The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Quitters Can Win

21 Juli 2010

Pembaca, saya yakin anda pasti pernah mendengar ungkapan, "Winners never quit and quitters never win", yang jika diterjemahkan menjadi, "Pemenang tidak pernah berhenti (mencoba) dan pecundang tidak akan pernah menang (karena berhenti mencoba)".

Tahukah anda siapa tokoh terkenal yang mendeklarasikan pernyataan di atas? Benar sekali. Beliau adalah Vince Lombardi, pelatih sepakbola Amerika yang mashyur.

Mungkin anda juga pernah mendengar perdana menteri Inggris, saat perang dunia kedua, Sir Winston Churchill berkata, "Never, never, never quit".

Nah, pertanyaan saya sekarang adalah, "Apakah anda yakin dan percaya serta menerima sepenuhnya apa yang dikatakan oleh kedua tokoh ini?"

Saya dulu sangat percaya. Bahkan saya menambahkannya dengan pernyataan, "Sukses diukur bukan dari tingginya pencapaian. Sukses diukur lebih berdasarkan seberapa besar hambatan yang berhasil kita atasi dalam proses mencapai sukses" dan "Tidak penting berapa kali anda jatuh, yang penting adalah berapa kali anda bangkit kembali setelah anda jatuh".

Lengkaplah sudah keyakinan saya ini. Berbekal keyakinan ini saya membuat keputusan untuk terus maju tak gentar membela yang benar... eh salah.. tak gentar menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam proses menuju sukses yang saya idamkan.

Setiap kali saya ingin berhenti, selalu tidak bisa. Mengapa? Ya itu tadi. Katanya, "Winners never quit and quitters never win". Jika saya berhenti maka saya menjadi seorang pecundang. Wah... siapa yang mau jadi pecundang? Karena tidak mau dikatakan sebagai pecundang inilah yang membuat saya terus maju tak gentar, selama tujuh tahun, mengejar impian tanpa melakukan analisis kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan pribadi saya. Saya menggunakan jurus "pokoke". Pokoke maju terus.

Semua ini diperparah lagi dengan kepercayaan "Tidak ada orang gagal. Semua orang pada dasarnya orang sukses. Mereka gagal karena mereka berhenti terlalu cepat". Ck.. ck.. ck... betapa berbahayanya kepercayaan ini.

Nah, pembaca, setelah mendengar sekilas kisah saya, dan melihat judul artikel ini saya yakin anda pasti tahu ke mana arah pembahasan yang akan saya lakukan. Sebelum saya teruskan saya ingin bertanya kepada anda. Anda jawab jujur ya. Apakah anda juga pernah atau sedang  mengalami hal yang sama seperti yang saya alami? Bersyukurlah bila anda belum. Bersyukurlah juga bila ternyata anda telah mengalaminya seperti saya. He..he..anda tidak sendirian.

Pertanyaan kritis yang seharusnya kita ajukan adalah, "Benarkah winners never quit and quitters never win?" Bagaimana kalau pernyataan Vince Lombardi di atas kita plesetkan sedikit menjadi "Quitters can win if they know the right reasons, the right way,and the right time to quit ".

Saya mendapat banyak email dan sms dari pembaca buku saya. Saya melihat satu pola yang sama yaitu umumnya mereka berkeluh kesah mengenai hidup mereka. Ada juga yang mengeluh mengenai bisnis yang sedang mereka jalankan. Bisnis ini telah dijalani selama beberapa tahun tapi belum membuahkan hasil seperti yang mereka inginkan. Mereka sangat ingin berhenti tapi nggak bisa. Alasannya nanggung nih... sudah dijalankan beberapa tahun. Kan sayang kalau berhenti di tengah jalan. Waktu saya kejar lebih jauh ternyata mereka meyakini apa yang telah saya uraikan di atas. Intinya, jika berhenti mereka akan menjadi pecundang. Benarkah seperti itu?

Keengganan berhenti atau quit  juga terjadi di aspek kehidupan lain. Ada seorang rekan yang telah menjalin hubungan dengan seseorang pria selama hampir sepuluh tahun, dan dia tahu hubungan ini tidak akan ke mana-mana, dan dia tahu pacarnya ini bukan tipe pria yang bertanggung jawab, namun ia tidak berani quit atau memutuskan untuk putus. Waktu saya tanya apa alasannya kok nggak berani putus dan cari pasangan lain yang lebih cocok, jawaban yang saya terima sungguh mengejutkan saya, "Lha, saya kan sudah pacaran hampir sepuluh tahun. Kalau harus memulai dari awal lagi rasanya berat bagi saya. Selain itu usia saya sekarang juga sudah hampir 30 tahun. Sulit mencari pasangan dengan usia saya sekarang ini. Rugi dong kalo saya berhenti sekarang".

Wah... ini jawaban yang kurang pas. Menikah kan untuk seterusnya. Lha, kalau ternyata waktu pacaran saja sudah begini modelnya trus.. mau jadi apa nanti waktu sudah menikah? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala saja karena bingung. Kalau dilihat sepintas rekan saya ini tampaknya nggak mau rugi. Mungkin masa pacaran yang sudah sepuluh tahun ini dianggap sebagai masa investasi. Dengan demikian ia telah menghitung ROI (return on investment) dan berapa potential loss yang mungkin terjadi jika ia quit.

Pembaca, apakah kita boleh quit?

Tentu boleh. Siapa yang berhak melarang? Kan ini hidupnya kita sendiri. Kita mau quit atau terus itu urusan kita. Orang lain nggak boleh ikut campur. Satu hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh yaitu saat kita quit, kita harus quit dengan alasan yang tepat. Tidak asal quit.

Untuk yang ini saya serahkan sepenuhnya pada anda. Kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah kita quit karena kita memang malas, tidak termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet, ataukah kita quit karena kita, setelah bekerja sangat keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, melakukan whatever it takes, massive action dengan burning desire, sampai pada satu kesimpulan bahwa apa yang kita lakukan ternyata tidak sejalan dengan value atau nilai-nilai hidup kita.

Quit di sini jangan diartikan hanya untuk orang yang belum berhasil mencapai sesuatu. Quit yang saya uraikan di sini juga berlaku bagi mereka yang sebenarnya telah berhasil mencapai kesuksesan pada level tertentu namun merasa hambar dengan hidup mereka.

