The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Hypnotic Seal

21 Juli 2010

Pembaca, pernahkah anda melihat adegan di televisi atau membaca di surat kabar mengenai segel yang dipasang oleh pengadilan dalam kasus penyitaan rumah? Atau mungkin anda pernah melihat TKP (Tempat Kejadian Perkara) yang oleh polisi dipasangi segel police line? Pertanyaan saya pada anda adalah apa arti segel atau police line? Apabila benda atau lokasi itu telah dipasangi segel atau police line, beranikah anda memindahkan benda atau masuk ke lokasi itu tanpa ijin? Jawabannya tentu tidak berani Mengapa kok tidak berani? Karena yang boleh masuk ke lokasi itu hanyalah mereka yang memasang segel atau yang punya wewenang untuk itu. Orang biasa nggak boleh masuk. Kalau masuk akan kena sanksi atau hukuman. Dan siapakah yang berhak untuk melepas segel yang telah dipasang? Ya sudah tentu pihak yang memasang. Benar, nggak?

Contoh lain, pernahkah anda, saat ingin mengakses data di suatu komputer, mengalami kesulitan karena komputer meminta anda untuk memasukkan password tertentu untuk bisa login? Apa yang terjadi bila anda tidak bisa memberikan password yang sesuai? Sudah tentu anda tidak bisa masuk ke dalam data base komputer itu. Lalu, siapakah yang memasang password? Siapakah yang memasang “segel” di komputer ini? Sudah tentu orang yang mengerti cara kerja komputer. Bila ternyata orang yang memasang password itu adalah orang yang usil, apa yang akan anda lakukan untuk bisa membuka paksa, dalam istilah komputer meng-crack, password yang telah dipasang? Anda pasti akan meminta bantuan ahli komputer lain. Pembaca, tahukah anda bahwa pikiran manusia mirip seperti komputer? Kita, bila tahu caranya, dengan menggunakan teknik tertentu, dapat dengan mudah memasang segel pikiran, atau lebih dikenal dengan istilah hypnotic seal atau segel hipnosis. Bagaimana cara memasangnya? He.. he… kalo ini saya tidak boleh menjelaskan di artikel ini.

Penasaran, kan? Dalam artikel ini saya hanya akan menjelaskan cara kerja, manfaat, dan bahaya segel pikiran. Hypnotic seal ini sebenarnya merupakan program pikiran yang cara kerjanya mirip dengan password yang dipasang di komputer. Tujuannya adalah untuk mencegah orang yang tidak berhak untuk mengakses data. Jika komputer, yang diakses adalah data base. Jika pikiran, yang diakses adalah pikiran bawah sadar yang memuat banyak hal, antara lain persepsi, memori, dan emosi.

Apa manfaat hypnotic seal? Hypnotic seal, jika sudah dipasang akan mencegah orang lain, selain si operator atau si pemasang segel, untuk bisa menghipnosis orang yang telah dipasangi segel. Hypnotic seal ini berisi perintah untuk menolak hipnosis yang dilakukan orang lain, selain si operator.

Jadi, jika misalnya pikiran anda sudah dipasang hypnotic seal oleh seseorang maka ke manapun anda pergi, siapapun orang yang akan menghipnosis anda, selain si operator, pasti akan gagal. Mereka tidak akan pernah bisa menghipnosis anda. Saya ingat saat selesai mengadakan Supercamp (SC) Becoming a Money Magnet angkatan IX di Surabaya akhir tahun lalu. Di SC ada beberapa peserta yang sangat sugestif. Saking sugestifnya mereka dapat dengan sangat mudah memasukkan “data” ke pikiran bawah sadar mereka.

Implikasi lain adalah mereka juga dapat dengan mudah “dikerjain” orang  yang mengerti mengenai hal ini. Selesai SC saya memasang hypnotic seal di pikiran salah satu peserta, sebut saja Johan, yang saya lihat sangat-sangat sugestif. Begitu selesai dipasang saya segera mencoba untuk menghipnosis Johan. Hasilnya? Nggak bisa.

Apapun teknik yang saya gunakan tetap tidak bisa menghipnosis Johan. Mengapa tidak bisa? Karena salah satu persyaratan yang menjadi password yang saya pasang adalah Johan hanya bisa dihipnosis oleh orang yang ia percaya dan dia menginginkan atau mengijinkan dirinya untuk dihipnosis.Jadi, dalam hal ini ada dua syarat yang harus dipenuhi. Salah satu saja tidak terpenuhi maka passwordnya nggak bisa terbuka. Apakah Johan percaya sama saya? Sudah tentu. Apakah saat itu ia mengijinkan dirinya untuk dihipnosis? Tidak. Saya lalu meminta Johan mengijinkan dirinya untuk saya hipnosis. Tanpa perlu teknik yang canggih, hanya dengan perintah singkat saja, satu kata saja, Johan langsung berhasil saya hipnosis.

Ini salah satu manfaat dari hypnotic seal. Apakah ada efek negatif? Sudah tentu ada. Jika hypnotic seal dipasang oleh hipnotis atau hipnoterapis yang dikuasai ego, yang ingin berkuasa atas atau mengendalikan kliennya maka akan sangat merugikan klien. Ada segel yang membuat seseorang tidak bisa dihipnosis oleh orang lain selain si pemasang segel. Nah, kalau sudah begini, saat klien membutuhkan bantuan dari terapis lainnya, saat terapis lain  berusaha melakukan hipnosis, klien tidak akan bisa masuk ke kondisi hipnosis. Ini sudah tentu sangat merugikan diri klien. Apakah kita dapat membuka segel yang sudah dipasang? Sudah tentu bisa. Jika di komputer kita bisa meng-crack password maka untuk hypnotic seal juga bisa dilakukan hal yang sama. Asyik, kan?

Untuk bisa membuka maka kita perlu mengenal jenis dan karakteristik hypnotic seal. Lho, memangnya ada berapa macam? Secara teknis ada lima jenis hypnotic seal. Setiap seal mempunyai karakteristik yang berbeda dan sudah tentu membutuhkan cara yang berbeda untuk bisa membukanya. Di sini dibutuhkan pemahaman mengenai cara kerja pikiran, sugesti, dan level kedalaman trance untuk bisa membuka hypnotic seal yang terpasang di pikiran bawah sadar seseorang.

Ada segel yang membuat seseorang tidak bisa dihipnosis. Ada yang membuat seseorang tidak bisa mendengar suara hipnotis/hipnoterapis selain si operator. Ada juga segel yang membuat seseorang, begitu masuk ke kondisi trance, tidak akan bisa keluar atau bangun kecuali dibangunkan oleh si pemasang segel. Bisa anda bayangkan apa yang akan terjadi bila seseorang dihipnosis lalu, karena efek dari hypnotic seal, ia tidak bisa bangun atau keluar dari kondisi hipnosis, kecuali dibangunkan oleh si operator atau si pemasang segel.

Langkah awal untuk bisa membuka segel adalah dengan mengenali segel jenis apa yang terpasang di pikiran klien. Selanjutnya terapis “hacker” ini menggunakan teknik yang sesuai untuk meng-crack password dari hypnotic seal itu.

Baca Selengkapnya

Bahaya Self Hypnosis

21 Juli 2010

Pembaca, kembali saya menulis artikel yang jika hanya dibaca judulnya saja pasti akan menimbulkan kontroversi. Masih ingat beberapa waktu lalu saya menulis artikel dengan judul "Bahaya Berpikir Positif"?

Apakah saya tidak salah pilih judul? Oh, tentu tidak.

Apakah tidak ada judul lain? Wah, kalo judul sih sebenarnya banyak sekali. Tapi judul yang saya pilih kali ini sudah benar. Sekarang anda sabar dulu ya. Nanti setelah selesai membaca artikel ini anda pasti akan memahami maksud saya.

Ok, kalo gitu apa maksud pernyataan di atas?

Ceritanya begini. Secara umum hipnosis sebenarnya ada tiga macam. Pertama, hipnosis yang dilakukan diri sendiri, dikenal dengan nama self hypnosis. Jadi, self hypnosis ini artinya kita menghipnosis diri kita sendiri.

Kedua, hipnosis yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Nah, kalo hipnosis seperti ini disebut dengan nama heterohypnosis. Ini yang biasa dilakukan oleh seorang hypnotist terhadap subjek hipnosis, saat melakukan pertunjukan, atau hipnoterapis terhadap klien, dalam setting terapi.

Ketiga, hipnosis yang disebabkan oleh anestesi yang disebut dengan parahypnosis. Pasien yang telah dianestesi/dibius, walaupun tampak tidak sadarkan diri tetap mampu mendengar suara. Kondisi parahypnosis ini umumnya tidak diketahui atau disadari oleh dokter bedah, anesthesiologist, dan perawat. Apapun yang dikatakan oleh mereka selama proses pembedahan akan didengar oleh pasien dan menjadi sugesti yang sangat powerful karena pasien sebenarnya berada dalam kondisi hipersugestibilitas. 

Istilah self hypnosis lebih populer dan dikenal masyarakat daripada heterohypnosis dan parahypnosis. Self hypnosis banyak dianjurkan digunakan untuk mengubah perilaku. Banyak pelatihan mengajarkan self hypnosis. Bahkan ada banyak CD audio yang diklaim mampu membantu pendengarnya melakukan self hypnosis dengan mudah dan efektif.

Nah, jika self hypnosis memang begitu ampuh untuk mengubah perilaku atau meningkatkan kinerja, lalu mengapa saya kok berani-beraninya memilih judul yang berseberangan dengan pandangan awam?

He..he...sekali lagi, sabar dong. Ini kan baru appetizer. Baru pembukaan. Belum masuk ke main course atau menu utama. 

Semua hipnosis sebenarnya adalah self hypnosis. Subjek hipnosis hanya bisa dihipnosis, oleh seorang operator (baca: hipnotis/hipnoterapis) bila ia bersedia menerima sugesti yang diberikan kepadanya. Saat seseorang berusaha menghipnosis dirinya sendiri maka ia menggunakan prosedur yang sama. Ia, lebih tepatnya pikirannya, harus bersedia menerima sugesti yang diberikan oleh dirinya sendiri. Namun satu hal yang biasanya tidak disadari kebanyakan orang adalah bahwa self hypnosis bisa terjadi secara tidak disengaja, tanpa disadari.

Apa maksudnya self hypnosis bisa terjadi secara tidak disengaja?

Untuk itu saya perlu menjelaskan terlebih dahulu salah satu definisi hipnosis. Hipnosis adalah suatu kondisi di mana perhatian menjadi sangat terpusat sehingga tingkat sugestibilitas meningkat sangat tinggi.

Jadi, saat pikiran fokus pada sesuatu, bisa kejadian, peristiwa, ide, atau emosi/perasaan maka saat itu pula seseorang sebenarnya telah berada dalam kondisi hipnosis. Jadi, untuk bisa masuk ke kondisi hipnosis tidak sulit seperti yang dibayangkan orang. Tidak harus menggunakan induksi formal atau bantuan operator.

Saat seseorang mengalami emosi yang intens, khususnya emosi negatif, maka pada saat itu gerbang pikiran bawah sadarnya terbuka sangat lebar. Pada saat ini, ide apapun yang diberikan saat kondisi pikiran terfokus, fokus pada emosinya, akan diterima sebagai sebuah sugesti atau perintah hipnotik.

Baru-baru ini seorang kawan dari Balikpapan bercerita mengenai kondisinya. Ia sudah sekitar 5 tahun minum obat penenang. Ia mempunyai kecemasan yang sangat tinggi, takut mati. Dari apa yang ia ceritakan saya tahu bahwa ini semua hanyalah psikosomatis.

Setelah mendengar cukup banyak ceritanya, saya sampai pada satu pencerahan. Ternyata semua diawali saat ia bertemu dengan kawan baiknya, bertahun-tahun lalu, yang mengalami stroke. Kawannya ini berkata, "Eh, kamu pasti juga akan kena stroke. Cara kamu berjalan persis seperti saat sebelum saya kena stroke. Saat ini kamu kalo jalan agak nyeret kaki, kan?"

Kawan saya menjawab, "Ah, nggak. Saya dari dulu memang jalannya seperti ini".

"Tunggu saja. Cepat atau lambat pasti kamu juga akan stroke. Coba lihat wajahmu. Merah seperti wajah saya saat sebelum kena stroke. Kalo nggak percaya, boleh cek tekanan darahmu. Pasti tinggi. Pokoknya kamu hati-hati." tegas kawannya kawan saya ini.

Kawan saya semula tidak terlalu menanggapi apa yang dikatakan kawannya. Namun semakin lama kekhawatirannya akan terkena stroke semakin kuat. Akhirnya kawan saya memutuskan untuk memeriksa tekanan darahnya.

Apa yang terjadi?

