The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Dalam kehidupan manusia, terdapat berbagai pengalaman batin yang memberikan rasa nyaman, ringan, atau tenteram. Tiga di antaranya sering kita gunakan secara bergantian, yaitu senang, bahagia, dan damai, padahal ketiganya memiliki makna, nuansa kedalaman, dan sumber yang berbeda. Memahami perbedaannya akan menuntun kita mengenali hakikat kesejahteraan batin yang sejati.
Senang: Rasa yang Datang dan Pergi
Senang adalah bentuk rasa yang paling ringan dan bersifat sementara. Ia muncul sebagai respons spontan terhadap rangsangan eksternal yang dimaknai sebagai hal yang menyenangkan, seperti menerima hadiah, menikmati makanan favorit, atau bertemu teman lama. Rasa senang dapat diibaratkan seperti embusan angin sejuk di tengah hari panas. Ia datang sekejap, memberikan kenyamanan sesaat, lalu hilang ketika pemicunya tidak lagi ada.
Contoh: Seseorang merasa senang ketika menerima pujian atau ketika cuaca cerah saat akan bepergian.
Bahagia: Kepuasan yang Lebih Dalam, namun Belum Stabil
Bahagia memiliki kedalaman lebih daripada senang. Ia hadir ketika seseorang mengalami kepuasan, pencapaian, atau hubungan yang bermakna. Bahagia membawa rasa penuh, rasa syukur, dan juga dalam banyak kasus, rasa bangga.
Kebanggaan ini bukan berarti kesombongan. Ia merupakan rasa puas terhadap usaha yang telah ditempuh atau makna yang berhasil diwujudkan. Seseorang merasa bahagia karena berhasil mencapai tujuan yang telah lama diupayakan, bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, atau mendapatkan pengakuan yang ia anggap layak. Dalam konteks ini, kebanggaan menjadi bagian alami dari rasa bahagia, sebagai bentuk penghargaan terhadap perjalanan diri.
Contoh: Seseorang merasa bahagia karena diterima bekerja di tempat impian setelah melewati proses yang panjang. Ia tidak hanya bersyukur atas hasilnya, tetapi juga bangga atas kegigihan dan ketekunannya. Atau seseorang merasa bahagia karena berhasil berdamai dengan masa lalunya, dan bangga karena berhasil melewati luka dengan keberanian.
Namun, kebahagiaan jenis ini masih bersifat dinamis dan bergantung pada pencapaian, validasi, atau harapan yang terpenuhi. Ia bisa berubah menjadi kecewa bila realitas tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
Bliss dalam Meditasi: Kebahagiaan yang Melampaui Dunia Luar
Terdapat jenis kebahagiaan lain yang lebih dalam dan tidak bergantung pada kondisi luar. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan batiniah yang muncul dari keheningan dalam meditasi. Di berbagai tradisi spiritual, ini disebut bliss atau sukha. Ia merupakan kondisi rasa nyaman yang melampaui emosi biasa.
Berbeda dengan kebahagiaan yang bergantung pada keberhasilan atau kondisi menyenangkan, bliss muncul justru ketika pikiran menjadi diam, tidak ada keinginan yang menguasai, dan kesadaran hadir sepenuhnya dalam saat ini.
Contoh: Seorang meditator yang duduk dalam keheningan, tanpa memikirkan masa lalu atau masa depan, bisa merasakan kebahagiaan yang sangat dalam meskipun tidak ada “alasan” di dunia luar yang memicunya. Tidak ada prestasi, tidak ada pujian, tidak ada hiburan, namun hati terasa hangat, lapang, dan penuh syukur.
Dalam hal ini, bliss tidak lagi berada pada level emosi yang reaktif. Ia adalah pancaran dari jiwa yang terhubung dengan keutuhan. Maka, meskipun disebut “kebahagiaan,” ia sangat dekat dengan kedamaian.
Damai: Ketenteraman yang Tidak Bergantung
Damai merupakan bentuk ketenangan batin yang paling mendalam dan stabil. Ia lahir dari penerimaan, keikhlasan, dan ketidakterikatan. Kedamaian tidak membutuhkan alasan untuk hadir, karena ia bersumber dari dalam. Ia bukan berasal dari pencapaian, melainkan dari pemahaman dan kebijaksanaan.
Seseorang yang damai tidak berarti hidupnya tanpa masalah. Namun, ia memiliki ruang batin yang tenang, tidak lagi bereaksi secara impulsif, dan mampu menghadapi realitas apa adanya. Ia tidak lagi berperang dengan kenyataan.
Contohnya: Seseorang kehilangan pekerjaan, namun mampu menerima dan tetap merasa utuh karena yakin bahwa hidup tidak berhenti di satu titik. Dalam keheningan batinnya, ia justru menemukan makna dan arah baru tanpa harus larut dalam kekalutan.
Jika disusun dalam spektrum kedalaman, berdasarkan uraian di atas, secara ringkas dapat ditulis sebagai berikut:
- Senang adalah percikan emosi, ringan dan cepat berlalu.
- Bahagia adalah pancaran rasa syukur dan kebanggaan, lebih dalam tetapi masih terikat keadaan.
- Bliss adalah kebahagiaan sejati yang muncul dari dalam, bebas dari syarat.
- Damai adalah akar dari ketenangan, fondasi batin yang tak tergoyahkan.
Ketika senang dan bahagia tak bisa dipertahankan, damai tetap bisa kita genggam. Maka, jika harus memilih satu yang paling perlu dijaga, kedamaianlah yang paling berharga, karena di dalamnya, semua bentuk rasa luhur lainnya ikut berdiam.
Dalam kehidupan manusia, terdapat berbagai pengalaman batin yang memberikan rasa nyaman, ringan, atau tenteram. Tiga di antaranya sering kita gunakan secara bergantian, yaitu senang, bahagia, dan damai, padahal ketiganya memiliki makna, nuansa kedalaman, dan sumber yang berbeda. Memahami perbedaannya akan menuntun kita mengenali hakikat kesejahteraan batin yang sejati.
Senang: Rasa yang Datang dan Pergi
Senang adalah bentuk rasa yang paling ringan dan bersifat sementara. Ia muncul sebagai respons spontan terhadap rangsangan eksternal yang dimaknai sebagai hal yang menyenangkan, seperti menerima hadiah, menikmati makanan favorit, atau bertemu teman lama. Rasa senang dapat diibaratkan seperti embusan angin sejuk di tengah hari panas. Ia datang sekejap, memberikan kenyamanan sesaat, lalu hilang ketika pemicunya tidak lagi ada.
Contoh: Seseorang merasa senang ketika menerima pujian atau ketika cuaca cerah saat akan bepergian.
Bahagia: Kepuasan yang Lebih Dalam, namun Belum Stabil
Bahagia memiliki kedalaman lebih daripada senang. Ia hadir ketika seseorang mengalami kepuasan, pencapaian, atau hubungan yang bermakna. Bahagia membawa rasa penuh, rasa syukur, dan juga dalam banyak kasus, rasa bangga.
Kebanggaan ini bukan berarti kesombongan. Ia merupakan rasa puas terhadap usaha yang telah ditempuh atau makna yang berhasil diwujudkan. Seseorang merasa bahagia karena berhasil mencapai tujuan yang telah lama diupayakan, bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, atau mendapatkan pengakuan yang ia anggap layak. Dalam konteks ini, kebanggaan menjadi bagian alami dari rasa bahagia, sebagai bentuk penghargaan terhadap perjalanan diri.
Contoh: Seseorang merasa bahagia karena diterima bekerja di tempat impian setelah melewati proses yang panjang. Ia tidak hanya bersyukur atas hasilnya, tetapi juga bangga atas kegigihan dan ketekunannya. Atau seseorang merasa bahagia karena berhasil berdamai dengan masa lalunya, dan bangga karena berhasil melewati luka dengan keberanian.
Namun, kebahagiaan jenis ini masih bersifat dinamis dan bergantung pada pencapaian, validasi, atau harapan yang terpenuhi. Ia bisa berubah menjadi kecewa bila realitas tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
Bliss dalam Meditasi: Kebahagiaan yang Melampaui Dunia Luar
Terdapat jenis kebahagiaan lain yang lebih dalam dan tidak bergantung pada kondisi luar. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan batiniah yang muncul dari keheningan dalam meditasi. Di berbagai tradisi spiritual, ini disebut bliss atau sukha. Ia merupakan kondisi rasa nyaman yang melampaui emosi biasa.
Berbeda dengan kebahagiaan yang bergantung pada keberhasilan atau kondisi menyenangkan, bliss muncul justru ketika pikiran menjadi diam, tidak ada keinginan yang menguasai, dan kesadaran hadir sepenuhnya dalam saat ini.
Contoh: Seorang meditator yang duduk dalam keheningan, tanpa memikirkan masa lalu atau masa depan, bisa merasakan kebahagiaan yang sangat dalam meskipun tidak ada “alasan” di dunia luar yang memicunya. Tidak ada prestasi, tidak ada pujian, tidak ada hiburan, namun hati terasa hangat, lapang, dan penuh syukur.
Dalam hal ini, bliss tidak lagi berada pada level emosi yang reaktif. Ia adalah pancaran dari jiwa yang terhubung dengan keutuhan. Maka, meskipun disebut “kebahagiaan,” ia sangat dekat dengan kedamaian.
Damai: Ketenteraman yang Tidak Bergantung
Damai merupakan bentuk ketenangan batin yang paling mendalam dan stabil. Ia lahir dari penerimaan, keikhlasan, dan ketidakterikatan. Kedamaian tidak membutuhkan alasan untuk hadir, karena ia bersumber dari dalam. Ia bukan berasal dari pencapaian, melainkan dari pemahaman dan kebijaksanaan.
Seseorang yang damai tidak berarti hidupnya tanpa masalah. Namun, ia memiliki ruang batin yang tenang, tidak lagi bereaksi secara impulsif, dan mampu menghadapi realitas apa adanya. Ia tidak lagi berperang dengan kenyataan.
Contohnya: Seseorang kehilangan pekerjaan, namun mampu menerima dan tetap merasa utuh karena yakin bahwa hidup tidak berhenti di satu titik. Dalam keheningan batinnya, ia justru menemukan makna dan arah baru tanpa harus larut dalam kekalutan.
Jika disusun dalam spektrum kedalaman, berdasarkan uraian di atas, secara ringkas dapat ditulis sebagai berikut:
- Senang adalah percikan emosi, ringan dan cepat berlalu.
- Bahagia adalah pancaran rasa syukur dan kebanggaan, lebih dalam tetapi masih terikat keadaan.
- Bliss adalah kebahagiaan sejati yang muncul dari dalam, bebas dari syarat.
- Damai adalah akar dari ketenangan, fondasi batin yang tak tergoyahkan.
Ketika senang dan bahagia tak bisa dipertahankan, damai tetap bisa kita genggam. Maka, jika harus memilih satu yang paling perlu dijaga, kedamaianlah yang paling berharga, karena di dalamnya, semua bentuk rasa luhur lainnya ikut berdiam.
Hipnoterapi adalah upaya peningkatan kualitas diri individu melalui proses pemberdayaan pikiran bawah sadar, dilakukan dalam kondisi hipnosis, menggunakan teknik yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi klien.
Sesuai dengan definisi di atas, kondisi hipnosis mutlak dibutuhkan sebagai sarana untuk menembus faktor kritis pikiran sadar (PS) dan menjangkau kedalaman pikiran bawah sadar (PBS). Keaktifan faktor kritis PS berbanding terbalik dengan kedalaman kondisi hipnosis yang berhasil dicapai individu.
Penggunaan kata “dalam” atau "lebih dalam" untuk menunjukkan kondisi hipnosis sebenarnya kurang tepat. Subjek tidak benar-benar “masuk” lebih dalam, melainkan menjadi semakin responsif terhadap sugesti yang disampaikan oleh hipnoterapis. Respons ini berkaitan erat dengan kesediaan dan partisipasi klien dalam proses yang dijalani.
Dalam konteks hipnosis, kita mengenal tiga istilah yang penting: suggestibility, susceptibility, dan hypnotizability. Ketiganya sama-sama berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menerima pengaruh atau sugesti, namun memiliki perbedaan makna dan konteks:
• Suggestibility adalah kecenderungan umum seseorang untuk menerima dan merespons sugesti, baik dalam kondisi sadar (normal suggestibility) maupun dalam kondisi hipnosis (hypnotic suggestibility).
Misalnya, seseorang yang mudah terpengaruh oleh iklan atau kata-kata motivasi menunjukkan tingkat suggestibility yang tinggi dalam kondisi sadar.
• Susceptibility mengacu pada kerentanan atau tingkat keterpengaruhan secara umum terhadap pengaruh luar, termasuk sugesti, tekanan sosial, atau manipulasi, dan tidak terbatas pada konteks hipnosis. Misalnya, orang yang mudah terbawa suasana dalam keramaian menunjukkan susceptibility yang tinggi.
• Hypnotizability adalah kemampuan atau tingkat kemudahan seseorang untuk masuk ke kondisi hipnosis dan merespons sugesti hipnotik secara efektif. Ini merupakan subkategori dari suggestibility dan sering diukur secara sistematis dalam setting klinis atau riset.
Perlu dicatat bahwa seseorang bisa memiliki normal suggestibility yang tinggi, namun hypnotizability yang rendah—dan sebaliknya.
Skala Kedalaman Hipnosis
Untuk mengukur tingkat kemudahan individu dalam mengalami kondisi hipnosis, para ahli telah mengembangkan berbagai skala, di antaranya:
• Skala Liébeault (1866, 1889)
• Skala Bernheim (1884)
• Skala White (1930)
• Skala Davis dan Husband (1931)
• Skala Friedlander dan Sarbin (1938)
• Skala LeCron dan Bordeaux (1947)
• Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A, B, dan C
• Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1959–1967)
• Harvard Group Scales of Hypnotic Susceptibility (Shor dan Orne, 1962)
• Waterloo-Stanford Group C Scale (Bowers, 1993/1998)
Model turunan lainnya termasuk London’s Children’s Hypnotic Susceptibility Scale (CHSS) dan dua skala klinis tambahan dari Stanford, yakni:
• Stanford Clinical Scale for Adults
• Stanford Clinical Scale for Children
Selain itu, juga terdapat:
• Stanford Hypnotic Arm Levitation Induction and Test (SHALT)
• Barber Suggestibility Scale (1962)
• Barber Creative Imagination Scale (1978–1979)
• LeCron Subjective Depth Estimation Scale (LSDES)
• Tart Scales (1972, 1978/1979)
Skala Davis-Husband
Skala kedalaman hipnosis Davis-Husband dikembangkan pada tahun 1931 sebagai alat standar untuk mengukur sejauh mana kedalaman hipnosis yang dicapai oleh subjek.
Skala ini sangat populer dan banyak digunakan oleh praktisi serta pengajar hipnoterapi. Tujuannya adalah membantu hipnoterapis mengenali sejauh mana kondisi hipnosis yang dialami klien, sehingga teknik intervensi yang dipilih menjadi tepat dan efektif.
Skala ini terdiri atas lima kategori, yang mencakup tiga puluh angka dari 1 sampai 30. Setiap angka mewakili uji dan respons sugesti tertentu.
Lima kategori dalam skala ini adalah Insusceptible (0), Hipnoidal (1–5), Light Trance (6–12), Medium Trance (13–20), dan Deep Trance (21–30).
Rinciannya sebagai berikut: 0 = tidak merespons, 1 = relaksasi, 2 = mata berkedip, 3 = menutup mata, 4 = relaksasi fisik total, 5 = katalepsi mata, 6 = katalepsi tungkai, 7 = katalepsi seluruh tubuh, 8/9/10 = anestesi "sarung tangan", 11/12 = amnesia pascahipnosis parsial, 13/14 = amnesia pascahipnosis, 15/16 = perubahan kepribadian, 17/18/19/20 = delusi kinestetik, 21/22 = mampu buka mata tanpa memengaruhi trance, 23/24 = somnambulisme lengkap, 25 = halusinasi visual positif, 26 = halusinasi auditori positif, 27 = amnesia pascahipnosis sistematis, 28 = halusinasi auditori negatif, 29 = halusinasi visual negatif, dan 30 = hiperestesia.
Dalam praktik hipnoterapi, baik berbasis sugesti maupun hipnoanalisis, kedalaman deep trance sangat disarankan sebelum intervensi dilakukan.
Sebagian besar hipnoterapis menggunakan indikator seperti: mata tertutup, gerakan mata cepat (REM), tubuh rileks, napas teratur, dan ketidakmampuan membuka mata sebagai tanda bahwa klien telah berada dalam kondisi hipnosis. Meskipun benar, indikator tersebut belum cukup untuk menyatakan bahwa klien telah mencapai kedalaman deep trance.