Saya pernah membaca kisah seorang financial consultant, di Jakarta, yang sangat sukses dengan karirnya, pada usia 40 tahun, memutuskan untuk quit dan banting setir menjadi seorang pelukis. Benar, anda tidak salah baca, menjadi seorang pelukis.

Tentu tidak mudah melakukan hal ini. Banyak kawannya yang berkata bahwa ia gila karena meninggalkan karir yang begitu cemerlang, karir yang telah memberikan hasil yang begitu besar, khususnya di aspek finansial. Namun apa jawaban si financial consultant ini? "Saya merasa jauh lebih tenang, damai, dan bahagia dengan menjadi seorang pelukis. Ini adalah impian yang saya kubur sekian lama. Sekarang saya telah menjadi orang yang bebas mengekspresikan diri saya sendiri" jawabnya lugas.

Nah, pembaca, pada contoh di atas, yang terjadi adalah seringkali seseorang mendaki tangga kesuksesan, dan setelah mencapai puncak tangga, ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di tembok yang salah. Nah, kalau begitu apa yang harus dilakukan? Ya banting setir seperti si financial consultant ini.

Mengapa sampai bisa terjadi tangga bersandar di tembok yang salah dan kita tidak tahu atau menyadarinya? Jawabannya sangat sederhana.

Apa itu?

Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan hati-hati dan saksama. Manusia pada umumnya menjalani hidup asal-asalan. Mereka tidak punya peta kehidupan yang akan mereka jalani. Bagaimana caranya agar bisa punya peta kehidupan? Ya, kita rancang sendiri, dong.

Bagaimana cara merancang peta kehidupan?

Di berbagai buku pengembangan diri, seminar motivasi, seminar sukses, dan berbagai program video yang saya pernah pelajari, umumnya kita diminta untuk membuat daftar impian tertulis. Impian ini harus lengkap meliputi berbagai aspek kehidupan. Ada aspek spiritual, finansial, bisnis-karir, materi, sosial, keluarga, kesehatan fisik dan mental. Sayapun dulunya melakuan hal yang sama dengan yang dianjurkan.

Namun seiring dengan berkembangnya kesadaran diri melalui proses pembelajaran dan perjalanan hidup, saya akhirnya menyadari satu hal yang selama ini luput dari perhatian saya. Ternyata untuk menyusun impian tidak asal susun. Pemahaman yang saya dapatkan, dan ini yang sekarang saya bagikan kepada para peserta seminar, workshop, dan kepada khalayak ramai melakui buku-buku yang saya tulis, yaitu menyusun impian yang benar hanya bisa dilakukan dengan satu syarat. Dan syarat inilah yang selama ini tidak diperhatikan kebanyakan orang.

Apa itu?

Langkah awal menyusun impian adalah dengan mencari tahu, menetapkan, dan menyusun nilai-nilai hidup (value).

Lho, mengapa value? Kok bukan berdasar pendidikan yang kita jalani?

Value adalah apa yang kita yakini sebagai hal yang penting bagi hidup kita. Value berperan sebagai kompas yang mengarahkan perahu kehidupan kita. Jika dihubungkan dengan cerita mengenai "tembok yang salah" maka yang dimaksudkan dengan "tembok" sebenarnya value.

Dengan value sebagai fondasi maka impian yang disusun tidak akan menyimpang dari tujuan hidup kita. Dengan demikian saat kita mencapai puncak kesuksesan kita justru akan semakin semangat dan bahagia. Untuk mengukur pencapaian seseorang sebenarnya bisa dilihat dari seberapa bahagia kita saat kita mencapai impian.

Mengapa bukan berdasar pendidikan formal kita?

Karena ada begitu banyak orang yang salah jurusan, saat kuliah di perguruan tinggi. Saya pernah memberikan konseling pada seorang wanita, dokter umum usia 29 tahun, yang sedang mengambil spesialisasi menjadi dokter tulang (orthopedist). Wanita ini mengaku bahwa ia sebenarnya tidak suka dengan jurusan yang saat ini ia tempuh. Ia merasa letih sekali. Padahal ini baru di tahun pertamanya.

Waktu saya tanya, mengapa kok diteruskan, kok nggak berhenti saja?

Jawabannya, sama seperti jawaban yang biasa saya terima, "Sudah kepalang basah, Pak. Kalo berhenti sekarang, trus... ngapain saya kuliah di kedokteran umum?"

"Lho, dulu kok bisa milih masuk kedokteran?" tanya saya lagi.

"Ya, soalnya katanya Om saya, kalo jadi dokter, hidupnya enak" jawabnya.

"Trus... kenapa kok pilih tulang, kok bukan spesialis yang lain?" kejar saya.

"Sebenarnya saya lebih suka jadi spesialis anak. Tapi jurusan ini sangat sulit dimasuki. Saya sudah coba tapi nggak bisa. Saya hanya dapat kesempatan spesialisasi tulang. Daripada nggak bisa kuliah lagi, ya saya masuki saja", jawabnya enteng.

Kisah ini sangat berbeda dengan kisah kawan saya, Lan Fang, di Surabaya. Lan Fang dulunya adalah seorang agen asuransi yang sangat berhasil. Namun hatinya selalu gelisah. Ia merasa asuransi bukan dunia yang sesuai dengan panggilan hatinya. Lan Fang senang menulis. Sambil menjadi agen asuransi ia telah menulis beberapa novel yang ternyata sangat berhasil.

Cukup lama Lan Fang bimbang. Ia dipersimpangan jalan. Namun setelah menimbang-nimbang, setelah melakukan perenungan mendalam, Lan Fang akhirnya memutuskan untuk mengikuti suara hatinya, menjadi seorang penulis buku, full time.

Banyak yang menyayangkan Lan Fang berhenti sebagai agen asuransi mengingat potensinya yang sangat luar biasa. Namun Lan Fang memutuskan quit dengan alasan yang tepat, di saat yang tepat, dan dengan exit strategy yang tersusun dengan baik dan matang.

Sampai saat ini Lan Fang telah menulis delapan novel. Diantaranya Reinkarnasi, Laki-laki Yang Salah, Perempuan Kembang Jepun, dan Kota Tanpa Kelamin.

So... siapa bilang quitters never win? Seringkali the real winner adalah mereka yang berani quit. Dan the real loser justru mereka yang bersikeras berkata, "Never, never, never quit". Anda perlu hati-hati agar tidak menjadi winner di antara para loser karena anda adalah yang paling tidak mau quit.

Baca Selengkapnya

Mental Block ... Oh ... Mental Block

21 Juli 2010

Artikel ini saya tulis untuk menjawab banyak sekali pertanyaan yang diajukan kepada saya baik melalui email, sms, ataupun saat seminar. Ternyata masih banyak juga orang yang kurang jelas apa itu mental block, proses pembentukan, cara mengenali, dan yang lebih penting cara untuk mengatasi dan menghilangkan mental block.

Sebelum saya membahas apa itu mental block saya akan menjelaskan kembali proses pemrograman pikiran manusia.

Proses pemrograman pikiran sebenarnya telah terjadi sejak seorang anak masih di dalam kandungan ibunya, sejak ia berusia 3 bulan. Pada saat ini pikiran bawah sadar telah bekerja sempurna, merekam segala sesuatu yang dialami seorang anak dan ibunya. Semua peristiwa, pengalaman, suara, atau emosi masuk ke dan terekam dengan sangat kuat di pikiran bawah sadar dan menjadi program pikiran.

Saat kita lahir, kita lahir hanya dengan satu pikiran yaitu pikiran bawah sadar. Bekal lainnya adalah otak yang berfungsi sebagai hard disk yang merekam semua hal yang kita alami. Sejak lahir, dan sejalan dengan proses tumbuh kembang, kita mengalami pemrograman pikiran terus menerus, melalui interaksi kita dengan dunia di luar dan di dalam diri kita.

Pada anak kecil, yang memprogram pikirannya adalah terutama kedua orangtuanya, pengasuh, keluarga, lingkungan, guru, tv, dan siapa saja yang dekat dengan dirinya. Saat masih kecil pemrograman terjadi dengan sangat mudah karena pikiran anak belum bisa menolak informasi yang ia terima. Ketidakmampuan memfilter informasi ini disebabkan karena pada saat itu critical factor, atau faktor kritis, dari pikiran sadar belum terbentuk. Kalaupun sudah terbentuk critical factor masih lemah.

Pemrograman pikiran saat anak masih kecil terjadi melalui dua jalur utama yaitu melalui imprint dan misunderstanding. Definisi imprint adalah "a thought that has been registered at the subconscious level of the mind at a time of great emotion or stress, causing a change in behavior" atau imprint adalah apa yang terekam di pikiran bawah sadar saat terjadinya luapan emosi atau stress, mengakibatkan perubahan pada perilaku.

Misunderstanding adalah salah pengertian yang dialami seseorang saat memberikan makna kepada atau menarik simpulan dari suatu peristiwa atau pengalaman.

Baik imprint maupun misunderstanding, setelah terekam di pikiran bawah sadar, akan menjadi program pikiran yang selanjutnya mengendalikan hidup seseorang.

Satu hal yang perlu kita mengerti yaitu bahwa semua, saya ulangi... semua, program pikiran adalah baik. Program pikiran selalu bertujuan membahagiakan kita. Program pikiran diciptakan atau tercipta demi kebaikan kita berdasarkan level kesadaran dan kebijaksanaan kita saat itu.

Program pikiran menjadi mental block apabila bersifat menghambat kita dalam mencapai impian atau tujuan kita. Sebaliknya program pikiran akan menjadi stepping block, batu lompatan, bila bersifat mendukung kita.

Anda jelas sekarang? Atau masih bingung?

Ok, saya kasih contoh ya biar lebih jelas.

Ini dari kasus klinis yang pernah saya tangani. Ada seorang wanita, sebut saja Rosa, cantik, ramah, cerdas, pintar cari uang, dan mandiri tapi sampai saat bertemu saya, usianya saat itu 35 tahun, masih jomblo alias single, belum dapat jodoh.

Rosa juga bingung mengapa ia sulit dapat jodoh. Ada banyak pria yang suka padanya. Namun setiap kali pacaran dan jika sudah masuk ke rencana untuk menikah, selalu muncul masalah sehingga hubungan mereka akhirnya putus.

Setelah dicari akar masalahnya, saya menemukan program pikiran, di pikiran bawah sadarnya, yang sangat baik namun justru bersifat menghambat dirinya untuk bisa dapat jodoh.

Apa itu?

Ternyata ayah Rosa meninggal saat ia masih kecil, usia 7 tahun. Sejak saat itu ibunya yang bekerja keras menghidupi keluarga mereka. Bahkan pernah sampai jatuh sakit dan hampir meninggal.

Nah, pas saat ibunya sakit keras,Rosa berdoa dan mohon kesembuhan untuk ibunya. Dan dalam doanya ia berjanji bahwa ia akan membalas semua pengorbanan ibunya, setelah ia dewasa kelak, dengan selalu menyayangi dan mendampingi ibunya.

Janji ini ternyata masuk ke pikiran bawah sadarnya dan menjadi program. Benar, sejak saat itu dan hingga ia dewasa Rosa adalah anak yang begitu sayang pada ibunya. Selama ini program pikirannya telah sangat membantu Rosa dalam menjalani hidupnya. Rosa bekerja keras, menjadi anak yang sangat mencintai ibunya. Dan ibunya juga begitu bersyukur dan bahagia karena mempunyai anak yang begitu menyayanginya. Nah, program yang sangat positif ini tiba-tiba berubah menjadi program yang menghambat (baca: mental block) saat Rosa ingin berkeluarga.

Program ini mensabotase setiap upaya Rosa untuk mendapat pasangan hidup. Saat saya berdialog dengan "bagian" (baca: program) yang tidak setuju bila Rosa menikah, saya mendapat jawaban yang jelas dan lugas. Ternyata "bagian" ini khawatir Rosa tidak bisa menepati janjinya, menyayangi dan mendampingi ibunya karena bila menikah, menurut pemikiran "bagian" ini, Rosa harus mengikuti suaminya dan meninggalkan ibunya sendiri. "Bagian" ini tidak setuju dengan hal ini.

Nah, anda jelas sekarang?

Saya beri satu contoh lagi biar lebih jelas.

Saya mendapat email dari seorang pembaca buku, sebut saja Bu Asri, yang mengeluh bahwa ia telah berusaha keras untuk menaikkan penghasilannya namun selalu gagal. Setelah membaca buku The Secret of Mindset dan mendengarkan CD Ego State Therapy ia menemukan program pikiran yang menghambat dirinya, khususnya di aspek finansial.