Ternyata "benar". Tekanan darah kawan saya ini cukup tinggi, jauh di atas rata-rata. Mengetahui hal ini kawan saya menjadi semakin takut. Ia panik. Bahkan hampir pingsan.Dan pada saat itu muncul berbagai pemikiran kreatif yang negatif. Ia membayangkan bagaimana jika sampai ia kena stroke seperti kawannya. Badannya lumpuh separoh. Jalannya miring. Harus pake kursi roda. Pokoknya, yang muncul di pikirannya saat itu, saat mengetahui tekanan darahnya cukup tinggi, adalah berbagai pemikiran negatif.

So, apa yang terjadi selanjutnya?

Badan kawan saya ini memberikan respon yang sesuai. Mulailah muncul "tanda" bahwa kesehatannya semakin memburuk. Ia menjadi semakin gelisah, susah tidur, tidak bisa konsentrasi, dan akhirnya harus ke psikiater dan diberi penenang.

Apa yang terjadi pada kawan saya ini sebenarnya adalah suatu bentuk self hypnosis. Pada saat emosinya bergejolak, pada saat ia fokus pada perasaan takut dan cemas, pada saat itu sebenarnya ia berada dalam kondisi hipnosis. Dalam kondisi ini ia secara tidak sengaja memberikan sugesti, kepada dirinya sendiri, dalam bentuk berbagai pemikiran negatif, yang muncul dalam bentuk self talk dan gambaran mental. Dan terjadilah seperti yang ia sugestikan.

Saat ini kawan saya begitu sibuk mencemaskan simtom yang ia alami dan ia sudah lupa apa yang sebenarnya menjadi pemicu semua ini.

Bila kita cermati, sebenarnya tekanan darah yang tinggi, saat diukur, bisa disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu adalah perasaan takut dan cemas. Saat kita takut atau cemas maka jantung akan berdegup lebih kencang. Ini adalah mekanisme pertahanan diri yang telah terpatri di dalam DNA kita. Hormon adrenalin mengalir deras. Otot-otot tubuh  menjadi kaku. Wajah menjadi lebih pucat. Tubuh disiapkan untuk fight (lawan) atau flight (lari). Ini adalah hal yang sangat normal.

Untuk orang yang mengalami depresi maka yang terjadi adalah mereka mensugesti diri mereka sendiri, melalui self hypnosis, dengan automatic thought. Automatic thought ini yang disebut dengan spontaneous self suggestion.

Automatic thougth pada orang depresi adalah perasaan "kehilangan" atau loss. Orang depresi takut kehilangan sesuatu. Ketakutan ini yang terus timbul di pikirannya dan terus menerus mensugesti dirinya. Sedangkan pada orang yang cemas, automatic thought-nya adalah "ancaman" atau threat.

Self hypnosis terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Setiap kali pikiran fokus pada sesuatu dan pada saat itu terjadi self talk atau muncul gambaran mental maka pada saat itu telah terjadi self hypnosis.

Self hypnosis negatif ini yang banyak menghancurkan hidup anak-anak kita. Saya sangat banyak bertemu dengan anak yang memberikan label negatif pada diri mereka, "Saya anak bodoh", "Saya nggak pernah bisa berhasil", "Matematika itu sulit", "Belajar tidak menyenangkan", "Sekolah sama dengan penjara", dan masih banyak lagi.

Dari mana "belief" ini muncul?

Ya, dari proses enviromental hypnosis yang diperkuat oleh self hypnosis.

Lho, maksudnya?

Begini ceritanya. Misalnya seorang anak ujian, terserah bidang studi apa saja boleh, dan mendapat nilai jelek. Anak ini selanjutnya dimarahi ibunya. Pada saat itu anak menjadi takut. Pada saat sedang takut ia mendapat "sugesti" dari ibunya, "Anak bodoh. Begitu saja nggak bisa. Kamu ini anak siapa sih, kok goblok amat". (Sebenarnya ya anak si ibu. Lha, kalo bukan anak ibu, masa anak tetangga?)

Sugesti ini masuk sempurna ke pikiran bawah sadar anak. Selajutnya anak kembali mendapat nilai jelek. Dan kembali si ibu memberikan berbagai "sugesti" saat anak merasa takut.

Apa yang terjadi saat anak kembali mendapat nilai jelek?

Pada saat ini anak, yang takut akan dimarahi ibunya, menghipnosis dirinya sendiri dengan perkataan dan pemikiran, "Memang benar, saya ini anak bodoh. Tiap kali ulangan pasti dapat nilai jelek." Saat anak tiba di rumah, ibunya memperkuat sugesti ini.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Anak ini akan menjadi anak yang bodoh. Bukan karena kemampuan otaknya rendah namun lebih karena program pikiran negatif yang telah terinstal di pikiran bawah sadarnya.

Nah, pembaca, anda jelas sekarang? Self hypnosis nggak selamanya baik, kan?

Baca Selengkapnya

"Hipnoterapi" vs Hipnoterapi

21 Juli 2010

"With great power comes great responsibility"

Seorang kawan dari Malang kemarin main ke rumah saya dan minta bantuan untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Kawan saya ini telah berusaha belajar ke sana dan ke mari, mengikut banyak pelatihan termasuk mengikuti kelas hipnoterapi di Jakarta, telah meminta bantuan psikolog, psikiater, dan hipnoterapis, namun tetap masalahnya tidak bisa tuntas tertangani.

Saya tidak akan membahas mengenai apa yang dilakukan oleh psikolog atau psikiater karena ini di luar disiplin ilmu yang saya pelajari dan dalami. Yang saya bahas adalah mengenai hipnoterapi dan hipnoterapis. Kawan saya ini telah meminta bantuan hipnoterapis dan telah menjalani 7 (tujuh) sesi terapi di klinik hipnoterapi.

Hasilnya? Sama sekali tidak ada perubahan.

Waktu saya mendengar bahwa ia sudah diterapi 7 (tujuh) sesi, tiap sesi sekitar 2 jam, dan masih belum ada hasilnya, saya jadi bingung. Lha, bagaimana mungkin sudah 7 sesi masih belum ada perubahan sama sekali.

Setiap sesi terapi adalah proses yang unik. Dinamikanya selalu berbeda. Keberhasilan suatu terapi, dalam hal ini saya khusus membahas hipnoterapi ya, bergantung pada dua faktor yaitu klien dan terapis.

Semula saya berpikir kawan saya ini yang tidak siap untuk berubah. Istilah teknisnya masih ada resistensi. Mengapa saya berpikir demikian? Karena menurut kawan saya hipnoterapis yang menerapi dirinya bergelar C.Ht., atau certified hypnotherapist atau hipnoterapis yang bersertifikasi. Nah, kalau sudah C.Ht., asumsi saya si terapis pasti punya kemampuan yang mumpuni.

Hal ini diperkuat lagi dengan penyataan kawan saya bahwa sertifikasi terapis ini dikeluarkan oleh lembaga pelatihan, di Indonesia, yang berafiliasi dengan lembaga terkenal di Amerika.

Wah, saya menjadi semakin yakin bahwa masalahnya ada pada kawan saya. Namun dari apa yang diceritakan kawan saya, saya menilai bahwa ia benar-benar ingin berubah. Dan ia dengan sangat serius menjalani proses terapi. Bisa dibilang tanpa ada resistensi sama sekali.

Lalu, mengapa kawan saya ini nggak bisa sembuh setelah melalui 7 sesi terapi?

Karena penasaran saya menanyakan bagaimana proses terapi yang dilakukan oleh di hipnoterapis. Dari apa yang diceritakan kawan saya ini akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Masalahnya justru terletak pada si terapis. Bukan pada kawan saya.

Apa masalahnya?

Ternyata teknik yang digunakan tidak sesuai. Hipnoterapis ini menggunakan satu teknik saja, selama tujuh sesi terapi, untuk menerapi kawan saya. Dengan kata lain, hipnoterapis ini "memaksakan" suatu teknik tanpa melihat hasil atau efek dari teknik tersebut. Istilahnya  therapist centered bukan client centered.

Lalu, salahnya di mana?

Secara prinsip yang dilakukan terapis ini tidak salah. Yang kurang tepat adalah ia tidak menyesuaikan tekniknya dengan kondisi klien.

Secara teknis, dalam hipnoterapi, ada empat teknik dasar terapi:

  • posthypnotic suggestion and imagery atau sugesti pascahipnosis dan imajinasi.
  • discovering the root cause atau menemukan akar masalah
  • release atau melepas emosi negatif yang melekat pada pengalaman traumatik
  • re-learning atau pemahaman baru 

Dari keempat teknik dasar ini yang digunakan oleh si hipnoterapis adalah teknik posthypnotic suggestion.

Bagaimana ia melakukannya?

Klien diminta melakukan relaksasi dan setelah dirasa cukup rileks terapis akan mensugesti klien. Sugestinya berisi pesan-pesan untuk pikiran bawah sadar yang bila pesan ini diterima dan dilaksanakan oleh pikiran bawah sadar maka klien akan mengalami perubahan positif.

Mengapa teknik ini tidak efektif terhadap kawan saya?

Ada beberapa kemungkinan. Pertama, level kedalaman trance yang tidak sesuai. Klien tidak bisa masuk ke kedalaman trance yang diinginkan karena hipnoterapis tidak memperhatikan tipe sugestibilitas klien. Kedua, teknik deepening tidak tepat. Ketiga, sugesti yang diberikan tidak melihat kepribadian klien, apakah bisa diberikan direct suggestion yang bersifat authoritative (paternal) atau passive (maternal/indirect). Keempat, kasus yang dialami klien masuk kategori "berat".

Jika dengan teknik posthypnotic suggestion and imagery tidak berhasil maka seharusnya digunakan teknik berikutnya, discovering the root cause atau menemukan akar masalah yang dilanjutkan dengan teknik release dan re-learning.

Mengapa perlu menemukan akar masalah?

Masalah atau hambatan hidup yang dialami oleh klien, dan ini tampak dalam perilakunya, sebenarnya hanya merupakan simtom. Untuk membereskan simtom maka terapis harus bisa menemukan akar masalah. Nah, untuk bisa menemukan akar masalah harus digunakan teknik terapi yang lebih advaced. Nggak bisa hanya sekedar menggunakan sugesti.

Simtom dapat diibaratkan dengan asap yang tampak keluar dari tumpukan sekam. Bagaimana caranya agar asap bisa hilang permanen? Ya sudah tentu dengan mencari, menemukan, dan memadamkan sumber api yang ada di dalam sekam. Betul nggak?

Seringkali yang terjadi adalah symptom removal. Setelah mendapat sugesti klien "merasa" masalahnya telah selesai. Namun selang beberapa saat masalah yang sama akan muncul lagi atau relapse. Hal ini mengindikasikan bahwa akar masalah yang sesungguhnya belum tertangani.

Yang lebih sulit lagi adalah bila sampai terjadi double symptom. Artinya, simtom yang tampak ternyata merupakan simtom dari suatu simtom dari suatu akar masalah. Nah, kalau sudah begini kondisinya maka teknik sugesti dijamin tidak akan bisa efektif. Saya menyebutnya dengan teknik band-aid therapy karena cara kerjanya seperti kalau kita menutup luka dengan plester (band-aid) tanpa membersihkan bagian dalam luka.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara untuk bisa menemukan akar masalah?

Ini pertanyaan yang membutuhkan jawaban teknis. Caranya bisa macam-macam. Secara prinsip uncovering techniques terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama yang disebut dengan minor uncovering techniques dan major uncovering techniques.

Untuk lebih jelasnya, he.. he…nggak bermaksud promosi ya, anda bisa membaca buku saya Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring. Bisa mengunakan teknik ideomotor response, regression, desensitization, gestalt therapy, relaxation, mimpi, dan masih banyak lagi teknik lainnya yang bisa digunakan sesuai kebutuhan.

Pembaca, selain kasus kawan saya ini, saya juga telah beberapa kali menemukan kasus berbeda namun dengan teknik terapi yang sama, yang dilakukan oleh terapis yang berbeda. Saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan.

Apa itu?

Banyak orang yang mengaku hipnoterapis ternyata hanya menguasai teknik terapi posthypnotic suggestion and imagery. Teknik ini yang digunakan oleh stage hypnotist dalam melakukan pertunjukkan. Mungkin mereka, para hipnoterapis ini, merasa bahwa kalau dengan sugesti saja bisa membuat subjek hipnosis melakukan apa yang disugestikan, misalnya nggak bisa jalan, lupa nama, kehilangan suatu angka, bahkan sampai mengalami halusinasi, maka prinsip yang sama bisa diterapkan untuk menerapi klien yang bermasalah.

Terapi dengan sugesti bukannya tidak ampuh. Saya tidak mengatakan demikian. Teknik ini tetap sangat ampuh namun harus memperhatikan kondisi klien. Kasus ringan misalnya  berhenti merokok, kurang percaya diri, kebiasaan menggigit jari/nail biting, bruxism, meningkatkan prestasi akademik, atau kecemasan ringan bisa sangat terbantu dengan menggunakan sugesti.

Namun kalau untuk kasus berat seperti trauma akibat pelecehan seksual, konflik diri, perasaan dendam, kebencian yang hebat pada seseorang, penolakan diri akibat kehamilan yang tidak diinginkan, proses pendidikan yang salah, atau pengalaman traumatik lainnya yang berisi muatan emosi negatif yang tinggi, maka harus digunakan teknik terapi yang lebih advanced.

Satu hal lagi yang cukup memprihatinkan adalah banyak orang yang hanya dengan membaca buku hipnosis atau hipnoterapi, atau mengikuti kursus hipnoterapi singkat, singkat maksudnya hanya dalam beberapa hari, setelah itu berani praktik, terima klien, dan yang lebih hebat lagi berani buka klinik hipnoterapi.

Pembaca, saran saya, anda perlu hati-hati dan selektif untuk memilih hipnoterapis. Jangan mudah percaya walaupun si hipnoterapis punya embel-embel gelar C.Ht. Gelar bukan jaminan. Apalagi kalau orang yang praktik hipnoterapi tapi nggak punya sertifikasi. Wah, ini bisa lebih gawat.

Mengapa saya perlu menekankan hal ini? Karena yang diotak-atik adalah pikiran. Kalau salah penanganan maka bisa sangat berbahaya.

Sebagai penutup, saya teringat saat diminta fakultas psikologi dari salah satu universitas terkenal di salah satu kota besar untuk menjadi penguji tamu di ujian skripsi. Kebetulan topik yang dipilih mahasiswa adalah aplikasi hipnoterapi untuk menghentikan kebiasaan merokok, mengatasi exam anxiety, dan penerimaan terhadap body image.

Karena mahasiswa tidak bisa melakukan terapinya maka mereka meminta bantuan seorang hipnoterapi, dan sudah tentu yang bersertifikasi, yang dikenalkan oleh dosen pembimbingnya.

Hasil penelitian ketiga mahasiswa ini terhadap efektivitas hipnoterapi dalam mengatasi masalah subjek penelitian ternyata "tidak signifikan". Saya jadi bingung. Lha, kok bisa nggak signifikan?

Ternyata setelah saya baca skrip terapi yang juga disertakan dalam lampiran skripsi akhirnya saya tahu mengapa kok hasilnya nggak signifikan.

Lha, bagaimana mau signifikan kalau ternyata si "hipnoterapis" hanya menggunakan teknik sugesti. Selain itu induksi yang dilakukan juga hanya satu teknik yaitu progressive relaxation tanpa memperhatikan tipe sugestibilitas klien. Pengujian kedalaman trance juga dilakukan dengan pendekatan stage hypnosis.

Bisa anda bayangkan, setiap sesi terapi dilakukan sekitar antara satu setengah hingga dua jam. Satu jam untuk melakukan induksi dan satu jam lagi untuk mensugesti. Lebih hebat lagi, hasil signifikan ini didapat setelah subjek penelitian menjalani 3 sampai 4 sesi terapi yang sama.

Yang lebih mengagetkan saya adalah selang beberapa bulan kemudian, dosen pembimbing ketiga mahasiswa ini, dengan menggunakan kesimpulan dari penelitian mahasiswanya, memutuskan untuk memasukkan hasil penelitian ini ke jurnal psikologi. Dosen ini dengan mantapnya menyimpulkan, "Hipnoterapi tidaklah seefektif yang digembar-gemborkan".

Untungnya hasil penelitian, yang sebenarnya kurang tepat ini, setelah mendapat banyak saran, kritik, dan sanggahan, akhirnya tidak jadi dimasukkan ke jurnal. Salah satunya adalah metode penelitian yang digunakan tidak tepat dan subjek penelitiannya terlalu sedikit.

Nah, pembaca, anda perlu hati-hati. Pastikan anda mendapatkan hipnoterapi dari seorang hipnoterapis dan bukan "hipnoterapis".

Baca Selengkapnya

Hypnotic Reparenting

21 Juli 2010

Saya ingin memulai artikel ini dengan pertanyaan,"Apakah mungkin kita bisa mengubah masa lalu kita?". Nah, pembaca, apa jawaban anda? Saya yakin anda pasti akan menjawab, "Ya…jelas nggak mungkin dong, Pak. Mana bisa kita kembali ke masa lalu dan mengubah alur dan pengalaman hidup kita. Cerita seperti ini hanya ada di film fiksi yang pake terowongan waktu atau time tunnel. Ada-ada saja Pak Adi ini".

Pembaca, saya ulangi ya pertanyaannya, "Misalkan mungkin, apakah anda ingin tahu caranya?"

Nah, penasaran kan?

Memang untuk kembali ke masa lalu seperti cerita yang di film-film itu nggak mungkin kita lakukan. Namun kalau bicara pikiran, memori, emosi, dan dalam konteks terapi maka kita dapat mengotak-atik, memodifikasi, dan kalau perlu mengubah masa lalu kita.

Apakah saya serius dengan pernyataan saya di atas? Kita dapat mengubah masa lalu kita?

Tentu saya serius. Lha, kalo nggak serius kan nggak mungkin saya menulis artikel ini.

Sebenarnya yang kita ubah atau modifikasi adalah memori atau kumpulan memori dan emosi yang melekat pada memori itu. Perubahan ini akan menghasilkan efek yang luar biasa pada perilaku kita.

Sesuai dengan judul artikel di atas, dalam kesempatan ini saya hanya akan mengulas mengenai manfaat hipnosis untuk mengubah pengalaman masa lalu khususnya dalam konteks re-parenting atau pendidikan ulang keluarga.

Apa maksudnya re-parenting atau melakukan pendidikan ulang keluarga? Bukankah pendidikan keluarga ini kita alami hanya sekali, saat kita kecil? Lha kok bisa diulang lagi padahal kita saat ini sudah dewasa?

Pembaca, anda benar sekali dengan pertanyaan dan pernyataan di atas. Benar, parenting atau pendidikan keluarga terjadi hanya satu kali yaitu saat kita masih kecil hingga kita remaja atau dewasa. Namun dengan teknik tertentu, dengan menggunakan bantuan kondisi hipnosis, maka kita dapat melakukan hypnotic reparenting.

Masih bingung?

Intinya begini. Dan ini, sekali lagi, dilakukan hanya dalam konteks terapi. Ada klien dewasa, sebut saja Ani, yang mengalami sangat banyak masalah dalam hidupnya. Masalah yang Ani alami bersumber dari ketidakstabilan emosi, sikap yang negatif, konsep diri yang jelek, dan masih banyak hal lainnya yang negatif. Ternyata setelah dicari akar masalahnya, Ani berasal dari keluarga yang berantakan. Orangtuanya tidak bercerai, namun proses pendidikan keluarga, perlakuan yang ia terima dari orangtua dalam proses tumbuhkembangnya ternyata sangat memprihatinkan.

Ani tumbuh besar dalam lingkungan dan perlakuan yang negatif.  Ani ternyata adalah anak yang tidak diinginkan orangtuanya. Ibunya, saat tahu hamil lagi, mengandung Ani, sebenarnya ingin menggugurkannya. Namun karena agama melarang pengguguran maka dengan terpaksa si Ibu tetap mengandung dan akhirnya melahirkan Ani. Jadi, Ani adalah anak yang tidak diinginkan.

Ani adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Si Ibu selalu membandingan Ani dengan kakak perempuan Ani. Ani selalu diminta mengalah terhadap si kakak dan juga harus menuruti kemauan si adik. Jadi, Ani berada dalam posisi yang selalu tidak menyenangkan. Jika Ani tidak menuruti permintaan saudaranya maka orangtua Ani, khususnya si Ibu, akan marah besar dan mengucapkan kata-kata kasar terhadap Ani. Selain itu Ani masih diberi bonus pukulan dan hukuman.

Bagaimana dengan ayahnya Ani? Sama saja. Ayah Ani tidak memperhatikan keluarga. Prinsipnya, ayah kerjanya cari nafkah dan soal urusan di rumah itu tanggung jawab ibu. Jadi, Ani juga tidak mendapat dukungan kasih sayang dari ayah.

Singkat cerita Ani tumbuh dengan konsep diri negatif, harga diri jelek, merasa tidak berdaya, putus asa, memandang hidup dengan kaca mata suram, tidak bersemangat menjalani hidup.

Lalu, bagaimana caranya untuk membantu Ani? Bagaimana cara untuk melakukan re-parenting?

Pertama Ani harus bersedia berubah. Selanjutnya Ani diminta mencatat proses tumbuhkembang yang ia alami, sebisa yang ia ingat, mulai dari kecil hingga dewasa. Yang terutama dicatat adalah momen-momen istimewa dengan muatan emosi yang tinggi, baik itu emosi negatif maupun yang positif. Selanjutnya Ani diminta memberikan uraian yang lebih detil terhadap setiap peristiwa.

Proses penggalian informasi membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Selain berusaha mengingat sendiri, Ani juga menggali dan melakukan cross check data dengan orangtua, famili, atau siapa saja yang mengetahui kejadian yang dialami dan diingatnya.

Setelah dirasa cukup maka penggalian data dilakukan dengan menggunakan kondisi hipnosis yaitu dengan teknik age regression. Data yang terkumpul melalui teknik age regression selanjutnya dibandingkan dan digabungkan dengan data yang telah Ani kumpulkan sendiri.

Kalau sudah sampai di sini.. trus.. apa yang harus dilakukan?

Jika dirasa sudah cukup maka Ani dan terapisnya menyusun skenario baru yang akan ditanamkan ke dalam pikiran bawah sadar Ani. Skenario ini mengikuti alur sesuai dengan data yang telah berhasil dikumpulkan dan dengan melakukan modifikasi terhadap data-data yang berisi muatan emosi "negatif".

Jika semuanya sudah siap maka hypnotic reparenting atau pendidikan ulang keluarga dalam kondisi hipnosis bisa dilakukan. Ani selanjutnya dibimbing masuk ke kondisi hipnosis yang dalam (deep trance) kemudian diregresi, dibawa mundur, hingga ke masa ia di dalam kandungan ibunya.

Salah satu trauma besar yang ia alami adalah penolakan kehadirannya oleh ibunya. Data "negatif’ ini dimodifikasi sesuai kebutuhan dan Ani mengalami kembali alur yang sama namun dengan cerita dan muatan emosi yang positif.

Proses selanjutnya diteruskan hingga Ani lahir, saat pertama kali dalam pelukan ibu, saat ayahnya menggendongnya, terus maju, saat usia satu bulan, tiga bulan, saat pertama kali bisa mengeluarkan suara, saat bisa membalik badan, tumbuh gigi, belajar jalan, ulang tahun pertama, ulang tahun kedua, masuk sekolah, belajar membaca dan menulis, belajar menyanyi, dan seterusnya sesuai dengan garis waktu dengan menggunakan skenario yang telah disusun sebelumnya. 

Selama proses hypnotic reparenting ini Ani benar-benar dibimbing untuk bisa merasakan emosi-emosi positif, perlakuan positif, dan berbagai pengalaman menyenangkan yang dulunya tidak ia dapatkan saat proses tumbuhkembangnya.

Ani juga dibantu untuk melakukan pemaknaan ulang atas berbagai kejadian "negatif" yang ia alami. Ia memaafkan orang-orang, kejadian, situasi, atau apa saja yang ia rasa pernah mengecewakan dan menyakiti hatinya. Selanjutnya Ani juga diminta untuk bisa menerima dan memaafkan dirinya sendiri.

Anda mungkin akan bertanya, "Lha, Pak, ini kan namanya manipulasi pikiran bawah sadar. Apa efektif dan nggak berbahaya?"

Benar, ini memang manipulasi pikiran bawah sadar. Lebih spesifik lagi ini adalah manipulasi program pikiran dalam bentuk memori dan emosi. Namun dalam konteks terapi cara ini dibenarkan dan sangat efektif.

Hypnotic reparenting bisa dilakukan karena pikiran bawah sadar menyimpan informasi/memori dan emosi. Pikiran bawah sadar cerdas namun bodoh. Pikiran bawah sadar tidak bisa membedakan antara imajinasi dan realita. Nah, kelemahan ini, yang sebenarnya juga merupakan kekuatan pikiran bawah sadar, kita gunakan untuk terapi.

Ada seorang mahasiswa saya yang mengaku sangat takut sama ular. Saat saya tanya bagaimana phobia itu bisa muncul, saya mendapat jawaban yang benar-benar di luar dugaan saya.

Jawabannya begini, "Suatu malam saya tidur dan bermimpi. Dalam mimpi itu saya dikejar-kejar banyak ular dan akhirnya saya tersudut dan dikerumuni sangat banyak ular. Saya takut setengah mati. Tiba-tiba saya tersadar, saya terbangun. Ah.. lega hati saya karena ternyata ini hanya mimpi. Tapi sejak saat itu saya sangat takut sama ular."

Nah, anda bisa bayangkan bagaimana anehnya pikiran kita. Dari mimpipun trauma bisa muncul. Aneh kan? Padahal hanya mimpi lho.

Pembaca, apa yang saya jelaskan di artikel ini tampak sangat sederhana. Benar, sebenarnya prosesnya tidaklah rumit. Namun untuk bisa melakukannya dengan benar dibutuhkan kecakapan dan pengetahuan psikologi, hipnosis, dan hipnoterapi secara mendalam. Karena yang diotak-atik adalah pikiran, lebih spesifik lagi pikiran bawah sadar, maka hypnotic reparenting hanya boleh dilakukan oleh yang benar-benar ahli.

Kembali ke Ani. Bagaimana perkembangan Ani setelah mendapat pendidikan ulang? Apakah ada perubahan? Lebih baik atau lebih parah kondisinya?

Keadaan Ani setelah menjalani terapi sangat positif. Emosinya menjadi lebih stabil. Kebenciannya pada orangtuanya, khususnya ibunya, telah berubah menjadi perasaan cinta yang dilandasi perasaan syukur yang tulus. Ani sekarang mampu menjalani hidup dengan positif dan dengan harapan akan masa depan yang lebih cerah.

Baca Selengkapnya

Lima Jurus Pengendalian Diri

21 Juli 2010

Baru-baru ini saya mendapat email dari seorang pembaca buku, sebut saja Pak Anton, yang menanyakan cara untuk mengendalikan pikiran. Pak Anton merasa selama ini bukannya ia yang mengendalikan pikirannya namun pikirannya lah yang mengendalikan dirinya. Saat ingin berpikir positif.. eh.. yang muncul malah pikiran yang negatif. Di lain kesempatan, menurut Pak Anton, ia sulit mengendalikan dirinya dari dorongan keinginan yang ia tahu tidak seharusnya ia turuti.

Misalnya Pak Anton ini baru makan. Saat ditawari kawannya makan, ia menerima tawaran itu dan ikut makan bersama kawannya. Di lain kesempatan, saat badannya lagi capek, habis bekerja seharian, ia diajak kawannya dugem. Lha, kok ya dituruti ajakan ini. Padahal Pak Anton tahu tubuhnya butuh istirahat. Dan benar, karena kurang istirahat Pak Anton jatuh sakit.

"Bagaimana ya Pak cara untuk bisa mengendalikan diri saya? Saya tahu apa yang harus saya lakukan namun ada bagian lain dari diri saya yang mendorong-dorong saya untuk melakukan hal yang tidak ingin saya lakukan. Seringkali saya merasa ada konflik dalam diri saya dan yang menang adalah bagian yang mendorong saya melakukan hal yang sebenarnya, menurut saya, tidak perlu saya lakukan. Setelah melakukannya saya merasa menyesal, bersalah, dan  jengkel pada diri saya", tanya dan keluh Pak Anton pada saya.

Pembaca, apa yang dialami Pak Anton ini sangat lumrah kita alami. Setiap hari pasti ada konflik kecil dalam diri kita. Bahkan untuk urusan bangun tidur saja kita sudah mengalami konflik diri, ada satu bagian yang berkata, "Hei... sudah pagi nih. Sudah waktunya bangun. Siap-siap ke kantor", dan bagian yang satu lagi berkata, "Nggak perlu bangun sekarang. Lima menit lagi lah. Kan tadi malam kamu tidurnya cukup larut malam. Kalo ditambah lima menit kan nggak apa-apa toh".

Anda pernah mengalami hal seperti ini?

Lima jurus yang saya jelaskan di artikel ini berguna sebagai strategi untuk mengendalikan diri dalam berbagai aspek kehidupan. Jurus ini bisa anda terapkan untuk apa saja, yang berurusan dengan pengendalian diri.

Ok, sekarang mari kita bahas masing-masing jurus. Anda bisa menggunakan setiap jurus ini, secara terpisah, berdiri sendiri saat anda mencoba mengendalikan diri, atau bisa beberapa jurus secara bersamaan.

Jurus pertama adalah mengendalikan diri dengan menggunakan prinsip kemoralan. Setiap agama pasti mengajarkan kemoralan, misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak menipu, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak melakukan tindakan asusila.

Saat ada dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, coba larikan ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama?

Misalnya kita mendapat kesempatan untuk mendapat untung dengan cara yang tidak wajar. Bahasa yang lebih langsung adalah kesempatan untuk korupsi. Saat terjadi konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada prinsip moral di atas. Agama mengajarkan kita untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang bukan milik kita, tanpa seijin pemiliknya. Kalau kita teguh dengan prinsip moral ini maka kita tidak akan mau korupsi. Korupsi itu dosa. Korupsi itu karma buruk. Bisa masuk neraka lho.

Jurus kedua pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesadaran. Kita sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada umumnya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang muncul. Dengan demikian mereka langsung lumpuh dan dikuasai oleh pikiran dan perasaan mereka.

Misalnya seseorang menghina atau menyinggung kita. Kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini muncul. Kita akan tahu saat emosi ini mulai mencengkeram dan menguasai diri kita. Kita tahu saat kita akan melakukan tindakan "bodoh" yang seharusnya tidak kita lakukan.

Saat kita berhasil mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Kalau masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk mengendalikan diri, larikan pikiran kita pada prinsip moral. Biasanya kita akan lebih mampu mengendalikan diri.

Bagaimana jika sudah melakukan jurus satu, prinsip moral, dan jurus dua, kesadaran, ternyata kita tetap sulit mengendalikan diri?

Lakukan jurus ketiga yaitu dengan perenungan. Saat kita sudah benar-benar nggak tahan, mau "meledak" karena dikuasai emosi, saat kita mau marah besar, coba lakukan perenungan. Tanyakan pada diri sendiri pertanyaan, misalnya, berikut ini:

  • Apa sih untungnya saya marah?
  • Apakah benar reaksi saya seperti ini?
  • Mengapa saya marah ya? Apakah alasan saya marah ini sudah benar?
  • Kalau saya marah dan sampai melakukan tindakan yang "bodoh" nanti reputasi saya rusak, kan saya yang rugi sendiri.

Dengan melakukan perenungan kerap kali maka kita akan mampu mengendalikan diri. Prinsip kerjanya sebenarnya sederhana. Saat emosi aktif maka logika kita nggak akan jalan. Demikian pula sebaliknya. Jadi, saat kita melakukan perenungan atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keinginan kita akan menurun.

Jurus keempat pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesabaran. Emosi naik, turun, timbul, tenggelam, datang, dan pergi seperti halnya pikiran. Saat emosi bergejolak sadari bahwa ini hanya sementara. Usahakan tidak larut dalam emosi. Gunakan kesabaran, tunggu sampai emosi ini surut, baru berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab. Oh ya, tahukah anda bahwa kata bertanggung jawab itu dalam bahasa Inggris adalah responsibility, yang bila kita pecah menjadi response-ability atau kemampuan memberikan respon?

Kalau sudah menggunakan kesabaran masih juga belum bisa, bagaimana?

Lakukan jurus kelima yaitu menyibukkan diri dengan pikiran atau aktivitas yang positif. Pikiran hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Ibarat layar bioskop, film yang ditampilkan hanya bisa satu film dalam suatu saat. Nah, film yang muncul di layar pikiran inilah yang mempengaruhi emosi dan persepsi kita. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal yang positif maka film di layar pikiran kita juga berubah. Dengan demikian pengaruh dari keinginan atau suatu emosi akan mereda.

Baca Selengkapnya

Kita Punya Banyak Diri

21 Juli 2010

I am not who I think I am
I am not who you think I am
I am who I think you think I am

Pembaca, pernahkah anda mengalami saat bangun pagi dan masih mengantuk ternyata diri anda "terpecah" menjadi dua bagian. Satu bagian berkata, "Hei… bangun. Sudah pagi. Sudah waktunya bangun dan berangkat kerja". Satu bagian lagi berkata, "Nggak usah bangun dulu ah. Masih enak nih kalo diterusin sedikit. Lima menit lagi...lah."

Atau di lain waktu anda mungkin pernah berada dalam posisi sulit untuk memutuskan sesuatu. Saat anda berpikir keras apa yang harus anda lakukan, eh, ternyata ada beberapa "orang" di dalam diri anda yang saling berdialog, berdebat, bahkan mungkin saling bertengkar. Masing-masing dengan argumentasi sendiri. Masing-masing ingin pendapatnya yang diterima dan dijalankan. Dan anda, karena bingung harus mendengarkan suara yang mana, akhirnya malah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pernah mengalami seperti ini?

Apa yang terjadi? Apakah dalam diri kita ada banyak kepribadian? Apakah kita "kerasukan"? Lha, kok bisa ada "orang lain" yang berdialog dalam pikiran kita?

Pembaca, jangan khawatir. Apa yang terjadi, seperti yang saya jelaskan di atas, adalah hal yang normal. Yang nggak normal adalah kalau kita, yang telah sering mengalami hal seperti ini, tetap nggak sadar dan tidak mencari tahu apa sih sebenarnya yang terjadi.

Sebenarnya ada berapa "diri" dalam diri kita?

Jawabannya bisa macam-macam. Tansactional Analysis (TA) yang berawal dari hasil kerja Paul Federn yang selanjutnya dikembangkan oleh Eric Berne mengatakan dalam diri kita ada lima "diri". Ego State Therapy, yang awalnya dikembangkan oleh John Watkins,  mengatakan tidak ada jumlah yang pasti. Gestalt Therapy, yang dikembangkan oleh Frederick Perls berdasar Psychodrama-nya Jacob Moreno, tidak menetapkan suatu jumlah tertentu. Voice Dialogue dan Psychosynthesis mengatakan kita punya banyak "diri". Carl Jung juga mengatakan hal yang sama, tidak diketahui secara pasti ada berapa banyak "diri" dalam diri kita.

Namun untuk lebih mudah memahami maka saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh Rowan. Menurut Rowan kita punya antara empat sampai sembilan "diri" atau "bagian" yang masing-masing adalah tema besar yang menaungi "sub-diri". Masing-masing "diri" mempunyai kehidupan, fungsi, kepribadian, dan tugas masing-masing. Mereka saling terhubung antara satu dengan yang lain.

Oh ya, perlu saya luruskan terlebih dahulu bahwa yang saya jelaskan di artikel ini bukan kepribadian ganda atau Dissociative Identity Disorder (DID) atau Multiple Personality Disorder (MPD).

Jika kita merasa ada lebih dari sembilan "diri" dalam diri kita maka yang selebihnya itu biasanya merupakan "aspek" lain dari salah satu dari sembilan "diri" kita. Jika kurang dari empat maka yang terjadi adalah kita kurang memperhatikan sehingga tidak mengetahui adanya "diri" lain dalam diri kita.

Siapa saja sembilan "diri" atau "bagian" dalam diri kita?

Ada "diri" yang berperan sebagai Pelindung. Bagian ini melindungi kelemahan kita. Bagian ini yang membuat "diri" lainnya tersembunyi dan tidak tampak. Bagian ini bisa bergabung dengan Pengkritik. 

Ada yang sebagai Pengkritik yang memberitahu kita apa yang salah dan yang benar. Bagian ini sangat suka menggunakan kekuatannya. Ia bisa bergabung atau bekerja sama dengan "diri" yang lain.

Ada yang sebagai Pendorong yang mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang seharusnya kita lakukan, namun kita tunda. Bagian ini kesannya mendukung diri kita karena selalu mengingatkan kita akan hal-hal yang mungkin lupa kita lakukan. Namun dalam kenyataannya "diri" ini juga yang membuat kita selalu merasa kurang melakukan kerja atau usaha walaupun kita telah melakukan sangat banyak tugas dan pekerjaan.

"Diri" Perfeksionis menetapkan standar yang tinggi untuk diri kita. Bagian ini tampak sangat mendukung kita. Namun bila kita tidak hati-hati justru ia yang membuat kita "down" karena kita merasa belum melakukan yang terbaik. "Diri" ini bisa bergabung dan bekerja sama dengan Pengkritik.

"Diri" Pusat Kendali bertugas mengendalikan "diri" yang lainnya. Dalam diri orang tertentu "bagian" ini bisa terlalu mendominasi. Ada juga orang yang "Diri" Pusat Kendali-nya lemah sehingga yang mengendalikan dirinya adalah "Diri" Pengkritik atau "diri" yang lain. "Diri" Pusat Kendali akan sangat membantu kita bila ia dapat berperan secara seimbang dan proporsional.

"Diri" Anak Dalam atau Inner Child bisa muncul dalam beberapa bentuk sifat dan karakter. Selama ini banyak buku atau pembahasan mengenai Inner Child. Namun sayangnya kebanyakan orang menganggap bahwa hanya ada satu macam Inner Child.

Berikut adalah beberapa sub-diri dari Inner Child  :

  • Anak Penurut – anak yang selalu ingin disukai dan akan melakukan apa saja demi mendapat persetujuan dari hampir semua orang. Jika tidak hati-hati maka ia akan menjadi bagian yang mendorong seseorang untuk selalu menjadi "Yes Man" demi menyenangkan orang lain.
  • Anak Bebas – anak yang spontan dan tahu bagaimana bersenang-senang dan menikmati hidup.
  • Profesor Cilik – anak yang selalu menginginkan jawaban untuk segala sesuatu dan membuat kesimpulan tanpa didasarkan pada fakta atau data yang akurat.
  • Anak Dependen – anak yang sangat bergantung pada orang lain.
  • Anak Kritis – anak yang mengkritik apa saja tanpa didasari pengetahuan yang cukup, sering dapat masalah.
  • Anak Pendendam – anak yang tujuan utamanya adalah balas dendam, namun tidak punya banyak ide bagaimana mewujudkan keinginannya ini, dan tidak bersedia mengakui jika ia bermaksud melakukan balas dendam.
  • Anak Pelindung Diri Sendiri – anak yang selalu cari aman atau selamat. Anak ini bisa menggunakan cara yang tidak baik demi mencapai tujuannya. Rasa panik yang tinggi menunjukkan adanya trauma di awal masa kehidupan.

Ada bagian yang beperan sebagai "Diri" Orangtua Yang Peduli atau Sang Bijaksana. Bagian ini bertanggung jawab untuk memberikan dukungan, cinta tanpa syarat, perhatian, pujian, dan penguatan yang bersifat positif. Bagian ini biasanya disebut dengan Guardian Angel atau Protecting Parent. Bagian ini berfungsi melindungi diri kita dan  menginginkan kita bahagia.

Ada lagi "Diri" Pemberontak yang mengurusi kekuasaan, ambisi, dominasi, uang, dan sifat mementingkan diri sendiri. Semua ini tampak seperti "diri" yang terpisah. Namun bila kita amati dengan saksama maka semua "diri" ini mempunyai satu tema sentral yang sama. Seringkali "Diri" Pemberontak menutupi "diri" lain yang lemah.

Yang kesembilan adalah "Diri" Bayangan yang merupakan citra diri negatif kita. Ini adalah "orang" yang kita tidak ingin menjadi.

Setelah membaca sejauh ini anda mungkin bertanya, "Dari mana sumber "diri" yang dijelaskan di atas? Bagaimana proses pembentukan "diri"?"

Ada enam hal yang mempengaruhi pembentukan "diri" dalam diri kita.

Pertama adalah peran yang kita mainkan. Peran, kalau dalam kehidupan sehari-hari, adalah profesi atau pekerjaan kita. Misalnya peran sebagai hakim, guru, pimpinan perusahaan, atau peran yang lain.

Seringkali seseorang begitu larut dalam perannya dan sebagai akibatnya ia tidak bisa memainkan peran lainnya. Misalnya ia adalah seorang wanita yang memimpin suatu perusahaan besar. Nah, sudah tentu perannya di perusahaan berbeda dengan peran di rumah tangga. Jika wanita ini tidak hati-hati maka ia akan menjalankan rumah tangganya seperti perusahaan. Dan sudah tentu ia akan menempatkan suaminya sebagai bawahannya.

Kedua adalah lingkungan. Lingkungan, lebih tepatnya orang-orang di sekitar kita, akan mempengaruhi kita dan bisa membuat kita menjadi baik atau buruk. Semua bergantung pengkondisian yang kita alami sejak kecil.

Contohnya begini. Ada anak yang tadinya periang, ramah, pemberani, dan suka tantangan. Namun karena salah asuh, salah proses pendidikan di rumah atau di sekolah, akhirnya anak ini menjadi tidak percaya diri, pemalu, rendah diri, tidak berani mengambil keputusan, takut berbuat salah, merasa diri bodoh, dan masih banyak atribut negatif lainnya.

Ketiga adalah konflik internal yang kita alami. Konflik internal ini sebenarnya adalah konflik di antara "diri" yang ada dalam diri kita. Bila tidak terjadi resolusi atau kompromi atau penyelesaian maka yang akan muncul adalah "diri" yang lain yang berperan memainkan peran lain. Dengan demikian kepentingan "pihak" yang konflik dapat diredam namun ini sebenarnya tidak menyelesaikan masalah.

Bingung?

Contohnya begini. Misalnya setiap kali anda ingin membuat keputusan penting, anda mengalami konflik diri yang hebat. Akibatnya anda seringkali tidak bisa membuat keputusan. Kalaupun anda akhirnya bisa membuat keputusan, hasilnya seringkali mengecewakan anda. Nah, akhirnya anda tidak lagi mau membuat keputusan karena khawatir kecewa atau gagal seperti pengalaman anda sebelumnya. 

Cara keempat kita bisa membentuk "diri" atau bagian dalam diri kita adalah melalui pengalaman pribadi kita, mulai dari masa kecil.

Pada umumnya kita akan tahu ada dua "bagian" atau "diri" yang saling berkomunikasi. Proses ini kita kenal dengan nama dialog internal. Masalah muncul jika terjadi perbedaan pendapat atau konflik di antara "diri". Konflik internal ini harus segera dibereskan agar kita bisa maju dan berkembang.

Satu hal yang perlu kita sadari adalah bahwa meskipun terjadi konflik dan "ribut" di antara "diri" yang berselisih pendapat namun tujuan tertinggi dari setiap "diri" itu adalah selalu baik untuk kita.

Bagaimana caranya menyelesaikan perbedaan pendapat atau konflik di antara "diri"?

Ada banyak teknik yang bisa digunakan. Salah satunya dengan menggunakan Six Step Reframing dalam NLP. Salah duanya adalah dengan menggunakan Parts Therapy dalam hipnoterapi. Untuk lebih jelas mengenai teknik Parts Therapy anda bisa membacanya di buku Hypnotherapy : The Art of Subconscious Restructuring. Ada lagi dengan Ego State Therapy. Selain itu bisa dengan terapi kursi atau Gestalt Therapy.

Namun secara prinsip proses menyelesaikan konflik di antara "diri" terdiri dari lima langkah. Langkah pertama adalah mengenali keberadaan "diri". Setelah itu menerima keberadaan, sikap, karakter, atau kepribadian dari "diri". Langkah ketiga adalah koordinasi. Pada tahap ini kita mencari tahu hubungan antara masing-masing "diri" yang konflik. Langkah keempat adalah integrasi. Pada tahap ini kita membantu "diri" yang konflik untuk bisa menemukan resolusi, atau paling tidak melakukan kompromi, sehingga mereka dapat bekerja sama dengan baik. Dan langkah terakhir adalah sintesis yang merupakan proses harmonisasi menuju penemuan Diri Transpersonal. Pada tahap ini kita menyadari siapa diri kita yang sesungguhnya.

Satu hal yang perlu diwaspadai saat kita berusaha mendamaikan dua bagian atau "diri" yaitu kita hanya berperan sebagai mediator. Jika konflik ringan terjadi dalam diri kita maka kita dapat melakukan mediasinya sendiri. Bila konfliknya cukup berat maka perlu meminta bantuan orang lain sebagai operator.

Apakah penting untuk menyelesaikan konflik di antara "diri" dalam diri kita?

Oh, sangat penting. Baru-baru ini, saat membantu peserta Supercamp Becoming a Money Magnet meng-instal program pikiran mengenai masa depan, ada seorang peserta mengalami konflik diri yang cukup hebat.

Ceritanya begini. Peserta ini ingin sukses di masa depan. Ia dibimbing untuk meng-instal program sukses di pikiran bawah sadarnya. Pada tahap awal semuanya berjalan mulus. Namun saat ia menginstal program untuk mendukung keberhasilan yang besar dalam hidupnya, nah, saat ini muncul penolakan dari "diri" yang lain.

Satu "diri" ingin peserta ini sukses. Sedangkan ada satu "diri" lainnya menolak. Terjadi dialog internal yang intens. Bagian yang menolak berkata, "Hei.. saya tidak mau anda kerja keras seperti itu. Saya khawatir anda sakit. Saya adalah bagian yang mengurusi kesehatan anda. Kalau anda tetap memaksa mau mencapai hasil seperti yang anda inginkan, dan saya tahu itu butuh perjuangan yang tidak sedikit, kerja keras, ditambah lagi usia anda yang sudah agak tua, maka saya akan menghambat dan membuat anda tidak bisa bekerja".

Apa yang terjadi setelah ini?

Ternyata peserta ini mengabaikan pesan dari "diri" yang menolak. Ia tetap berusaha menginstal program pikiran yang mendukung ia mencapai sukses besar.

Akibatnya?

Secara tiba-tiba peserta ini merasakan pinggang sebelah kiri sangat sakit. Semakin ia memaksa menginstal program maka sakitnya semakin menjadi-jadi. Akhirnya ia memutuskan menunda menginstal programnya. Begitu ia berhenti menginstal program maka berhenti pula rasa sakit di pinggang sebelah kirinya. Rasa sakit ini adalah manifestasi dalam bentuk realita fisik dari penolakan yang dilakukan "diri" yang tidak setuju dengan keinginan peserta ini.

Nah, bagaimana cara mengatasi penolakan atau sabotase ini?

Kita perlu mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh "diri" yang menolak. Lakukan dialog dengan tenang dan netral. Tidak boleh memihak atau menghakimi. Dapatkan resolusi. Atau paling tidak, ciptakan kompromi sehingga bagian atau "diri" yang menolak bisa memaklumi atau menerima serta tidak melakukan sabotase. Syukur-syukur ia bersedia mendukung kita untuk sukses.

Ada peserta yang bertanya pada saya, "Apa boleh kita membekukan atau men-deactivate atau menon-aktifkan bagian yang "nakal", bagian yang menghambat kemajuan kita?

Tidak boleh. Jangan sekali-kali melakukan hal ini karena akan sangat berbahaya. Apapun yang diinginkan oleh "diri" yang menghambat kita, ini semua demi kebaikan kita. Dan kita tidak tahu apa peran lainnya dari "diri" yang menghambat kita.

Maksudnya begini. Ada kasus di mana ada satu "diri" atau bagian dari klien yang tidak mau diajak berunding untuk menyelesaikan masalah. Karena jengkel si terapis, yang kurang paham dengan teknik parts therapy atau terapi bagian atau "diri" dalam diri seseorang, akhirnya mengambil langkah mudah, jalan pintas, yaitu membekukan atau menonaktifkan bagian ini.

Apakah masalah terselesaikan?

Sekilas pandang, ya. Namun ternyata bagian yang dibekukan ini juga adalah bagian atau "diri" yang menangani rasa percaya diri, kemampuan berpikir kritis, dan membuat keputusan dengan cepat, dan efektif.

Akibatnya?

Klien ini akhirnya menjadi bingung dan tidak bisa beroperasi secara normal sebagai seorang manusia. Ia merasa ada bagian dari pikirannya yang lumpuh. Ia menjadi bingung, rasa percaya dirinya drop, dan tidak bisa membuat keputusan.

Dibutuhkan bantuan terapis lainnya yang benar-benar handal dan mengerti mengenai seluk beluk dan cara kerja "diri" atau bagian untuk bisa membantu klien ini. Prosesnya tidak mudah karena "diri" ini terlanjur marah, ngambek, dan tidak mau berkomunikasi karena telah dibekukan oleh terapis sebelumnya.

Setelah terjadi resolusi, klien ini bisa berubah dan semakin berkembang hidupnya karena konflik "diri" yang ia alami sebelumnya dapat diselesaikan dengan baik.

Nah, pembaca mulai sekarang, saran saya, perhatikanlah internal dialog yang terjadi dalam diri anda di antara "diri" dalam diri anda.

Baca Selengkapnya

Hypnotherapy and Past Life Regression

21 Juli 2010

Seorang kawan bertanya kepada saya, "Pak, apakah past life itu benar-benar ada?"

Wah, ini pertanyaan yang saya harus hati-hati dalam menjawab. "Mengapa Bapak bertanya mengenai hal ini?", saya balik bertanya.

"Saya baru selesai membaca tiga buku yang bercerita mengenai past life. Judul buku itu Journey of Souls karangan Michael Newton, Many Lives Many Masters karangan Brian Weiss, dan satu lagi yang ditulis orang Indonesia, Nathalia Sunaidi, yang berjudul Journey to My Past Lives. Menurut buku-buku itu, dengan menggunakan teknik hipnoterapi tertentu, kita bisa mengakses informasi mengenai kehidupan masa lalu kita. Nah, karena Bapak adalah seorang hipnoterapis, saya ingin tahu mengenai hal ini dari seorang yang memang pakarnya. Biar nggak salah informasi. Bapak sudah baca buku-buku itu?" jawab kawan saya dan balik bertanya.

"Sudah. Dan masih ada beberapa buku lain lagi yang berbicara mengenai topik yang sama, past life. NGH (National Guild of Hypnotists) di Amerika,  juga pernah mengeluarkan publikasi mengenai topik ini.", jawab saya.

Pembaca, mengapa saya saya harus hati-hati dalam menjawab pertanyaan kawan saya mengenai past life?

Sebagai seorang hipnoterapis, untuk bisa membantu klien dengan efektif,  saya harus mempelajari berbagai teknik terapi. Salah satunya adalah past life regression (PLR). Namun, saya tidak dalam kapasitas, bila ditanya oleh klien, untuk menjawab apakah past life itu ada atau tidak.

Mengapa saya harus mengambil sikap seperti ini?

Sebagai terapis saya harus bersikap netral. Saya tidak boleh mempengaruhi klien mengikuti belief system saya, baik itu apakah saya percaya atau tidak mengenai adanya past life. Pendekatan saya dalam melakukan terapi bersifat client centered dan evidence based. Bukan therapist centered.  Bila anda ingin lebih jelas mengenai PLR anda bisa membaca buku saya Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring.

Terlepas dari apakah past life itu ada atau tidak, bergantung pada belief system seseorang, namun apabila teknik ini bisa menyembuhkan masalah emosi atau mental seseorang maka kita sebagai terapis akan menggunakan belief ini. Teknik ini namanya teknik utilisasi. Jadi kita menggunakan apapun yang dibawa oleh klien untuk bisa membantu klien keluar dari masalahnya. Jika misalnya klien percaya bahwa ia bisa sembuh bila berbicara pada sebuah batu berbentuk segi lima dan berwarna hitam maka saya akan menggunakan belief ini untuk membantunya.

Demikian juga bagi klien yang percaya mengenai past life maka saya akan mengikuti belief-nya. Bila ia tidak percaya past life namun "seakan-akan" mengalami suatu kejadian dengan setting dari "kehidupan masa lalu" maka saya akan mengatakan bahwa ini semua adalah gambaran mental yang dimunculkan oleh pikiran bawah sadar dalam upaya membantu dirinya.

Nah, kembali pada past life, saat ini ada banyak pihak/lembaga yang menawarkan PLR. Penawaran ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat karena didorong oleh keingintahuan dan rasa penasaran yang tinggi.

 Pembaca, sekali lagi, terlepas dari belief  kita masing-masing mengenai past life, dalam artikel ini saya tidak dalam kapasitas membenarkan atau membantah keberadaan past life. Saya hanya menguraikan salah satu teknik terapi, yang sangat lazim dipraktikkan di dalam hipnoterapi, yaitu teknik terapi dengan PLR.

Apakah mudah melakukan PLR? Jawaban sejujurnya, "Bergantung".

Bergantung pada apa?  Bergantung pada kesediaan dan kesiapan klien dan kecakapan hipnoterapis.

Setiap hipnoterapis yang mampu melakukan age regression akan dapat dengan mudah melakukan PLR. Secara prinsip, age regression dan PLR sama caranya. Hanya saja untuk age regression kita, terapis, membawa klien mundur ke masa lalu mereka dalam masa kehidupan ini. Sedangkan dalam PLR kita membawa klien mundur ke kehidupan lampau mereka. Baik age regression atau PLR bertujuan untuk menemukan akar masalah dan melakukan terapi di setting masa itu.

Bila kita asumsikan klien telah siap dan bersedia melakukan dan mengalami PLR maka keberhasilan PLR selanjutnya sepenuhnya bergantung kecakapan si hipnoterapis.

Si hipnoterapis perlu mengenal tipe sugestibilitas klien agar dapat menggunakan teknik induksi yang sesuai sehingga dapat membawa klien masuk ke kedalaman trance yang sesuai untuk teknik PLR. Minimal medium trance dan akan sangat baik bila klien bisa masuk ke kondisi deep trance atau somnambulisme.

Mengapa klien perlu dibawa sampai ke deep trance?

Ini bertujuan agar pikiran sadar klien sudah benar-benar "off" sehingga tidak akan mengganggu proses PLR dengan memunculkan berbagai gambaran mental atau imajinasi yang keliru.

Selain itu, satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah hipnoterapis tidak boleh, saya ulangi tidak boleh, melakukan leading saat melakukan PLR. Yang hanya boleh dilakukan adalah guiding. Leading sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan false memory pada klien. Prinsip yang sama juga berlaku dalam melakukan age regression.

Yang dimaksudkan dengan leading adalah hipnoterapis, baik disengaja atau tidak, mengarahkan pikiran kliennya dengan sugesti tertentu. Misalnya dengan pernyataan, "Apakah anda melihat .......(sesuatu)?", atau "Apakah anda mendengar.........(sesuatu)?", "Apakah anda berada di istana di jaman kerajaan XYZ ?".

Saat dalam kondisi deep trance pikiran klien sangat reseptif. Apapun yang hipnoterapis katakan pada klien langsung diterima oleh pikiran bawah sadar klien, tanpa dianalisis sama sekali, dan akan muncul gambaran mental yang sejalan dengan sugesti yang diberikan. Sugesti yang diwujudkan dalam bentuk gambaran mental ini akan diterima menjadi suatu "realita" dan terekam sempurna dalam bentuk memori di pikiran klien.

Dalam guiding hipnoterapis hanya mengajukan pertanyaan yang bersifat netral, tidak mengarahkan pikiran klien. Dalam hal ini klien yang berperan aktif dalam menceritakan apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Hipnoterapis hanya memancing dengan kalimat, misalnya, "Terus... apa lagi yang anda lihat/dengar/rasakan?".

Oh ya, bisa jadi saat melakukan age regression untuk membantu klien menemukan akar masalah, tanpa direncanakan sama sekali, ternyata klien malah mengalami PLR spontan. Klien mundur ke kehidupan masa lalu dan menemukan akar masalah mereka di kehidupan lampau mereka. Hipnoterapis yang tidak siap dengan kondisi ini biasanya akan panik dan akan langsung menghentikan proses terapi. Sudah tentu kondisi ini tidak baik untuk klien.

Ada satu contoh menarik mengenai hal ini. Seorang wanita, sebut saja Sandra, penderita kegemukan/obesitas mengalami kesulitan untuk diet. Segala cara telah dicoba untuk menurunkan berat badannya. Namun tetap tidak bisa berhasil.  Sandra bahkan sudah meminta bantuan hipnoterapis untuk membantu dirinya agar bisa disiplin menjalankan program diet. Hasilnya? Tetap nggak bisa. Setiap kali Sandra melihat makanan akan langsung timbul keinginan kuat untuk makan. Sandra tidak bisa menahan nafsu makannya. Jadi, setiap kali lihat makanan maka Sandra pasti memakan makanan itu.

Hipnoterapis selanjutnya berusaha mencari akar masalah yang membuat Sandra tidak bisa menahan nafsu makan dengan menggunakan teknik age regression. Ternyata dengan teknik ini hipnoterapis tidak berhasil menemukan akar masalah Sandra di kehidupannya saat ini. 

Selanjutnya hipnoterapis meneruskan penggalian akar masalah ke kehidupan masa lalu Sandra dengan menggunakan teknik PLR. Ternyata di satu kehidupan lampau, tepat sebelum kehidupannya yang sekarang, Sandra meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Ia, yang saat itu masih berusia sekitar 6 tahun, meninggal dalam kondisi kelaparan.

Ternyata memori ini terekam dengan sangat kuat di pikiran bawah sadar Sandra. Itulah sebabnya setiap kali ia, di kehidupannya yang sekarang, melihat makanan maka timbul dorongan yang sangat kuat untuk makan agar bisa "tetap hidup".

Setelah akar masalahnya berhasil dibereskan oleh hipnoterapis dorongan makan yang berlebihan itu langsung hilang. Dan Sandra bisa dengan mudah menjalankan program diet dan berhasil menurunkan berat badannya.

Ini adalah salah satu manfaat PLR untuk membantu klien keluar dari masalah mereka. Selain manfaat seperti yang saya ceritakan di atas anda mungkin bertanya, "Apakah PLR ada efek samping? Berbahaya nggak sih kalau melakukan PLR?".

Jawaban jujur, jika PLR dilakukan oleh hipnoterapis yang cakap maka sama sekali tidak ada efek samping atau bahayanya. Namun jika PLR dilakukan oleh hipnoterapis yang tidak cakap, atau sengaja melakukan leading, atau dilakukan sendiri maka bisa timbul efek negatif yang cukup berbahaya.

PLR sendiri sebenarnya tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah apabila klien, baik mengalami PLR dengan bantuan hipnoterapis atau dengan melakukannya sendiri, mengalami false memory atau abreaction yang tidak terkendali.

False memory, seperti yang telah saya jelaskan sekilas di atas, sangat berbahaya karena klien akan menerima sugesti, baik yang disengaja atau tidak disengaja untuk menimbulkan gambaran mental tertentu, sebagai suatu kebenaran. False memory selanjutnya, setelah terintegrasi ke dalam memori klien, akan menjadi "realita" yang mempengaruhi hidup klien.

Saya teringat beberapa tahun yang lalu saat mengikuti lokakarya yang diadakan oleh salah satu lembaga yang mengajarkan Reiki. Lokakarya diadakan di daerah Prambanan, Jogja, dan dihadiri oleh banyak peserta dari berbagai kota di Indonesia.

Guru besar lembaga itu mengklaim bahwa ia dapat membantu meningkatkan level spiritual (ascension) seseorang sehingga orang itu akan dapat menyatu dengan Tuhan. Salah satu teknik yang digunakan adalah teknik untuk mengetahui jati diri (higher self) masing-masing peserta.

Tertarik dengan tawaran seperti itu dan didorong rasa penasaran dan ingin tahu teknik spiritual apa yang diajarkan di lokakarya itu saya akhirnya memutuskan untuk hadir. Ternyata yang digunakan adalah teknik age regression yang dilanjutkan dengan PLR.

Yang sangat berbahaya adalah ternyata guru besar lembaga itu menggunakan leading dan mengarahkan pikiran peserta untuk melihat guru besar itu sebagai wakil atau tangan kanan Tuhan yang ditugaskan datang ke dunia untuk membantu umat manusia.

Beberapa peserta ada yang berhasil "mengetahui" kehidupan masa lalu dan bahkan kehidupan masa depan mereka. Seorang kawan saya sempat stress karena "mengetahui" bahwa dulunya ia adalah seorang raja. Namun hidupnya saat ini serba kekurangan.

Bahkan, yang lebih parah lagi, ada peserta, ini kawan dekat saya,  yang "mengetahui" bahwa ia dulunya adalah Ganesha. Ck..ck..ck...betapa berbahayanya situasi ini. Kawan saya ini sempat stress berat. Dan untuk menghibur dirinya sambil bercanda saya berkata, "Kayaknya benar deh kamu dulunya Ganesha. Soalnya kamu ini kulitnya agak hitam dan memang tampangmu ada miripnya dengan  gajah."

Rata-rata peserta "mengetahui" bahwa mereka ini dulunya adalah murid dari guru besar ini di kehidupan lampau. Jadi, sekarang mereka bertemu lagi untuk meneruskan pelajaran yang belum selesai. Dan benar, para peserta itu menjadi pengikut setia guru besar ini, hingga saat ini.

Setelah acara selesai banyak peserta yang masih penasaran dan ingin mengalami lagi PLR. Lalu lembaga ini mengadakan sesi khusus di Surabaya dan menawarkan kesempatan bagi orang, yang tentunya diharuskan membayar sejumlah uang, untuk bisa diregresi ke kehidupan masa lalu mereka.

Apa yang terjadi saat PLR di Surabaya sungguh luar biasa.

Apanya yang luar biasa?

Anda tidak akan percaya bila saya ceritakan ada peserta yang saat diregresi mengaku bahwa dulunya ia adalah Spiderman. Wah... wah... sungguh dahsyat, kan? 

Siapa yang melakukan PLR ini? Ya, murid-murid utama guru besar itu yang sekaligus merupakan pengurus lembaga ini di Surabaya.

Apakah mereka mempunyai latar belakang sebagai seorang hipnoterapis? Apakah mereka mendalami mengenai cara kerja pikiran, teknik induksi, pikiran sadar dan bawah sadar, teknik age regression, atau PLR?

Jawabannya sama sekali tidak. Mereka kebetulan adalah para murid mendapat predikat sebagai Reiki Master.  

Bahaya yang kedua adalah Abreaction yaitu ledakan emosi saat seorang klien "mengalami" kembali pengalaman traumatik yang dulu pernah mereka alami. Istilah teknisnya revivification.

Saat mengalami revivification klien benar-benar menjalani kembali semua pengalaman traumatik itu. Bila abreaction ini tidak tertangani dengan baik maka akan dapat mengakibatkan gangguan mental emosional dalam diri klien.

Seorang kawan baru-baru ini mencoba melakukan PLR sendiri. Secara tiba-tiba ia mengalami kembali berbagai pengalaman traumatik. Dan karena tidak tahan dengan guncangan emosi akibat pengalaman itu ia memutuskan untuk segera keluar dari kondisi hipnosis.

Apakah ceritanya hanya berakhir sampai di sini?

Tidak. Ternyata sejak saat itu ia mengalami ketidakstabilan emosi yang cukup mengganggu hidupnya. Ia telah berusaha menerapi dirinya sendiri dengan beberapa teknik terapi plus doa. Hasilnya tetap tidak bisa maksimal.

Kawan saya ini akhirnya minta tolong saya untuk membantu mengatasi masalahnya. Ia merasa ada blocking energi di daerah tenggorokannya. Rasanya seperti orang yang sakit gondok. Kejadian ini mengingatkan saya pada seorang klien wanita yang juga mengalami hal yang sama. Ia merasakan blocking energi yang sangat besar, di daerah tenggorokan, karena ada bagian (part) dari dirinya yang tidak bisa memaafkan dirinya atas apa yang telah ia lakukan.

Nah, sampai di sini saya yakin pasti muncul pertanyaan di pikiran anda, "Pak Adi, apakah anda pernah atau bisa melakukan PLR? Apakah Pak Adi bisa melakukan terapi dengan PLR?"

He..he...penasaran ya?

Jawabannya ada di buku saya yang berjudul Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring.

Baca Selengkapnya

Hipnoterapi Bukan Pil Ajaib

21 Juli 2010

Sejak buku saya yang ke delapan, Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring, beredar dan kini telah menjadi national best seller saya mendapat sangat banyak sms, telpon, maupun email dari pembaca. Ada yang mengucapkan selamat atas terbitnya buku, yang menurut mereka sangat informatif, mudah dicerna, dan diaplikasikan. Ada juga yang bertanya hal-hal yang masih kurang mereka mengerti. Ada juga yang minta waktu bertemu untuk konsultasi dan terapi.

Dari sekian banyak klien yang pernah saya tangani ternyata banyak yang mempunyai persepsi, ekspektasi, dan pemahaman yang kurang pas mengenai hipnosis dan hipnoterapi. Banyak klien yang bertanya,"Pak, apakah dalam satu sesi masalah saya bisa terselesaikan?", "Pak, bisa tolong anak saya dihipnosis atau dihipnoterapi supaya mau mengikuti saran saya?", "Pak, suami saya selingkuh. Bisa terapi supaya dia lupa sama WIL-nya?", "Pak, usaha saya sepi. Bisa bapak ajarkan cara menghipnosis pembeli supaya setiap kali saya menawarkan produk mereka langsung beli?". Dan yang lebih heboh lagi ada yang pernah bertanya, "Pak, tolong ajarkan teknik hipnosis supaya orang yang memberikan utang pada saya bisa dihipnosis sehingga menjadi baik hati dan tidak tega atau sungkan menagih hutangnya".

Anda mungkin bisa tersenyum saat membaca berbagai pertanyaan di atas. Namun begitulah yang saya alami. Saya sendiri seringkali hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Dari berbagai pengalaman itulah saya akhirnya memutuskan menulis artikel ini untuk "meluruskan" pandangan keliru mengenai hipnoterapi.

Apakah hipnoterapi sangat efektif untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah klien, khususnya yang berhubungan dengan mental/emosi? Jawabannya sudah tentu,"Ya".

Apakah semua masalah bisa langsung diselesaikan dengan hipnoterapi? May be yes...may be no.

Hipnoterapi walaupun sangat efektif, karena bisa langsung mengakses pikiran bawah sadar, tetap membutuhkan pengetahuan pendukung agar terapi bisa dilakukan dengan hasil optimal dengan sesedikit mungkin sesi terapi. Memang, selama ini dari pengalaman saya pribadi, saya mampu membantu klien menyelesaikan masalah mereka hanya dengan satu sesi terapi saja. Namun seringkali saya juga membutuhkan beberapa sesi. Bahkan ada yang sampai beberapa bulan. Rentang waktu untuk tiap sesi biasanya satu minggu.

Ini saya beri contoh beberapa kasus.

Seorang Ibu, sebut saja Bu Aan, menghubungi saya dan mengeluh mengenai anaknya, Ayuk, yang saat itu duduk di kelas 6 SD. Apa masalahnya Ayuk? Menurut Bu Aan si Ayuk ini malas, tidak disiplin, tidak punya tanggung jawab, tidak punya motivasi belajar, tidak mandiri, tidak percaya diri, boros, dan masih banyak lagi masalah lainnya.

Setelah memberikan banyak "masukan" Bu Aan ingin membuat janji segera bertemu dengan saya. Semakin cepat semakin baik. Saat saya tanyakan apa yang ia inginkan, Bu Aan dengan cepat dan mantap menjawab, "Pak Adi, saya tahu Bapak seorang terapis. Saya sudah membaca beberapa buku Bapak. Saya juga telah mengikuti beberapa seminar Bapak. Nah, saya ingin Pak Adi menerapi anak saya, pake hipnosis, biar anak saya bisa langsung berubah. Nggak seperti sekarang ini, bikin saya stress."

"Bu, apapun yang terjadi pada anak kita, ini merupakan hasil pendidikan yang kita lakukan. Baik itu pendidikan di rumah maupun di sekolah. Untuk bisa membantu anak berubah maka yang pertama kali harus berubah adalah orangtuanya. Dalam hal ini ayah dan ibunya. Mengapa begitu? Ya, karena orangtualah yang sebenarnya menjadi sebab utama masalah yang ada dalam diri anak. Orangtua dan lingkungan telah memprogram pikiran bawah sadar anak sehingga anak menjadi seperti sekarang ini. Saya hanya bisa membantu menerapi dengan satu syarat. Saya ingin kerjasama penuh dari orangtua. Kerjasama ini dalam bentuk kesediaan orangtua untuk berubah demi membantu keberhasilan terapi si anak. Terapi pada anak akan sia-sia jika lingkungan tidak berubah. Mengapa demikian? Karena anak adalah hasil pembentukan orangtua dan lingkungan. Nah, pertanyaan saya sekarang adalah apakah Ibu dan Bapak, selaku orangtua Ayuk, bersedia memberikan dukungan ini? Saya hanya bersedia menerapi Ayuk jika orangtuanya juga bersedia berubah", jelas saya panjang lebar.

Saya bisa merasakan Bu Aan agak kaget saat saya meminta kerjasama orangtua. Sempat terjadi kesenyapan sesaat sebelum Bu Aan kembali berbicara, "Pak Adi, apa bisa kalau Bapak langsung saja menerapi Ayuk. Masalahnya kan ada dalam diri Ayuk".

Pembaca, inilah tipikal orangtua yang mau menangnya sendiri. Orangtua seperti ini sama sekali tidak bersedia mengakui bahwa mereka turut andil dalam masalah yang ada di dalam diri anak mereka.

Saat Bu Aan tidak bersedia memberikan komitmen untuk turut serta dalam membantu proses terapi Ayuk maka saya juga tidak bersedia memberikan waktu saya.

Pengalaman saya membuktikan bahwa seringkali orangtualah yang menjadi sebab utama  penyimpangan perilaku anak. Ada orangtua yang mempunyai tuntutan yang tidak realistis terhadap anak. Mereka ingin anak mereka sempurna mengikuti standar mereka. Anak yang tidak mampu mengikuti kemauan orangtua akhirnya menjadi tertekan. Dari sini muncul banyak masalah yang berkaitan dengan emosi dan perilaku. Apalagi bila orangtua sering memarahi dan menekan anak, sadar atau tidak sadar, secara psikis.

Pembaca, saya bahkan seringkali tidak perlu menerapi si anak. Yang saya bantu (baca: terapi) berubah adalah orangtuanya. Begitu orangtuanya berubah maka efeknya langsung terlihat dalam diri si anak. Anaknya juga berubah.

Ada lagi seorang ibu, sebut saja Bu Fani, yang mengeluh motivasi belajar anaknya, Andi, yang saat ini duduk di kelas 3 SD, di salah satu sekolah di pusat kota Surabaya, turun drastis. Dulu sewaktu mulai kelas 1 SD sampai kelas 2 SD semuanya ok..ok.. saja. Nggak ada masalah. Semangat belajar anaknya sangat tinggi, percaya diri, dan senang sekolah. Namun semuanya berubah saat anaknya naik kelas 3 SD.

Dari hasil berbincang dengan Bu Fani saya tahu bahwa ia dan suaminya sangat supportif dan peduli dengan anaknya. Karena orangtuanya tidak ada masalah maka saya minta bertemu dengan anaknya. Ternyata setelah saya selidiki lebih dalam didapatkan fakta bahwa yang menjadi sumber masalah adalah guru dan kepala sekolahnya. 

Apa yang terjadi pada Andi? Ternyata Andi mengalami intimidasi dan tekanan psikis yang luar biasa. Andi berubah total. Dari seorang anak yang sangat percaya diri, cerdas, pemberani, ramah, dan suka bergaul, Andi berubah menjadi anak yang minder, tidak percaya diri, takut berinteraksi, benci guru, benci kepala sekolah, dan tidak mau masuk sekolah sama sekali. Tekanan psikis dan perlakuan guru dan kepala sekolah di sekolah terhadap Andi sangatlah tidak manusiawi dan sangat layak bila dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak.

Pembaca, yang membuat saya tidak habis pikir adalah ternyata sekolah itu sama sekali tidak menghargai kelebihan Andi, yang ternyata IQ-nya 144 pada skala Weschler. Saya sungguh sedih dan kecewa pada sekolah ini. Bagaimana mungkin seorang anak jenius seperti Andi sampai mendapat perlakuan yang sungguh tidak manusiawi? Andi telah berjuang keras membawa nama baik sekolah dalam kompetisi olimpiade sains dan telah masuk final.

Nah, kalau akar masalahnya  ada pada guru atau lingkungan sekolah maka hipnoterapi tidak akan bisa menyelesaikan masalahnya. Mengapa? Karena saya tidak bisa menerapi guru dan kepala sekolahnya. Hipnoterapi bisa digunakan untuk membantu mengatasi emosi negatif atau trauma yang dialami Andi. Namun apabila lingkungan yang menjadi penyebab trauma tidak ikut dimodifikasi, tidak berubah, maka cepat atau lambat Andi akan kembali mengalami trauma. Bisa jadi trauma kambuhan ini akan lebih berat dari sebelumnya.

Lalu bagaimana saya membantu menyelesaikan masalah Andi? Oh, mudah sekali. Saya meminta orangtua Andi untuk memindahkan anak mereka ke sekolah lain yang lebih baik. Inilah satu-satunya cara yang bisa saya lakukan untuk melakukan modifikasi lingkungan. Sudah tentu si Andi juga diterapi agar trauma atau luka batinnya bisa disembuhkan.

Hasilnya? Sungguh luar biasa. Dalam waktu singkat, tidak sampai satu minggu sejak pindah sekolah,  Andi telah pulih kondisi mental dan emosinya. Walaupun belum seratus persen namun keadaannya sudah sangat-sangat baik.

Kasus lain?

Seorang Ibu menghubungi saya berkeluh kesah mengenai suaminya yang ternyata kini ada "main mata" dengan wanita lain. Ibu ini ingin saya untuk menghipnosis suaminya agar melupakan WIL-nya dan kembali setia padanya.

Wah, ini bukan kasus ringan. Peran saya tidak sekedar sebagai seorang hipnoterapis namun juga sebagai Family Therapist.

Apakah hipnoterapi bisa membantu menyelesaikan masalah ini? Bisa. Namun akar masalahnya tidaklah sesederhana yang diperkirakan. Ada sangat banyak faktor yang bermain. Kemungkinannya antara lain masalah komunikasi, kurangnya perhatian, kurangnya waktu bersama karena sama-sama sibuk, tuntutan ekonomi yang terlalu tinggi, istri yang dirasa kurang menghargai suami, masalah sex, atau mungkin juga pada dasarnya si suami memang tipe pria mata keranjang.

Untuk menyelesaikan masalah ini dibutuhkan komitmen dari istri maupun suami. Mereka harus sepakat, antara lain, untuk sama-sama belajar, berubah, meningkatkan diri, saling memaafkan kekurangan dan kekhilafan, dan menyusun rencana baru mengenai arah hidup mereka.

Satu kasus lagi sebagai penutup artikel ini adalah mengenai seorang pria, Pak Tri, yang merasa sangat sulit untuk maju di bisnis atau karirnya. Segala cara sudah dilakukan namun tetap saja ia mengalami berbagai hambatan. Lalu apa akar masalahnya?

Ternyata ada beberapa mental block yang sangat besar yang menghambat kinerjanya. Apakah setelah mental block ini berhasil diatasi maka ia langsung bisa sukses? Belum tentu. Mental block bisa dengan sangat cepat diatasi dengan hipnoterapi. Namun ada hal lain lagi yang membutuhkan penanganan khusus dan segera. Apa itu?

Ternyata hubungan Pak Tri dengan istrinya tidak baik. Semua ini terjadi karena ia jarang bersedia mendengarkan saran istrinya. Setelah bertahun-tahun hidup dalam keadaan seperti ini akhirnya si istri memilih bersikap apatis dan tidak lagi menunjukkan gairah hidup dalam bentuk dukungan penuh pada suaminya.

Nah, yang saya minta ia lakukan adalah, setelah selesai diterapi, setelah mental blocknya dibereskan, ia harus minta maaf pada istri untuk segala kesalahan yang telah ia lakukan terhadap istrinya. Selain itu ia perlu meminta dukungan istrinya dan berjanji akan memulai satu hidup baru.

Hasilnya? Sangat luar biasa. Pada saat ia mendapatkan kembali dukungan penuh dari istrinya, ditambah lagi mental blocknya telah dibereskan, karir dan bisnisnya maju dengan sangat pesat.

Pembaca, dari apa yang telah saya uraikan di artikel ini saya yakin anda kini mengerti bahwa hipnoterapi, walaupun sangat efektif membantu menyelesaikan masalah, bukanlah pil ajaib yang begitu "ditelan" bisa langsung menyembuhkan segala macam penyakit dan keluhan.

Baca Selengkapnya

Symptom Becomes Habit

21 Juli 2010

In short, the habits we form from childhood make no small difference, but rather they make all the difference.
~Aristotle

Pembaca, kita sudah sangat sering mendengar pepatah ”First we create our habits, then our habits create us” yang artinya “Pertama-tama kita membentuk kebiasaan, selanjutnya kebiasaan akan membentuk kita”. Apa yang Aristoteles katakan dengan sangat tepat menjelaskan pengaruh habit terhadap hidup kita,“Singkatnya, kebiasaan/habit yang kita bentuk sejak masa kecil menentukan kualitas hidup kita”.

Kamus elektronika Encarta mendefinisi symptom:
• indication of illness felt by patient: an indication of a disease or other disorder, especially one experienced by the patient, e.g. pain, dizziness, or itching, as opposed to one observed by the doctor sign.
(indikasi penyakit yang dirasakan oleh pasien: suatu indikasi penyakit atau gangguan lainnya, khususnya yang dialami oleh pasien, mis. sakit, pusing/mual, atau gatal, bukan seperti yang diamati oleh dokter)
• sign of something else: a sign or indication of the existence of something, especially something undesirable.
(tanda dari sesuatu yang lain: sebuah tanda atau indikasi dari keberadaan sesuatu, khususnya sesuatu yang tidak diinginkan)

Sedangkan habit didefiniskan:
• regularly repeated behavior pattern: an action or pattern of behavior that is repeated so often that it becomes typical of somebody, although he or she may be unaware of it
(pola perilaku yang diulang secara teratur; sebuah tindakan atau pola perilaku yang sangat sering diulangi sehingga menjadi ciri khas seseorang, walaupun ia tidak menyadarinya)
• attitude: somebody's attitude or general disposition
(sikap: sikap seseorang atau watak/kencenderungan umum)

Nah, apa hubungan antara simtom dan habit? Sangat erat.

Habit atau kebiasaan yang tampak dalam perilaku seseorang sebenarnya merupakan akibat dari suatu simtom yang merupakan bagian dari suatu akar masalah yang serius.

Bingung?

Ok, kalau begitu saya akan berikan contoh konkrit agar bisa lebih jelas.

Saya akan mulai dengan kasus seorang anak yang pernah saya tangani.

Ceritanya begini. Saya mendapat telpon dari orangtua murid dari salah satu sekolah terkenal, di Surabaya barat, dan berkeluh kesah mengenai anaknya, sebut saja Toni.

Saat saya tanyakan apa masalahnya... eh... saya jadi kaget sendiri. Keluhannya adalah Toni mogok sekolah. Dan yang lebih mengagetkan lagi adalah Toni baru berusia 3 (tiga) tahun. Wah, saya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar hal ini. 

Kesimpulan saya, setelah mendengar cerita Ibu ini adalah Toni mengalami school phobia alias takut sekolah. Saya jelaskan pada Ibu itu bahwa yang menjadi akar masalah sebenarnya mudah untuk kita ketahui. Toni tidak mau sekolah bila bukan karena perlakuan orangtua maka pasti akibat dari perlakuan guru, di sekolah, yang tidak profesional dalam mendidik anak.

Setelah mendengar penjelasan lebih lanjut saya menyimpulkan bahwa ini pasti akibat perlakuan guru yang tidak benar terhadap Toni. Tapi untuk memastikan hal ini saya akan menggali langsung dari Toni.

Saat bertemu dengan Toni, yang diantar oleh ayah dan ibunya, saya melihat Toni baik-baik saja. No problemo. Toni, walaupun agak sedikit tidak percaya diri karena baru pertama kali bertemu dengan saya, bisa diajak komunikasi dengan lancar.

Saya lalu mengajak Toni bermain sulap sambil disaksikan kedua orangtuanya. Toni sangat senang dan antusias. Sambil bermain dan mengarahkan fokus Toni ke permainan yang sedang saya lakukan, saya mengajukan pertanyaan kepada Toni. Kesannya hanya sambil lalu.

Yang saya tanyakan, ”Toni sekarang umurnya berapa? Siapa teman Toni di kelas? Satu kelas ada berapa anak?”

Toni mampu menjawab pertanyaan saya dengan lancar dan gembira sambil terus fokus pada permainan sulap.

Raut wajah dan mood Toni langsung berubah drastis saat saya bertanya, “Siapa Miss (guru) yang paling Toni sayang?”

Begitu mendengar pertanyaan ini Toni langsung diam, matanya melirik ke kiri atas sejenak (mengakses memori dalam bentuk gambar) lalu ke kanan bawah (mengakses emosi), raut wajahnya berubah sedih, dan langsung menangis.

Orangtua Toni melihat dengan sangat jelas perubahan ini. Dari sini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi sesuatu pada Toni yang dilakukan oleh gurunya. Apa itu? Saya tidak tahu. Dan Toni juga tidak mau menceritakannya. Setiap kali saya mulai menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan gurunya, Toni pasti menangis.

School phobia yang dialami Toni, dari pengalaman saya menangani anak yang mengalami masalah yang serupa, sebenarnya hanya merupakan simtom dari akar masalah yang lebih serius, yaitu perasaan takut, terancam, tidak nyaman, tidak berdaya, dan tidak aman bila berada di dalam kelas. Semua ini merupakan akibat dari tindakan guru, baik secara sengaja maupun tidak, yang telah melukai hati seorang anak.

Orangtua yang tidak tanggap dan jeli biasanya tidak akan memperhatikan sejauh ini. Biasanya orangtua ini akan membujuk dan kalau perlu memaksa anak untuk sekolah lagi. Akibatnya bisa sangat buruk terhadap anak. Anak akan menjadi benci sekolah dan akhirnya benar-benar tidak mau sekolah sama sekali.

Biasanya yang akan ditangani oleh orangtua ataupun sekolah hanyalah habit yang tampak dalam perilaku, yaitu tidak mau sekolah. Akar masalah yang sesungguhnya tidak tertangani dan akhirnya mengendap di memori anak. Di masa mendatang hal ini akan menjadi bom waktu yang sangat berbahaya. 

Prinsip yang sama berlaku terhadap anak yang ”nakal”. Mengapa anak dicap nakal? Biasanya anak nakal karena mereka ingin mendapat perhatian dari orangtuanya. Biasanya anak akan meminta perhatian itu dengan cara yang baik-baik. Jika cara baik-baik ini tetap tidak mendapat perhatian semestinya maka secara naluriah anak akan melakukan hal-hal lain yang bisa menarik perhatian orangtuanya.

Biasanya yang dilakukan anak untuk menarik perhatian orangtuanya, bila cara baik-baik tetap tidak diperhatikan orangtua, adalah dengan marah, menangis, membangkang, mengganggu adik atau kakaknya, berulah, atau tindakan apa saja yang bisa membuat orangtua, untuk sementara waktu, harus mencurahkan perhatian pada si anak.

Bila strategi ini berhasil satu kali saja maka pikiran bawah sadar anak mulai diedukasi oleh respon yang diberikan orangtua. Selanjutnya anak akan mencoba lagi dengan mengulangi strategi yang sama. Jika kembali berhasil, orangtua memberikan ”perhatian” (baca: marah atau teriak), maka anak akhirnya tahu cara jitu untuk mendapatkan perhatian.

Selanjutnya bisa ditebak apa yang akan dilakukan si anak setiap kali ia ingin mendapat perhatian. Anak pasti akan berulah dan orangtua pasti marah. Akhirnya, karena seringkali diulang (repetisi), anak membentuk kebiasaan/habit ”nakal”. Karena sudah menjadi habit atau kebiasaaan maka untuk mengubahnya akan cukup sulit.

Ada kata bijak yang berbunyi, ”When is the right time to kill a monster? When it is still small”. Artinya, waktu yang paling tepat untuk membunuh seekor monster (baca: kebiasaan buruk) adalah saat monsternya masih kecil (kebiasaan buruk baru mulai terbentuk). Saat monster ini sudah besar (baca: kebiasaan sudah sangat kuat) maka kita yang akan dibunuh oleh monster (kebiasaan) ini.

Oh ya, saat orangtua marah pada anaknya maka saat itu mereka telah memberikan ”perhatian” penuh dan sangat fokus pada anak. Mana bisa kita, orangtua, marah hanya sambil lalu atau tidak fokus. Marah pasti diikuti dengan tingkat intensitas fokus yang tinggi.

Nah, dari apa yang telah saya ceritakan di atas maka kini tampak jelas bahwa ”nakal” adalah habit yang berawal dari simtom. Simtom ini, sesuai dengan definisi, merupakan sebuah tanda atau indikasi dari keberadaan sesuatu. Apa itu? Kebutuhan akan perhatian.
Kasus yang saya ceritakan di atas kesannya ”seram”, ya. Sebenarnya proses yang sama berlaku bagi habit yang positif. Misalnya anak kita marah atau berulah ingin mendapat perhatian kita. Kita, bukannya terpancing ikut marah, dan karena kita mengerti apa yang sebenarnya terjadi yaitu anak butuh perhatian, mengarahkan perilaku anak ke arah yang lebih konstruktif.

Caranya? Kita bisa mengajar anak untuk mengungkapkan perasaannya. Misalnya anak kita kesal karena kita kurang memberikan waktu atau perhatian, kita terlalu sibuk dengan pekerjaan kita. Nah, daripada marah-marah dan berulah alangkah baiknya bila anak bisa mengkomunikasikan perasaan ini kepada kita secara verbal dan dengan cara yang sopan, benar, dan terarah.

Bila pola ini diulang-ulang maka akan membentuk suatu kebiasaan/habit positif. Anak bisa mengerti emosinya dan mengungkapkan emosi ini dengan cara yang proaktif dan konstruktif.

Pola pembentukan habit, yang berawal dari simtom, yang merupakan bagian dari suatu akar masalah tertentu, berlaku universal. Maksudnya, setiap habit atau kebiasaan bila kita telusuri dengan hati-hati maka akan merujuk pada suatu simtom. Selanjutnya bila mengerti caranya kita bisa mengungkapkan akar masalah yang menjadi sumber simtom.

Yang sulit adalah bila suatu habit merujuk pada suatu simtom yang merupakan simtom dari suatu akar masalah. Artinya terdapat double symtom.

Anda mungkin bertanya, ”Ah, masa ada kasus seperti ini?”

Ada seorang pria dewasa, seorang pengusaha sukses, yang begitu takut sama ayam. Ini ayam sungguhan, lho. Bukan ayam-ayam-an. Anda mengerti maksud saya, kan? Setiap kali bertemu ayam maka pria ini pasti langsung menghindar.

Setelah saya bantu akhirnya terungkap bahwa, secara spesifik, ia sangat takut dengan paruh ayam. Ketakutan ini yang akhirnya membuat ia selalu menghindar bertemu dengan ayam.

Kebiasaan menghindari ayam ternyata merupakan simtom yang berawal perasaan takut pada pisau. Setelah digali lebih lanjut ternyata perasaan takut pisau ini merupakan metafora dari perasaan sakit tertusuk, pada sekujur tubuhnya, saat ia dipeluk oleh ibunya. Ternyata akar masalah yang sesungguhnya, setelah digali dari perasaan sakit tertusuk pisau, adalah perasaan terluka dan benci yang sangat dalam terhadap ibunya. Jadi, setiap kali dipeluk ibunya, sewaktu ia masih kecil, perasaan terluka dan benci ini berubah menjadi perasaan sakit seperti tertusuk.

Oh ya, pria ini setelah dibantu akhirnya berhasil mengatasi masalahnya.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List