Berdasarkan skala Davis-Husband, indikator-indikator di atas menunjukkan kedalaman hipnoidal dan light trance, bukan medium atau deep trance.
Indikator kedalaman deep trance (somnambulism), menurut skala Davis-Husband, adalah munculnya halusinasi, baik positif maupun negatif, secara visual atau auditori. Oleh karena itu, uji kedalaman diperlukan untuk memastikan apakah klien telah mampu mengalami halusinasi sugestif. Inilah barometer yang lebih objektif.
Sangat disayangkan, para hipnoterapis sangat jarang melakukan uji kedalaman dalam praktik klinis. Padahal ini adalah cara paling akurat untuk menilai apakah klien telah mencapai kondisi deep trance. Tanpa uji ini, intervensi yang diberikan bisa tidak optimal karena pikiran sadar masih memberikan resistensi.
Yang sering hipnoterapis lakukan adalah uji sugestibilitas, bukan uji kedalaman. Uji sugestibilitas bertujuan untuk mengetahui seberapa mudah seseorang menerima dan merespons sugesti yang diberikan. Sementara uji kedalaman adalah untuk mengetahui kedalaman yang telah berhasil dicapai oleh individu.
Uji kedalaman adalah prosedur penting yang tidak boleh diabaikan bila ingin memastikan efektivitas proses hipnoterapi yang dijalankan.
Alasan Saya Meninggalkan Skala Davis-Husband
Di tahun-tahun awal saya berpraktik sebagai hipnoterapis, saya juga menggunakan skala Davis–Husband sebagai acuan. Namun, saya menemui banyak kendala dan sering gagal dalam memastikan kedalaman yang telah dicapai klien. Berdasarkan pengalaman praktik saat itu, saya menyadari ada yang kurang dari skala ini, meskipun saya belum tahu apa.
Akhirnya, setelah mendapat pengetahuan dari beberapa literatur lain, saya menemukan jawabannya. Skala Davis–Husband, khususnya indikator kondisi hipnoidal dan light trance, tidak berlaku untuk semua orang, melainkan hanya untuk individu dengan tipe sugestibilitas fisik (physical suggestibility). Indikator ini tidak berlaku untuk individu dengan tipe sugestibilitas emosi (emotional suggestibility).
Klien dengan tipe sugestibilitas emosi tidak selalu mengalami REM, napas dalam dan ritmik, tubuh terasa berat, atau lengan terasa berat atau kaku (catalepsy). Ketidaktahuan saya saat itu, karena masih minim pengetahuan dan pengalaman, mengakibatkan kegagalan dalam menilai kedalaman yang dicapai klien.
Kendala lainnya, saya tidak menemukan literatur yang menjelaskan cara melakukan uji kedalaman, khususnya untuk tingkat medium trance dan deep trance. Indikator kedalaman hipnoidal dan light trance memang lebih mudah digunakan karena berupa pengamatan aspek fisik. Sementara itu, indikator kedalaman medium trance dan deep trance lebih sulit karena berupa fenomena mental.
Untuk memudahkan saya dalam mengukur kedalaman kondisi hipnosis yang dicapai klien, saya akhirnya memutuskan menyusun skala kedalaman versi saya sendiri. Ini bukan pekerjaan mudah. Saya mempelajari banyak skala kedalaman yang sudah ada, melakukan analisis dan sintesis, mencocokkannya dengan pengalaman dan temuan di ruang praktik, serta menggabungkannya dengan pemahaman saya tentang kondisi pikiran, kesadaran, meditasi, dan hasil pengukuran gelombang otak menggunakan mesin EEG Mind Mirror.
Akhirnya, setelah melalui proses yang cukup panjang, pada September 2010, saya berhasil menyusun Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, yang terdiri dari 40 kedalaman, dengan rincian fenomena baik fisik maupun mental pada setiap kedalaman.
AWG Hypnotic Depth Scale ini kini digunakan oleh para hipnoterapis AWGI sebagai acuan dalam praktik hipnoterapi kami.
Klien Tidak Bisa Dihipnosis?
Di kalangan hipnoterapis, terdapat dua kubu yang berseberangan dalam hal pemahaman mengenai kemampuan klien untuk masuk dan mencapai kondisi hipnosis (dalam). Satu kubu menyatakan bahwa ada kategori klien yang memang tidak bisa dihipnosis, apa pun upaya atau teknik yang dilakukan oleh hipnoterapis, klien tetap tidak akan bisa masuk ke kondisi hipnosis.
Sementara itu, kubu lainnya berpendapat bahwa setiap klien dapat masuk ke kondisi hipnosis jika ia bersedia dan mengizinkan dirinya untuk masuk ke kondisi tersebut.
Berdasarkan pengalaman praktik para hipnoterapis di AWGI, kami menemukan beberapa fakta penting:
• Semua klien bisa masuk ke kondisi hipnosis.
• Satu-satunya faktor yang menyebabkan klien tidak bisa masuk kondisi hipnosis (dalam) adalah rasa takut.
• Klien akan masuk sedalam yang ia butuhkan untuk menyelesaikan masalahnya, dan bertahan pada kedalaman yang paling dangkal untuk mempertahankan rasa aman atau keselamatan dirinya.
• Klien yang tampak tidak sugestif sejatinya adalah individu yang belum terlatih untuk menjadi lebih responsif.
• Kemampuan untuk merespons sugesti secara hipnotik dapat dilatih dan dikembangkan.
• Hipnoterapis tidak pernah bisa “menghipnosis” klien—hipnosis bukan sesuatu yang dilakukan kepada seseorang.
• Peran hipnoterapis adalah sebagai fasilitator, bukan pelaku hipnosis.
• Klien masuk ke kondisi hipnosis karena ia siap, bersedia, dan mengizinkan dirinya untuk mengalami proses tersebut.
Mengukur dan memahami kedalaman hipnosis bukanlah aspek tambahan, melainkan fondasi penting dalam praktik hipnoterapi yang efektif.
Dengan memahami bahwa tidak ada klien yang “tidak bisa dihipnosis,” hipnoterapis akan lebih fokus pada membangun rasa aman, membimbing klien menuju kedalaman yang ia izinkan, dan menggunakan teknik yang tepat berdasarkan kedalaman yang terukur.
Dalam kebijaksanaan timur yang telah diwariskan berabad-abad, penderitaan manusia sering diibaratkan seperti dua anak panah yang meluncur kencang ke arah kita. Anak panah pertama adalah 𝐩𝐚𝐢𝐧—rasa sakit fisik atau emosional yang muncul akibat pengalaman hidup: kehilangan, kegagalan, penolakan, luka hati. Anak panah ini tidak bisa dihindari. Ia pasti datang dalam perjalanan siapa pun yang hidup di dunia ini.
Namun setelah anak panah pertama menancap, datanglah anak panah kedua: 𝐬𝐮𝐟𝐟𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠 atau penderitaan batiniah. Tidak seperti yang pertama, anak panah ini tidak selalu harus menancap—ia bersifat opsional. Kita bisa memilih apakah akan membiarkan anak panah ini mengenai kita, menancap lebih dalam ke hati, atau membiarkannya meluncur lewat begitu saja.
Suffering muncul dari cara kita memaknai rasa sakit. Bila kita menyikapi peristiwa menyakitkan dengan kesadaran dan penerimaan, penderitaan bisa tidak terjadi, atau hanya menyentuh sebentar lalu pudar. Tetapi jika kita menolak kenyataan, mengutuk kejadian, atau menggenggam terlalu erat kenyamanan yang telah berlalu, maka kita sendirilah yang mengizinkan anak panah kedua itu melukai lebih dalam.
Antara Pain dan Suffering
Dalam kehidupan, pain adalah sesuatu yang tak bisa kita hindari. Ia adalah bagian dari kodrat manusia. Namun suffering—penderitaan batiniah yang memperpanjang rasa sakit—adalah sesuatu yang bisa kita pahami, kita kelola, bahkan kita hindari.
Suffering muncul bukan karena rasa sakit itu sendiri, melainkan karena kita tidak tahu, tidak menyadari, tidak mengakui, atau tidak bersedia menerima satu hukum paling mendasar dari alam semesta: bahwa tidak ada yang kekal kecuali ketidakkekalan itu sendiri.
Saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai—orang, jabatan, status, materi, kenyamanan—kita sering lupa bahwa semua itu hanyalah bagian dari arus kehidupan yang bergerak. Kita bersikeras ingin hidup tetap nyaman, tetap stabil, kalau bisa bahkan semakin menyenangkan. Kita ingin menggenggam yang enak dan menolak yang pahit.
Di sinilah penderitaan lahir. Semakin kuat kita menolak perubahan, semakin kita ingin mempertahankan hal-hal menyenangkan yang telah lewat, semakin dalam penderitaan yang kita alami. Kita terseret dalam kemarahan, kesedihan, kebencian, dan penyesalan. Bukan karena kenyataan itu sendiri, tetapi karena kita tidak ingin menerima kenyataan sebagaimana adanya.
Kelekatan—bahkan terhadap emosi positif—jika tidak disertai kesadaran akan ketidakkekalan, akan melahirkan penderitaan yang dalam. Dan semakin besar intensitas emosi yang melandasi kelekatan itu, semakin besar pula penderitaan yang dirasakan ketika harus melepaskannya.
Semua ini sejatinya bekerja mengikuti sifat alamiah pikiran: yaitu cenderung mencari, mengejar, serta berusaha mempertahankan atau mengulangi perasaan senang, sekaligus secara otomatis menghindari hal-hal yang tidak nyaman.
Ketika kita mengalami sesuatu yang menyenangkan, pikiran secara naluriah ingin menggenggam dan mengulang pengalaman itu. Namun, saat kita tidak mampu mempertahankannya—karena hidup selalu bergerak dan berubah—pikiran mulai bereaksi: memunculkan emosi negatif seperti marah, kecewa, benci, terluka, atau perasaan bersalah.
Inilah awal dari penderitaan yang kita ciptakan sendiri. Bukan karena hidup bersalah, tetapi karena kita tidak menyadari permainan batin yang terjadi di dalam diri.
Jalan Menuju Kebebasan
Namun kabar baiknya adalah: kita bisa belajar untuk tidak menambah penderitaan dalam rasa sakit yang kita alami. Kita bisa memilih untuk menyikapi pain dengan kesadaran, bukan dengan reaksi otomatis. Ada beberapa jalan yang bisa ditempuh:
1. Diam yang jernih
Saat kita hadir sepenuhnya, menyadari apa yang kita rasakan tanpa menambah cerita, kita mulai melihat bahwa rasa sakit hanyalah sensasi hidup yang bergerak. Ia datang, dan ia akan pergi. Kita adalah saksi, bukan pelaku mutlak dari peristiwa.
2. Penerimaan terhadap perubahan
Penerimaan bukan kelemahan. Ia adalah keberanian untuk melihat hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita inginkan. Dengan menerima ketidakkekalan, kita belajar melepas.
3. Berhenti menuntut kenyataan tunduk pada keinginan pribadi
Kita tidak menderita karena hidup berubah, tetapi karena kita menolak perubahan. Semakin kita memaksa kenyataan untuk sesuai dengan keinginan kita, semakin kita menjauh dari damai yang hakiki.
4. Memberi makna atas rasa sakit
Rasa sakit bisa menjadi batu loncatan menuju pemahaman yang lebih dalam, jika kita mengizinkannya membentuk hati yang lebih lembut, lebih bijak, lebih sadar.
“Suffering ceases to be suffering at the moment it finds a meaning.”
—Viktor E. Frankl
Ketenangan dalam Keheningan
Rasa sakit adalah bagian dari hidup. Ia tidak dapat dihindari, tetapi penderitaan bisa dicegah. Suffering is optional.
Ketika kita mulai menyadari bahwa segala sesuatu yang muncul pasti akan berlalu, bahwa kenyamanan pun bukan milik selamanya, kita tidak lagi menggenggam terlalu erat. Kita belajar mengalir. Kita belajar menerima.
Maka, saat luka datang mengetuk pintu, izinkan ia masuk sebagai guru.
Resapi kehadirannya.
Dengarkan pesannya.
Belajarlah darinya.
Dan ketika waktunya tiba, lepaskan ia dengan kesadaran penuh dan cinta.
Dan di sanalah, dalam ruang batin yang sunyi namun utuh, kita temukan kebebasan yang sesungguhnya—bukan karena rasa sakit tidak ada, tetapi karena kita tidak lagi menambahkan penderitaan di dalamnya.