Understanding The Psychological Defenses of The Subconscious Mind

9 Agustus 2012 21:40

Banyak pemahaman masyarakat tentang hipnosis / hipnoterapi kurang tepat atau salah akibat “edukasi” yang dilakukan oleh televisi, khususnya yang dilakukan oleh “hipnotis” yang hanya dengan membakar tisu langsung bisa membuat subjeknya “tidak sadarkan” diri. Setelah itu si “hipnotis” bisa melakukan apa saja pada si subjek, termasuk bertanya hal-hal yang sifatnya pribadi dan rahasia, dan subjek seolah tak kuasa menolak untuk mengungkapkan segala hal yang ingin diketahui oleh “hipnotis”.

Sewaktu kasus Bank Century ramai dibicarakan, beberapa anggota DPR RI sempat punya ide brilian. Rupanya mereka merasa kasihan dengan beratnya tugas KPK dan gemas dengan alotnya upaya untuk membongkar kasus ini hingga tuntas. Anggota DPR ini berinisiatif untuk meminta bantuan seorang hipnotis yang biasa muncul di televisi. Mereka berpikir, akibat edukasi dari televisi, mudah saja membongkar kasus ini. Cukup bawa tersangka atau tercuriga ke tempat si hipnotis dan setelah itu skenario akan berjalan persis seperti yang ditampilkan di televisi. Si hipnotis menghipnosis si tersangka, lalu bertanya, apa saja, dan tersangka akan menjawab dengan patuh, jujur, apa adanya. Dengan demikian akan terungkap secara terang benderang semua hal mengenai Bank Century. Mudah, kan?

Saat dihubungi oleh anggota DPR si hipnotis dengan terus terang menjelaskan bahwa ia tidak bisa melakukan seperti yang diminta. “Lho, mengapa tidak bisa? Buktinya di tv ada yang bisa melakukannya. Dan anda jauh lebih jago dan terkenal dari yang di tv itu” kejar anggota Dewan.

“Ya, yang di tv itu kan cuma untuk hiburan. Jadi, itu nggak benar. Semuanya sudah diskenario sehingga menjadi tontonan yang menghibur ” jelas si hipnotis.

Pembaca, benar kata si hipnotis di atas. Yang ditampilkan di tv itu hanya untuk hiburan semata. Lalu, bagaimana dengan orang yang dihipnosis, seperti yang juga ditunjukkan di tv,  yang melakukan hal-hal yang tidak wajar? Misalnya, menyanyi dan menari seperti seorang rocker, padahal subjek sesungguhnya adalah orang yang pemalu. Lalu, bagaimana dengan yang “menelpon” pacar dengan menggunakan sepatu? Bukankah mereka ini dikuasai oleh si hipnotis sehingga bersedia dengan suka rela melakukan apapun yang diminta oleh si hipnotis?

Kalau dilihat sepintas memang seperti itu. Namun bila diselidiki lebih dalam ternyata tidak. Mereka yang tampil itu memang sudah disiapkan dengan hati-hati oleh si hipnotis. Ada prosedur yang harus dilalui oleh subjek sebelum ia tampil dengan “brilian” di atas panggung. Dan ingat, ini adalah stage hypnosis atau hipnosis untuk pertunjukkan dan sangat berbeda dengan hipnoterapi.

Tentu akan sangat berbeda responnya bila subjek yang di atas panggung itu diminta melakukan satu tindakan dengan bobot signifikansi psikologis yang tinggi. Misalnya ia diminta memukul atau melukai orang yang ia sayangi. Kira-kira apakah ia akan melakukan hal ini? Sudah tentu tidak. Secara spontan akan muncul resistensi yang hebat yang mencegah subjek melakukan hal ini. Resistensi ini dikenal dengan nama pertahanan psikologis atau psychological defense(s).

Di sini tampak jelas bahwa pertahanan diri seseorang yang dihipnosis atau masuk dalam kondisi hipnosis tetap aktif atau bekerja. Demikian pula halnya dalam konteks hipnoterapi.

Dalam hipnoterapi apa yang membuat sistem pertahanan psikologis dalam diri seseorang menjadi aktif? Apa akibatnya bila pertahanan psikologis aktif selama proses terapi? Apakah ini hal yang baik ataukah buruk? Bagaimana mengatasi hal ini?

Pembaca, bila anda adalah seorang hipnoterapis yang melakukan terapi menggunakan hipnoanalisis maka saya yakin anda pasti pernah mengalami salah satu atau beberapa dari hal berikut ini saat sedang menerapi klien anda:

- klien tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis. Kalaupun bisa, hanya sampai di light trance.
- klien bisa masuk sebentar namun segera keluar dari kondisi hipnosis.
- klien bisa masuk sangat dalam namun saat terapis hendak memproses masalahnya tiba-tiba klien buka mata dan keluar dari kondisi hipnosis.
- klien “tidur” sehingga tidak bisa memberikan respon. Terapis perlu tahu bahwa klien sebenarnya tidak tidur. Yang terjadi adalah ia tidak bersedia menjawab hal yang berhubungan dengan inti masalah. Kalau ditanya hal lain ia pasti bisa menjawab.
- klien hanya diam, tidak bersedia bicara saat ditanya.
- klien lebih banyak menjawab tidak tahu.
- klien tidak hanya diam namun juga tidak bersedia menjawab pertanyaan dengan ideomotor response.
- klien masuk sangat dalam sehingga tubuh klien benar-benar rileks dan tidak bisa memberi respon. Klien berusaha menjawab dengan menggerakkan bibirnya namun tidak ada suara atau kata yang keluar. Ia masuk ke level catatonia.
- klien bisa bicara tapi hanya bicara hal yang tidak relevan dengan masalahnya.
- klien larut dalam imajinasi atau fantasinya yang tidak ada hubungan dengan masalah yang hendak diatasi.
- pikiran klien tidak fokus pada masalahnya namun melompat ke sana ke mari.
- di awal klien lancar menjawab berbagai pertanyaan terapis. Saat masuk ke inti masalahnya, klien diam atau tidak bisa bicara.

Contoh di atas adalah wujud pertahanan psikologis yang kami, para hipnoterapis AWG Institute/QHI temukan di ruang praktik. Hanya satu alasan mengapa pertahanan psikologis atau resistensi dalam konteks hipnoterapi muncul. Klien merasa takut.

Ada dua jenis takut pada diri klien yang berhubungan dengan hipnoterapi. Pertama, rasa takut atau penolakan yang membuat klien sulit atau tidak bisa masuk ke kondisi rileksasi pikiran yang dalam (kondisi hipnosis). Biasanya rasa takut atau penolakan ini disebabkan oleh persepsi yang salah mengenai hipnoterapi dan alasan lain seperti:

- hipnoterapi menggunakan kuasa kegelapan, mantra, atau makhluk halus.
- terapis menguasai pikiran klien.
- terapis bisa melakukan apa saja pada klien dan klien akan patuh sepenuhnya.
- hipnoterapi sama dengan cuci otak atau brain-washing.
- klien akan tidak sadarkan diri atau pingsan.
- klien, karena alasan tertentu, tidak percaya pada terapis.
- klien takut “diubah” oleh terapisnya karena ia datang bukan atas kesadaran atau keinginannya sendiri namun atas dorongan, bujukan, rayuan, atau bahkan paksaan dan ancaaman orang lain yang ingin ia berubah.
- klien mendapat keuntungan atau manfaat dari masalahnya. Kondisi ini dinamakan secondary gain.

Takut kedua muncul saat klien sudah masuk ke kondisi hipnosis. Takut ini berhubungan dengan proses penggalian informasi di pikiran bawah sadar. Dalam hal ini klien takut atau merasa tidak nyaman bila harus mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi atau rahasia. Klien takut mendapat malu karena merasa apa yang akan diungkap adalah aib bagi dirinya dan mungkin juga bagi keluarganya.

Selain rasa malu, resistensi juga bisa timbul karena akar masalah adalah pengalaman yang sangat traumatik sehingga klien sama sekali tidak ingin mengingat apalagi membicarakannya dengan terapis atau dalam kasus tertentu klien bisa mengalami amnesia sehingga benar-benar lupa atau tidak tahu.