Ternyata dulu, saat akan menikah, ia mendapat wejangan dari ibunya, "Nak, ingat ya... nanti waktu menjadi seorang istri, cintai suamimu dengan tulus, baik di kala suka mapun duka, layani dengan sepenuh hati, tempatkan suami sebagai kepala rumah tangga, jaga perasaan dan harga diri suami, jangan melebihi suamimu......."

Pembaca, wejangan (baca: program) ini tentu sangat baik. Namun menjadi masalah karena program ini justru menghambat upaya Bu Asri meningkatkan penghasilannya. Selidik punya selidik ternyata penghasilan Bu Asri saat ini sama dengan penghasilan suaminya. Makanya saat ia berusaha menaikkan income-nya selalu saja ada hambatan. Program ini yang menghambat dan tujuannya juga sangat "positif" yaitu agar Bu Asri bisa menjadi istri yang baik sesuai wejangan ibunya.

Bagaimana, jelas sekarang?

Suatu program, selama tidak bersifat menghambat diri kita maka jangan diotak-atik. Biarkan saja. Nggak usah bingung. Ada rekan yang, setelah membaca buku dan mengerti soal mental block, begitu giat mencari berbagai mental blocknya. Bahkan sampai mengeluh, "Pak, saya kok nggak menemukan mental block saya ya?".

Lha, kalo memang nggak ada trus apa harus dipaksakan ada? Bukankah lebih baik bila waktu yang ada digunakan untuk belajar dan mengembangkan diri? Kekhawatiran karena tidak menemukan mental block justru bisa menjadi mental block baru.

Lalu, bagaimana sikap yang benar?

Ya, santai saja lah. Nggak usah aneh-aneh. Kita harus netral saja. Selama hidup kita happy, usaha lancar, semua berjalan seperti yang kita rencanakan dan harapkan maka nggak usah pusing soal mental block.

Mental block akan kita rasakan saat ada penolakan atau hambatan untuk mencapai suatu target yang lebih tinggi. Penolakan ini juga timbul saat kita ingin berubah.

Ini saya kutip email yang baru saya terima dari seorang pembaca buku saya:

"Saya ingin lebih memahami dan  membaca buku-buku anda. Saya beli The Secret of Mindset. Saat baca ada aja perasaan yang membuat saya malas, ngantuk dsb. Padahal saya sungguh ingin membaca buku TSOM. Bagaimana solusinya?"

Perasaan malas, mengantuk, dan berbagai perasaan lain yang menghambat upaya untuk berubah ini adalah ulah nakal dari mental block kita. Nah, ini saatnya kita perlu menemukan dan mengenali mental block ini. Setelah ditemukan... ya dibereskan. Gitu aja kok repot.

Intinya, jika anda telah menetapkan target yang lebih tinggi, dari apa yang telah anda capai saat ini, dan anda merasa ada yang tidak enak di hati anda maka ini indikasi adanya mental block.

Atau jika anda mengalami kegagalan yang beruntun atau yang mempunyai pola kegagalan yang sama, maka ini indikasi sabotase diri alias mental block.

Mental block ini ada juga yang baik. Misalnya anda telah berkeluarga. Dan ada kesempatan untuk selingkuh namun anda tidak mau. Alasannya bisa macam-macam. Bisa takut dosa, takut masuk neraka, takut malu, takut ketahuan, bisa karena anda tidak ingin melukai hati pasangan anda, atau anda setia pada janji pernikahan anda, atau alasan apapun. Yang pasti, ada satu program pikiran yang menghambat anda melakukan sesuatu. Mental block ini tentunya perlu dipertahankan.

So... bersikaplah netral... jadilah orang yang Non Block. Artinya anda tidak neko-neko atau aneh-aneh. Cari mental block sesuai kebutuhan. Kalo sedikit-sedikit cari mental block ... sedikit-sedikit cari mental block...  maka saya khawatir anda akan menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, dan resource yang anda miliki untuk sesuatu yang tidak produktif. Kalo seperti ini...anda masuk kategori Go Block.

Baca Selengkapnya

Rahasia Masuk Ke Level Deep Hypnosis

21 Juli 2010

Baru-baru ini saya mendapat email dari peserta roadshow The Secret of Mindset, di Jogjakarta, yang bertanya, "Pak, saya penasaran dengan yang Bapak lakukan. Bagaimana Pak Adi bisa begitu mudah membawa peserta seminar, yang jumlahnya ratusan, masuk hingga ke kedalaman profound somnambulism?"

Penasaran dengan pertanyaan ini, karena peserta ini menggunakan istilah yang sangat teknis, profound somnambulism, saya lalu menanyakan latar belakangnya. Peserta ini, sebut saja, Pak Anggoro, menerangkan bahwa ia juga mempelajari hipnosis dan hipnoterapi. Namun selama ini mengalami kesulitan membawa kliennya masuk ke kondisi very deep hypnosis atau yang dikenal dengan level profound somnambulism.

Bagi anda, pembaca, yang tidak menghadiri roadshow seminar saya mungkin bingung apa yang saya lakukan? Di seminar saya menjelaskan dan memeragakan cara untuk masuk ke pikiran bawah sadar dengan sangat cepat dan mudah. Pertama, saya akan memberikan contoh dengan meminta seorang peserta maju ke depan, ke atas panggung, untuk saya bimbing masuk ke kondisi deep hypnosis.

Dalam waktu yang sangat singkat dan sangat mudah, peserta ini, bisa masuk sangat dalam, hingga mencapai kondisi profound somnambulism. Untuk membuktikan bahwa subjek hipnosis saya ini telah masuk ke level yang sangat dalam saya melakukan uji kedalaman. Salah satu fenomena kondisi profound somnambulism adalah negative visual hallucination. Dan subjek saya ini memberikan respon yang sesuai dengan kedalaman hipnosis yang ia capai saat itu.

Setelah menjelaskan panjang lebar beserta contoh dan peragaan yang gamblang, saya selanjutnya membimbing semua peserta untuk masuk ke kondisi deep hypnosis atau profound somnambulism. Dan rupanya hal ini yang membuat Pak Anggoro penasaran.

Nah, mungkin anda juga bertanya, seperti Pak Anggoro, bagaimana cara saya melakukannya? Mengapa begitu mudah? Pake ilmu apa ya? Apa rahasianya?

Apakah memang ada rahasia di balik apa yang saya lakukan? Nggak ada rahasia.

Lho, kok nggak ada rahasia? Kalo begitu mengapa sulit untuk mencapai kondisi profound somnambulism? Lha, memang bukan rahasia, kok. Di berbagai buku, literatur, dan pelatihan hipnosis/hipnoterapi "rahasia" ini pasti dijelaskan atau diajarkan sebagai pengetahuan dasar. Namun sayangnya informasi ini kurang mendapat perhatian yang layak dan malah sering diabaikan. 

Ada beberapa hal yang selama ini menghambat seorang operator (baca: hipnotis atau hipnoterapis) untuk bisa membimbing subjek hipnosis atau klien masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam.

Pertama, banyak operator yang berpikir bahwa hipnosis adalah sesuatu yang mereka lakukan terhadap subjek hipnosis, subjek masuk kondisi hipnosis karena hasil kerja si operator. Pemahaman ini kurang tepat. Yang benar adalah subjek masuk kondisi hipnosis karena subjek mau. Jadi, langkah awal adalah si subjek harus bersedia untuk dihipnosis.

Kedua, operator harus bisa menghilangkan perasaan takut ataupun mispersepsi subjek terhadap hipnosis. Ini faktor yang sangat-sangat penting. Mengapa? Karena pencapaian kedalaman hipnosis berbanding terbalik dengan intensitas perasaan takut.

Dengan kata lain, bila subjek sangat takut maka ia tidak akan bisa dihipnosis. Bila takutnya sedikit maka ia bisa masuk lebih dalam lagi. Jika sama sekali tidak ada rasa takut maka subjek bisa masuk dengan sangat mudah ke level hipnosis yang sangat dalam.  

Setelah klien tidak takut dan bersedia dihipnosis maka langkah selanjutnya adalah operator harus bisa mengembangkan imajinasi dan menciptakan pengharapan mental pada diri subjek.

Ketiga, banyak orang mempunyai pemahaman yang kurang tepat, jika tidak mau dikatakan salah, mengenai hipnosis. Banyak orang berpikir bahwa untuk bisa masuk ke kondisi hipnosis maka secara fisik subjek harus rileks. Dengan demikian, jika subjek mau dibawa ke kondisi hipnosis yang sangat dalam maka ia harus sangat-sangat rileks. Dengan kata lain, level relaksasi berbanding lurus dengan level kedalaman hipnosis.

Pemahaman ini, sekali lagi, kurang tepat. Benar, salah satu ciri orang yang berada dalam kondisi hipnosis adalah tubuhnya tampak rileks. Namun tubuh yang rileks tidak berarti orang dalam kondisi hipnosis.

Definisi hipnosis yang saat ini paling banyak digunakan dan diterima adalah definisi yang dilansir oleh U.S. Dept. of Education, Human Services Division, yaitu "Hypnosis is the by-pass of the critical factor of the conscious mind followed by the establishment of acceptable selective thinking" atau "hipnosis adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar diikuti dengan diterimanya suatu pemikiran atau sugesti".

Bila dicermati dengan saksama maka dari definisi di atas tampak jelas bahwa hipnosis sama sekali tidak ada hubungannya dengan kondisi rileks, rileks secara fisik. Untuk bisa dikatakan sebagai kondisi hipnosis, menurut definisi di atas, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, penembusan faktor kritis, dan kedua, diterimanya suatu sugesti oleh pikiran bawah sadar.

Faktor keempat, yang membuat seseorang sulit masuk ke kondisi hipnosis yang dalam adalah karena operator salah memilih teknik.  Ada sangat banyak teknik untuk menembus faktor kritis pikiran sadar. Akan terlalu teknis bila saya jelaskan di artikel ini. Namun secara umum, ada 6 (enam) teknik dasar yang biasa digunakan. Dari enam teknik dasar ini selanjutnya berkembang menjadi sangat banyak teknik.

Satu teknik yang paling umum dan paling banyak digunakan adalah progressive relaxation. Teknik ini paling banyak digunakan karena paling mudah dan paling "aman" untuk operator. Oh ya, sebenarnya nama progressive relaxation juga kurang tepat. Nama yang benar adalah fractional relaxation. Usahakan untuk tidak menggunakan teknik ini. Gunakan teknik lain yang lebih efektif.

Progressive relaxation tidak cocok untuk orang analitis, kritis, pemikir, melankolis, pengacara, pimpinan perusahaan, atau orang yang berada pada level otoritas tinggi.

Oh ya, banyak orang mengatakan bahwa orang analitis adalah orang yang sangat sulit untuk dihipnosis. Apa benar seperti itu? Ah, tidak. Tahukah anda bahwa sebenarnya orang analitis adalah orang yang sangat sugestif. Nah, bingung, kan?

Faktor kelima, dan ini juga sering diabaikan oleh banyak operator, adalah semantik atau pilihan kata. Banyak operator menggunakan kata yang mengandung makna si operator lah yang mencipta kondisi hipnosis pada diri subjek. Contohnya seperti ini, "Sekarang anda merasa diri anda semakin rileks dan lebih rileks lagi" atau "Sekarang anda menjadi 10 kali lebih rileks". Ini adalah perintah yang belum tentu akan dijalankan oleh subjek. Yang lebih tepat adalah dengan menggunakan kalimat yang lebih permisif, persuasif, dan bersifat himbauan.

Jika lima faktor di atas diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka siapapun bisa dibimbing masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam, dengan sangat mudah dan cepat.

Baca Selengkapnya

Hypnotic Seal

21 Juli 2010

Pembaca, pernahkah anda melihat adegan di televisi atau membaca di surat kabar mengenai segel yang dipasang oleh pengadilan dalam kasus penyitaan rumah? Atau mungkin anda pernah melihat TKP (Tempat Kejadian Perkara) yang oleh polisi dipasangi segel police line? Pertanyaan saya pada anda adalah apa arti segel atau police line? Apabila benda atau lokasi itu telah dipasangi segel atau police line, beranikah anda memindahkan benda atau masuk ke lokasi itu tanpa ijin? Jawabannya tentu tidak berani Mengapa kok tidak berani? Karena yang boleh masuk ke lokasi itu hanyalah mereka yang memasang segel atau yang punya wewenang untuk itu. Orang biasa nggak boleh masuk. Kalau masuk akan kena sanksi atau hukuman. Dan siapakah yang berhak untuk melepas segel yang telah dipasang? Ya sudah tentu pihak yang memasang. Benar, nggak?

Contoh lain, pernahkah anda, saat ingin mengakses data di suatu komputer, mengalami kesulitan karena komputer meminta anda untuk memasukkan password tertentu untuk bisa login? Apa yang terjadi bila anda tidak bisa memberikan password yang sesuai? Sudah tentu anda tidak bisa masuk ke dalam data base komputer itu. Lalu, siapakah yang memasang password? Siapakah yang memasang “segel” di komputer ini? Sudah tentu orang yang mengerti cara kerja komputer. Bila ternyata orang yang memasang password itu adalah orang yang usil, apa yang akan anda lakukan untuk bisa membuka paksa, dalam istilah komputer meng-crack, password yang telah dipasang? Anda pasti akan meminta bantuan ahli komputer lain. Pembaca, tahukah anda bahwa pikiran manusia mirip seperti komputer? Kita, bila tahu caranya, dengan menggunakan teknik tertentu, dapat dengan mudah memasang segel pikiran, atau lebih dikenal dengan istilah hypnotic seal atau segel hipnosis. Bagaimana cara memasangnya? He.. he… kalo ini saya tidak boleh menjelaskan di artikel ini.

Penasaran, kan? Dalam artikel ini saya hanya akan menjelaskan cara kerja, manfaat, dan bahaya segel pikiran. Hypnotic seal ini sebenarnya merupakan program pikiran yang cara kerjanya mirip dengan password yang dipasang di komputer. Tujuannya adalah untuk mencegah orang yang tidak berhak untuk mengakses data. Jika komputer, yang diakses adalah data base. Jika pikiran, yang diakses adalah pikiran bawah sadar yang memuat banyak hal, antara lain persepsi, memori, dan emosi.

Apa manfaat hypnotic seal? Hypnotic seal, jika sudah dipasang akan mencegah orang lain, selain si operator atau si pemasang segel, untuk bisa menghipnosis orang yang telah dipasangi segel. Hypnotic seal ini berisi perintah untuk menolak hipnosis yang dilakukan orang lain, selain si operator.

Jadi, jika misalnya pikiran anda sudah dipasang hypnotic seal oleh seseorang maka ke manapun anda pergi, siapapun orang yang akan menghipnosis anda, selain si operator, pasti akan gagal. Mereka tidak akan pernah bisa menghipnosis anda. Saya ingat saat selesai mengadakan Supercamp (SC) Becoming a Money Magnet angkatan IX di Surabaya akhir tahun lalu. Di SC ada beberapa peserta yang sangat sugestif. Saking sugestifnya mereka dapat dengan sangat mudah memasukkan “data” ke pikiran bawah sadar mereka.

Implikasi lain adalah mereka juga dapat dengan mudah “dikerjain” orang  yang mengerti mengenai hal ini. Selesai SC saya memasang hypnotic seal di pikiran salah satu peserta, sebut saja Johan, yang saya lihat sangat-sangat sugestif. Begitu selesai dipasang saya segera mencoba untuk menghipnosis Johan. Hasilnya? Nggak bisa.

Apapun teknik yang saya gunakan tetap tidak bisa menghipnosis Johan. Mengapa tidak bisa? Karena salah satu persyaratan yang menjadi password yang saya pasang adalah Johan hanya bisa dihipnosis oleh orang yang ia percaya dan dia menginginkan atau mengijinkan dirinya untuk dihipnosis.Jadi, dalam hal ini ada dua syarat yang harus dipenuhi. Salah satu saja tidak terpenuhi maka passwordnya nggak bisa terbuka. Apakah Johan percaya sama saya? Sudah tentu. Apakah saat itu ia mengijinkan dirinya untuk dihipnosis? Tidak. Saya lalu meminta Johan mengijinkan dirinya untuk saya hipnosis. Tanpa perlu teknik yang canggih, hanya dengan perintah singkat saja, satu kata saja, Johan langsung berhasil saya hipnosis.

Ini salah satu manfaat dari hypnotic seal. Apakah ada efek negatif? Sudah tentu ada. Jika hypnotic seal dipasang oleh hipnotis atau hipnoterapis yang dikuasai ego, yang ingin berkuasa atas atau mengendalikan kliennya maka akan sangat merugikan klien. Ada segel yang membuat seseorang tidak bisa dihipnosis oleh orang lain selain si pemasang segel. Nah, kalau sudah begini, saat klien membutuhkan bantuan dari terapis lainnya, saat terapis lain  berusaha melakukan hipnosis, klien tidak akan bisa masuk ke kondisi hipnosis. Ini sudah tentu sangat merugikan diri klien. Apakah kita dapat membuka segel yang sudah dipasang? Sudah tentu bisa. Jika di komputer kita bisa meng-crack password maka untuk hypnotic seal juga bisa dilakukan hal yang sama. Asyik, kan?

Untuk bisa membuka maka kita perlu mengenal jenis dan karakteristik hypnotic seal. Lho, memangnya ada berapa macam? Secara teknis ada lima jenis hypnotic seal. Setiap seal mempunyai karakteristik yang berbeda dan sudah tentu membutuhkan cara yang berbeda untuk bisa membukanya. Di sini dibutuhkan pemahaman mengenai cara kerja pikiran, sugesti, dan level kedalaman trance untuk bisa membuka hypnotic seal yang terpasang di pikiran bawah sadar seseorang.

Ada segel yang membuat seseorang tidak bisa dihipnosis. Ada yang membuat seseorang tidak bisa mendengar suara hipnotis/hipnoterapis selain si operator. Ada juga segel yang membuat seseorang, begitu masuk ke kondisi trance, tidak akan bisa keluar atau bangun kecuali dibangunkan oleh si pemasang segel. Bisa anda bayangkan apa yang akan terjadi bila seseorang dihipnosis lalu, karena efek dari hypnotic seal, ia tidak bisa bangun atau keluar dari kondisi hipnosis, kecuali dibangunkan oleh si operator atau si pemasang segel.

Langkah awal untuk bisa membuka segel adalah dengan mengenali segel jenis apa yang terpasang di pikiran klien. Selanjutnya terapis “hacker” ini menggunakan teknik yang sesuai untuk meng-crack password dari hypnotic seal itu.

Baca Selengkapnya

Bahaya Self Hypnosis

21 Juli 2010

Pembaca, kembali saya menulis artikel yang jika hanya dibaca judulnya saja pasti akan menimbulkan kontroversi. Masih ingat beberapa waktu lalu saya menulis artikel dengan judul "Bahaya Berpikir Positif"?

Apakah saya tidak salah pilih judul? Oh, tentu tidak.

Apakah tidak ada judul lain? Wah, kalo judul sih sebenarnya banyak sekali. Tapi judul yang saya pilih kali ini sudah benar. Sekarang anda sabar dulu ya. Nanti setelah selesai membaca artikel ini anda pasti akan memahami maksud saya.

Ok, kalo gitu apa maksud pernyataan di atas?

Ceritanya begini. Secara umum hipnosis sebenarnya ada tiga macam. Pertama, hipnosis yang dilakukan diri sendiri, dikenal dengan nama self hypnosis. Jadi, self hypnosis ini artinya kita menghipnosis diri kita sendiri.

Kedua, hipnosis yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Nah, kalo hipnosis seperti ini disebut dengan nama heterohypnosis. Ini yang biasa dilakukan oleh seorang hypnotist terhadap subjek hipnosis, saat melakukan pertunjukan, atau hipnoterapis terhadap klien, dalam setting terapi.

Ketiga, hipnosis yang disebabkan oleh anestesi yang disebut dengan parahypnosis. Pasien yang telah dianestesi/dibius, walaupun tampak tidak sadarkan diri tetap mampu mendengar suara. Kondisi parahypnosis ini umumnya tidak diketahui atau disadari oleh dokter bedah, anesthesiologist, dan perawat. Apapun yang dikatakan oleh mereka selama proses pembedahan akan didengar oleh pasien dan menjadi sugesti yang sangat powerful karena pasien sebenarnya berada dalam kondisi hipersugestibilitas. 

Istilah self hypnosis lebih populer dan dikenal masyarakat daripada heterohypnosis dan parahypnosis. Self hypnosis banyak dianjurkan digunakan untuk mengubah perilaku. Banyak pelatihan mengajarkan self hypnosis. Bahkan ada banyak CD audio yang diklaim mampu membantu pendengarnya melakukan self hypnosis dengan mudah dan efektif.

Nah, jika self hypnosis memang begitu ampuh untuk mengubah perilaku atau meningkatkan kinerja, lalu mengapa saya kok berani-beraninya memilih judul yang berseberangan dengan pandangan awam?

He..he...sekali lagi, sabar dong. Ini kan baru appetizer. Baru pembukaan. Belum masuk ke main course atau menu utama. 

Semua hipnosis sebenarnya adalah self hypnosis. Subjek hipnosis hanya bisa dihipnosis, oleh seorang operator (baca: hipnotis/hipnoterapis) bila ia bersedia menerima sugesti yang diberikan kepadanya. Saat seseorang berusaha menghipnosis dirinya sendiri maka ia menggunakan prosedur yang sama. Ia, lebih tepatnya pikirannya, harus bersedia menerima sugesti yang diberikan oleh dirinya sendiri. Namun satu hal yang biasanya tidak disadari kebanyakan orang adalah bahwa self hypnosis bisa terjadi secara tidak disengaja, tanpa disadari.

Apa maksudnya self hypnosis bisa terjadi secara tidak disengaja?

Untuk itu saya perlu menjelaskan terlebih dahulu salah satu definisi hipnosis. Hipnosis adalah suatu kondisi di mana perhatian menjadi sangat terpusat sehingga tingkat sugestibilitas meningkat sangat tinggi.

Jadi, saat pikiran fokus pada sesuatu, bisa kejadian, peristiwa, ide, atau emosi/perasaan maka saat itu pula seseorang sebenarnya telah berada dalam kondisi hipnosis. Jadi, untuk bisa masuk ke kondisi hipnosis tidak sulit seperti yang dibayangkan orang. Tidak harus menggunakan induksi formal atau bantuan operator.

Saat seseorang mengalami emosi yang intens, khususnya emosi negatif, maka pada saat itu gerbang pikiran bawah sadarnya terbuka sangat lebar. Pada saat ini, ide apapun yang diberikan saat kondisi pikiran terfokus, fokus pada emosinya, akan diterima sebagai sebuah sugesti atau perintah hipnotik.

Baru-baru ini seorang kawan dari Balikpapan bercerita mengenai kondisinya. Ia sudah sekitar 5 tahun minum obat penenang. Ia mempunyai kecemasan yang sangat tinggi, takut mati. Dari apa yang ia ceritakan saya tahu bahwa ini semua hanyalah psikosomatis.

Setelah mendengar cukup banyak ceritanya, saya sampai pada satu pencerahan. Ternyata semua diawali saat ia bertemu dengan kawan baiknya, bertahun-tahun lalu, yang mengalami stroke. Kawannya ini berkata, "Eh, kamu pasti juga akan kena stroke. Cara kamu berjalan persis seperti saat sebelum saya kena stroke. Saat ini kamu kalo jalan agak nyeret kaki, kan?"

Kawan saya menjawab, "Ah, nggak. Saya dari dulu memang jalannya seperti ini".

"Tunggu saja. Cepat atau lambat pasti kamu juga akan stroke. Coba lihat wajahmu. Merah seperti wajah saya saat sebelum kena stroke. Kalo nggak percaya, boleh cek tekanan darahmu. Pasti tinggi. Pokoknya kamu hati-hati." tegas kawannya kawan saya ini.

Kawan saya semula tidak terlalu menanggapi apa yang dikatakan kawannya. Namun semakin lama kekhawatirannya akan terkena stroke semakin kuat. Akhirnya kawan saya memutuskan untuk memeriksa tekanan darahnya.

Apa yang terjadi?

Ternyata "benar". Tekanan darah kawan saya ini cukup tinggi, jauh di atas rata-rata. Mengetahui hal ini kawan saya menjadi semakin takut. Ia panik. Bahkan hampir pingsan.Dan pada saat itu muncul berbagai pemikiran kreatif yang negatif. Ia membayangkan bagaimana jika sampai ia kena stroke seperti kawannya. Badannya lumpuh separoh. Jalannya miring. Harus pake kursi roda. Pokoknya, yang muncul di pikirannya saat itu, saat mengetahui tekanan darahnya cukup tinggi, adalah berbagai pemikiran negatif.

So, apa yang terjadi selanjutnya?

Badan kawan saya ini memberikan respon yang sesuai. Mulailah muncul "tanda" bahwa kesehatannya semakin memburuk. Ia menjadi semakin gelisah, susah tidur, tidak bisa konsentrasi, dan akhirnya harus ke psikiater dan diberi penenang.

