The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Neurofisiologi Hipnosis: Wawasan dan Temuan Terbaru

11 Februari 2025

Hipnosis menarik minat dan perhatian khalayak karena proses dan fenomenanya sering tidak dimengerti, seolah diliputi misteri dan berhubungan dengan praktik supranatural. Padahal, hipnosis sebenarnya merupakan salah satu pendekatan psikoterapi tertua di dunia Barat yang kini telah diperkaya dengan pemahaman modern tentang hubungan antara fungsi otak dan kemampuan individu dalam mengelola proses fisiologis, seperti pengendalian rasa sakit, kecemasan, dan dampak penyakit tertentu (Spiegel, 2013).

 

Definisi dan Proses Hipnosis

Kata "hipnosis" mencakup spektrum luas fenomena yang ditandai oleh respons terhadap sugesti untuk memodulasi sensasi, gambaran, perilaku, emosi, dan makna dari pengalaman yang sedang dialami klien pada saat itu (Casula, 2018).

Hipnosis adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2009).

Dalam kondisi hipnosis, terjadi perubahan aktivitas mental basal yang dipicu melalui prosedur induksi, yang terdiri dari instruksi verbal dan sugesti (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021). Klien mengalami penurunan pemikiran spontan dan kurangnya perhatian terhadap rangsangan luar, sambil fokus pada prosedur yang sedang dilakukan (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021).

Induksi ini menghasilkan keadaan relaksasi mendalam dan fokus yang intens. Hipnosis bukanlah keadaan tidur, melainkan kondisi kesadaran yang berubah (altered state of consciousness), di mana pikiran menjadi lebih terbuka terhadap sugesti. Ada berbagai teknik untuk menginduksi keadaan ini, seperti pemfokusan pandangan, sugesti verbal, dan visualisasi (Spiegel, 2013).

 

Komponen Utama Hipnosis

Hipnosis memiliki beberapa komponen utama:

- Absorpsi (absorption): Kemampuan atau kecenderungan untuk sepenuhnya terlibat dalam pengalaman perseptif, imajinatif, atau ideasional (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).

- Keadaan sesadaran yang berubah (altered state of consciousness): Selama berada dalam kondisi hipnosis, individu berada dalam keadaan kesadaran yang dimodifikasi. Keadaan ini dapat berkisar dari relaksasi ringan hingga kondisi trance yang lebih dalam, di mana pikiran menjadi lebih reseptif terhadap sugesti.

Hipnosis diketahui dapat memicu perubahan kesadaran, yang terwujud melalui penyesuaian dalam aspek kesadaran diri fenomenal, seperti meningkatnya kemudahan mental (aliran pikiran yang terjadi secara alami), absorpsi, berkurangnya orientasi pada diri sendiri, dan otomatisasi (respons yang terjadi tanpa usaha atau pertimbangan sadar) (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).

- Disosiasi (dissociation): Pemisahan mental dari komponen pengalaman yang biasanya diproses secara bersamaan (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).

Studi neurobiologis menunjukkan bahwa keadaan disosiasi yang dipicu oleh hipnosis menciptakan kerenggangan konektivitas antara proses eksekutif dan proses pemantauan, sehingga memungkinkan sugesti melewati proses pengawasan dan bertindak langsung pada sistem eksekutif (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021). Akses ini ke sumber daya bawah sadar memungkinkan perubahan dilakukan sesuai dengan tujuan terapeutik yang ditetapkan oleh individu (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021).


Dua Jenis Penelitian Hipnosis

Sepanjang abad ke-20, hipnosis semakin mendapatkan pengakuan di komunitas ilmiah, dengan berbagai penelitian yang mengeksplorasi mekanisme dan aplikasi klinisnya. Hipnosis telah digunakan untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku seperti trauma, fobia, kecanduan, dan gangguan psikologis lainnya, serta gangguan psikosomatis. Penelitian terkini tentang hipnosis terbagi ke dalam dua bidang utama.

Bidang pertama adalah penelitian intrinsik, yang berfokus pada penyelidikan hipnosis itu sendiri tanpa pengaruh sugesti tertentu, yang disebut sebagai "hipnosis netral" atau "hipnosis standar". Bidang ini mengeksplorasi mekanisme neurofisiologis yang mendasari pengalaman hipnosis dalam konteks dinamis (De Benedittis, 2015).

Bidang kedua adalah penelitian instrumental, atau studi ekstrinsik, yang melibatkan penggunaan hipnosis dan sugesti untuk mempelajari berbagai proses kognitif dan emosional, serta untuk menyelidiki korelasi neurodinamis dalam psikoterapi. Selain itu, hipnosis digunakan untuk menciptakan "analog virtual" dari kondisi neurologis dan psikopatologis, dengan tujuan memahami dasar-dasar kondisi tersebut secara lebih baik dan pada akhirnya meningkatkan cara penanganannya (De Benedittis, 2015).


Neurofisiologi Hipnosis

Penelitian dalam bidang neurofisiologi hipnosis terus berkembang dengan memanfaatkan teknik pencitraan saraf (neuroimaging) seperti functional magnetic resonance imaging (fMRI), positron emission tomography (PET Scan), fNIRS (near-infrared spectroscopy), SPECT (single photon emission computed tomography), CT (computed tomography), dan electroencephalography (EEG) untuk memetakan perubahan fungsional, metabolik, dan struktural di otak selama proses hipnosis (Wolf et al., 2022).

Studi-studi ini membantu memahami mekanisme yang mendasari hipnosis dan potensinya dalam terapi, meskipun masih banyak yang perlu dieksplorasi untuk memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh dan mendalam mengenai proses neurofisiologis ini (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).

Beberapa aspek neurofisiologis hipnosis meliputi (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014; Wolf et al., 2022):

- Modulasi aktivitas korteks prefrontal: Selama hipnosis, terjadi modulasi aktivitas di korteks prefrontal, area otak yang terlibat dalam penilaian, pengambilan keputusan, dan kesadaran diri. Pengurangan aktivitas ini dapat menjelaskan penangguhan sementara penilaian kritis dan peningkatan penerimaan terhadap sugesti.

- Peningkatan konektivitas fungsional: Studi neuroimaging menunjukkan peningkatan konektivitas fungsional antara berbagai area otak selama trance hipnosis. Ini menunjukkan komunikasi antararea otak yang lebih efisien, yang dapat memfasilitasi respons terhadap sugesti dan perubahan dalam pemrosesan kognitif.

- Perubahan persepsi sensori dan kontrol nyeri: Selama hipnosis, terdapat bukti modulasi persepsi sensorik, terutama dalam kaitannya dengan kontrol nyeri. Hipnosis dapat memengaruhi area otak yang terkait dengan persepsi nyeri, yang mengarah pada pengurangan intensitas nyeri yang dirasakan.

- Aktivasi area otak terkait imajinasi dan kontrol motorik: Selama hipnosis, area otak yang terlibat dalam imajinasi dan kontrol motorik tampak aktif. Ini dapat menjelaskan kemampuan individu dalam kondisi trance hipnosis untuk merespons sugesti untuk melakukan tindakan motorik tertentu atau membayangkan pengalaman tertentu.

 

Perubahan Persepsi dan Aktivitas Otak Akibat Hipnosis

Perubahan persepsi akibat hipnosis disertai dengan perubahan nyata di korteks sensorik yang relevan, serta pada area otak yang terlibat dalam pemantauan konteks (girus cingulate anterior dorsal) dan fungsi eksekutif (DLPFC). Hipnosis mengubah sensasi, bukan hanya respons terhadap rangsangan sensorik, sehingga menjadi alat yang kuat untuk memodulasi rasa sakit dan kecemasan (Spiegel, 2013).

Hipnosis memengaruhi kerja otak sehingga "attractor", pola aktivitas skala besar yang sangat sinkron, tidak dapat berkembang. Akibatnya, pengalaman sadar tentang gejala tertentu tidak muncul. Hipnosis menghambat proses ini dengan memodulasi berbagai mekanisme neurokognitif pada area kortikal dan subkortikal pasien (Bastek; van Vliet, 2023).

Hipnosis juga dikaitkan dengan perubahan aktivitas metabolik otak dan perfusi otak di berbagai area (Cheseaux; de Saint Lager; Walder, 2014). Neurosains kognitif mendukung hal ini dengan menunjukkan bahwa proses bawah sadar memengaruhi perilaku atau kesadaran (Weinberger; Brigante; Nissen, 2022).

 

𝐏𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐅𝐮𝐧𝐠𝐬𝐢 𝐎𝐭𝐚𝐤 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬

Selama hipnosis, terjadi perubahan fungsi otak, terutama di area yang terkait dengan perhatian, kesadaran, persepsi, dan kendali kognitif. Serangkaian studi yang berkembang menunjukkan bahwa pola osilasi otak yang berbeda terkait dengan respons terhadap hipnosis dan sugesti yang diberikan.

Secara khusus, hipnosis dikaitkan dengan peningkatan osilasi, sementara respons hipnosis terkait dengan perubahan pola osilasi gamma. Perubahan ini dapat berupa peningkatan, penurunan, atau modifikasi waktu osilasi gamma, tergantung pada beberapa faktor, termasuk sugesti yang diberikan selama hipnosis.

Osilasi gamma akan terlibat dalam pencatatan dan pengingatan memori deklaratif, yang berperan penting dalam beberapa respons hipnosis, menunjukkan adanya hubungan antara sirkuit limbik dan neokortikal (Jensen; Adachi; Hakimian, 2015).

Meskipun aktivitas di area otak tertentu (misalnya, korteks cingulate anterior, korteks prefrontal, dan insula) sering dilaporkan dalam studi pencitraan fungsional tentang hipnosis, terdapat beberapa perbedaan terkait peran spesifik area otak ini. Hal ini dapat disebabkan oleh variasi dalam instruksi hipnosis, konteks eksperimen, kekuatan studi, dan/atau sumber metodologi lainnya (DeSouza et al., 2020).

 

Peran Neurotransmiter dalam Hipnosis

Beberapa penelitian telah mulai memperjelas berbagai komponen sugestibilitas hipnotik serta mekanisme neurofisiologis dan neuropsikologis yang terlibat.

Neurotransmiter yang dianggap paling berperan dalam sugestibilitas hipnotik adalah dopamin, sementara studi farmakologis dengan psikotropika menunjukkan bahwa serotonin dapat meningkatkan sugestibilitas hipnotik (De Benedittis, 2021).

Respons hipnotik, di sisi lain, diduga dimediasi oleh glutamat, sedangkan asam gamma-aminobutirat (GABA), neurotransmiter penghambat yang dominan di otak, dikaitkan dengan sugestibilitas. GABA terlibat dalam respons hipnotik, sehingga semakin tinggi tingkat hipnotisabilitas seseorang, semakin tinggi konsentrasi GABA-nya (DeSouza et al., 2020).

Bukti yang tersedia terkait aksi oksitosin masih kontradiktif, meskipun diketahui bahwa oksitosin terlibat dalam berbagai domain psikologis (misalnya, perilaku sosial, empati) (De Benedittis, 2021).

Interaksi yang kompleks antara neurotransmiter dan neuromodulator serta variabel lainnya, termasuk kualitas desain eksperimen yang kurang baik, di antara faktor lain, merupakan isu-isu yang memengaruhi pemahaman menyeluruh mengenai mekanisme kerja yang terlibat dalam hipnosis (De Benedittis, 2021).

Penting untuk dicatat bahwa interpretasi yang tepat mengenai proses neurofisiologis ini dapat bervariasi antarstudi dan masih menjadi perdebatan dalam komunitas ilmiah.

Hipnosis adalah alat yang kuat dalam modifikasi kesadaran, yang memungkinkan klien mengakses sumber daya bawah sadar mereka untuk mencapai perubahan terapeutik. Dengan kemajuan teknologi neuroimaging dan penelitian terkini, pemahaman kita tentang hipnosis terus berkembang, membuka peluang baru untuk aplikasi klinis di masa depan yang lebih berdaya guna.

Baca Selengkapnya

Protokol Hipnoterapi AWGI Divalidasi Temuan Modern Neurosains

4 Februari 2025
Sejawat hipnoterapis AWGI, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ., membagikan, di grup Hipnoterapis AWGI, artikel jurnal berjudul: Memory Reconsolidation and the Crisis of Mechanism in Pyschotherapy (Rekonsolidasi Memori dan Krisis Mekanisme dalam Psikoterapi) oleh Bruce Ecker dan Alexander Vaz. 
 
Artikel setebal 11 halaman ini membahas rekonsolidasi memori, sangat sejalan, dan memvalidasi proses dan hasil terapi yang telah dilakukan oleh para hipnoterapis AWGI selama ini.
 
Selama ini, kami berhasil membantu klien mengatasi masalah emosi dan/atau perilaku dalam waktu relatif singkat—rata-rata hanya dalam satu atau dua sesi. Dari sudut pandang ilmu pikiran, kami memahami dengan jelas mengapa terapi yang kami lakukan dapat menghasilkan dampak terapeutik yang signifikan seperti ini.
 
Hipnoterapi yang dipraktikkan oleh para hipnoterapis AWGI berfokus pada perubahan transformasional (transformational change), bukan sekadar perubahan bertahap (incremental change).
 
Protokol hipnoterapi AWGI, khususnya pendekatan Dual Layer Therapy, selaras dengan konsep Empirical Confirmation Process of Annulment (ECPA) yang dijelaskan dalam artikel ini, disusun berdasar teori, pemikiran para pakar, teknik dan strategi yang telah teruji dan terbukti efektif, dan diperkuat dengan temuan penting di ruang praktik kami.
 
Berikut ini ringkasan dari artikel Memory Reconsolidation and the Crisis of Mechanism in Pyschotherapy:
 
Artikel ini membahas tantangan dalam memahami mekanisme internal perubahan terapeutik yang bertahan lama dalam psikoterapi. Meskipun penelitian selama beberapa dekade menunjukkan efektivitas psikoterapi, belum ada mekanisme internal yang secara empiris diidentifikasi sebagai penyebab utama perubahan tersebut.
 
1. Tantangan dalam Mengidentifikasi Mekanisme Perubahan
 
Banyak pendekatan dalam psikoterapi menghasilkan hasil yang positif, tetapi hubungan kausal antara teknik yang digunakan dan perubahan yang terjadi masih belum dapat dipastikan secara ilmiah. Penelitian sebelumnya lebih bersifat korelasional, bukan kausal, sehingga belum mampu menjelaskan secara pasti bagaimana terapi bekerja.
 
2. Peran Memory Reconsolidation (MR) dalam Psikoterapi 
 
Memory Reconsolidation (MR) adalah mekanisme neurobiologis yang memungkinkan revisi mendalam terhadap memori emosional yang tersimpan di otak subkortikal.
 
MR mampu "menghapus" atau meniadakan pembelajaran emosional yang tidak diinginkan, sehingga memberikan kemungkinan perubahan yang lebih permanen dibandingkan dengan pendekatan psikoterapi lainnya.
 
MR membutuhkan pengalaman tertentu agar proses ini dapat terjadi, terutama pengalaman yang menantang atau bertentangan dengan keyakinan atau memori emosional sebelumnya.
 
3. Perbedaan antara Perubahan Bertahap dan Transformasional
 
Perubahan Bertahap (Incremental Change): Perubahan psikoterapi yang terjadi secara perlahan dan memerlukan usaha berulang, sering kali rentan terhadap kambuh (relapse).
 
Perubahan Transformasional: Perubahan yang mendadak dan permanen di mana gejala atau pola perilaku negatif benar-benar lenyap tanpa perlu upaya berkelanjutan.
 
4. Empirical Confirmation Process of Annulment (ECPA)
 
ECPA adalah proses berbasis MR yang dapat menghapus pembelajaran emosional dengan mengaktifkan pengalaman yang bertentangan dengan keyakinan lama seseorang.
 
Proses ini terdiri dari tiga tahapan:
1. Mengaktifkan kembali pembelajaran emosional lama.
2. Menghadapkan individu pada pengalaman yang bertentangan (prediction error).
3. Mengulang pengalaman ini untuk menulis ulang atau menghapus pembelajaran lama.
 
Studi laboratorium telah menunjukkan bahwa pengalaman ini bisa menghilangkan respons emosional negatif secara permanen.
 
5. Dampak terhadap Psikoterapi
 
Jika mekanisme MR melalui ECPA dikonfirmasi secara empiris dalam sesi terapi, ini akan menjadi terobosan dalam memahami bagaimana psikoterapi menghasilkan perubahan yang langgeng.
 
MR dapat menyatukan berbagai pendekatan terapi yang saat ini terfragmentasi dengan memberikan mekanisme umum bagi perubahan terapeutik.
 
Kesimpulan
 
Penelitian tentang Memory Reconsolidation berpotensi menjelaskan mekanisme perubahan dalam psikoterapi yang selama ini belum ditemukan.
 
Dengan membuktikan bahwa MR adalah penyebab utama perubahan terapeutik, efektivitas psikoterapi dapat ditingkatkan, dan pendekatan yang berbeda dapat disatukan dalam kerangka kerja yang lebih jelas.
 
Jika studi klinis dapat mengonfirmasi bahwa ECPA terjadi sebelum perubahan transformasional, maka hal ini akan menjadi landasan baru dalam ilmu psikoterapi.
 
Baca Selengkapnya

Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?

16 Januari 2025

Tulisan ini terinspirasi dari diskusi saya dengan salah satu hipnoterapis AWGI beberapa waktu lalu. Sejawat ini gemar membaca tulisan pakar trauma dari luar negeri, salah satunya Bessel van der Kolk, MD. Dari bacaan-bacaan ini ia mulai terpapar dengan informasi tentang neurosains dan psikologi, dan tertarik untuk mempelajarinya. Ia bertanya apakah saya merekomendasi ia untuk mendalami neurosains. Bila saya merekomendasi, ia minta saran sebaiknya belajar ke siapa atau lembaga mana di luar negeri.

Kisah perjalanan pembelajaran sejawat ini membawa saya mundur ke masa awal saya dulu praktik hipnoterapi. Saya dulu juga sempat mendalami secara otodidak neuropsikologi.

Secara ringkas, bisa dijelaskan bahwa neurosains adalah ilmu yang mempelajari sistem saraf, termasuk struktur, fungsi, perkembangan, dan hubungannya dengan perilaku serta pikiran manusia. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku, pikiran, dan proses mental manusia serta bagaimana faktor biologis, sosial, dan lingkungan memengaruhinya.

Dengan demikian, neuropsikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara fungsi otak dan perilaku, termasuk bagaimana kerusakan atau gangguan pada otak memengaruhi emosi, kognisi, dan tindakan seseorang.

Tujuan saya belajar neuropsikologi adalah untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kompetensi terapeutik saya. Dan setelah saya membaca cukup literatur yang membahas topik ini, saya akhirnya memutuskan untuk mundur dan kembali hanya fokus pada hipnoterapi. Meskipun demikian, sesekali saya masih membaca buku teks dan artikel jurnal tentang neuropsikologi untuk menambah pengetahuan dan wawasan.

 

Mengapa Saya Berhenti Mendalami Neuropsikologi?

Dalam berbagai literatur yang saya pelajari, memang dijelaskan bagian-bagian otak beserta fungsinya, serta apa yang terjadi pada otak seseorang saat ia mengalami kondisi mental atau gangguan psikologis tertentu. Saya belajar dengan penuh antusiasme dan berharap dapat mengaplikasikan pengetahuan ini ke dalam praktik hipnoterapi.

Saya berharap di dalam literatur ini juga dijelaskan teknik mengatasi gangguan psikologis berlandaskan neurosains. Saya membaca penjelasan tentang penyebab kondisi seperti PTSD, skizofrenia, gangguan kecemasan, bipolar, dan gangguan depresi mayor, yaitu adanya abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak.

Bergantung kondisi dan jenis gangguan, umumnya, solusi yang disarankan adalah dengan pemberian obat-obatan, pembedahan otak, stimulasi otak dalam (deep brain stimulation / DBS), terapi paparan realitas virtual (VR), electroconvulsive therapy (ECT), terapi cahaya terang (bright light therapy), neurofeedback, terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy / CBT), dan desensitisasi sistematis.

Berikut ini adalah ringkasan informasi tentang penyebab depresi, yang saya dapatkan dari mempelajari buku neuropsikologi terbitan tahun 2021 setebal 2548 halaman:

"Sebuah meta-analisis oleh Chuanjun Zhuo dan koleganya (2019) mengidentifikasi perubahan otak yang khas terkait dengan depresi, terutama pada area berikut:

Lobus frontal: Penurunan materi abu-abu (gray matter), khususnya pada orbitofrontal cortex (OFC).
Lobus temporal: Penurunan volume, terutama di hipokampus.
Lobus parietal: Termasuk posterior cingulate cortex, yang mengalami penurunan ketebalan kortikal.

Para penulis ini juga merangkum perubahan dalam jaringan otak yang berhubungan dengan depresi dan menemukan adanya penurunan koneksi antara korteks prefrontal dengan area kortikal temporal, korteks prefrontal dengan amigdala dan hipokampus.

Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun perubahan struktural atau fungsional tunggal pada otak yang dapat digunakan untuk mendiagnosis depresi.

Meskipun saat ini tidak lagi sepopuler studi MRI, penelitian menggunakan PET (Positron Emission Tomography) telah menunjukkan bahwa tingkat keparahan depresi mayor berkorelasi dengan penurunan aliran darah dan metabolisme di anterior cingulate cortex (ACC) dan ventromedial prefrontal cortex. Aliran darah di area ini meningkat pada pasien depresi yang telah sembuh.

Studi PET juga menunjukkan adanya peningkatan abnormal metabolisme glukosa di amigdala dan orbitofrontal cortex, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala depresi.

Amigdala bertugas memberikan makna emosional terhadap rangsangan. Aktivitas amigdala merangsang pelepasan kortisol, yang menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan aktivitas poros HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) pada depresi. Peningkatan aktivitas di orbital cortex berkaitan dengan upaya untuk memodulasi atau menghambat aktivitas amigdala."

Sebagai hipnoterapis, informasi di atas sama sekali tidak bisa saya aplikasikan ke dalam praktik hipnoterapi. Saya bukan dokter, psikiater, atau psikolog klinis. Saya tidak memiliki kompetensi melakukan prosedur yang disarankan, seperti pemberian obat, pembedahan, dan yang lainnya. Namun, satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana terapi psikologi bisa digunakan, sampai tahap tertentu, untuk membantu mengatasi gangguan psikologis.

Dan mengingat saya mendalami hipnoterapi, saya simpulkan, sampai tahap tertentu, hipnoterapi bisa membantu mengatasi kondisi tidak kondusif yang dialami individu, khususnya di aspek emosi dan perilaku.

Saya sempat belajar neurofeedback di Los Angeles, Amerika. Dua kali saya ke Amerika mendalami ilmu ini. Dan hasilnya, saya bisa membantu klien melalui stimulasi otak menggunakan mesin EEG yang dirancang khusus untuk tujuan ini. Namun ini juga saya tinggalkan karena saya menemukan bahwa untuk masalah emosi dan perilaku, penggunaan hipnoterapi memberi dampak jauh lebih cepat dan signifikan.

Saya menyadari, neurosains adalah disiplin ilmu yang sangat kompleks, dan tidak mungkin bisa saya kuasai sepenuhnya hanya dengan belajar secara otodidak atau sekadar ikut pelatihan. Jadi, daripada saya membuang waktu belajar sesuatu yang akhirnya juga tidak banyak manfaatnya, lebih baik saya fokus pada hipnoterapi.

Alasan utama saya tidak secara khusus mengajarkan neurosains hipnosis dan hipnoterapi di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH), yaitu saya tidak memiliki kompetensi di bidang keilmuan ini, dan pengetahuan terkait neuropsikologi tidak bisa saya integrasikan ke dalam protokol atau teknik-teknik hipnoterapi saya. Namun bagi peserta SECH yang berminat mendalami neuropsikologi, saya dengan senang hati memberi mereka judul-judul buku dan artikel jurnal untuk mereka pelajari sendiri. Dan tentunya, bila saya memiliki ebook atau file-nya, pasti saya berikan juga.

Berlandaskan fakta dan temuan di ruang praktik, di luar faktor genetik, saya percaya sepenuhnya bahwa abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak adalah akibat, bukan sebab.

Individu pada awalnya dalam kondisi baik. Dengan demikian, kondisi otaknya juga baik. Namun, dalam proses tumbuh kembang ia mengalami pengalaman atau kejadian traumatik yang akhirnya mengguncang kondisi otaknya, yang semula normal hingga akhirnya menjadi abnormal.

Dari perspektif hipnoterapi, kami bisa melakukan resolusi pada pengalaman traumatik ini. Hipotesis saya, bila ini berhasil dilakukan, kondisi otaknya akan kembali normal.

Kami, sebagai hipnoterapis, karena tidak memiliki piranti untuk menelisik kondisi otak, lebih fokus pada memerhatikan perubahan perilaku pascaterapi. Misalnya, ada klien datang pada kami dengan masalah serangan panik (panic attack), ledakan kemarahan (anger outburst), fobia yang tidak rasional, ketakutan berlebih dalam situasi sosial (social anxiety), trauma, atau gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Kondisi ini terjadi karena pembajakan amigdala (amydala hijack), yaitu saat amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas respons emosional, "mengambil alih" kendali sebelum korteks prefrontal (bagian otak yang lebih rasional) memiliki kesempatan untuk memproses informasi secara logis.

Dengan hipnoterapi, kami bisa membantu klien mengatasi masalahnya dengan cara menemukan dan memproses tuntas akar masalah atau kejadian penyebab simtom. Saat klien sembuh, secara otomatis ia terbebas dari amygdala hijack .

Kembali pada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?

Bila tujuannya untuk menambah pengetahuan atau wawasan, tentu sangat boleh. Namun bila yang diharapkan adalah setelah mendalami neuropsikologi, kompetensi hipnoterapi meningkat secara luar biasa, saran saya, tidak usah buang waktu belajar neurosains secara mendalam.

Baca Selengkapnya

Dua Dekade Perjalanan: Konstruksi Protokol Hipnoterapi Singkat yang Efektif

9 Januari 2025
Dua puluh tahun lalu, tepatnya di tahun 2005, saat saya mulai praktik hipnoterapi, saya membekali diri dengan banyak teknik terapi. Saat itu, dalam pemikiran saya yang masih sangat hijau di bidang hipnoterapi, saya merasa dengan menguasai banyak teknik terapi, saya siap membantu klien mengatasi masalah mereka.
 
Di tahun-tahun awal, selain menggunakan teknik berbasis sugesti untuk mengubah kebiasaan atau perilaku, saya juga menggunakan teknik-teknik lain seperti: desensitisasi sistematis, reframing, Parts Therapy, Time Line Therapy, Ego Strengthening, regresi, progresi, Empty Chair Technique (Gestalt Therapy), Hypnotic Pain Management, Progressive Muscle Relaxation (PMR), Anchoring, Swish Pattern, Collapsing Anchor, Submodality Change, Fast Phobia Cure, Guided Imagery, Inner Child Healing, Tempat Kedamaian, Belief Changing Technique, dan masih banyak lagi.
 
Saya harus menghafal kegunaan setiap teknik dan cara melakukannya dengan benar. Bisa dibayangkan betapa pusingnya saya saat itu.
 
Cara saya melakukan terapi waktu itu adalah dengan menganalisis masalah klien, berusaha menemukan "akar masalah" lewat sesi wawancara, kemudian memilih teknik yang saya rasa sesuai untuk mengatasi masalah klien. Ini di luar teknik induksi yang saya gunakan, yang juga cukup memusingkan karena ada banyak skripnya dan harus dipilih sesuai karakter klien.
 
Misalnya, klien datang dengan masalah fobia. Untuk mengatasi kondisi ini, saya bisa memilih salah satu dari beberapa teknik berikut: memberikan sugesti, desensitisasi sistematis, fast phobia cure, Parts Therapy, Collapsing Anchor, Submodality Change, atau teknik lainnya yang saya pikir akan efektif.
 
Demikian pula jika klien, dari hasil wawancara, saya simpulkan mengalami masalah karena imprint dari figur otoritas, saya akan memilih teknik khusus untuk mengatasi imprint. Namun, bagaimana bila penyebabnya adalah emosi negatif yang intens? Atau konflik internal? Atau emosi positif? Setiap situasi memerlukan pertimbangan baru.
 
Sering kali, setelah saya menggunakan satu teknik, hasilnya belum sesuai harapan. Saya tahu klien belum sembuh berdasarkan laporan mereka beberapa hari kemudian.
 
Kemudian, klien kembali untuk sesi kedua. Di sesi ini, saya menggunakan teknik lain. Hal ini berlangsung bersesi-sesi. Saat itu, sebagai hipnoterapis pemula, saya tidak memahami cara melakukan uji hasil terapi untuk memastikan terapi yang saya lakukan berhasil.
 
Sangat sering terjadi klien, usai terapi, menyatakan kondisinya sudah membaik. Namun beberapa hari kemudian masalahnya muncul lagi. Ini adalah kondisi yang saya sebut sebagai kesembuhan semu. Berdasarkan temuan kami, kesembuhan semu terjadi karena terapis tidak berhasil memproses tuntas akar masalah.
 
Saat itu saya tidak secara khusus memproses akar masalah karena saya memang tidak tahu caranya. Saya juga tidak menyadari betapa pentingnya hal ini, karena berbagai literatur yang saya pelajari saat itu hanya membahas hipnoterapi berbasis sugesti.
 
Satu tahun pertama saya melakukan terapi dengan cara seperti ini. Ketika terapi saya tidak berhasil membantu klien mengatasi masalahnya, selain merasa kecewa pada diri sendiri, saya merasa harus belajar teknik-teknik baru yang "lebih ampuh." Proses ini sungguh melelahkan.
 
Ternyata, semakin banyak teknik yang saya pelajari, bukannya membuat terapi saya semakin mudah dan efektif, tetapi justru menjadi semakin ribet. Setiap kali hendak menangani klien, saya selalu bertanya-tanya: Teknik apa yang sebaiknya digunakan?
 
Ada momen di mana saya hampir memutuskan berhenti melakukan terapi. Saya merasa hipnoterapi tidak cocok untuk saya dan tidak efektif. Namun, saya urung berhenti karena dari berbagai literatur yang saya pelajari, hipnoterapi terbukti sangat efektif. Saya simpulkan, yang salah bukan ilmunya, tetapi saya yang belum kompeten.
 
Saya memutuskan untuk membeli lebih banyak buku hipnoterapi dari luar negeri. Selain itu, saya mempelajari banyak video yang membahas topik ini. Selama dua tahun berikutnya, walau masih jatuh bangun, saya mulai mengembangkan protokol hipnoterapi dengan pendekatan hipnoanalisis. Pemikiran saya saat itu didasari oleh pemahaman yang saya peroleh setelah membaca tulisan Josef Breuer dan Sigmund Freud, khususnya terkait penanganan klien bernama Bertha Pappenheim.
 
Dari rasa ingin tahu yang sangat kuat setelah membaca tulisan mereka, saya membaca lebih banyak literatur modern untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam tentang pola dan proses yang terjadi dalam terapi.
 
Jika sebelumnya saya fokus mempelajari berbagai teknik terapi, kini saya memusatkan perhatian pada menemukan pola yang selalu hadir di setiap masalah klien. Akhirnya, melalui analisis kasus terapi serta literatur para pakar hipnoterapi, saya berhasil menemukan pola ini.
 
Setelah mempelajari lebih banyak karya dan pemikiran para pakar hipnoterapi serta pakar memori, saya akhirnya meninggalkan strategi terapi berbasis banyak teknik, yang sangat merepotkan.
 
Pemikiran saya sederhana. Jika saya saja kerepotan harus menghafal banyak teknik, dan dalam praktiknya ternyata tidak efektif membantu klien, bagaimana dengan orang yang akan saya ajari cara melakukan terapi seperti ini?
 
Protokol hipnoterapi yang saya kembangkan menekankan pada pemberdayaan klien melalui resolusi akar masalah dengan cepat, efisien, dan tuntas. Dibandingkan metode tradisional yang sering kali terfokus pada mengubah perilaku, pendekatan ini langsung menargetkan akar masalah.
 
Untuk menemukan akar masalah, terdapat dua strategi. Strategi pertama, terlepas dari teknik pengungkapan atau uncovering technique yang digunakan, begitu PBS mengungkap suatu kejadian, di usia berapa pun peristiwa ini terjadi, terapis menyatakan ini adalah akar masalah.
 
Sementara pada strategi kedua, terapis tidak serta merta menerima dan menyatakan kejadian yang diungkap oleh PBS adalah akar masalah. Untuk memastikannya, terapis melakukan validasi. Bila ternyata dari hasil validasi diketahui kejadian ini bukan akar masalah, terapis berkewajiban untuk melakukan pengungkapan lebih lanjut hingga akhirnya ditemukan akar masalah yang adalah kejadian paling awal.
 
Mayoritas hipnoterapis menggunakan strategi pertama. Sangat sedikit yang mengerti dan menggunakan strategi kedua. Saya beruntung menemukan buku yang ditulis oleh salah satu pakar hipnoterapi di Amerika yang menggunakan dan menjelaskan strategi kedua. Saya memutuskan menggunakan strategi ini dalam protokol yang saya kembangkan.
 
Selanjutnya, saya mematangkan protokol terapi yang mudah diikuti dan memberikan tingkat keberhasilan terapeutik yang tinggi serta konsisten. Protokol ini yang saya gunakan di ruang praktik dan ajarkan di kelas hipnoterapi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) hingga saat ini, dengan berbagai penajaman pada setiap tahap berdasarkan temuan di ruang praktik dan hasil pembelajaran lebih lanjut.
 
Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa keberhasilan terapi tidak ditentukan oleh banyaknya teknik yang dikuasai, tetapi oleh pemahaman mendalam terhadap dinamika pikiran bawah sadar dan akar masalah klien, serta kemampuan untuk menyelesaikannya dengan pendekatan yang tepat dan efisien.
 
Protokol ini tidak hanya membantu saya menjadi hipnoterapis yang lebih kompeten, tetapi juga telah memberikan dampak positif bagi banyak klien dan peserta pelatihan. Saya percaya, hipnoterapi yang efektif adalah hipnoterapi yang mudah dipelajari, dipahami, dan diaplikasikan oleh siapa pun yang ingin membawa perubahan positif dalam hidup sesama.
 
Dalam konteks standar kompetensi dan kualitas, saya memutuskan hanya berafiliasi dengan satu organisasi hipnoterapi terkemuka di Amerika, yang saya tahu memiliki standar sangat tinggi, The American Council of Hypnotist Examiners (ACHE) yang didirikan di tahun 1980 oleh guru saya, Gil Boyne. ACHE adalah pelopor hipnoterapi modern dan adalah lembaga yang sangat dihormati.
 
Berdasarkan fakta bahwa mayoritas masalah klien berhasil kami, para hipnoterapis AWGI, bantu atasi hanya dalam satu hingga empat sesi terapi, saya menamakan hipnoterapi yang kami praktikkan—hipnoterapi mazhab AWGI—sebagai 'brief hypnotherapy' atau hipnoterapi singkat.
 
Demikianlah perjalanan ini saya lalui, dan inilah komitmen saya untuk terus belajar, berbagi, dan menyempurnakan langkah-langkah dalam membantu orang lain menuju kehidupan yang lebih baik, menjadi insan mulia paripurna. Dengan hipnoterapi, kita memuliakan manusia, dan turut mencipta dunia yang lebih baik untuk semua.
 
Baca Selengkapnya

Pendekatan Somato-Psikis: Meretas Jalan Baru Terapi Inovatif untuk Transformasi

29 Januari 2025

Masa libur menjelang akhir tahun saya manfaat untuk lebih banyak membaca dan belajar. Saya perlu mendapatkan penguatan dari hasil riset dan literatur terkait protokol terapi baru yang sedang saya susun.

Jadi ceritanya begini. Kita tahu bahwa pengaruh pikiran bawah sadar (PBS) terhadap diri kita sangat signifikan. Isi PBS termanifestasi dalam bentuk kualitas hidup dan juga kondisi fisik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Candace Pert, Ph.D., penulis buku Molecules of Emotion, dan audiobook Your Body Is Your Subconscious Mind, yang menjelaskan hubungan antara pikiran dan tubuh.

PBS memengaruhi kondisi fisik, ini tidak bisa dimungkiri atau dibantah. Kami menemukan, dalam praktik hipnoterapi, PBS bisa membuat individu sakit atau sembuh. Ini yang disebut psikosomatis. Pikiran atau psikis (pysche) memengaruhi kondisi tubuh soma (tubuh).

Saya berpikir, apakah bisa sebaliknya? Apakah bisa kita menggunakan fisik untuk memengaruhi PBS? Bila bisa, bagaimana caranya?

Artinya, untuk memasukkan data atau memberi perintah spesifik kepada PBS yang berdampak terapeutik, kita tidak perlu melakukan induksi hipnotik untuk menembus faktor kritis pikiran sadar (PS), seperti yang dilakukan dalam hipnoterapi. Dengan kata lain, ini semua dilakukan dalam kondisi sadar normal, tidak membutuhkan kondisi trance.

Lama saya mencari jawaban atas pertanyaan ini. Dan jujur, ini tidak mudah. Namun, secara intuitif, saya yakin ini bisa dilakukan.

Bila ini bisa dilakukan, muncul pertanyaan baru: Seberapa aman dan efektif strategi ini mampu mengatasi masalah klien? Apakah ini bisa untuk mengatasi masalah yang kompleks dan berat?

 

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐒𝐮𝐥𝐢𝐭 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?

Dalam upaya membantu klien berubah, hipnoterapis harus bisa menyampaikan pesan perubahan (sugesti) ke PBS. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Hipnoterapis harus bisa menembus faktor kritis PS. Ini adalah rintangan pertama yang harus diatasi dalam upaya membantu klien berubah. Fungsi faktor kritis adalah menjaga agar data di PBS tidak mudah diubah.

Jadi, bila dalam kondisi sadar normal, saat faktor kritis PS masih aktif, terapis memberi sugesti ke PBS klien, sebelum sugesti ini masuk ke PBS, ia akan diperiksa oleh faktor kritis. Bila ternyata data (sugesti) ini tidak sejalan dengan data yang telah ada di PBS, dengan serta merta sugesti ini akan ditolak. Semakin besar upaya terapis memasukkan sugesti, semakin kuat penolakan faktor kritis.

Tingkat keaktifan faktor kritis berbanding terbalik dengan tingkat kedalaman kondisi hipnosis (trance) yang berhasil dicapai klien. Semakin dalam kondisi hipnosis, semakin lemah faktor kritis.

Kondisi ideal atau terbaik yang sebaiknya dicapai adalah faktor kritis PS, untuk sementara waktu, berhenti bekerja atau tidak aktif. Ini hanya bisa terjadi dalam kondisi hipnosis (sangat) dalam.

Dalam kondisi ini, sugesti yang diberikan tidak lagi dikritisi oleh faktor kritis dan dengan leluasa bisa menjangkau PBS.

Apakah setelah sugesti berhasil menjangkau PBS, ia akan langsung dilaksanakan oleh PBS? Jawabannya, tidak.

Faktor kritis PS adalah rintangan pertama. Di dalam PBS sendiri terdapat empat filter mental yang juga berfungsi mengkritisi sugesti yang masuk. Hanya bila sugesti berhasil melewati empat filter ini, ia diterima oleh PBS dan siap dilaksanakan.

Namun, masih ada faktor lain yang harus diperhitungkan. Sugesti yang berhasil menjangkau PBS, setelah melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, harus bisa mengatasi penolakan dan perlawanan dari data lama (program) yang telah ada di PBS.

Misalnya klien adalah orang yang sangat tidak percaya diri. Ia tidak percaya diri sejak kecil. Dalam upaya membantu klien berubah, terapis memberi klien sugesti "Saya percaya diri".

Katakanlah sugesti "Saya percaya diri", setelah berhasil melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, berhasil menjangkau PBS, diterima sepenuhnya, dan akan dilaksanakan PBS. Bagaimana dengan data lama yang menyatakan "Saya tidak percaya diri", yang telah tersimpan di PBS klien selama puluhan tahun?

Temuan kami menyatakan bahwa setiap data ini memiliki kekuatan. Kami menggunakan angka 0 - 10, di mana 0 artinya sama sekali tidak ada kekuatan, dan 10 artinya kekuatan maksimal.

Sugesti "Saya percaya diri" yang baru masuk ke PBS, biasanya memiliki kekuatan yang masih kecil, lemah, tidak akan bisa bekerja optimal karena ia mendapat perlawanan atau ditolak, dan bahkan bisa dianulir oleh data "Saya tidak percaya diri" yang telah sangat lama berdiam di PBS dan berkekuatan 10.

Ini menjawab pertanyaan mengapa ada begitu banyak praktik hipnoterapi yang hanya mengandalkan sugesti, tidak efektif.

Hipoterapis pada umumnya hanya fokus pada upaya menembus faktor kritis, menggunakan teknik induksi dan skrip sugesti. Ada sangat banyak varian teknik induksi, namun tujuannya satu, menembus faktor kritis, menuntun klien berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi hipnosis (trance).

Upaya menembus faktor kritis akan sangat optimal bila terapis mengerti dan mampu melakukan uji kedalaman kondisi hipnosis secara akurat dan presisi, terutama menggunakan indikator mental yang menunjukkan kedalaman hipnosis dalam, bukan sekadar indikator fisik (napas melambat dan ritmik, tubuh rileks dan terasa berat, menelan ludah, REM, wajah datar, sklera mata merah) yang adalah indikasi kedalaman dangkal.

Kekuatan data lama di PBS dipengaruhi oleh beberapa faktor: siapa yang memasukkan data ini (imprint), pada usia berapa data ini dimasukkan atau masuk ke PBS, pengulangan dan penguatan, data-data tambahan yang bersifat mendukung kebenaran data, intensitas emosi yang menyertai data, dan Ego Personality yang terlibat.

 

𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐌𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?

Dengan menyadari dan memerhatikan benar dinamika PBS, saya berusaha merumuskan protokol terapi yang mampu menjangkau PBS melewati jalur fisik, tanpa harus berhadapan dengan faktor kritis PS, empat filter mental PBS, dan secara menyeluruh menetralisir kekuatan data lama sehingga perintah (sugesti) yang diberikan pada PBS berkekuatan penuh dan dilaksanakan tanpa mendapat hambatan.

Protokol ini telah saya ujicobakan pada peserta pelatihan Quantum Life Transformation® (QLT) akhir November 2024. Ada peserta yang menyampaikan keluhan pada saya. Masalahnya, sejak tahun 2020, setiap kali ia makan kenyang, ia langsung merasa mual dan mau muntah. Akibatnya, ia hanya berani makan dalam porsi kecil.

Saya tanya apa yang ia inginkan, dan ia menjawab ingin bisa makan kenyang tapi tetap nyaman. Saya menggunakan protokol baru ini dan memasukkan perintah ke PBS-nya berupa perintah: Saat saya makan dan kenyang, perut dan kondisi saya tetap nyaman.

Proses memasukkan sugesti ini ke PBS-nya berlangsung singkat. Hasilnya? Saat makan malam, ia bisa makan sampai kenyang dan perasaan mual atau ingin muntah tidak lagi ia alami atau rasakan.

Satu keberhasilan ini tentu sangat menggembirakan dan membuka peluang untuk penyempurnaan dan aplikasi untuk masalah lain.

Saya teringat saat dulu, di tahun 2015, merancang protokol The Heart Technique® (THT). Saya butuh waktu sekitar tiga tahun untuk melakukan ujicoba dan menyempurnakan protokolnya, hingga akhirnya THT diajarkan pada publik untuk pertama kali di Juni 2018.

THT saat ini telah berkembang menjadi tiga versi: THT 2.0 untuk publik, THT 3.0 khusus untuk hipnoterapis AWGI, dan THT 4.0 (The Ultimate Heart Technique) yang berbasis energi medan morfik. Saya pribadi lebih banyak menggunakan THT 2.0.

Besar harapan saya, protokol terapi ini nantinya bisa digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah emosi, perilaku, dan fisik dengan cara yang mudah, efektif, aman, dan tuntas.

 

Baca Selengkapnya

Hipnoterapi Untuk Menangani Disorganized Attachment

7 Januari 2025

Pak Adi yang saya hormati. Melalui pesan ini, saya ingin menyampaikan ungkapan terima kasih karena beberapa waktu lalu saya melakukan hipnoterapi pada klien wanita berusia 21 tahun yang mengalami disorganized attachment.

Disorganized attachment adalah salah satu kondisi psikologis yang sangat sulit diatasi. Bahkan beberapa ahli menyatakan disorganized attachment adalah kondisi yang tidak bisa disembuhkan, harus diterima dan dijalani seumur hidup, di mana klien tetap perlu menanggung masalah ini dan belajar strategi coping.

Disorganized attachment adalah kondisi di mana seseorang mendorong orang lain menjauh dari dirinya saat orang tersebut ingin dekat dengannya. Namun, saat kehilangan orang ini, mereka malah mencarinya dan ingin mendekat. Jadi, dekat dengan seseorang, salah, tapi jauh dari orang ini, juga salah.

Klien telah merasakan masalah ini sejak di sekolah dasar. Ia telah mencoba mengatasi kondisi ini dengan bantuan profesional lain. Klien dirujuk ke saya untuk menjalani sesi hipnoterapi karena di area attachment belum ada perbaikan.

Saya melakukan hipnoterapi menggunakan protokol hipnoterapi AWGI. Di sesi pertama, saya jujur tidak menyangka, mengalami kejadian atau pengalaman luar biasa.

Saya menggunakan teknik hipnoanalisis untuk mencari dan menemukan akar masalah yang klien alami. Biasanya, dari pengalaman kita, hipnoterapis AWGI, umumnya kita menemukan satu akar masalah (ISE-Initial Sensitizing Event) dengan satu atau beberapa kejadian lanjutan sebagai penguat (SSE-Subsequent Sensitizing Event).

Kasus klien ini ternyata bersifat multi-ISE. Satu simtom, disorganized attachment, disebabkan oleh 7 (tujuh) ISE dan 10 (sepuluh) SSE.

Seingat saya, jumlah ISE paling banyak pada kasus multi-ISE yang pernah kita temukan adalah 3 ISE. Jadi bisa dibayangkan kerja yang harus dilakukan untuk resolusi traumanya.

Walau saya sudah memproses tuntas 7 ISE dan 10 SSE, ternyata kasus ini belum tuntas. Secara teknis terapi, saya menyadari bahwa proses yang saya lakukan tuntas. Namun, dari uji hasil terapi, saya tahu masalah klien belum tuntas.

Mengingat proses terapi yang telah berlangsung cukup lama, dan saya, selaku terapis, dan klien telah sama-sama lelah, demi kebaikan klien, saya memutuskan untuk mengakhiri sesi terapi ini.

Saya sempat berpikir bahwa hipnoterapi mungkin tidak cocok untuk klien ini karena kejadian yang mendasari simtomnya ternyata sangat banyak. Saya berpikir, klien mungkin tidak merasakan manfaat karena terapinya tidak tuntas dalam satu sesi.

Namun saya ingat bahwa seturut protokol AWGI, kita memberi klien kesempatan untuk melanjutkan terapi hingga empat sesi. Dengan demikian, saya memberi klien kesempatan bertemu di sesi kedua.

Menariknya, saat pertemuan kedua, klien mengungkapkan bahwa sejak selesai menjalani sesi pertama, ia mengalami perubahan signifikan. Perubahan ini tampak nyata dan terlihat oleh rekan-rekannya. Rekan-rekannya jadi tertarik mencoba hipnoterapi.

Yang menarik adalah bahkan sebelum akar masalahnya tuntas ditangani, klien telah mengalami perubahan nyata dan signifikan.

Sebelum sesi kedua, saya sempat berdiskusi dengan salah satu sejawat hipnoterapis AWGI perihal penanganan kasus ini. Sejawat ini memberi beberapa saran dan masukan untuk lebih memaksimalkan proses dan hasil terapi yang akan saya lakukan.

Pada sesi kedua, ditemukan lagi 5 (lima) ISE. Dan ternyata, ini adalah sisanya. Setelah 5 ISE ditemukan dan diproses tuntas, klien langsung merasa bahwa proses ini telah tuntas mengatasi masalahnya.

Seturut protokol, saya melakukan uji hasil terapi. Dan memang demikianlah adanya. Klien merasa nyaman, tidak lagi merasa terganggu dengan kedekatan ataupun jarak yang jauh, dalam konteks relasi dengan orang lain.

Jadi, untuk masalah klien ini, disorganized attachment, tuntas dalam dua sesi terapi, setelah saya membantu ia menemukan dan memproses tuntas 12 (dua belas) ISE dan 10 (sepuluh) SSE. Dari 12 ISE, tiga di antaranya berupa kejadian saat klien dalam kandungan.

Saya bersyukur bisa belajar hipnoterapi dengan Pak Adi, bukan hanya karena teknik hipnoterapinya yang terbukti aman dan efektif mengatasi masalah klien-klien saya, tetapi saya juga merasa memiliki komunitas untuk berdiskusi tentang apa yang sedang dijalani.

Dalam diskusi ini konstruktif, semua mencari jalan keluar terbaik bagi klien. Ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi saya belajar dengan Pak Adi. Saya berharap lebih banyak lagi orang, dan mungkin psikiater lain juga, belajar hipnoterapi untuk menolong klien-klien yang membutuhkan.

Salam hormat,
dr. Jiemi Ardian, SpKj

Baca Selengkapnya

Pengamatan Mendalam Terhadap Fenomena

5 Januari 2025
Beberapa hari lalu saya mengalami kondisi suasana hati yang tidak nyaman, terpicu oleh satu kejadian sepele. Secara logika, kejadian ini harusnya tidak berdampak pada diri saya. Namun, kenyataannya, emosi saya terpicu dan suasana hati saya menjadi tidak kondusif.
 
Secara pikiran sadar saya menyadari apa yang sedang terjadi pada diri saya. Saya tahu benar, yang terjadi pada diri saya adalah terpicunya memori traumatik disosiatif akibat kejadian sepele.
 
Saya tetap bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Saat saya sedang beraktivitas, emosi ini seolah hilang, suasana hati saya menjadi normal seperti biasa. Saat saya sedang sendiri, suasana hati saya kembali tidak nyaman.
 
Yang terjadi pada diri saya adalah saat memori traumatik disosiatif ini terpicu dan aktif, ia turut mengaktifkan Ego Personality (EP) yang memegang memori dan emosinya. Saat saya melakukan aktivitas, EP ini bergeser digantikan oleh EP lain, kondisi saya menjadi baik-baik saja. Namun saat saya sedang sendiri, EP bermasalah ini aktif dan saya kembali mengalami suasana hati tidak nyaman.
 
Kondisi ini berlangsung selama sehari penuh. Saat itu saya tidak punya waktu khusus untuk melakukan swaterapi, jadi saya biarkan saja si EP ini aktif dan saya berusaha meredam dampaknya terhadap diri saya dengan cara tertentu.
Sampai tahap tertentu, saya berhasil. Namun saya tahu, ini harus diselesaikan secara tuntas agar di masa depan ia tidak lagi terpicu dan mengganggu saya.
 
Besoknya, saat saya meditasi di pagi hari, secara khusus saya sempatkan untuk menelaah dan mencari tahu sumber masalah emosi ini.
 
Saya mengakses kembali emosi tidak nyaman yang saya alami kemarin. Setelahnya, saya sadari dan fokus pada sensasi yang diakibatkan oleh emosi ini. Teknik ini disebut "Pengamatan Mendalam Terhadap Fenomena".
 
Saya tahu, bila saya memberi waktu yang cukup dalam mengamati sensasi emosi ini, cepat atau lambat pasti akan muncul memori kejadian yang menjadi sumber emosi ini. Dan benar, demikianlah yang terjadi.
 
Tiba-tiba, muncul satu kejadian saat saya berusia 5 tahun. Saya melihat diri saya yang berusia 5 tahun sedang menangis karena merasa tidak disayangi oleh kakek saya.
 
Memang, dulu waktu saya kecil, saya tidak dekat dengan kakek. Dan menurut orang-orang, kakek lebih sayang pada adik saya. Sementara saya lebih dekat dan lebih disayang oleh nenek.
 
Hingga saat dewasa, saya tidak merasa ada masalah dengan hal ini. Dan juga tidak pernah teringat, terkenang, atau bermimpi tentang kakek saya. Munculnya memori ini tentu cukup mengagetkan saya. Saya sama sekali tidak menyangka. Namun saya menerima sepenuhnya data yang diungkap oleh pikiran bawah sadar (PBS) saya.
 
Saat itu saya sedang dalam kondisi meditatif. Pikiran saya tenang, fokus, tubuh saya sangat rileks. Saya dapat melihat kejadiannya dengan jelas, namun sama sekali tidak terpengaruh. Secara teknis hipnoterapi, saya berada dalam kondisi hipnosis dalam (deep trance), mengalami hipermnesia tipe 1.
 
Langkah selanjutnya, saya melakukan terapi pada diri saya, menggunakan pengetahuan, wawasan, dan kebijaksanaan saya sebagai orang dewasa. Saya berkomunikasi dengan diri saya yang berusia 5 tahun, membantu ia untuk melepaskan emosi yang selama ini ia pendam, memberi edukasi, pengertian, dukungan, dan rasa aman padanya, berkomunikasi dengan introjek kakek dan nenek tentang apa yang dialami, dirasakan, dan diinginkan oleh diri saya yang kecil, serta melakukan resolusi trauma.
 
Hasilnya? Saya langsung merasa sangat lega. Setelah meditasi, hingga hari ini—tiga hari setelahnya, saat saya menulis kisah ini—perasaan saya tetap tenang, nyaman, dan lega, seperti yang biasa saya alami sehari-hari.
 
Teknik Pengamatan Mendalam Terhadap Fenomena adalah salah satu cara efektif untuk mencari akar masalah dalam konteks melakukan swaterapi. Namun, untuk menerapkan teknik ini secara aman dan efektif, meditator perlu melatih pikiran agar mencapai kondisi konsentrasi yang kuat, ketenangan mendalam, dan keheningan pikiran. Meditator juga perlu memiliki pengetahuan, wawasan, dan kebijaksanaan yang cukup agar dapat melakukan resolusi trauma dengan baik dan tuntas.
 
Tujuan utama dari kondisi ini adalah memastikan bahwa ketika memori kejadian yang menjadi akar masalah muncul, meditator dapat tetap tenang, tidak terpengaruh, dan mampu menjaga jarak antara dirinya sebagai pengamat dan objek (memori kejadian) yang diamati. Kondisi ini memungkinkan meditator untuk melihat kejadian tersebut secara objektif tanpa terjebak dalam emosi yang muncul sehingga mampu tetap berpikir jernih untuk menentukan dan menerapkan strategi resolusi.
 
Jika meditator belum mencapai tingkat konsentrasi yang cukup kuat dan ketenangan pikiran yang stabil, ada risiko besar bahwa ia akan tersedot masuk ke dalam pengalaman tersebut, dan kembali mengalami kejadian traumatis seperti yang dulu dialami. 
 
Dalam konteks hipnoterapi, meditator yang semula berada di kondisi hipermnesia tipe 1, hadir sebagai pengamat terhadap suatu fenomena (kejadian atau peristiwa), tersedot masuk ke kejadian, mengalami revivifikasi, menjadi dirinya yang berusia kecil, dan mengalami kembali trauma ini sama seperti dulu.
 
Ketika ini terjadi, alih-alih memperoleh kesembuhan, meditator justru mengalami trauma ulang. Hal ini tentu sangat riskan, terutama jika kejadian yang dihadapi sangat traumatik dan meninggalkan jejak emosional yang mendalam.
 
Oleh karena itu, persiapan mental dan latihan konsentrasi yang memadai sangat penting sebelum menggunakan teknik ini. Dengan pikiran yang tenang dan fokus, meditator dapat menjalani proses pengamatan fenomena secara aman, efektif, dan terapeutik, tanpa risiko memperburuk kondisi emosionalnya.
Baca Selengkapnya

Belajar Hipnoterapi SECH: Sungguh Beda dan Benar Sangat Efektif

26 Desember 2024
Pak Adi yang saya hormati. Saya izin berbagi pengalaman saya belajar hipnoterapi.
 
Pada tahun 2019, sebagai bagian dari kurikulum Professional Diploma in Counseling and Psychotherapy yang saya ikuti, saya mempelajari beberapa teknik terapi, seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Solution Focused Brief Therapy (SFBT), dan basic hypnotherapy.
 
Untuk modul basic hypnotherapy, saya belajar selama 6 hari dengan total durasi 48 jam tatap muka di kelas. Dalam kelas tersebut, saya mempelajari sejarah hipnoterapi, satu teknik induksi (progressive relaxation), dan beberapa teknik lainnya, termasuk teknik hipnoanalisis yang sangat mendasar. Namun, strategi resolusi trauma tidak diajarkan.
 
Setelah menyelesaikan modul basic hypnotherapy, saya belum berani mempraktikkan hipnoterapi karena merasa belum kompeten. Pada tahun 2020, saya kembali belajar hipnoterapi. Kali ini saya belajar advanced hypnotherapy dengan durasi pendidikan 85 jam, ditambah 30 jam praktik mandiri, dan 5 jam supervisi.
 
Di modul advanced hypnotherapy, saya belajar lebih banyak teknik, tetapi teknik-teknik ini berdiri sendiri, bukan dalam satu kesatuan protokol. Akibatnya, saya harus berkreasi sendiri "meracik" teknik yang akan digunakan saat menangani klien. Hal ini cukup merepotkan.
 
Sebagai contoh, untuk teknik induksi saja kami diberikan beberapa skrip. Saya harus memilih dan mempelajari sendiri skrip mana yang cocok untuk tipe klien tertentu.
 
Walaupun ini adalah kelas advanced hypnotherapy, para peserta tidak diajarkan secara jelas bagaimana mengetahui apakah klien sudah berada di kedalaman hipnosis yang sesuai untuk terapi. Akibatnya, saya terpaksa hanya mengandalkan intuisi.
 
Setelah menyelesaikan kelas advanced ini, saya merasa lebih percaya diri untuk mempraktikkan hipnoterapi. Saya mampu menangani klien dengan hasil yang lebih baik dibandingkan ketika hanya menggunakan teknik lain. Namun, saya tidak pernah berhasil menyelesaikan masalah klien dalam 2-3 sesi terapi. Biasanya membutuhkan lebih banyak sesi.
 
Jujur, selama praktik dahulu, saya sering mencampur berbagai teknik, karena terapis disarankan untuk kreatif dan mengembangkan gaya sendiri. Hal ini kemudian dipoles oleh supervisor saat sesi supervisi. Sayangnya, kami tidak diajarkan cara melakukan uji hasil terapi. Saya hanya bisa memantau hasil terapi melalui sesi berikutnya, yang sering kali membuat proses terapi menjadi lebih lama.
 
Tahun 2024, saya belajar hipnoterapi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) di AWGI. Saya sangat terkesan dengan materi yang diajarkan. Pak Adi mengajarkan protokol hipnoterapi Quantum Hypnotherapeutic Protocol dengan Dual Layer Therapy.
 
Walaupun hanya diajarkan dua teknik utama, dengan berbagai variannya, teknik-teknik ini sangat powerful dan efektif. Sebelumnya, saya diajarkan banyak teknik, tetapi malah bingung karena tidak jelas harus menggunakan teknik yang mana. Terutama bagi terapis pemula yang minim pengalaman, hal ini sangat membingungkan.
 
Materi yang diajarkan di kelas SECH juga sangat advanced. Kami hanya belajar satu teknik induksi yang telah dilengkapi uji kedalaman trance yang presisi.
 
Di kelas SECH juga dijelaskan secara detail dan sistematis tentang cara mencari, menemukan akar masalah, melakukan resolusi trauma dengan tuntas, teknik penanganan abreaksi, dan teknik Ego Personality (EP), dan masih banyak lagi.
 
Dulu, saya hanya mengetahui satu teknik abreaksi standar. Untuk teknik EP, saya harus banyak membaca artikel jurnal untuk mengumpulkan data dan pengetahuan. Di kelas SECH, semua materi disampaikan secara terstruktur, detail, lengkap, tanpa saya harus bersusah-payah mencari sendiri. Dan yang paling penting, teknik yang diajarkan terbukti sangat efektif.
 
Saya sangat terinspirasi dengan pendekatan eklektik integratif yang menjadi ciri khas AWGI. Pak Adi mampu merancang dan menggabungkan berbagai teknik serta strategi terbaik yang sejalan dengan teori pikiran yang menjadi landasan hipnoterapi AWGI. Hasilnya adalah protokol yang sangat mudah dipelajari, dipahami, dipraktikkan, dan efektif.
 
Hal penting dalam proses pendidikan SECH yang berdampak signifikan pada terbangunnya kompetensi hipnoterapi kami adalah Pak Adi mewajibkan kami melakukan praktik hipnoterapi menggunakan protokol lengkap, dan menulis laporan kasus terapinya secara detail. Selanjutnya Pak Adi mempelajari dengan sangat cermat setiap laporan kasus, memberi saran dan masukan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas terapi kami ke depan.
 
The Heart Technique® (THT) yang diciptakan oleh Pak Adi benar-benar revolusioner. Teknik ini bukan hanya untuk menetralisir emosi, tetapi juga untuk mengganti belief klien dengan mudah, cepat, dan efektif. Dulu, saat saya masih menggunakan teknik lain, mengganti belief memerlukan banyak sesi terapi yang kompleks dan melelahkan. Selain THT, saya juga terinspirasi dengan konsep keterhubungan secara energetik yang diterapkan dalam protokol hipnoterapi di AWGI.
 
Walaupun terapi mazhab AWGI terlihat sederhana, dari perenungan saya, saya menemukan banyak lapisan strategi, teknik, dan teori yang terintegrasi untuk mencapai ketuntasan terapi. Hal ini mencerminkan pemikiran yang sangat mendalam.
 
Pak Adi mampu membuat sesuatu yang kompleks menjadi sederhana, praktis, dan efektif. Kami, murid SECH, sungguh beruntung. Tanpa harus bersusah-payah, kami mendapatkan protokol dan teknik terapi yang sangat efektif untuk membantu klien.
 
Untuk menggambarkan perbedaan saya belajar di tempat lain dan di AWGI, mungkin bisa lebih jelas bila saya menggunakan metafora memasak mie:
 
Di tempat saya belajar dulu, kami diberikan bahan dasarnya: tepung, telur, gula, garam, dll (teknik induksi, teknik hipnoanalisis, teknik Ego State, dll), dan kami disuruh untuk latihan belajar buat resep sendiri. Resep juga harus kami sesuaikan dengan klien. Ribet banget dalam prosesnya, dan memakan waktu yang lama, walaupun hasilnya bisa enak.
 
Di kelas SECH, buat mie ini seperti masak mie instan. Buka bungkus, mie dan bumbu sudah disediakan. Tinggal mengikuti protokol (instruksi) cara masak. Hasilnya sudah pasti enak. Asal mengikuti protokolnya, terapi sudah pasti akan bagus hasilnya. Sat-set, satu sesi, masalah klien tuntas teratasi.
 
Terima kasih Pak Adi. Sejak saya mengikuti kelas SECH bulan Juni 2024 hingga saat ini, saya telah berhasil menangani 20 klien dengan sangat baik dan tuntas, hanya dalam satu sesi terapi. Kasus yang saya tangani juga cukup kompleks dan sulit.
 
Terima kasih untuk semua bimbingan yang Pak Adi berikan.
 
Salam hormat,
Irence Monica
(SECH-35 / 2024)
Baca Selengkapnya

Kesembuhan Semu dan Kesembuhan Tuntas

12 Desember 2024

Saat ini, banyak individu yang, ketika menghadapi masalah emosi atau perilaku, mencari bantuan hipnoterapis untuk mengatasinya. Ini merupakan perkembangan yang sangat positif karena masyarakat kini semakin menyadari pentingnya kesehatan mental dan memahami berbagai alternatif bantuan yang dapat mereka upayakan, salah satunya adalah hipnoterapi.

Individu yang meminta bantuan hipnoterapis tentu berharap kondisi mereka dapat diatasi dengan aman, nyaman, cepat, dan efektif, dengan jumlah sesi terapi seminimal mungkin. Harapan ini juga menjadi tujuan utama setiap hipnoterapis profesional.

Dalam konteks terapi, terdapat dua jenis kesembuhan: semu dan tuntas. Kesembuhan semu terjadi ketika klien, setelah menjalani sesi konseling atau terapi, merasa dirinya telah sembuh atau terapis menyatakan bahwa klien telah sembuh, namun beberapa waktu kemudian klien kembali mengalami masalah yang sama seperti sebelum menjalani terapi.

Kesembuhan semu sering terjadi, menurut temuan kami, hipnoterapis AWGI, karena proses konseling atau terapi tidak berhasil menemukan dan menetralisasi akar masalah (ISE), yaitu kejadian paling awal dan Ego Personality (EP) yang bermasalah.

Dalam hal penyelesaian akar masalah, penting untuk memastikan apakah ISE (Initial Sensitizing Event) bersifat tunggal (single ISE) atau terdiri dari lebih dari satu kejadian (multi-ISE). Hal yang sama berlaku untuk EP (Ego Personality), di mana perlu dipastikan apakah EP yang menyebabkan masalah bersifat satu lapis (single layer) atau terdiri dari banyak lapis (multi-layer).

Pada kasus EP satu lapis, kesembuhan semu sering terjadi akibat pergeseran EP. EP bermasalah yang saat itu sedang aktif (executive) membuat individu mengalami masalah, tidak ditangani dengan cara atau teknik yang tepat, dan hanya digeser dan digantikan oleh EP lain.

EP bermasalah ini, yang semula aktif, akhirnya menjadi tidak aktif atau dorman untuk waktu tertentu, sampai ia terpicu untuk aktif kembali. Ketika EP bermasalah dorman, masalah individu tampak hilang sementara, seolah-olah sembuh. Namun, saat EP bermasalah ini kembali aktif, individu kembali mengalami masalah. Inilah yang sering disebut sebagai kambuh.

Kesembuhan tuntas, di sisi lain, terjadi ketika klien mengalami perubahan positif yang bertahan lama setelah sesi terapi.

Kesembuhan semu, walau bukan penyelesaian tuntas atas suatu masalah, sebenarnya baik adanya, dalam pengertian, ia memberi bukti dan harapan pada klien bahwa masalah atau kondisinya tidak kekal dan dapat diselesaikan. Yang dibutuhkan adalah upaya lebih lanjut, melalui cara yang tepat untuk bisa merealisasikan kesembuhan tuntas.

Menguji Kesembuhan

Bagaimana mengetahui apakah hasil terapi menghasilkan kesembuhan semu atau kesembuhan tuntas?

Hipnoterapis profesional pasti melakukan uji hasil terapi, sebanyak minimal dua kali, untuk memastikan proses terapi yang mereka lakukan menghasilkan kesembuhan tuntas, bukan kesembuhan semu.

Uji hasil terapi pertama dilakukan segera setelah terapi selesai. Uji hasil terapi kedua dilakukan dengan meminta klien mengecek kondisinya minimal satu minggu setelah terapi.

Contoh Praktis

Misalnya, Anda sebagai klien mengalami masalah cemas dan panik saat mengendarai mobil, berhenti di lampu merah, dan ada banyak kendaraan lain di sekeliling mobil Anda.

Sebelum terapi dilakukan, hipnoterapis profesional akan melakukan pretest. Caranya, ia akan meminta Anda menutup mata, mengingat kejadian terakhir saat Anda berhenti di lampu merah, dikelilingi banyak kendaraan lain, dan mengecek respons Anda. Anda pasti merasa tidak nyaman, cemas, dan panik dengan intensitas tertentu.

Setelah terapi, hipnoterapis akan melakukan post-test. Ia akan meminta Anda menutup mata dan membayangkan kejadian yang sama, yaitu berhenti di lampu merah dan dikelilingi banyak kendaraan lain, lalu mengecek respons Anda. Jika terapi berhasil, emosi cemas dan panik tidak lagi Anda rasakan. Ini artinya, Anda sudah sembuh.

Namun, hipnoterapis profesional akan melakukan satu uji hasil terapi lagi. Ia akan meminta Anda untuk mengecek respons Anda dalam situasi nyata selama seminggu ke depan, misalnya saat benar-benar berhenti di lampu merah dikelilingi banyak kendaraan.

Hasil dari uji ini akan memastikan apakah terapi yang dilakukan menghasilkan kesembuhan tuntas atau hanya kesembuhan semu.

Hak dan Kewajiban dalam Terapi

Jika Anda adalah seorang klien yang menggunakan jasa hipnoterapis untuk membantu mengatasi suatu masalah, Anda berhak meminta hipnoterapis Anda melakukan uji hasil terapi. Hal ini juga merupakan kewajiban setiap hipnoterapis profesional.

Uji hasil terapi bertujuan untuk memastikan bahwa kesembuhan yang Anda alami adalah kesembuhan tuntas, bukan kesembuhan semu. Perlu diingat, uji hasil terapi ini dilakukan segera setelah sesi terapi selesai, saat Anda masih duduk di kursi terapi.

Bila hipnoterapis Anda tidak bersedia melakukan uji hasil terapi, Anda dapat melakukannya sendiri mengikuti cara yang telah dijelaskan di atas. 

 

Saat hipnoterapis atau anda sendiri melakukan uji hasil terapi, mengingat kembali kejadian yang sebelumnya memicu perasaan tidak nyaman, dan ternyata Anda masih merasakan perasaan tidak nyaman, ini ada dua kemungkinan.

 

Pertama, perasaan tidak nyaman ini telah jauh berkurang tapi belum hilang tuntas. Ini artinya terapi yang dilakukan membuahkan hasil namun belum mencapai hasil maksimal.

 

Kedua, perasaan tidak nyaman tetap sama intensitasnya atau bahkan meningkat. Ini artinya, terapi yang dilakukan sama sekali tidak membuahkan hasil.

 

 

Baca Selengkapnya

Beda Percaya Diri dan Sombong

9 Desember 2024

Saya beberapa kali menangani klien yang mengalami kebuntuan, baik dalam karier maupun bisnis, akibat pemahaman yang keliru tentang konsep sombong yang tertanam di pikiran bawah sadar (PBS).

PBS mereka menghambat dan menyabotase upaya sukses karena memaknai sikap, pemikiran, atau tindakan yang sejatinya adalah ungkapan rasa percaya diri positif sebagai bentuk kesombongan.

Sejalan dengan fungsi PBS untuk melindungi individu, PBS melakukan proteksi berdasarkan apa yang dirasa, diyakini, diketahui, diasumsikan, atau dipersepsikan sebagai sesuatu yang merugikan atau membahayakan kesejahteraan individu. Akibatnya, PBS melakukan tindakan "mulia" untuk membuat individu berhenti "sombong" atau bahkan tidak mampu menjadi "sombong."

Untuk membantu klien mengatasi hambatan ini, saya, sebagai terapis, perlu memberikan edukasi kepada PBS klien tentang perbedaan antara percaya diri dan sombong.
Percaya diri dan sombong sering kali terlihat serupa karena keduanya melibatkan keyakinan pada diri sendiri. Namun, sesungguhnya keduanya sangat berbeda. Berikut adalah penjelasan mengenai perbedaan antara percaya diri dan sombong:

1. Esensi
Percaya diri adalah keyakinan positif terhadap kemampuan, nilai, dan potensi diri tanpa merendahkan orang lain. Orang yang percaya diri memahami kekuatannya namun tetap rendah hati.

Sombong adalah keyakinan berlebihan pada diri sendiri, diikuti dengan meremehkan atau merendahkan orang lain melalui pikiran, ucapan, tulisan, atau tindakan. Sombong berfokus pada keunggulan diri untuk memperoleh pengakuan atau perhatian, meskipun belum tentu individu ini benar-benar lebih unggul dari orang lain.


2. Motivasi
Percaya diri berasal dari pemahaman dan penghargaan terhadap diri sendiri. Orang yang percaya diri tidak merasa perlu membandingkan dirinya dengan orang lain atau mencari validasi eksternal. Mereka sadar akan kekurangannya dan menghargai kemampuan serta kapasitas dirinya.

Sombong berasal dari kebutuhan untuk membuktikan diri, sering kali karena dilandasi rasa tidak aman atau keinginan mendapatkan pujian. Sombong adalah klaim sepihak, biasanya tidak berdasar fakta objektif, dan bertujuan mengangkat harga diri yang rendah akibat perasaan tidak berharga.


3. Sikap terhadap Orang Lain
Orang percaya diri menghargai orang lain dan terbuka terhadap kritik serta saran. Mereka mendukung dan menginspirasi orang lain untuk berkembang.

Orang sombong cenderung meremehkan, menghakimi, atau memandang rendah orang lain. Mereka sulit menerima kritik dan sering kali defensif. Saat mendapat informasi objektif, alih-alih berterima kasih dan introspeksi, orang sombong memaknainya sebagai serangan terhadap diri mereka.

Orang sombong biasanya tidak membantah ide atau argumen secara substansial, melainkan menyerang pribadi lawan bicara untuk membungkam perbedaan pandangan.

4. Hubungan Sosial
Orang percaya diri membangun hubungan sosial yang sehat berkat sikap mereka yang positif dan suportif.

Orang sombong cenderung merusak hubungan sosial karena sikap arogan dan kurang menghargai orang lain, sehingga membuat orang menjauh.

5. Ciri-Ciri Utama
Orang percaya diri tetap rendah hati meskipun memiliki banyak prestasi. Mereka fokus pada perbaikan dan peningkatan diri tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain. Mereka juga berani menghadapi tantangan dengan sikap positif.

Orang sombong selalu membicarakan keunggulan diri sendiri. Mereka memproklamirkan diri sebagai yang lebih unggul, meremehkan pencapaian orang lain, dan mudah tersinggung jika tidak mendapat pengakuan atau penghargaan. Orang sombong juga tidak bersedia mengakui kesalahan atau minta maaf.

 

Kesimpulan

Percaya diri adalah kekuatan yang bersumber dari penghargaan jujur terhadap diri sendiri, sedangkan sombong adalah kelemahan yang ditutupi dengan menonjolkan diri secara berlebihan.

Orang yang percaya diri menciptakan energi positif yang menginspirasi, sementara orang sombong sering kali menciptakan jarak dan ketegangan dalam hubungan sosial. Oleh karena itu, penting untuk membangun kepercayaan diri tanpa terjebak dalam kesombongan.

Orang sombong cenderung membangun narasi yang menyudutkan orang percaya diri, dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang sombong. Di sisi lain, orang percaya diri tidak merasa perlu untuk merespons tuduhan tersebut, karena mereka memahami kapasitas dan nilai dirinya.

Orang sombong sering kali membanggakan dirinya dengan klaim bahwa mereka tidak sombong. Sebaliknya, orang percaya diri berusaha mawas diri, menyadari potensi jebakan kesombongan, dan terus menjaga sikap rendah hati agar tidak terjerumus menjadi sombong karena merasa dirinya tidak sombong.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List
1 2 3 4 5 6... 40 41 Selanjutnya