White (1930), Davis dan Husband (1931), Shore dan Orne (1962), dan LeCron-Bordeaux (1949).

Berangkat dari keyakinan bahwa setiap orang bisa masuk ke kondisi hipnosis bila ada motivasi, keyakinan, dan ekspektasi, tanpa dipengaruhi apakah ia masuk kategori yang mana menurut SHSS atau apakah ia tipe physically atau emotionally suggestible, maka saya mengembangkan teknik induksi yang bersifat universal, cocok untuk tipe klien apa saja, dan mampu membantu klien agar punya motivasi, keyakinan, dan ekspektasi yang kuat untuk bisa masuk ke kondisi hipnosis dengan cepat, mudah, dan pasti.

Dengan menggabungkan berbagai pengetahuan yang didapat dari guru-guru saya seperti Anna Wise, Tom Silver, dan Sean Adam, saya mengembangkan teknik induksi dengan menggunakan prinsip psycho-somatic  dan somato-psychic yang secara klinis terbukti mampu membawa klien tipe apa saja masuk ke kondisi profound somnambulism atau lebih dalam lagi dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi.
 
Sejak tahun 2008 saya sudah tidak lagi pernah menggunakan SHSS sebagai acuan. Saya menggunakan skala Davis & Husband yang terdiri atas 30 kedalaman trance. Dan seiring waktu berjalan, dari hasil riset dan temuan kami pada bulan September 2010 saya menyusun skala sendiri yang diberi nama Adi W. Gunawan  Hypnotic Depth Scale yang terdiri dari 40 level.  Dengan menggunakan skala ini kini kami dapat dengan jelas mengetahui kedalaman trance yang telah dicapai oleh subjek atau klien. AWG Hypnotic Depth Scale selain terdiri dari level kedalaman trance juga secara detil menjelaskan berbagai fenomena yang bisa muncul atau dialami oleh klien baik secara fisik maupun mental.

Jadi, kalau saya boleh memberikan saran pada rekan-rekan sejawat saya, sesama hipnoterapis, hati-hati dengan hal yang kita pelajari atau yakini benar. Pemikiran pakar yang kita pelajari akan membentuk perspesi, yang selanjutnya mempengaruhi kinerja kita. Tidak ada benar atau salah dalam hal ini. Yang ada adalah akibat atau hasil yang akan kita dapat.

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online10
Hari ini596
Sepanjang masa34.528.998
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique