The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Tulisan ini terinspirasi dari diskusi saya dengan salah satu hipnoterapis AWGI beberapa waktu lalu. Sejawat ini gemar membaca tulisan pakar trauma dari luar negeri, salah satunya Bessel van der Kolk, MD. Dari bacaan-bacaan ini ia mulai terpapar dengan informasi tentang neurosains dan psikologi, dan tertarik untuk mempelajarinya. Ia bertanya apakah saya merekomendasi ia untuk mendalami neurosains. Bila saya merekomendasi, ia minta saran sebaiknya belajar ke siapa atau lembaga mana di luar negeri.
Kisah perjalanan pembelajaran sejawat ini membawa saya mundur ke masa awal saya dulu praktik hipnoterapi. Saya dulu juga sempat mendalami secara otodidak neuropsikologi.
Secara ringkas, bisa dijelaskan bahwa neurosains adalah ilmu yang mempelajari sistem saraf, termasuk struktur, fungsi, perkembangan, dan hubungannya dengan perilaku serta pikiran manusia. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku, pikiran, dan proses mental manusia serta bagaimana faktor biologis, sosial, dan lingkungan memengaruhinya.
Dengan demikian, neuropsikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara fungsi otak dan perilaku, termasuk bagaimana kerusakan atau gangguan pada otak memengaruhi emosi, kognisi, dan tindakan seseorang.
Tujuan saya belajar neuropsikologi adalah untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kompetensi terapeutik saya. Dan setelah saya membaca cukup literatur yang membahas topik ini, saya akhirnya memutuskan untuk mundur dan kembali hanya fokus pada hipnoterapi. Meskipun demikian, sesekali saya masih membaca buku teks dan artikel jurnal tentang neuropsikologi untuk menambah pengetahuan dan wawasan.
Mengapa Saya Berhenti Mendalami Neuropsikologi?
Dalam berbagai literatur yang saya pelajari, memang dijelaskan bagian-bagian otak beserta fungsinya, serta apa yang terjadi pada otak seseorang saat ia mengalami kondisi mental atau gangguan psikologis tertentu. Saya belajar dengan penuh antusiasme dan berharap dapat mengaplikasikan pengetahuan ini ke dalam praktik hipnoterapi.
Saya berharap di dalam literatur ini juga dijelaskan teknik mengatasi gangguan psikologis berlandaskan neurosains. Saya membaca penjelasan tentang penyebab kondisi seperti PTSD, skizofrenia, gangguan kecemasan, bipolar, dan gangguan depresi mayor, yaitu adanya abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak.
Bergantung kondisi dan jenis gangguan, umumnya, solusi yang disarankan adalah dengan pemberian obat-obatan, pembedahan otak, stimulasi otak dalam (deep brain stimulation / DBS), terapi paparan realitas virtual (VR), electroconvulsive therapy (ECT), terapi cahaya terang (bright light therapy), neurofeedback, terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy / CBT), dan desensitisasi sistematis.
Berikut ini adalah ringkasan informasi tentang penyebab depresi, yang saya dapatkan dari mempelajari buku neuropsikologi terbitan tahun 2021 setebal 2548 halaman:
"Sebuah meta-analisis oleh Chuanjun Zhuo dan koleganya (2019) mengidentifikasi perubahan otak yang khas terkait dengan depresi, terutama pada area berikut:
Lobus frontal: Penurunan materi abu-abu (gray matter), khususnya pada orbitofrontal cortex (OFC).
Lobus temporal: Penurunan volume, terutama di hipokampus.
Lobus parietal: Termasuk posterior cingulate cortex, yang mengalami penurunan ketebalan kortikal.
Para penulis ini juga merangkum perubahan dalam jaringan otak yang berhubungan dengan depresi dan menemukan adanya penurunan koneksi antara korteks prefrontal dengan area kortikal temporal, korteks prefrontal dengan amigdala dan hipokampus.
Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun perubahan struktural atau fungsional tunggal pada otak yang dapat digunakan untuk mendiagnosis depresi.
Meskipun saat ini tidak lagi sepopuler studi MRI, penelitian menggunakan PET (Positron Emission Tomography) telah menunjukkan bahwa tingkat keparahan depresi mayor berkorelasi dengan penurunan aliran darah dan metabolisme di anterior cingulate cortex (ACC) dan ventromedial prefrontal cortex. Aliran darah di area ini meningkat pada pasien depresi yang telah sembuh.
Studi PET juga menunjukkan adanya peningkatan abnormal metabolisme glukosa di amigdala dan orbitofrontal cortex, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala depresi.
Amigdala bertugas memberikan makna emosional terhadap rangsangan. Aktivitas amigdala merangsang pelepasan kortisol, yang menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan aktivitas poros HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) pada depresi. Peningkatan aktivitas di orbital cortex berkaitan dengan upaya untuk memodulasi atau menghambat aktivitas amigdala."
Sebagai hipnoterapis, informasi di atas sama sekali tidak bisa saya aplikasikan ke dalam praktik hipnoterapi. Saya bukan dokter, psikiater, atau psikolog klinis. Saya tidak memiliki kompetensi melakukan prosedur yang disarankan, seperti pemberian obat, pembedahan, dan yang lainnya. Namun, satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana terapi psikologi bisa digunakan, sampai tahap tertentu, untuk membantu mengatasi gangguan psikologis.
Dan mengingat saya mendalami hipnoterapi, saya simpulkan, sampai tahap tertentu, hipnoterapi bisa membantu mengatasi kondisi tidak kondusif yang dialami individu, khususnya di aspek emosi dan perilaku.
Saya sempat belajar neurofeedback di Los Angeles, Amerika. Dua kali saya ke Amerika mendalami ilmu ini. Dan hasilnya, saya bisa membantu klien melalui stimulasi otak menggunakan mesin EEG yang dirancang khusus untuk tujuan ini. Namun ini juga saya tinggalkan karena saya menemukan bahwa untuk masalah emosi dan perilaku, penggunaan hipnoterapi memberi dampak jauh lebih cepat dan signifikan.
Saya menyadari, neurosains adalah disiplin ilmu yang sangat kompleks, dan tidak mungkin bisa saya kuasai sepenuhnya hanya dengan belajar secara otodidak atau sekadar ikut pelatihan. Jadi, daripada saya membuang waktu belajar sesuatu yang akhirnya juga tidak banyak manfaatnya, lebih baik saya fokus pada hipnoterapi.
Alasan utama saya tidak secara khusus mengajarkan neurosains hipnosis dan hipnoterapi di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH), yaitu saya tidak memiliki kompetensi di bidang keilmuan ini, dan pengetahuan terkait neuropsikologi tidak bisa saya integrasikan ke dalam protokol atau teknik-teknik hipnoterapi saya. Namun bagi peserta SECH yang berminat mendalami neuropsikologi, saya dengan senang hati memberi mereka judul-judul buku dan artikel jurnal untuk mereka pelajari sendiri. Dan tentunya, bila saya memiliki ebook atau file-nya, pasti saya berikan juga.
Berlandaskan fakta dan temuan di ruang praktik, di luar faktor genetik, saya percaya sepenuhnya bahwa abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak adalah akibat, bukan sebab.
Individu pada awalnya dalam kondisi baik. Dengan demikian, kondisi otaknya juga baik. Namun, dalam proses tumbuh kembang ia mengalami pengalaman atau kejadian traumatik yang akhirnya mengguncang kondisi otaknya, yang semula normal hingga akhirnya menjadi abnormal.
Dari perspektif hipnoterapi, kami bisa melakukan resolusi pada pengalaman traumatik ini. Hipotesis saya, bila ini berhasil dilakukan, kondisi otaknya akan kembali normal.
Kami, sebagai hipnoterapis, karena tidak memiliki piranti untuk menelisik kondisi otak, lebih fokus pada memerhatikan perubahan perilaku pascaterapi. Misalnya, ada klien datang pada kami dengan masalah serangan panik (panic attack), ledakan kemarahan (anger outburst), fobia yang tidak rasional, ketakutan berlebih dalam situasi sosial (social anxiety), trauma, atau gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Kondisi ini terjadi karena pembajakan amigdala (amydala hijack), yaitu saat amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas respons emosional, "mengambil alih" kendali sebelum korteks prefrontal (bagian otak yang lebih rasional) memiliki kesempatan untuk memproses informasi secara logis.
Dengan hipnoterapi, kami bisa membantu klien mengatasi masalahnya dengan cara menemukan dan memproses tuntas akar masalah atau kejadian penyebab simtom. Saat klien sembuh, secara otomatis ia terbebas dari amygdala hijack .
Kembali pada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?
Bila tujuannya untuk menambah pengetahuan atau wawasan, tentu sangat boleh. Namun bila yang diharapkan adalah setelah mendalami neuropsikologi, kompetensi hipnoterapi meningkat secara luar biasa, saran saya, tidak usah buang waktu belajar neurosains secara mendalam.
Masa libur menjelang akhir tahun saya manfaat untuk lebih banyak membaca dan belajar. Saya perlu mendapatkan penguatan dari hasil riset dan literatur terkait protokol terapi baru yang sedang saya susun.
Jadi ceritanya begini. Kita tahu bahwa pengaruh pikiran bawah sadar (PBS) terhadap diri kita sangat signifikan. Isi PBS termanifestasi dalam bentuk kualitas hidup dan juga kondisi fisik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Candace Pert, Ph.D., penulis buku Molecules of Emotion, dan audiobook Your Body Is Your Subconscious Mind, yang menjelaskan hubungan antara pikiran dan tubuh.
PBS memengaruhi kondisi fisik, ini tidak bisa dimungkiri atau dibantah. Kami menemukan, dalam praktik hipnoterapi, PBS bisa membuat individu sakit atau sembuh. Ini yang disebut psikosomatis. Pikiran atau psikis (pysche) memengaruhi kondisi tubuh soma (tubuh).
Saya berpikir, apakah bisa sebaliknya? Apakah bisa kita menggunakan fisik untuk memengaruhi PBS? Bila bisa, bagaimana caranya?
Artinya, untuk memasukkan data atau memberi perintah spesifik kepada PBS yang berdampak terapeutik, kita tidak perlu melakukan induksi hipnotik untuk menembus faktor kritis pikiran sadar (PS), seperti yang dilakukan dalam hipnoterapi. Dengan kata lain, ini semua dilakukan dalam kondisi sadar normal, tidak membutuhkan kondisi trance.
Lama saya mencari jawaban atas pertanyaan ini. Dan jujur, ini tidak mudah. Namun, secara intuitif, saya yakin ini bisa dilakukan.
Bila ini bisa dilakukan, muncul pertanyaan baru: Seberapa aman dan efektif strategi ini mampu mengatasi masalah klien? Apakah ini bisa untuk mengatasi masalah yang kompleks dan berat?
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐒𝐮𝐥𝐢𝐭 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?
Dalam upaya membantu klien berubah, hipnoterapis harus bisa menyampaikan pesan perubahan (sugesti) ke PBS. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Hipnoterapis harus bisa menembus faktor kritis PS. Ini adalah rintangan pertama yang harus diatasi dalam upaya membantu klien berubah. Fungsi faktor kritis adalah menjaga agar data di PBS tidak mudah diubah.
Jadi, bila dalam kondisi sadar normal, saat faktor kritis PS masih aktif, terapis memberi sugesti ke PBS klien, sebelum sugesti ini masuk ke PBS, ia akan diperiksa oleh faktor kritis. Bila ternyata data (sugesti) ini tidak sejalan dengan data yang telah ada di PBS, dengan serta merta sugesti ini akan ditolak. Semakin besar upaya terapis memasukkan sugesti, semakin kuat penolakan faktor kritis.
Tingkat keaktifan faktor kritis berbanding terbalik dengan tingkat kedalaman kondisi hipnosis (trance) yang berhasil dicapai klien. Semakin dalam kondisi hipnosis, semakin lemah faktor kritis.
Kondisi ideal atau terbaik yang sebaiknya dicapai adalah faktor kritis PS, untuk sementara waktu, berhenti bekerja atau tidak aktif. Ini hanya bisa terjadi dalam kondisi hipnosis (sangat) dalam.
Dalam kondisi ini, sugesti yang diberikan tidak lagi dikritisi oleh faktor kritis dan dengan leluasa bisa menjangkau PBS.
Apakah setelah sugesti berhasil menjangkau PBS, ia akan langsung dilaksanakan oleh PBS? Jawabannya, tidak.
Faktor kritis PS adalah rintangan pertama. Di dalam PBS sendiri terdapat empat filter mental yang juga berfungsi mengkritisi sugesti yang masuk. Hanya bila sugesti berhasil melewati empat filter ini, ia diterima oleh PBS dan siap dilaksanakan.
Namun, masih ada faktor lain yang harus diperhitungkan. Sugesti yang berhasil menjangkau PBS, setelah melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, harus bisa mengatasi penolakan dan perlawanan dari data lama (program) yang telah ada di PBS.
Misalnya klien adalah orang yang sangat tidak percaya diri. Ia tidak percaya diri sejak kecil. Dalam upaya membantu klien berubah, terapis memberi klien sugesti "Saya percaya diri".
Katakanlah sugesti "Saya percaya diri", setelah berhasil melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, berhasil menjangkau PBS, diterima sepenuhnya, dan akan dilaksanakan PBS. Bagaimana dengan data lama yang menyatakan "Saya tidak percaya diri", yang telah tersimpan di PBS klien selama puluhan tahun?
Temuan kami menyatakan bahwa setiap data ini memiliki kekuatan. Kami menggunakan angka 0 - 10, di mana 0 artinya sama sekali tidak ada kekuatan, dan 10 artinya kekuatan maksimal.
Sugesti "Saya percaya diri" yang baru masuk ke PBS, biasanya memiliki kekuatan yang masih kecil, lemah, tidak akan bisa bekerja optimal karena ia mendapat perlawanan atau ditolak, dan bahkan bisa dianulir oleh data "Saya tidak percaya diri" yang telah sangat lama berdiam di PBS dan berkekuatan 10.
Ini menjawab pertanyaan mengapa ada begitu banyak praktik hipnoterapi yang hanya mengandalkan sugesti, tidak efektif.
Hipoterapis pada umumnya hanya fokus pada upaya menembus faktor kritis, menggunakan teknik induksi dan skrip sugesti. Ada sangat banyak varian teknik induksi, namun tujuannya satu, menembus faktor kritis, menuntun klien berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi hipnosis (trance).
Upaya menembus faktor kritis akan sangat optimal bila terapis mengerti dan mampu melakukan uji kedalaman kondisi hipnosis secara akurat dan presisi, terutama menggunakan indikator mental yang menunjukkan kedalaman hipnosis dalam, bukan sekadar indikator fisik (napas melambat dan ritmik, tubuh rileks dan terasa berat, menelan ludah, REM, wajah datar, sklera mata merah) yang adalah indikasi kedalaman dangkal.
Kekuatan data lama di PBS dipengaruhi oleh beberapa faktor: siapa yang memasukkan data ini (imprint), pada usia berapa data ini dimasukkan atau masuk ke PBS, pengulangan dan penguatan, data-data tambahan yang bersifat mendukung kebenaran data, intensitas emosi yang menyertai data, dan Ego Personality yang terlibat.
𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐌𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?
Dengan menyadari dan memerhatikan benar dinamika PBS, saya berusaha merumuskan protokol terapi yang mampu menjangkau PBS melewati jalur fisik, tanpa harus berhadapan dengan faktor kritis PS, empat filter mental PBS, dan secara menyeluruh menetralisir kekuatan data lama sehingga perintah (sugesti) yang diberikan pada PBS berkekuatan penuh dan dilaksanakan tanpa mendapat hambatan.
Protokol ini telah saya ujicobakan pada peserta pelatihan Quantum Life Transformation® (QLT) akhir November 2024. Ada peserta yang menyampaikan keluhan pada saya. Masalahnya, sejak tahun 2020, setiap kali ia makan kenyang, ia langsung merasa mual dan mau muntah. Akibatnya, ia hanya berani makan dalam porsi kecil.
Saya tanya apa yang ia inginkan, dan ia menjawab ingin bisa makan kenyang tapi tetap nyaman. Saya menggunakan protokol baru ini dan memasukkan perintah ke PBS-nya berupa perintah: Saat saya makan dan kenyang, perut dan kondisi saya tetap nyaman.
Proses memasukkan sugesti ini ke PBS-nya berlangsung singkat. Hasilnya? Saat makan malam, ia bisa makan sampai kenyang dan perasaan mual atau ingin muntah tidak lagi ia alami atau rasakan.
Satu keberhasilan ini tentu sangat menggembirakan dan membuka peluang untuk penyempurnaan dan aplikasi untuk masalah lain.
Saya teringat saat dulu, di tahun 2015, merancang protokol The Heart Technique® (THT). Saya butuh waktu sekitar tiga tahun untuk melakukan ujicoba dan menyempurnakan protokolnya, hingga akhirnya THT diajarkan pada publik untuk pertama kali di Juni 2018.
THT saat ini telah berkembang menjadi tiga versi: THT 2.0 untuk publik, THT 3.0 khusus untuk hipnoterapis AWGI, dan THT 4.0 (The Ultimate Heart Technique) yang berbasis energi medan morfik. Saya pribadi lebih banyak menggunakan THT 2.0.
Besar harapan saya, protokol terapi ini nantinya bisa digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah emosi, perilaku, dan fisik dengan cara yang mudah, efektif, aman, dan tuntas.
Pak Adi yang saya hormati. Melalui pesan ini, saya ingin menyampaikan ungkapan terima kasih karena beberapa waktu lalu saya melakukan hipnoterapi pada klien wanita berusia 21 tahun yang mengalami disorganized attachment.
Disorganized attachment adalah salah satu kondisi psikologis yang sangat sulit diatasi. Bahkan beberapa ahli menyatakan disorganized attachment adalah kondisi yang tidak bisa disembuhkan, harus diterima dan dijalani seumur hidup, di mana klien tetap perlu menanggung masalah ini dan belajar strategi coping.
Disorganized attachment adalah kondisi di mana seseorang mendorong orang lain menjauh dari dirinya saat orang tersebut ingin dekat dengannya. Namun, saat kehilangan orang ini, mereka malah mencarinya dan ingin mendekat. Jadi, dekat dengan seseorang, salah, tapi jauh dari orang ini, juga salah.
Klien telah merasakan masalah ini sejak di sekolah dasar. Ia telah mencoba mengatasi kondisi ini dengan bantuan profesional lain. Klien dirujuk ke saya untuk menjalani sesi hipnoterapi karena di area attachment belum ada perbaikan.
Saya melakukan hipnoterapi menggunakan protokol hipnoterapi AWGI. Di sesi pertama, saya jujur tidak menyangka, mengalami kejadian atau pengalaman luar biasa.
Saya menggunakan teknik hipnoanalisis untuk mencari dan menemukan akar masalah yang klien alami. Biasanya, dari pengalaman kita, hipnoterapis AWGI, umumnya kita menemukan satu akar masalah (ISE-Initial Sensitizing Event) dengan satu atau beberapa kejadian lanjutan sebagai penguat (SSE-Subsequent Sensitizing Event).
Kasus klien ini ternyata bersifat multi-ISE. Satu simtom, disorganized attachment, disebabkan oleh 7 (tujuh) ISE dan 10 (sepuluh) SSE.
Seingat saya, jumlah ISE paling banyak pada kasus multi-ISE yang pernah kita temukan adalah 3 ISE. Jadi bisa dibayangkan kerja yang harus dilakukan untuk resolusi traumanya.
Walau saya sudah memproses tuntas 7 ISE dan 10 SSE, ternyata kasus ini belum tuntas. Secara teknis terapi, saya menyadari bahwa proses yang saya lakukan tuntas. Namun, dari uji hasil terapi, saya tahu masalah klien belum tuntas.
Mengingat proses terapi yang telah berlangsung cukup lama, dan saya, selaku terapis, dan klien telah sama-sama lelah, demi kebaikan klien, saya memutuskan untuk mengakhiri sesi terapi ini.
Saya sempat berpikir bahwa hipnoterapi mungkin tidak cocok untuk klien ini karena kejadian yang mendasari simtomnya ternyata sangat banyak. Saya berpikir, klien mungkin tidak merasakan manfaat karena terapinya tidak tuntas dalam satu sesi.
Namun saya ingat bahwa seturut protokol AWGI, kita memberi klien kesempatan untuk melanjutkan terapi hingga empat sesi. Dengan demikian, saya memberi klien kesempatan bertemu di sesi kedua.
Menariknya, saat pertemuan kedua, klien mengungkapkan bahwa sejak selesai menjalani sesi pertama, ia mengalami perubahan signifikan. Perubahan ini tampak nyata dan terlihat oleh rekan-rekannya. Rekan-rekannya jadi tertarik mencoba hipnoterapi.
Yang menarik adalah bahkan sebelum akar masalahnya tuntas ditangani, klien telah mengalami perubahan nyata dan signifikan.
Sebelum sesi kedua, saya sempat berdiskusi dengan salah satu sejawat hipnoterapis AWGI perihal penanganan kasus ini. Sejawat ini memberi beberapa saran dan masukan untuk lebih memaksimalkan proses dan hasil terapi yang akan saya lakukan.
Pada sesi kedua, ditemukan lagi 5 (lima) ISE. Dan ternyata, ini adalah sisanya. Setelah 5 ISE ditemukan dan diproses tuntas, klien langsung merasa bahwa proses ini telah tuntas mengatasi masalahnya.
Seturut protokol, saya melakukan uji hasil terapi. Dan memang demikianlah adanya. Klien merasa nyaman, tidak lagi merasa terganggu dengan kedekatan ataupun jarak yang jauh, dalam konteks relasi dengan orang lain.
Jadi, untuk masalah klien ini, disorganized attachment, tuntas dalam dua sesi terapi, setelah saya membantu ia menemukan dan memproses tuntas 12 (dua belas) ISE dan 10 (sepuluh) SSE. Dari 12 ISE, tiga di antaranya berupa kejadian saat klien dalam kandungan.
Saya bersyukur bisa belajar hipnoterapi dengan Pak Adi, bukan hanya karena teknik hipnoterapinya yang terbukti aman dan efektif mengatasi masalah klien-klien saya, tetapi saya juga merasa memiliki komunitas untuk berdiskusi tentang apa yang sedang dijalani.
Dalam diskusi ini konstruktif, semua mencari jalan keluar terbaik bagi klien. Ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi saya belajar dengan Pak Adi. Saya berharap lebih banyak lagi orang, dan mungkin psikiater lain juga, belajar hipnoterapi untuk menolong klien-klien yang membutuhkan.
Salam hormat,
dr. Jiemi Ardian, SpKj
Saat ini, banyak individu yang, ketika menghadapi masalah emosi atau perilaku, mencari bantuan hipnoterapis untuk mengatasinya. Ini merupakan perkembangan yang sangat positif karena masyarakat kini semakin menyadari pentingnya kesehatan mental dan memahami berbagai alternatif bantuan yang dapat mereka upayakan, salah satunya adalah hipnoterapi.
Individu yang meminta bantuan hipnoterapis tentu berharap kondisi mereka dapat diatasi dengan aman, nyaman, cepat, dan efektif, dengan jumlah sesi terapi seminimal mungkin. Harapan ini juga menjadi tujuan utama setiap hipnoterapis profesional.
Dalam konteks terapi, terdapat dua jenis kesembuhan: semu dan tuntas. Kesembuhan semu terjadi ketika klien, setelah menjalani sesi konseling atau terapi, merasa dirinya telah sembuh atau terapis menyatakan bahwa klien telah sembuh, namun beberapa waktu kemudian klien kembali mengalami masalah yang sama seperti sebelum menjalani terapi.
Kesembuhan semu sering terjadi, menurut temuan kami, hipnoterapis AWGI, karena proses konseling atau terapi tidak berhasil menemukan dan menetralisasi akar masalah (ISE), yaitu kejadian paling awal dan Ego Personality (EP) yang bermasalah.
Dalam hal penyelesaian akar masalah, penting untuk memastikan apakah ISE (Initial Sensitizing Event) bersifat tunggal (single ISE) atau terdiri dari lebih dari satu kejadian (multi-ISE). Hal yang sama berlaku untuk EP (Ego Personality), di mana perlu dipastikan apakah EP yang menyebabkan masalah bersifat satu lapis (single layer) atau terdiri dari banyak lapis (multi-layer).
Pada kasus EP satu lapis, kesembuhan semu sering terjadi akibat pergeseran EP. EP bermasalah yang saat itu sedang aktif (executive) membuat individu mengalami masalah, tidak ditangani dengan cara atau teknik yang tepat, dan hanya digeser dan digantikan oleh EP lain.
EP bermasalah ini, yang semula aktif, akhirnya menjadi tidak aktif atau dorman untuk waktu tertentu, sampai ia terpicu untuk aktif kembali. Ketika EP bermasalah dorman, masalah individu tampak hilang sementara, seolah-olah sembuh. Namun, saat EP bermasalah ini kembali aktif, individu kembali mengalami masalah. Inilah yang sering disebut sebagai kambuh.
Kesembuhan tuntas, di sisi lain, terjadi ketika klien mengalami perubahan positif yang bertahan lama setelah sesi terapi.
Kesembuhan semu, walau bukan penyelesaian tuntas atas suatu masalah, sebenarnya baik adanya, dalam pengertian, ia memberi bukti dan harapan pada klien bahwa masalah atau kondisinya tidak kekal dan dapat diselesaikan. Yang dibutuhkan adalah upaya lebih lanjut, melalui cara yang tepat untuk bisa merealisasikan kesembuhan tuntas.
Menguji Kesembuhan
Bagaimana mengetahui apakah hasil terapi menghasilkan kesembuhan semu atau kesembuhan tuntas?
Hipnoterapis profesional pasti melakukan uji hasil terapi, sebanyak minimal dua kali, untuk memastikan proses terapi yang mereka lakukan menghasilkan kesembuhan tuntas, bukan kesembuhan semu.
Uji hasil terapi pertama dilakukan segera setelah terapi selesai. Uji hasil terapi kedua dilakukan dengan meminta klien mengecek kondisinya minimal satu minggu setelah terapi.
Contoh Praktis
Misalnya, Anda sebagai klien mengalami masalah cemas dan panik saat mengendarai mobil, berhenti di lampu merah, dan ada banyak kendaraan lain di sekeliling mobil Anda.
Sebelum terapi dilakukan, hipnoterapis profesional akan melakukan pretest. Caranya, ia akan meminta Anda menutup mata, mengingat kejadian terakhir saat Anda berhenti di lampu merah, dikelilingi banyak kendaraan lain, dan mengecek respons Anda. Anda pasti merasa tidak nyaman, cemas, dan panik dengan intensitas tertentu.
Setelah terapi, hipnoterapis akan melakukan post-test. Ia akan meminta Anda menutup mata dan membayangkan kejadian yang sama, yaitu berhenti di lampu merah dan dikelilingi banyak kendaraan lain, lalu mengecek respons Anda. Jika terapi berhasil, emosi cemas dan panik tidak lagi Anda rasakan. Ini artinya, Anda sudah sembuh.
Namun, hipnoterapis profesional akan melakukan satu uji hasil terapi lagi. Ia akan meminta Anda untuk mengecek respons Anda dalam situasi nyata selama seminggu ke depan, misalnya saat benar-benar berhenti di lampu merah dikelilingi banyak kendaraan.
Hasil dari uji ini akan memastikan apakah terapi yang dilakukan menghasilkan kesembuhan tuntas atau hanya kesembuhan semu.
Hak dan Kewajiban dalam Terapi
Jika Anda adalah seorang klien yang menggunakan jasa hipnoterapis untuk membantu mengatasi suatu masalah, Anda berhak meminta hipnoterapis Anda melakukan uji hasil terapi. Hal ini juga merupakan kewajiban setiap hipnoterapis profesional.
Uji hasil terapi bertujuan untuk memastikan bahwa kesembuhan yang Anda alami adalah kesembuhan tuntas, bukan kesembuhan semu. Perlu diingat, uji hasil terapi ini dilakukan segera setelah sesi terapi selesai, saat Anda masih duduk di kursi terapi.
Bila hipnoterapis Anda tidak bersedia melakukan uji hasil terapi, Anda dapat melakukannya sendiri mengikuti cara yang telah dijelaskan di atas.
Saya beberapa kali menangani klien yang mengalami kebuntuan, baik dalam karier maupun bisnis, akibat pemahaman yang keliru tentang konsep sombong yang tertanam di pikiran bawah sadar (PBS).
PBS mereka menghambat dan menyabotase upaya sukses karena memaknai sikap, pemikiran, atau tindakan yang sejatinya adalah ungkapan rasa percaya diri positif sebagai bentuk kesombongan.
Sejalan dengan fungsi PBS untuk melindungi individu, PBS melakukan proteksi berdasarkan apa yang dirasa, diyakini, diketahui, diasumsikan, atau dipersepsikan sebagai sesuatu yang merugikan atau membahayakan kesejahteraan individu. Akibatnya, PBS melakukan tindakan "mulia" untuk membuat individu berhenti "sombong" atau bahkan tidak mampu menjadi "sombong."
Untuk membantu klien mengatasi hambatan ini, saya, sebagai terapis, perlu memberikan edukasi kepada PBS klien tentang perbedaan antara percaya diri dan sombong.
Percaya diri dan sombong sering kali terlihat serupa karena keduanya melibatkan keyakinan pada diri sendiri. Namun, sesungguhnya keduanya sangat berbeda. Berikut adalah penjelasan mengenai perbedaan antara percaya diri dan sombong:
1. Esensi
Percaya diri adalah keyakinan positif terhadap kemampuan, nilai, dan potensi diri tanpa merendahkan orang lain. Orang yang percaya diri memahami kekuatannya namun tetap rendah hati.
Sombong adalah keyakinan berlebihan pada diri sendiri, diikuti dengan meremehkan atau merendahkan orang lain melalui pikiran, ucapan, tulisan, atau tindakan. Sombong berfokus pada keunggulan diri untuk memperoleh pengakuan atau perhatian, meskipun belum tentu individu ini benar-benar lebih unggul dari orang lain.
2. Motivasi
Percaya diri berasal dari pemahaman dan penghargaan terhadap diri sendiri. Orang yang percaya diri tidak merasa perlu membandingkan dirinya dengan orang lain atau mencari validasi eksternal. Mereka sadar akan kekurangannya dan menghargai kemampuan serta kapasitas dirinya.
Sombong berasal dari kebutuhan untuk membuktikan diri, sering kali karena dilandasi rasa tidak aman atau keinginan mendapatkan pujian. Sombong adalah klaim sepihak, biasanya tidak berdasar fakta objektif, dan bertujuan mengangkat harga diri yang rendah akibat perasaan tidak berharga.
3. Sikap terhadap Orang Lain
Orang percaya diri menghargai orang lain dan terbuka terhadap kritik serta saran. Mereka mendukung dan menginspirasi orang lain untuk berkembang.
Orang sombong cenderung meremehkan, menghakimi, atau memandang rendah orang lain. Mereka sulit menerima kritik dan sering kali defensif. Saat mendapat informasi objektif, alih-alih berterima kasih dan introspeksi, orang sombong memaknainya sebagai serangan terhadap diri mereka.
Orang sombong biasanya tidak membantah ide atau argumen secara substansial, melainkan menyerang pribadi lawan bicara untuk membungkam perbedaan pandangan.
4. Hubungan Sosial
Orang percaya diri membangun hubungan sosial yang sehat berkat sikap mereka yang positif dan suportif.
Orang sombong cenderung merusak hubungan sosial karena sikap arogan dan kurang menghargai orang lain, sehingga membuat orang menjauh.
5. Ciri-Ciri Utama
Orang percaya diri tetap rendah hati meskipun memiliki banyak prestasi. Mereka fokus pada perbaikan dan peningkatan diri tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain. Mereka juga berani menghadapi tantangan dengan sikap positif.
Orang sombong selalu membicarakan keunggulan diri sendiri. Mereka memproklamirkan diri sebagai yang lebih unggul, meremehkan pencapaian orang lain, dan mudah tersinggung jika tidak mendapat pengakuan atau penghargaan. Orang sombong juga tidak bersedia mengakui kesalahan atau minta maaf.
Kesimpulan
Percaya diri adalah kekuatan yang bersumber dari penghargaan jujur terhadap diri sendiri, sedangkan sombong adalah kelemahan yang ditutupi dengan menonjolkan diri secara berlebihan.
Orang yang percaya diri menciptakan energi positif yang menginspirasi, sementara orang sombong sering kali menciptakan jarak dan ketegangan dalam hubungan sosial. Oleh karena itu, penting untuk membangun kepercayaan diri tanpa terjebak dalam kesombongan.
Orang sombong cenderung membangun narasi yang menyudutkan orang percaya diri, dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang sombong. Di sisi lain, orang percaya diri tidak merasa perlu untuk merespons tuduhan tersebut, karena mereka memahami kapasitas dan nilai dirinya.
Orang sombong sering kali membanggakan dirinya dengan klaim bahwa mereka tidak sombong. Sebaliknya, orang percaya diri berusaha mawas diri, menyadari potensi jebakan kesombongan, dan terus menjaga sikap rendah hati agar tidak terjerumus menjadi sombong karena merasa dirinya tidak sombong.