Rasa takut dan atau malu membuat pikiran bawah sadar “lumpuh” sehingga tidak bisa mengungkapkan data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus terapi. Ini yang biasanya dialami saat terapis melakukan teknik uncovering seperti regresi yang dilanjutkan dengan revivifikasi dan atau Ego Personality Therapy. Biasanya, apapun yang ditanya oleh terapis, klien, lebih tepatnya pikiran bawah sadar klien, akan menjawab tidak tahu atau hanya diam saja.

Bagaimana sebaiknya hipnoterapis menyikapi resistensi?

Setiap perilaku klien punya makna yang spesifik. Makna paling umum yaitu resistensi adalah satu bentuk komunikasi atau pertahanan psikologis. Bila kita mengenali perilaku klien sebagai bentuk pertahanan diri maka kita dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengatasi hal ini. Jadi, apapun perilaku klien dapat kita manfaatkan demi kebaikan dirinya.

Apa yang perlu dilakukan hipnoterapis agar tidak sampai muncul resitensi dalam diri klien?

Hipnoterapis perlu memahami bahwa proses terapi sudah dimulai sejak pertama kali klien tahu tentang hipnoterapis, bukan di ruang terapi. Perkenalan calon klien dengan terapis bisa melalui buku yang ia baca, cerita yang ia dengar dari kawannya, informasi dari internet, talkshow, bedah buku, siaran radio, televisi, seminar, atau dari sumber lainnya. Intinya, inilah saat pertama kali calon klien tahu tentang terapis.

Selanjutnya, saat calon klien memutuskan untuk diterapi maka ia akan menghubungi hipnoterapis. Barulah setelah itu terapi “resmi” dilakukan di ruang praktik. Penilaian atau kesan terhadap hipnoterapis sangat menentukan respon pikiran bawah sadar klien terhadap proses terapi yang dilakukan. 

Hal penting yang sangat perlu diperhatikan terapis adalah membangun relasi (rapport) tidak hanya dengan pikiran sadar namun juga dengan pikiran bawah sadar (hypnotic rapport). Klien perlu mendapat edukasi yang mendalam dan menyeluruh mengenai proses hipnosis/hipnoterapi, apa yang akan dilakukan, apa yang diharapkan akan terjadi. Terapis juga perlu menjawab pertanyaan atau keraguan klien sehingga klien merasa benar-benar yakin, mantap, dan pasrah sepenuhnya mengikuti bimbingan terapis.

Hal lain yang juga sangat penting adalah keragaman teknik yang dikuasai terapis. Ada teknik yang diaplikasikan dengan memperlakukan pikiran bawah sadar sebagai satu kesatuan dan ada juga yang menggunakan pendekatan komponen.

Ada teknik yang bersifat asosiasi dan ada juga yang disosiasi. Pemanfaatan varian teknik sangat bergantung kebutuhan, situasi, dan kondisi klien. Kalau semua sudah dicoba tidak bisa maka perlu digunakan teknik khusus untuk menembus blocking yang dibuat pikiran bawah sadar.

Saya pernah menerapi klien yang mengalami gejala depresi, ia datang atas dorongan orangtuanya. Saat sebelum terapi saya melakukan wawancara mendalam. Klien terkesan sangat ingin saya bantu namun pikiran bawah sadarnya memblok informasi yang saya butuhkan sehingga terapi tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan.

Setelah mencoba berbagai cara akhirnya informasi yang saya butuhkan bisa saya dapatkan dengan menggunakan teknik Ego Personality Therapy. Saya meminta “bocoran” informasi dari Ego Personality lain. Baru setelah mendapat data lengkap saya melanjutkan terapi dan berhasil membantu klien mengatasi masalahnya. 

Jadi, kesimpulannya, sedalam apapun seseorang masuk ke kondisi hipnnosis pertahanan psikologisnya tetap aktif menjaga dirinya untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau membahayaan dirinya.

Hipnoterapis, dalam hal ini, berperan hanya sebagai fasilitator dan tidak bisa memaksa kehendaknya pada klien dan klien hanya akan melakukan hal yang diminta terapis sejauh permintaan ini tidak melanggar empat filter mental yang ada di pikiran bawah sadar klien yaitu filter keselamatan hidup, filter moral/agama, filter benar-salah, dan filter masuk akal atau tidak.

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online1
Hari ini449
Sepanjang masa34.528.851
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique