The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Reseat SECH, Shock Induction, Diskon dan Bonus

12 Juni 2025

Seorang sahabat yang berminat mengikuti kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) menghubungi saya dan mengajukan beberapa pertanyaan. Ia bertanya apakah AWGI memberikan fasilitas kepada alumni berupa kesempatan mengulang kelas SECH.

Saya sampaikan bahwa AWGI memberikan fasilitas ini sebagai bentuk layanan dan dukungan berkelanjutan bagi para alumni yang ingin terus belajar, berkembang, dan memperbarui pengetahuan mereka sesuai materi terkini yang diajarkan dalam kelas SECH.

Terdapat dua skema reseat yang kami sediakan. Pertama, kelas reseat SECH berdurasi 4 (empat) hari, khusus bagi hipnoterapis AWGI yang masih aktif menjalankan praktik terapi. Kedua, kelas reseat penuh selama 10 hari, ditujukan bagi alumni yang sudah sangat lama tidak aktif sebagai hipnoterapis dan perlu menyegarkan kembali seluruh materi dari awal.

Ia kemudian bertanya, apakah reseat ini diberikan secara gratis. Saya jawab, tidak. Setiap peserta, termasuk alumni, tetap diwajibkan membayar biaya pendidikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Sahabat ini lalu membandingkan kebijakan AWGI dengan beberapa lembaga lain yang, menurutnya, memberikan fasilitas reseat seumur hidup secara gratis bagi semua alumni.

Saya jelaskan kepadanya bahwa hal tersebut tidak berlaku di AWGI. Sejak pertama kali saya mengajar hipnoterapi pada tahun 2008, saya memperlakukan AWGI setara dengan lembaga pendidikan tinggi terkemuka yang menghasilkan lulusan di bidang kesehatan seperti dokter, psikiater, atau psikolog klinis.

Saya belum pernah mendengar ada dokter atau psikolog yang meminta untuk mengulang perkuliahan secara penuh, kembali ke kampus, dan belajar dari awal. Hal yang sama berlaku di AWGI.

Untuk alumni yang mengikuti kelas reseat 4 hari, mereka tetap dikenakan biaya pendidikan tertentu. Sedangkan bagi yang mengikuti kelas SECH secara penuh selama 10 hari, mereka diperlakukan sebagai peserta baru.

Sejak awal, saya telah menanamkan dalam pikiran bawah sadar setiap peserta SECH bahwa mereka perlu belajar dengan sungguh-sungguh dan membangun kompetensi terapeutik yang tinggi. Jika mereka tidak berniat belajar secara serius, maka lebih baik tidak mengikuti kelas ini karena hanya akan membuang waktu, tenaga, dan biaya.

Kelas SECH hanya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar serius dan merasa terpanggil untuk menjadi penyembuh—seorang hipnoterapis profesional yang ingin berkarya nyata dan memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Sahabat ini juga bertanya apakah saya masih mengajarkan teknik shock induction atau induksi kejut. Saya jelaskan bahwa dahulu saya memang mengajarkannya, sebelum akhirnya saya menciptakan Adi W. Gunawan Induction (Adi Induction). Sejak saat itu, saya tidak lagi mengajarkan shock induction.

Dulu, saya tidak hanya mengajarkan cara melakukan shock induction, tetapi juga menjelaskan secara detail bagaimana teknik ini bekerja, proses yang terjadi di aspek fisik dan mental klien, serta risiko-risiko yang mungkin timbul.

Ada beberapa alasan saya berhenti mengajarkan teknik ini. Pertama, shock induction bersifat agresif dan sangat dominatif, yang dapat membuat klien merasa tidak nyaman bahkan terintimidasi. Bila terapis tidak cermat dan hati-hati, teknik ini dapat menimbulkan reaksi kejut yang berdampak negatif pada klien, baik secara psikologis maupun fisik. Kedua, banyak terapis wanita merasa tidak nyaman melakukannya. Ketiga, teknik ini juga sulit diterapkan jika klien duduk di kursi terapi, karena keterbatasan posisi dan ruang gerak.

Pertanyaan lain yang ia ajukan: apakah AWGI memberikan diskon atau bonus? Saya jawab dengan tegas, AWGI tidak menawarkan diskon maupun bonus materi dalam bentuk e-book, audio, video, skrip, atau bentuk lainnya.

Namun sesungguhnya, peserta kelas SECH memperoleh “bonus” yang jauh lebih berharga—yaitu materi ajar yang selalu diperbarui, pengetahuan terkini, strategi intervensi terbaru, teknik-teknik klinis yang terus saya kembangkan, serta kesempatan untuk mendapatkan bimbingan dan supervisi yang personal serta berkelanjutan dari pengajar yang merupakan hipnoterapis aktif dengan pengalaman lebih dari dua puluh tahun. Saya sendiri terus belajar dan menyempurnakan keilmuan hipnoterapi yang saya ajarkan.

Kebijakan ini telah saya terapkan secara konsisten sejak kelas SECH pertama diselenggarakan pada tahun 2008. Saya ingin peserta datang ke AWGI karena mereka sungguh ingin belajar dan memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi—bukan karena tergiur oleh diskon atau bonus.

Sahabat ini kemudian menanyakan kapan kelas SECH diselenggarakan. Saya jawab bahwa kelas SECH saat ini sedang berlangsung. Kelas berikutnya akan diselenggarakan pada pertengahan tahun depan.

Ia tampak kecewa karena tidak bisa mengikuti kelas tahun ini. Ia mengatakan bahwa bila harus menunggu sampai tahun depan, ia tidak lagi berminat.

Saya menanggapinya dengan santai. Saya katakan, "Tidak apa-apa bila sudah tidak berminat. Anda tidak harus belajar hipnoterapi di AWGI. Silakan belajar di lembaga lain. Bila memang ada jodoh, kita akan bertemu. Kalau tidak ada jodoh, sekeras apa pun upaya kita, pertemuan itu tak akan terjadi. Jadi, santai saja. Semua akan indah pada waktunya."

Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...

Baca Selengkapnya

Penyembuhan adalah Proses Spiritual yang Mendalam

13 Juni 2025

Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, kata “penyembuhan” sering kali diasosiasikan dengan hilangnya gejala atau perbaikan fungsi fisik. Namun, semakin banyak orang menyadari bahwa penyembuhan sejati tidak hanya terjadi di tingkat tubuh atau pikiran, melainkan menyentuh dimensi yang lebih dalam—dimensi spiritual.

Ketika seseorang mengalami luka, terlebih luka batin yang mendalam seperti kehilangan, pengkhianatan, atau trauma masa kecil, yang terguncang bukan hanya pikiran atau emosi, tetapi juga identitas terdalam dan makna hidupnya.

Rasa aman, kepercayaan, bahkan eksistensi diri bisa ikut retak. Dalam kondisi seperti ini, penyembuhan tidak lagi cukup bila hanya diarahkan pada aspek biologis atau kognitif. Ia harus menjangkau, merawat, dan memulihkan inti terdalam keberadaan manusia.

Lebih dari Sekadar Menghilangkan Gejala

Penyembuhan sejati bukan sekadar hilangnya rasa sakit. Ia adalah pemulihan makna, penerimaan terhadap masa lalu, dan rekonsiliasi dengan diri sendiri. Dalam proses ini, seseorang akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial:

- Mengapa ini terjadi pada saya?
- Apa makna dari penderitaan ini?
- Apa yang perlu saya pelajari dan lepaskan?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah wilayah farmakologi atau terapi perilaku semata. Mereka adalah panggilan jiwa—sebuah perjalanan batin yang menuntun seseorang kembali ke pusat dirinya.

Ruang Keheningan dan Kesadaran

Penyembuhan spiritual berlangsung dalam keheningan, tidak tergesa, tidak ramai, berjalan secara alamiah. Ia menuntut keberanian untuk duduk bersama luka, merasakan yang tak ingin dirasa, dan menatap yang selama ini dihindari. Meditasi, doa, refleksi, dan praktik-praktik kesadaran menjadi jembatan menuju keutuhan kembali.

Melalui perjalanan ini, seseorang mulai menyadari bahwa ia bukan sekadar kumpulan luka, melainkan pribadi yang tetap utuh meski pernah retak. Ada kekuatan di dalam diri yang tidak hancur oleh trauma. Dan dari sanalah, penyembuhan sejati bermula.

Dari Keterpecahan Menuju Keutuhan

Trauma memecah. Ia menciptakan jarak antara pikiran dan tubuh, antara sekarang dan masa lalu, antara diri yang tampak dan jiwa yang terluka. Penyembuhan spiritual adalah proses penyatuan kembali. Saat emosi yang selama ini direpresi akhirnya mampu dilepaskan, saat makna yang hilang ditemukan, dan saat luka yang tersembunyi diakui tanpa penolakan—di situlah benih penyembuhan tumbuh.

Penyembuhan bukan berarti menjadi seperti semula. Melainkan menjadi pribadi baru yang lebih utuh, lebih sadar, dan lebih berbelas kasih—termasuk kepada diri sendiri.

Jalan Sunyi yang Menguatkan

Penyembuhan adalah proses spiritual yang mendalam. Ia tak selalu riuh. Ia tak menuntut sorotan. Namun, justru di dalam keheningan yang utuh, pemulihan yang paling sejati terjadi. Dan bagi jiwa-jiwa yang berani menempuh jalan ini, akan ditemukan tidak hanya kesembuhan, tetapi juga kedamaian, keutuhan, dan kebijaksanaan hidup yang tidak dapat diberikan oleh dunia luar.

Sembuh Adalah Pulang ke Diri

Sembuh bukan berarti melupakan apa yang telah terjadi. Bukan pula menutup luka dengan berpura-pura kuat, sementara diri luruh dalam kerapuhan.

Sembuh adalah keberanian untuk menatap masa lalu tanpa gentar—dengan mata yang baru, dengan hati yang telah melembut oleh kasih dan kearifan.

Sembuh adalah kembali ke fitrah—menyadari bahwa diri kita sejatinya baik adanya. Bahwa semua yang kita alami, termasuk luka dan keterpurukan, adalah bagian dari kurikulum jiwa.

Sebuah jalan pembelajaran dan pertumbuhan yang membawa kita menuju versi terbaik dari diri: insan yang sadar, bijaksana, mulia, dan paripurna.

Tidak ada peristiwa yang sia-sia. Bahkan luka sekalipun, bila diolah dengan kasih dan kesadaran, bisa menjadi pintu masuk untuk pulang ke rumah terdalam: rumah batin yang damai, rumah jiwa yang utuh.

Luka adalah bagian dari perjalanan, bukan inti dari siapa kita. Di balik semua itu, ada kesadaran—yang lembut, jernih, dan tetap utuh—menunggu untuk dikenali sebagai rumah sejati diri kita.

 

 

Baca Selengkapnya

Entropi Emosional dan Abreaksi: Kekacauan yang Menyembuhkan

10 Juni 2025

Dalam jagat fisika, Hukum Termodinamika Kedua yang digagas oleh Ilya Prigogine menyatakan bahwa dalam sistem tertutup, entropi—ukuran ketidakteraturan atau kekacauan—selalu meningkat. Artinya, tanpa intervensi eksternal, semua sistem akan bergerak menuju disorganisasi, menuju keadaan di mana energi menjadi tak lagi dapat digunakan secara efektif. Sebuah sistem yang hanya menyimpan, tanpa mengalirkan atau melepaskan energi, pada akhirnya akan mengalami stagnasi dan keruntuhan.

Namun, bagaimana jika prinsip ini kita tarik ke dalam ruang batin manusia?

Setiap manusia menyimpan emosi. Ketika emosi—khususnya emosi negatif—tidak terproses, seperti marah yang direpresi, duka yang tak ditangisi, atau trauma yang tak pernah diungkap, maka entropi emosional mulai terakumulasi, menekan dan mendesak keseimbangan sistem psikis kita. Semakin lama dibiarkan, semakin tinggi tekanan yang tercipta. Pikiran menjadi kabur, tubuh tegang, dan respons menjadi tidak proporsional. Sistem psikis pun menyerupai sistem tertutup: penuh energi yang tak tersalurkan, menyimpan kekacauan tersembunyi yang terus bergejolak menuju “keruntuhan.”

Di sinilah abreaksi menemukan relevansinya.

Abreaksi adalah pelepasan emosi yang terakumulasi dan tertahan di pikiran bawah sadar (PBS) melalui pengalaman ulang yang disadari dalam kondisi aman—biasanya difasilitasi dalam sesi hipnoterapi. Saat seseorang dalam kondisi hipnosis kembali mengakses momen-momen traumatis atau luka batin, dan diizinkan untuk mengungkapkan respons emosional yang selama ini tertahan, maka energi psikis yang selama ini “terperangkap” di PBS dapat dilepaskan.

Tangisan, tubuh yang bergetar, gerakan memukul, menendang, jeritan, atau napas yang mendesak—semuanya merupakan bentuk “kekacauan” yang, bila difasilitasi dengan benar, justru menyembuhkan. Ia bukan destruksi, melainkan restabilisasi dan rehabilitasi. Sama seperti dalam sistem termodinamika terbuka yang menerima energi dari luar, manusia pun membutuhkan ruang, relasi, dan fasilitasi eksternal untuk mencapai bentuk keseimbangan baru.

Konsep ini sangat sejalan dengan gagasan Ilya Prigogine, peraih Nobel yang mengkaji struktur disipatif—yakni sistem terbuka yang mampu mempertahankan keteraturan melalui reorganisasi setelah mengalami ketidakseimbangan signifikan. Menurut Prigogine, justru karena adanya kekacauan, suatu sistem dapat berevolusi ke tingkat keteraturan yang lebih tinggi. Sistem hidup, termasuk manusia, bukanlah sistem tertutup yang stagnan, melainkan entitas dinamis yang terus beradaptasi.

Dengan kata lain, dalam terapi, abreaksi dapat dipahami sebagai bentuk struktur disipatif dalam ranah psikologis. Klien datang dalam kondisi psikis tak seimbang, membawa entropi yang terus meningkat dan termanifestasi dalam berbagai gejala. Melalui sesi terapi yang tepat, klien diberi ruang aman, dukungan dan jalan untuk melepaskan tekanan tersebut, mengintegrasikannya, dan secara alami menyusun ulang dirinya dalam kondisi yang lebih sehat dan seimbang.

Manusia, dengan kesadarannya, adalah sistem terbuka yang selalu bergerak mencari homeostasis baru. Dan jalan menuju keseimbangan itu tidak selalu tenang—sering kali harus dilalui melalui badai emosi yang dilepaskan dengan keberanian dan penerimaan.

Abreaksi bukanlah kekacauan yang merusak. Ia adalah fase transisi menuju keteraturan yang lebih tinggi. Dalam konteks hipnoterapi, abreaksi merupakan proses yang disengaja dan difasilitasi dengan aman, tepat, dan terkendali oleh hipnoterapis yang memiliki kompetensi terapeutik tinggi. Saya menyebutnya sebagai controlled chaos atau kekacauan yang terkendali.

Abreaksi mengacu pada proses mengalami kembali dan mengekspresikan peristiwa atau emosi traumatis masa lalu—sering kali dengan respons emosional yang intens—sebagai cara untuk melepaskan perasaan yang terpendam dan memperoleh kelegaan psikologis (Wadsworth et al., 1995).

Namun, proses ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Untuk mengembalikan sistem psikis ke keseimbangan yang sehat, abreaksi harus menyentuh kejadian paling awal (ISE) yang menjadi akar masalah. Klien perlu mengalami pengalaman emosional korektif—yakni kembali hadir dan mengalami peristiwa tersebut, melepaskan emosi yang terperangkap, serta memperoleh pemahaman baru melalui proses pemaknaan, baik melalui analisis transferensi maupun dalam kondisi hipnosis (Alexander & French, 1946).

Terapi yang memberdayakan tidak sekadar bertujuan mengeluarkan entropi emosi negatif dari dalam sistem psikis, melainkan juga membangun pemahaman dan meningkatkan kesadaran. Dengan demikian, ketika klien di kemudian hari menghadapi pengalaman serupa, ia telah memiliki kapasitas baru untuk merespons secara lebih sehat, dengan perspektif dan kebijaksanaan yang lebih matang.

Agar aberaksi dapat menghasilkan dampak terapeutik optimal dan bertahan lama, beberapa syarat berikut perlu dipenuhi (Gunawan, 2013):

1. Dilakukan pada kejadian paling awal (initial sensitizing event) dari rangkaian memori yang memicu gangguan emosi dan perilaku.

2. Tuntas dan menyeluruh, memastikan seluruh emosi dalam memori awal dilepaskan sepenuhnya.

3. Klien dibantu memperoleh pemaknaan baru, agar mampu melihat kembali peristiwa tersebut dari perspektif yang lebih dewasa dan sehat.

4. Perlu dilakukan rekonstruksi memori sehingga yang tersimpan di pikiran bawah sadar klien, usai terapi, adalah memori positif dan menyenangkan.

Baca Selengkapnya

Pakai Skrip Ini, Dijamin 1000% Trance?

6 Juni 2025
Beberapa hari lalu, saya mendapat DM dari seorang sahabat. Ia bertanya tentang induksi, setelah membaca salah satu tulisan saya. Pertanyaannya singkat:
“Pak Adi, apakah skrip induksi yang Bapak ajarkan di kelas SECH dijamin berhasil membawa klien masuk ke deep trance? Berapa persen tingkat keberhasilannya?”
 
Ini pertanyaan yang tampak sederhana, namun membutuhkan jawaban yang lugas dan jujur. Tentu, saya sangat ingin menjawab, “Skrip Adi Induction yang saya ajarkan di kelas SECH memiliki tingkat keberhasilan 100% dalam membawa klien masuk kondisi deep trance.”
 
Namun, nilai hidup dan integritas keilmuan saya tidak mengizinkan saya memberikan jawaban seperti itu—apalagi bila harus berbohong hanya demi mendapat pengakuan atau membuat orang lain terkesan.
 
Saya memberikan jawaban cukup panjang, dan secara ringkas, berikut poin-poin utamanya:
 
Satu hal sangat penting yang menentukan keberhasilan induksi adalah rasa percaya diri, keyakinan, dan kemampuan yang dimiliki terapis. Bila terapis tidak yakin dengan dirinya, maka keraguan inilah yang menjadi sumber resistensi terbesar dalam praktik induksi—bukan karena skrip atau kliennya.
 
Setelah itu, barulah kita bicara soal klien. Perlu dipahami, tidak semua orang bisa diinduksi dan masuk ke kondisi hipnosis dalam (deep trance). Ada beberapa kondisi yang membuat induksi tidak dapat dilakukan secara efektif, antara lain:
 
• retardasi mental
• sulit fokus
• gangguan neurologis
• hambatan komunikasi
• kendala bahasa
• ketidaksediaan klien
• tidak nyaman atau tidak percaya kepada terapis
• kecemasan dan ketakutan
• adanya resistensi dari pikiran bawah sadar
 
Untuk hasil induksi optimal, terapis harus memastikan semua hambatan dan resistensi dalam diri klien sudah diatasi. Ini baru langkah awal.
 
Skrip induksi yang efektif harus disusun dengan cermat dan detail: pemilihan diksi yang tepat, mempertimbangkan tingkat literasi, tipe kepribadian, karakter, sugestibilitas, tanpa dualisme, dan kebutuhan klien.
 
Dalam konteks terapi, terapis harus memastikan bahwa klien benar-benar siap dan bersedia untuk diterapi.
 
Sejauh ini, tingkat keberhasilan hipnoterapis AWGI dalam melakukan induksi dan membawa klien masuk ke kondisi hipnosis dalam adalah hampir 100%.
 
“Kegagalan” biasanya terjadi karena klien, karena alasan atau kondisi tertentu, hanya mencapai medium trance. Namun ini bukan masalah besar, karena kami tahu bagaimana cara mengatasi resistensi dan menuntun klien hingga mencapai deep trance.
 
Jika keberhasilan dinilai setelah resistensi teratasi dan klien berhasil masuk ke deep trance, maka tingkat keberhasilannya adalah 100%.
 
Kedalaman deep trance yang menjadi standar hipnoterapis AWGI ditentukan melalui Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, yang menggunakan indikator mental, bukan indikator fisik seperti napas melambat, wajah datar, REM, tubuh lemas, atau lainnya—yang semua itu adalah indikator light trance.
 
Sahabat yang bertanya ini akhirnya menyampaikan apresiasi atas jawaban jujur saya. Saya mengatakan padanya, “Saya bisa saja salah, tapi saya tidak boleh berbohong. Data harus disampaikan apa adanya. Tidak boleh dimanipulasi demi kepentingan sesaat.”
 
Saya balik bertanya, “Mengapa Anda menanyakan soal keberhasilan skrip?”
Ia menjawab bahwa dirinya juga seorang coach dan praktisi hipnoterapi. Dalam sebuah grup WA diskusi hipnoterapi, seseorang menyatakan bahwa skrip induksi yang ia ajarkan dijamin 1000% berhasil membuat subjek trance.
 
Sahabat ini mempertanyakan validitas klaim tersebut. “1000% berhasil? Trance level apa yang dimaksud? Apa indikator kedalamannya?”
 
Menurut sahabat ini, klaim bahwa sebuah skrip induksi dijamin 1000% pasti membawa subjek masuk ke kondisi trance merupakan pernyataan yang tidak didasarkan pada landasan ilmiah yang kuat, cenderung sembarangan, dan kurang mencerminkan kapasitas intelektual serta integritas akademik yang baik.
 
Ia bercerita bahwa terjadi perdebatan seru di grup tersebut. Sayangnya, pihak yang membuat klaim justru tidak bisa memberikan validasi dan jawaban tegas perihal kedalaman trance yang dimaksud.
 
Skripnya pun hanya sederhana, serta indikator yang dijadikan acuan menentukan kondisi trance adalah indikator fisik semata, yang adalah indikasi trance dangkal, seperti dalam skala Davis-Husband. Akhirnya pihak yang membuat klaim merasa terganggu oleh pertanyaan kritis yang diajukan.
 
Ketika saya menanyakan apakah diskusi masih dapat dilanjutkan, sahabat ini menjawab bahwa hal tersebut tidak memungkinkan. Ia telah dianggap mengganggu dan akhirnya dikeluarkan dari grup tersebut.
 
Dalam kondisi seperti ini, tentu diskusi tidak dapat diteruskan. Padahal, akan sangat menyenangkan apabila sebuah ruang diskusi ilmiah dapat menjadi tempat berbagi pandangan secara terbuka dan saling menghargai. Bisa saja pihak yang menyampaikan klaim memiliki data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
 
Di sisi lain, keraguan terhadap klaim tersebut juga merupakan hal yang wajar dan sah untuk diajukan, selama disampaikan secara etis dan ilmiah.
 
Idealnya, dalam sebuah forum diskusi yang sehat, perbedaan pendapat menjadi pintu masuk bagi pertukaran informasi, pemaparan data, serta penajaman pemahaman. Diskusi semacam ini justru dapat saling menumbuhkan dan memberdayakan seluruh pihak yang terlibat.
 
Apabila ternyata klaim yang diajukan tidak dapat dibuktikan, maka hal tersebut semestinya diakui secara terbuka dan jujur, serta disikapi dengan kerendahan hati untuk kemudian diperbaiki. Sebaliknya, jika klaim tersebut dapat divalidasi dan dibuktikan secara sahih, maka hal itu patut disambut dengan antusias, sebagai kontribusi berharga bagi pengembangan ilmu hipnosis dan hipnoterapi.
 
Namun demikian, dari pengalaman yang saya jumpai selama ini, tidak mudah memisahkan antara ide dan diri. Sering kali, ketika suatu pendapat dikritisi, alih-alih berterima kasih atas masukan yang memperkaya perspektif, individu justru bersikap defensif—seolah-olah yang diserang adalah dirinya, bukan ide yang ia kemukakan.
 
Padahal, dibutuhkan kedewasaan dan kematangan sikap agar sebuah diskusi dapat berlangsung secara bermakna, objektif, dan bermanfaat, tanpa ada rasa tersinggung hanya karena pendapat atau klaim yang diajukan ternyata dapat dipatahkan. Bukankah ide hanyalah produk dari pikiran? Ia bukanlah identitas diri kita yang sejati.
Baca Selengkapnya

Mengajar dengan Integritas

3 Juni 2025
Dalam praktik hipnoterapi, keterampilan menuntun klien masuk ke kedalaman hipnosis yang tepat merupakan aspek yang sangat krusial untuk memastikan proses terapi berlangsung efektif dan aman.
 
Hipnoterapi bukan sekadar membawa klien masuk ke kondisi rileks. Di dalamnya, kita memanfaatkan, memperdalam, mengarahkan, dan mengelola kondisi hipnosis secara terstruktur untuk mencapai tujuan terapeutik yang spesifik.
 
Oleh karena itu, seorang hipnoterapis profesional perlu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengukur kedalaman hipnosis yang dicapai klien, melalui uji kedalaman dengan tingkat presisi yang tinggi.
 
Trance sejatinya adalah kondisi alamiah. Seseorang dapat dengan mudah masuk ke kondisi trance, misalnya saat melamun atau menyetir tanpa menyadari detail perjalanan. Namun, trance alamiah ini tidak serta-merta dapat digunakan untuk terapi. Kedalamannya harus diukur, dikelola, diperdalam bila diperlukan, dan distabilkan, agar benar-benar berfungsi sebagai wadah yang efektif, aman, dan terarah bagi proses penyembuhan.
 
Hipnoterapis profesional, seturut standar AWGI, wajib memahami:
 
- indikator trance pada klien, baik dengan sugestibilitas fisik maupun emosional;
 
- variasi tingkat kedalaman trance;
 
- bahwa indikator kondisi trance dalam (profound somnambulism) yang valid dan konsisten adalah indikator mental, bukan indikator fisik seperti napas melambat dan ritmis;
 
- pentingnya menjaga kestabilan trance dalam agar terapi dapat berjalan dengan aman dan efektif sesuai dengan waktu yang dibutuhkan.
 
Perbedaan pemahaman dan keterampilan ini menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan terapi klien selama sesi hipnoterapi.
 
Dan semua ini baru berbicara tentang keterampilan dalam mengelola kondisi trance. Belum menyentuh ranah teknik pengungkapan dan intervensi, yang juga harus dipahami dan dikuasai dengan sangat baik agar seorang hipnoterapis benar-benar mampu dan dimampukan untuk memberikan layanan hipnoterapi yang aman, efektif, bertanggung jawab, dan membawa dampak terapeutik yang optimal bagi klien.
 
Para peserta kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) saat ini sedang menjalani tugas praktik induksi. Dari laporan praktik yang mereka sampaikan di grup, saya dapat mengamati perkembangan pemahaman dan keterampilan mereka dalam menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam dengan efektif dan mudah.
 
Sejauh ini, semua peserta melaporkan berhasil menuntun klien masuk ke kondisi profound somnambulism, termasuk klien-klien yang mengaku sulit atau tidak pernah bisa dihipnosis.
 
Kompetensi melakukan induksi dan menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis/trance dalam adalah fondasi pertama yang harus dimiliki setiap hipnoterapis profesional AWGI. Selain mendapatkan banyak materi penting, teori, protokol dan strategi terapi, serta contoh kasus, tiga hari pertama dalam kelas SECH fokus pada kompetensi ini. Kompetensi ini menjadi syarat mutlak untuk dapat melanjutkan pembelajaran pada minggu kedua dan ketiga.
 
Berlandaskan kompetensi pertama ini, para peserta SECH akan mempelajari materi minggu kedua dan ketiga yang berfokus pada teknik pengungkapan, intervensi, dan berbagai strategi terapi yang dikembangkan dan disempurnakan berdasarkan pengalaman dan temuan di ruang praktik para hipnoterapis AWGI—yang secara kolektif telah melakukan lebih dari 130.000 sesi terapi sejak tahun 2005.
 
Sebagai pengajar, saya bertanggung jawab penuh untuk menuntun, mengajar, dan memastikan setiap peserta SECH mampu belajar, mengerti, dan menguasai setiap materi yang diajarkan di kelas.
 
Semua ini diawali dengan penyaringan dan pengujian ketat untuk memastikan peserta yang mengikuti kelas SECH benar-benar memenuhi syarat dan standar tinggi yang ditetapkan AWGI bagi setiap calon hipnoterapis.
 
Tujuan saya hanya satu: Semua peserta mampu membangun kompetensi terapeutik yang tinggi, sesuai standar AWGI, dan mampu mempraktikkannya dengan benar, aman, efektif, dan penuh integritas.
 
Saya bekerja sangat keras dan sungguh-sungguh, dengan segala daya upaya, untuk memastikan semua peserta bisa lulus dan berhasil meraih gelar Certified Hypnotherapist (CHt®) dengan gemilang.
 
Prinsip saya sejak pertama kali mengajar hipnoterapi pada tahun 2008: tingkat keberhasilan seorang pengajar ditentukan oleh sejauh mana ia mampu melakukan transfer pengetahuan kepada peserta didiknya dan mencetak hipnoterapis yang kompeten seperti dirinya—yang pada saatnya nanti, para hipnoterapis ini akan melampaui diri si pengajar dalam hal pengetahuan dan kompetensi terapeutik.
 
Seturut prinsip di atas, bila banyak peserta gagal, tidak lulus, atau tidak kompeten usai mengikuti pelatihan, ini sepenuhnya adalah tanggung jawab pengajar, mengingat ia telah melakukan tes dan seleksi pada para peserta. Dan fakta ini menunjukkan secara gamblang bahwa pengajarnya tidak kompeten dan tidak layak. Pengajar seperti ini sebaiknya berhenti mengajar.
 
Ketidakmampuan mendidik dan menghasilkan lulusan dengan kompetensi terapeutik tinggi bukan sesuatu yang patut dibanggakan, yang berusaha ditutupi dengan pernyataan bahwa ini semua karena lembaga pelatihan menerapkan standar yang tinggi dan ujian yang ketat sebagai syarat kelulusan.
Baca Selengkapnya

Memahami Trauma: Antara Definisi Klinis dan Perspektif Pikiran Bawah Sadar

23 Mei 2025

Trauma merupakan istilah yang semakin sering digunakan dalam berbagai konteks, mulai dari psikologi klinis, pendidikan, hingga diskusi sehari-hari. Namun, tidak semua orang memahami secara tepat apa itu trauma, bagaimana trauma terbentuk, dan bagaimana ia dapat ditangani secara efektif.

Menurut APA Dictionary of Psychology, trauma didefinisikan sebagai:

"Pengalaman yang mengganggu yang menghasilkan ketakutan, ketidakberdayaan, disosiasi, kebingungan, atau perasaan mengganggu lainnya yang cukup intens untuk memiliki efek jangka panjang pada sikap, perilaku, dan fungsi psikologis seseorang."

Definisi ini menyoroti dimensi dampak trauma, yakni bahwa peristiwa traumatis, baik disebabkan oleh perilaku manusia seperti kekerasan atau pelecehan maupun oleh alam seperti bencana, sering kali mengguncang pandangan individu terhadap dunia sebagai tempat yang adil, aman, dan dapat diprediksi. Fokus definisi APA adalah pada akibat jangka panjang dari trauma terhadap fungsi psikologis seseorang.

Namun, dalam pendekatan yang lebih dalam dan aplikatif, terutama dalam konteks terapi berbasis pikiran bawah sadar, AWGI (Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology) memandang trauma bukan sekadar peristiwa atau dampaknya, melainkan sebagai rekaman internal yang belum selesai diproses secara emosional. AWGI mendefinisikan trauma sebagai:

"Trauma adalah memori atau rekaman peristiwa yang individu alami, yang dilekati emosi negatif intens."

Trauma sebagai Rekaman Emosi yang Belum Terselesaikan

Dalam pandangan AWGI, trauma bukan sekadar kejadian buruk, melainkan bagaimana peristiwa tersebut direkam dalam sistem memori seseorang, khususnya dalam pikiran bawah sadar. Trauma terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa yang mengandung muatan emosi negatif yang kuat, dan emosi ini tidak sempat diproses atau dilepaskan.

Akibatnya, emosi tersebut tersimpan dalam bentuk "energi" atau respons yang tetap aktif, dan dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan: cara berpikir, cara merespons suatu situasi, cara membangun relasi, persepsi terhadap diri sendiri dan dunia, bahkan hingga memengaruhi fisik. 

Peristiwa yang dianggap kecil oleh orang lain seperti bentakan orang tua, penolakan teman sebaya, atau rasa malu di depan umum bisa menjadi traumatis bila:

- Terjadi pada masa kehidupan yang rentan seperti masa kanak-kanak,
- Dilekati makna negatif terhadap diri seperti "aku tidak berharga" atau "aku bodoh",
- Tidak diproses atau dinetralisir secara sehat dan tuntas.

Berdasarkan definisi tersebut, pengalaman traumatis dalam bentuk memori dapat dikunjungi kembali, diakses, dan diproses ulang. Ketika memori tersebut diakses dalam kondisi terapeutik yang aman, emosi yang melekat dapat dilepaskan dan individu dapat pulih. Ini membuka jalan bagi penyembuhan yang nyata karena klien tidak hanya memahami peristiwanya secara kognitif, tetapi benar-benar melepaskan muatan emosional yang menyertainya.

Suatu kejadian untuk dapat terekam di otak sebagai memori traumatis membutuhkan lima syarat berikut:

1. Harus ada kejadian yang menghasilkan emosi,
2. Kejadian tersebut memiliki makna bagi individu,
3. Kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung terbentuknya memori jangka panjang,
4. Individu merasa kaget atau terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian itu,
5. Individu merasa tidak berdaya.

Yang dimaksud dengan "kejadian" di sini tidak harus berupa peristiwa besar atau ekstrem. Bahkan pengalaman sehari-hari yang tampak sepele bisa menjadi traumatis bila memenuhi kelima syarat tersebut dan tidak diproses secara tuntas oleh sistem psikologis individu.

Definisi trauma menurut APA dan definisi AWGI bersifat saling melengkapi. Definisi APA memberi kita pemahaman klinis tentang akibat trauma dalam kehidupan seseorang, sedangkan definisi AWGI memberikan peta kerja untuk menyembuhkan trauma dari akarnya, melalui kerja pada level memori bawah sadar dan emosi intens yang menyertainya.

Dengan menyatukan kedua pendekatan ini, kita tidak hanya dapat memahami trauma secara lebih utuh, tetapi juga mampu menangani dan menyembuhkannya dengan lebih efektif, terstruktur, dan manusiawi.

 

Baca Selengkapnya

Standar Emas dalam Pendidikan Hipnoterapis Profesional

14 Mei 2025

Banyak sumber kredibel menekankan bahwa pelatihan hipnoterapi profesional sebaiknya dilakukan secara tatap muka (offline) untuk memastikan kompetensi praktis dan keterampilan terapeutik berkembang secara optimal. Pelatihan tatap muka memungkinkan adanya pengawasan langsung, praktik terarah, dan interaksi mendalam yang sulit dicapai melalui pelatihan daring (online).

Salah satu lembaga pelatihan dan sertifikasi hipnoterapis profesional terkemuka dunia, Hypnotherapy Training Institute (HTI), menyatakan dengan tegas bahwa “pelatihan online tidak cukup untuk mengajar seseorang menjadi hipnoterapis yang bertanggung jawab dan efektif.”

HTI, yang telah menyelenggarakan pelatihan dan sertifikasi hipnoterapis profesional selama 47 tahun dengan peserta yang berasal dari 53 negara, menolak mengalihkan programnya sepenuhnya ke daring selama pandemi Covid-19 karena menilai kualitas pelatihan tidak dapat dikompromikan melalui media online.

Salah satu alasan utamanya adalah perlunya latihan praktik tersupervisi dan demonstrasi langsung (live session) di dalam kelas. Dalam pelatihan tatap muka, peserta dapat menyaksikan demonstrasi teknik hipnoterapi secara langsung, lalu mempraktikkannya di bawah pengawasan instruktur.

Hal ini wajib untuk membangun keterampilan terapeutik yang tinggi, sensitif, dan mendalam. Pelatihan hipnoterapi yang bertanggung jawab melampaui sekadar pengajaran skrip sugesti atau teknik terapi. Aspek-aspek penting seperti demonstrasi interaktif, tanya jawab intens, dan sesi penyembuhan mendalam hanya bisa terjadi dalam proses pembelajaran yang bersifat tatap muka.

Pentingnya pengalaman belajar tatap muka dalam membangun kompetensi terapeutik yang tinggi juga telah menjadi standar American Society of Clinical Hypnosis (ASCH) sejak awal berdirinya lembaga ini.

ASCH menetapkan bahwa pelatihan hipnosis klinis harus mencakup komponen tatap muka. Mereka menyelenggarakan pelatihan Level I dan II yang mencakup presentasi didaktik, demonstrasi, latihan kelompok kecil, dan praktik langsung. Pelatihan ini dirancang untuk memberikan pengalaman langsung dalam menerapkan hipnosis klinis.

Hal serupa dinyatakan oleh Minnesota Society of Clinical Hypnosis (MSCH). MSCH menegaskan bahwa pelatihan yang mereka selenggarakan bersifat tatap muka, dan tidak ada opsi online secara penuh. Kebijakan ini sejalan dengan standar ASCHyang mengakui perlunya komponen pengalaman langsung dalam workshop bersertifikat untuk memastikan setiap hipnoterapis yang mengikuti program mereka berhasil membangun kompetensi terapeutik tinggi.

Hypnotherapy Academy of America menekankan bahwa kurikulumnya dirancang dengan banyak sesi hands-on tersupervisi oleh staf pelatih. Menurut akademi tersebut, “pengembangan keterampilan kritis membutuhkan jam praktik tersupervisi yang memadai, hal yang tidak mungkin terpenuhi dalam pelatihan berdurasi lebih singkat.”

National Guild of Hypnotists (NGH) menetapkan bahwa untuk mendapatkan sertifikasi, peserta harus menyelesaikan minimal 100 jam pelatihan, yang terdiri dari 75 jam tatap muka di kelas dan 25 jam studi mandiri. Pelatihan ini dirancang untuk memberikan pengalaman langsung dalam praktik hipnoterapi.

International Society for the Study of Trauma and Dissociation (ISSTD) menyelenggarakan pelatihan hipnosis klinis yang disetujui oleh ASCH, dengan fokus pada trauma dan gangguan disosiatif. Pelatihan ini mencakup latihan kelompok kecil dengan maksimal enam peserta untuk memastikan keterlibatan mendalam dan pembelajaran kolaboratif, dan menekankan pentingnya pengalaman langsung dalam pembelajaran hipnosis klinis.

Sejalan dengan standar emas yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga pelatihan hipnoterapi terkemuka dunia, Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology® (AWGI), sejak pertama kali menyelenggarakan program pendidikan hipnoterapis profesional Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) pada tahun 2008 hingga saat ini, telah secara konsisten menerapkan format pembelajaran tatap muka.

Proses pendidikan hipnoterapis berlangsung intensif selama 10 hari, diawali dengan kewajiban setiap peserta untuk mempelajari 13 (tiga belas) video sebelum hadir di kelas. Setelah itu, peserta wajib melakukan praktik mandiri tersupervisi, yaitu melakukan induksi kepada minimal 10 (sepuluh) klien dan hipnoterapi kepada 5 (lima) klien.

Setiap peserta diwajibkan menulis laporan lengkap dan rinci yang menjelaskan proses hipnoterapi yang dilakukan, dan laporan tersebut dikirimkan ke grup agar dapat dipelajari juga oleh peserta lainnya.

Setiap laporan kasus akan dipelajari secara cermat oleh instruktur untuk diberikan masukan, koreksi, saran perbaikan, dan peningkatan, dengan tujuan membangun kompetensi terapeutik yang tinggi, sesuai dengan standar AWGI. Peserta juga mendapatkan kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi langsung dengan instruktur, baik melalui panggilan telepon maupun melalui grup percakapan.

Semua lembaga pelatihan hipnoterapi terkemuka dunia menetapkan standar minimal durasi pelatihan profesional selama 100 jam. Beberapa di antaranya bahkan mensyaratkan pelatihan yang lebih panjang, 200 jam, 300 jam, hingga 500 jam, tergantung pada tujuan pelatihan dan tingkat kompetensi terapeutik yang ingin dicapai.

 

Keterbatasan Pelatihan Daring dalam Mengembangkan Keterampilan

Pelatihan hipnoterapi secara daring dipandang kurang optimal karena berbagai keterbatasan intrinsik media virtual. Beberapa isu utama yang dikemukakan antara lain:

Terbatasnya praktik tersupervisi
Hampir setiap sesi pelatihan tatap muka mencakup latihan praktik berpasangan atau berkelompok dengan pengawasan langsung dari instruktur.  

Dalam format online, pengaturan praktik semacam ini jauh lebih sulit. Keterbatasan teknologi membuat instruktur kesulitan memantau semua breakout room secara efektif. 

Akibatnya, ketiadaan praktik tersupervisi menjadi kerugian besar dalam pelatihan daring. Selain itu, peserta kehilangan kesempatan untuk bertanya atau mendapatkan umpan balik personal secara langsung setelah latihan.

Minimnya observasi bahasa tubuh dan isyarat halus

Dalam sesi tatap muka, instruktur dapat menangkap cues atau tanda nonverbal yang sangat halus dari peserta maupun subjek hipnosis. Melalui kamera web, banyak isyarat tubuh yang tidak terlihat atau terlewat, sehingga mengurangi kedalaman pembelajaran teknik hipnosis. Misalnya, teknik lanjutan seperti ideomotor signals menghasilkan gerakan yang sangat halus dan dapat terlewat via webcam. 

Lingkungan yang tidak terkontrol
Pelatihan tatap muka berlangsung di ruang kelas yang kondusif dan terkendali, sementara pelatihan daring sangat bergantung pada kondisi lingkungan masing-masing peserta. Tidak ada jaminan suasana tenang di lokasi peserta. Gangguan seperti suara bising, koneksi internet terputus, atau interupsi rumah tangga dapat mengganggu demonstrasi dan praktik mendalam. 

Kesulitan membangun ikatan dan kepercayaan
Hipnoterapi melibatkan isu personal yang mendalam, sehingga kepercayaan antara peserta dan instruktur, maupun antarpeserta, sangat penting. Dalam kelas tatap muka, terbentuk ikatan kelompok, keakraban, dan rasa aman yang sulit ditandingi oleh kelas daring. Rasa aman ini berpengaruh besar terhadap kedalaman pengalaman terapi selama pelatihan.

 

Karena alasan-alasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa program pelatihan hipnoterapi daring tidak dapat menandingi program tatap muka yang bersifat sarat pengalaman (experiential).

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pun program online yang mampu menyamai manfaat dan kedalaman program offline dalam konteks pelatihan hipnoterapi profesional.

Kedalaman Pengalaman dan Hasil Pelatihan

Dalam pelatihan hipnoterapi, kedalaman pengalaman belajar berbanding lurus dengan keterlibatan langsung peserta. Melalui pelatihan tatap muka, peserta tidak hanya menyerap teori, tetapi juga mengalami langsung proses terapi sebagai klien maupun sebagai terapis dalam simulasi. Proses ini membentuk pengalaman batin mendalamdan kepekaan yang penting bagi seorang hipnoterapis. Dimensi ini sangat sulit dicapai melalui pelatihan daring.

Pelatihan offline memberikan lingkungan yang imersif, di mana calon hipnoterapis dapat mengembangkan inner skills seperti empati, intuisi klinis, dan kepercayaan diri untuk menangani klien nyata.

Kesimpulan

Pelatihan hipnoterapi bersertifikat paling efektif bila dilakukan secara tatap muka. Format offline unggul dalam hal:

  • Melatih keterampilan praktis melalui latihan langsung dan supervisi.
  • Memungkinkan observasi penuh terhadap bahasa tubuh dan respons klien.
  • Membangun kepercayaan, keamanan, dan kedalaman emosional dalam proses pembelajaran.
  • Memberikan pengalaman transformasional yang menyiapkan peserta menghadapi beragam situasi klinis nyata.

Sebaliknya, pelatihan daring murni dinilai tidak optimal dan tidak disarankan oleh banyak ahli untuk tujuan sertifikasi profesional, terutama dalam bidang klinis yang menuntut keterampilan interpersonal dan pengalaman langsung seperti hipnoterapi.

Pelatihan tatap muka tetap menjadi standar emas dalam mencetak hipnoterapis profesional yang benar-benar kompeten, dengan kualitas hasil yang hingga kini belum mampu ditandingi oleh metode daring sepenuhnya.

 

Baca Selengkapnya

Mengapa Damai Lebih Berharga dari Bahagia?

4 Mei 2025

Dalam kehidupan manusia, terdapat berbagai pengalaman batin yang memberikan rasa nyaman, ringan, atau tenteram. Tiga di antaranya sering kita gunakan secara bergantian, yaitu senang, bahagia, dan damai, padahal ketiganya memiliki makna, nuansa kedalaman, dan sumber yang berbeda. Memahami perbedaannya akan menuntun kita mengenali hakikat kesejahteraan batin yang sejati.

Senang: Rasa yang Datang dan Pergi

Senang adalah bentuk rasa yang paling ringan dan bersifat sementara. Ia muncul sebagai respons spontan terhadap rangsangan eksternal yang dimaknai sebagai hal yang menyenangkan, seperti menerima hadiah, menikmati makanan favorit, atau bertemu teman lama. Rasa senang dapat diibaratkan seperti embusan angin sejuk di tengah hari panas. Ia datang sekejap, memberikan kenyamanan sesaat, lalu hilang ketika pemicunya tidak lagi ada.

Contoh: Seseorang merasa senang ketika menerima pujian atau ketika cuaca cerah saat akan bepergian.

Bahagia: Kepuasan yang Lebih Dalam, namun Belum Stabil

Bahagia memiliki kedalaman lebih daripada senang. Ia hadir ketika seseorang mengalami kepuasan, pencapaian, atau hubungan yang bermakna. Bahagia membawa rasa penuh, rasa syukur, dan juga dalam banyak kasus, rasa bangga.

Kebanggaan ini bukan berarti kesombongan. Ia merupakan rasa puas terhadap usaha yang telah ditempuh atau makna yang berhasil diwujudkan. Seseorang merasa bahagia karena berhasil mencapai tujuan yang telah lama diupayakan, bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, atau mendapatkan pengakuan yang ia anggap layak. Dalam konteks ini, kebanggaan menjadi bagian alami dari rasa bahagia, sebagai bentuk penghargaan terhadap perjalanan diri.

Contoh: Seseorang merasa bahagia karena diterima bekerja di tempat impian setelah melewati proses yang panjang. Ia tidak hanya bersyukur atas hasilnya, tetapi juga bangga atas kegigihan dan ketekunannya. Atau seseorang merasa bahagia karena berhasil berdamai dengan masa lalunya, dan bangga karena berhasil melewati luka dengan keberanian.

Namun, kebahagiaan jenis ini masih bersifat dinamis dan bergantung pada pencapaian, validasi, atau harapan yang terpenuhi. Ia bisa berubah menjadi kecewa bila realitas tidak berjalan sebagaimana diharapkan. 

Bliss dalam Meditasi: Kebahagiaan yang Melampaui Dunia Luar

Terdapat jenis kebahagiaan lain yang lebih dalam dan tidak bergantung pada kondisi luar. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan batiniah yang muncul dari keheningan dalam meditasi. Di berbagai tradisi spiritual, ini disebut bliss atau sukha. Ia merupakan kondisi rasa nyaman yang melampaui emosi biasa.

Berbeda dengan kebahagiaan yang bergantung pada keberhasilan atau kondisi menyenangkan, bliss muncul justru ketika pikiran menjadi diam, tidak ada keinginan yang menguasai, dan kesadaran hadir sepenuhnya dalam saat ini.

Contoh: Seorang meditator yang duduk dalam keheningan, tanpa memikirkan masa lalu atau masa depan, bisa merasakan kebahagiaan yang sangat dalam meskipun tidak ada “alasan” di dunia luar yang memicunya. Tidak ada prestasi, tidak ada pujian, tidak ada hiburan, namun hati terasa hangat, lapang, dan penuh syukur.

Dalam hal ini, bliss tidak lagi berada pada level emosi yang reaktif. Ia adalah pancaran dari jiwa yang terhubung dengan keutuhan. Maka, meskipun disebut “kebahagiaan,” ia sangat dekat dengan kedamaian. 

Damai: Ketenteraman yang Tidak Bergantung

Damai merupakan bentuk ketenangan batin yang paling mendalam dan stabil. Ia lahir dari penerimaan, keikhlasan, dan ketidakterikatan. Kedamaian tidak membutuhkan alasan untuk hadir, karena ia bersumber dari dalam. Ia bukan berasal dari pencapaian, melainkan dari pemahaman dan kebijaksanaan.

Seseorang yang damai tidak berarti hidupnya tanpa masalah. Namun, ia memiliki ruang batin yang tenang, tidak lagi bereaksi secara impulsif, dan mampu menghadapi realitas apa adanya. Ia tidak lagi berperang dengan kenyataan.

Contohnya: Seseorang kehilangan pekerjaan, namun mampu menerima dan tetap merasa utuh karena yakin bahwa hidup tidak berhenti di satu titik. Dalam keheningan batinnya, ia justru menemukan makna dan arah baru tanpa harus larut dalam kekalutan.

Jika disusun dalam spektrum kedalaman, berdasarkan uraian di atas, secara ringkas dapat ditulis sebagai berikut:

- Senang adalah percikan emosi, ringan dan cepat berlalu.

- Bahagia adalah pancaran rasa syukur dan kebanggaan, lebih dalam tetapi masih terikat keadaan.

- Bliss adalah kebahagiaan sejati yang muncul dari dalam, bebas dari syarat.

- Damai adalah akar dari ketenangan, fondasi batin yang tak tergoyahkan.

Ketika senang dan bahagia tak bisa dipertahankan, damai tetap bisa kita genggam. Maka, jika harus memilih satu yang paling perlu dijaga, kedamaianlah yang paling berharga, karena di dalamnya, semua bentuk rasa luhur lainnya ikut berdiam.

Baca Selengkapnya

Kedalaman Hipnosis: Konsep, Skala, dan Peran Klien

18 April 2025

Hipnoterapi adalah upaya peningkatan kualitas diri individu melalui proses pemberdayaan pikiran bawah sadar, dilakukan dalam kondisi hipnosis, menggunakan teknik yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi klien.

Sesuai dengan definisi di atas, kondisi hipnosis mutlak dibutuhkan sebagai sarana untuk menembus faktor kritis pikiran sadar (PS) dan menjangkau kedalaman pikiran bawah sadar (PBS). Keaktifan faktor kritis PS berbanding terbalik dengan kedalaman kondisi hipnosis yang berhasil dicapai individu.

Penggunaan kata “dalam” atau "lebih dalam" untuk menunjukkan kondisi hipnosis sebenarnya kurang tepat. Subjek tidak benar-benar “masuk” lebih dalam, melainkan menjadi semakin responsif terhadap sugesti yang disampaikan oleh hipnoterapis. Respons ini berkaitan erat dengan kesediaan dan partisipasi klien dalam proses yang dijalani.

Dalam konteks hipnosis, kita mengenal tiga istilah yang penting: suggestibility, susceptibility, dan hypnotizability. Ketiganya sama-sama berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menerima pengaruh atau sugesti, namun memiliki perbedaan makna dan konteks:

• Suggestibility adalah kecenderungan umum seseorang untuk menerima dan merespons sugesti, baik dalam kondisi sadar (normal suggestibility) maupun dalam kondisi hipnosis (hypnotic suggestibility).
Misalnya, seseorang yang mudah terpengaruh oleh iklan atau kata-kata motivasi menunjukkan tingkat suggestibility yang tinggi dalam kondisi sadar.

• Susceptibility mengacu pada kerentanan atau tingkat keterpengaruhan secara umum terhadap pengaruh luar, termasuk sugesti, tekanan sosial, atau manipulasi, dan tidak terbatas pada konteks hipnosis. Misalnya, orang yang mudah terbawa suasana dalam keramaian menunjukkan susceptibility yang tinggi.

• Hypnotizability adalah kemampuan atau tingkat kemudahan seseorang untuk masuk ke kondisi hipnosis dan merespons sugesti hipnotik secara efektif. Ini merupakan subkategori dari suggestibility dan sering diukur secara sistematis dalam setting klinis atau riset.

Perlu dicatat bahwa seseorang bisa memiliki normal suggestibility yang tinggi, namun hypnotizability yang rendah, dan sebaliknya.


Skala Kedalaman Hipnosis

Untuk mengukur tingkat kemudahan individu dalam mengalami kondisi hipnosis, para ahli telah mengembangkan berbagai skala, di antaranya:

• Skala Liébeault (1866, 1889)
• Skala Bernheim (1884)
• Skala White (1930)
• Skala Davis dan Husband (1931)
• Skala Friedlander dan Sarbin (1938)
• Skala LeCron dan Bordeaux (1947)
• Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A, B, dan C
• Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1959–1967)
• Harvard Group Scales of Hypnotic Susceptibility (Shor dan Orne, 1962)
• Waterloo-Stanford Group C Scale (Bowers, 1993/1998)

Model turunan lainnya termasuk London’s Children’s Hypnotic Susceptibility Scale (CHSS) dan dua skala klinis tambahan dari Stanford, yakni:

• Stanford Clinical Scale for Adults
• Stanford Clinical Scale for Children

Selain itu, juga terdapat:

• Stanford Hypnotic Arm Levitation Induction and Test (SHALT)
• Barber Suggestibility Scale (1962)
• Barber Creative Imagination Scale (1978–1979)
• LeCron Subjective Depth Estimation Scale (LSDES)
• Tart Scales (1972, 1978/1979)

 

Skala Davis-Husband

Skala kedalaman hipnosis Davis-Husband dikembangkan pada tahun 1931 sebagai alat standar untuk mengukur sejauh mana kedalaman hipnosis yang dicapai oleh subjek.

Skala ini sangat populer dan banyak digunakan oleh praktisi serta pengajar hipnoterapi. Tujuannya adalah membantu hipnoterapis mengenali sejauh mana kondisi hipnosis yang dialami klien, sehingga teknik intervensi yang dipilih menjadi tepat dan efektif.

Skala ini terdiri atas lima kategori, yang mencakup tiga puluh angka dari 1 sampai 30. Setiap angka mewakili uji dan respons sugesti tertentu.

Lima kategori dalam skala ini adalah Insusceptible (0), Hipnoidal (1–5), Light Trance (6–12), Medium Trance (13–20), dan Deep Trance (21–30).

Rinciannya sebagai berikut: 0 = tidak merespons, 1 = relaksasi, 2 = mata berkedip, 3 = menutup mata, 4 = relaksasi fisik total, 5 = katalepsi mata, 6 = katalepsi tungkai, 7 = katalepsi seluruh tubuh, 8/9/10 = anestesi "sarung tangan", 11/12 = amnesia pascahipnosis parsial, 13/14 = amnesia pascahipnosis, 15/16 = perubahan kepribadian, 17/18/19/20 = delusi kinestetik, 21/22 = mampu buka mata tanpa memengaruhi trance, 23/24 = somnambulisme lengkap, 25 = halusinasi visual positif, 26 = halusinasi auditori positif, 27 = amnesia pascahipnosis sistematis, 28 = halusinasi auditori negatif, 29 = halusinasi visual negatif, dan 30 = hiperestesia.

Dalam praktik hipnoterapi, baik berbasis sugesti maupun hipnoanalisis, kedalaman deep trance sangat disarankan sebelum intervensi dilakukan.

Sebagian besar hipnoterapis menggunakan indikator seperti: mata tertutup, gerakan mata cepat (REM), tubuh rileks, napas teratur, dan ketidakmampuan membuka mata sebagai tanda bahwa klien telah berada dalam kondisi hipnosis. Meskipun benar, indikator tersebut belum cukup untuk menyatakan bahwa klien telah mencapai kedalaman deep trance.

Berdasarkan skala Davis-Husband, indikator-indikator di atas menunjukkan kedalaman hipnoidal dan light trance, bukan medium atau deep trance.

Indikator kedalaman deep trance (somnambulism), menurut skala Davis-Husband, adalah munculnya halusinasi, baik positif maupun negatif, secara visual atau auditori. Oleh karena itu, uji kedalaman diperlukan untuk memastikan apakah klien telah mampu mengalami halusinasi sugestif. Inilah barometer yang lebih objektif.

Sangat disayangkan, para hipnoterapis sangat jarang melakukan uji kedalaman dalam praktik klinis. Padahal ini adalah cara paling akurat untuk menilai apakah klien telah mencapai kondisi deep trance. Tanpa uji ini, intervensi yang diberikan bisa tidak optimal karena pikiran sadar masih memberikan resistensi.

Yang sering hipnoterapis lakukan adalah uji sugestibilitas, bukan uji kedalaman. Uji sugestibilitas bertujuan untuk mengetahui seberapa mudah seseorang menerima dan merespons sugesti yang diberikan. Sementara uji kedalaman adalah untuk mengetahui kedalaman yang telah berhasil dicapai oleh individu.

Uji kedalaman adalah prosedur penting yang tidak boleh diabaikan bila ingin memastikan efektivitas proses hipnoterapi yang dijalankan.

 

Alasan Saya Meninggalkan Skala Davis-Husband

Di tahun-tahun awal saya berpraktik sebagai hipnoterapis, saya juga menggunakan skala Davis–Husband sebagai acuan. Namun, saya menemui banyak kendala dan sering gagal dalam memastikan kedalaman yang telah dicapai klien. Berdasarkan pengalaman praktik saat itu, saya menyadari ada yang kurang dari skala ini, meskipun saya belum tahu apa.

Akhirnya, setelah mendapat pengetahuan dari beberapa literatur lain, saya menemukan jawabannya. Skala Davis–Husband, khususnya indikator kondisi hipnoidal dan light trance, tidak berlaku untuk semua orang, melainkan hanya untuk individu dengan tipe sugestibilitas fisik (physical suggestibility). Indikator ini tidak berlaku untuk individu dengan tipe sugestibilitas emosi (emotional suggestibility).

Klien dengan tipe sugestibilitas emosi tidak selalu mengalami REM, napas dalam dan ritmik, tubuh terasa berat, atau lengan terasa berat atau kaku (catalepsy). Ketidaktahuan saya saat itu, karena masih minim pengetahuan dan pengalaman, mengakibatkan kegagalan dalam menilai kedalaman yang dicapai klien.

Kendala lainnya, saya tidak menemukan literatur yang menjelaskan cara melakukan uji kedalaman, khususnya untuk tingkat medium trance dan deep trance. Indikator kedalaman hipnoidal dan light trance memang lebih mudah digunakan karena berupa pengamatan aspek fisik. Sementara itu, indikator kedalaman medium trance dan deep trance lebih sulit karena berupa fenomena mental.

Untuk memudahkan saya dalam mengukur kedalaman kondisi hipnosis yang dicapai klien, saya akhirnya memutuskan menyusun skala kedalaman versi saya sendiri. Ini bukan pekerjaan mudah. Saya mempelajari banyak skala kedalaman yang sudah ada, melakukan analisis dan sintesis, mencocokkannya dengan pengalaman dan temuan di ruang praktik, serta menggabungkannya dengan pemahaman saya tentang kondisi pikiran, kesadaran, meditasi, dan hasil pengukuran gelombang otak menggunakan mesin EEG Mind Mirror.

Akhirnya, setelah melalui proses yang cukup panjang, pada September 2010, saya berhasil menyusun Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, yang terdiri dari 40 kedalaman, dengan rincian fenomena baik fisik maupun mental pada setiap kedalaman.

AWG Hypnotic Depth Scale ini kini digunakan oleh para hipnoterapis AWGI sebagai acuan dalam praktik hipnoterapi kami.


Klien Tidak Bisa Dihipnosis?

Di kalangan hipnoterapis, terdapat dua kubu yang berseberangan dalam hal pemahaman mengenai kemampuan klien untuk masuk dan mencapai kondisi hipnosis (dalam). Satu kubu menyatakan bahwa ada kategori klien yang memang tidak bisa dihipnosis, apa pun upaya atau teknik yang dilakukan oleh hipnoterapis, klien tetap tidak akan bisa masuk ke kondisi hipnosis.

Sementara itu, kubu lainnya berpendapat bahwa setiap klien dapat masuk ke kondisi hipnosis jika ia bersedia dan mengizinkan dirinya untuk masuk ke kondisi tersebut.

Berdasarkan pengalaman praktik para hipnoterapis di AWGI, kami menemukan beberapa fakta penting:

• Semua klien bisa masuk ke kondisi hipnosis.

• Satu-satunya faktor yang menyebabkan klien tidak bisa masuk kondisi hipnosis (dalam) adalah rasa takut.

• Klien akan masuk sedalam yang ia butuhkan untuk menyelesaikan masalahnya, dan bertahan pada kedalaman yang paling dangkal untuk mempertahankan rasa aman atau keselamatan dirinya.

• Klien yang tampak tidak sugestif sejatinya adalah individu yang belum terlatih untuk menjadi lebih responsif.

• Kemampuan untuk merespons sugesti secara hipnotik dapat dilatih dan dikembangkan.

• Hipnoterapis tidak pernah bisa “menghipnosis” klien—hipnosis bukan sesuatu yang dilakukan kepada seseorang.

• Peran hipnoterapis adalah sebagai fasilitator, bukan pelaku hipnosis.

• Klien masuk ke kondisi hipnosis karena ia siap, bersedia, dan mengizinkan dirinya untuk mengalami proses tersebut.

Mengukur dan memahami kedalaman hipnosis bukanlah aspek tambahan, melainkan fondasi penting dalam praktik hipnoterapi yang efektif.

Dengan memahami bahwa tidak ada klien yang “tidak bisa dihipnosis,” hipnoterapis akan lebih fokus pada membangun rasa aman, membimbing klien menuju kedalaman yang ia izinkan, dan menggunakan teknik yang tepat berdasarkan kedalaman yang terukur.

 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List