Apa yang terjadi pada kawan saya ini sebenarnya adalah suatu bentuk self hypnosis. Pada saat emosinya bergejolak, pada saat ia fokus pada perasaan takut dan cemas, pada saat itu sebenarnya ia berada dalam kondisi hipnosis. Dalam kondisi ini ia secara tidak sengaja memberikan sugesti, kepada dirinya sendiri, dalam bentuk berbagai pemikiran negatif, yang muncul dalam bentuk self talk dan gambaran mental. Dan terjadilah seperti yang ia sugestikan.

Saat ini kawan saya begitu sibuk mencemaskan simtom yang ia alami dan ia sudah lupa apa yang sebenarnya menjadi pemicu semua ini.

Bila kita cermati, sebenarnya tekanan darah yang tinggi, saat diukur, bisa disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu adalah perasaan takut dan cemas. Saat kita takut atau cemas maka jantung akan berdegup lebih kencang. Ini adalah mekanisme pertahanan diri yang telah terpatri di dalam DNA kita. Hormon adrenalin mengalir deras. Otot-otot tubuh  menjadi kaku. Wajah menjadi lebih pucat. Tubuh disiapkan untuk fight (lawan) atau flight (lari). Ini adalah hal yang sangat normal.

Untuk orang yang mengalami depresi maka yang terjadi adalah mereka mensugesti diri mereka sendiri, melalui self hypnosis, dengan automatic thought. Automatic thought ini yang disebut dengan spontaneous self suggestion.

Automatic thougth pada orang depresi adalah perasaan "kehilangan" atau loss. Orang depresi takut kehilangan sesuatu. Ketakutan ini yang terus timbul di pikirannya dan terus menerus mensugesti dirinya. Sedangkan pada orang yang cemas, automatic thought-nya adalah "ancaman" atau threat.

Self hypnosis terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Setiap kali pikiran fokus pada sesuatu dan pada saat itu terjadi self talk atau muncul gambaran mental maka pada saat itu telah terjadi self hypnosis.

Self hypnosis negatif ini yang banyak menghancurkan hidup anak-anak kita. Saya sangat banyak bertemu dengan anak yang memberikan label negatif pada diri mereka, "Saya anak bodoh", "Saya nggak pernah bisa berhasil", "Matematika itu sulit", "Belajar tidak menyenangkan", "Sekolah sama dengan penjara", dan masih banyak lagi.

Dari mana "belief" ini muncul?

Ya, dari proses enviromental hypnosis yang diperkuat oleh self hypnosis.

Lho, maksudnya?

Begini ceritanya. Misalnya seorang anak ujian, terserah bidang studi apa saja boleh, dan mendapat nilai jelek. Anak ini selanjutnya dimarahi ibunya. Pada saat itu anak menjadi takut. Pada saat sedang takut ia mendapat "sugesti" dari ibunya, "Anak bodoh. Begitu saja nggak bisa. Kamu ini anak siapa sih, kok goblok amat". (Sebenarnya ya anak si ibu. Lha, kalo bukan anak ibu, masa anak tetangga?)

Sugesti ini masuk sempurna ke pikiran bawah sadar anak. Selajutnya anak kembali mendapat nilai jelek. Dan kembali si ibu memberikan berbagai "sugesti" saat anak merasa takut.

Apa yang terjadi saat anak kembali mendapat nilai jelek?

Pada saat ini anak, yang takut akan dimarahi ibunya, menghipnosis dirinya sendiri dengan perkataan dan pemikiran, "Memang benar, saya ini anak bodoh. Tiap kali ulangan pasti dapat nilai jelek." Saat anak tiba di rumah, ibunya memperkuat sugesti ini.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Anak ini akan menjadi anak yang bodoh. Bukan karena kemampuan otaknya rendah namun lebih karena program pikiran negatif yang telah terinstal di pikiran bawah sadarnya.

Nah, pembaca, anda jelas sekarang? Self hypnosis nggak selamanya baik, kan?

Baca Selengkapnya

"Hipnoterapi" vs Hipnoterapi

21 Juli 2010

"With great power comes great responsibility"

Seorang kawan dari Malang kemarin main ke rumah saya dan minta bantuan untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Kawan saya ini telah berusaha belajar ke sana dan ke mari, mengikut banyak pelatihan termasuk mengikuti kelas hipnoterapi di Jakarta, telah meminta bantuan psikolog, psikiater, dan hipnoterapis, namun tetap masalahnya tidak bisa tuntas tertangani.

Saya tidak akan membahas mengenai apa yang dilakukan oleh psikolog atau psikiater karena ini di luar disiplin ilmu yang saya pelajari dan dalami. Yang saya bahas adalah mengenai hipnoterapi dan hipnoterapis. Kawan saya ini telah meminta bantuan hipnoterapis dan telah menjalani 7 (tujuh) sesi terapi di klinik hipnoterapi.

Hasilnya? Sama sekali tidak ada perubahan.

Waktu saya mendengar bahwa ia sudah diterapi 7 (tujuh) sesi, tiap sesi sekitar 2 jam, dan masih belum ada hasilnya, saya jadi bingung. Lha, bagaimana mungkin sudah 7 sesi masih belum ada perubahan sama sekali.

Setiap sesi terapi adalah proses yang unik. Dinamikanya selalu berbeda. Keberhasilan suatu terapi, dalam hal ini saya khusus membahas hipnoterapi ya, bergantung pada dua faktor yaitu klien dan terapis.

Semula saya berpikir kawan saya ini yang tidak siap untuk berubah. Istilah teknisnya masih ada resistensi. Mengapa saya berpikir demikian? Karena menurut kawan saya hipnoterapis yang menerapi dirinya bergelar C.Ht., atau certified hypnotherapist atau hipnoterapis yang bersertifikasi. Nah, kalau sudah C.Ht., asumsi saya si terapis pasti punya kemampuan yang mumpuni.

Hal ini diperkuat lagi dengan penyataan kawan saya bahwa sertifikasi terapis ini dikeluarkan oleh lembaga pelatihan, di Indonesia, yang berafiliasi dengan lembaga terkenal di Amerika.

Wah, saya menjadi semakin yakin bahwa masalahnya ada pada kawan saya. Namun dari apa yang diceritakan kawan saya, saya menilai bahwa ia benar-benar ingin berubah. Dan ia dengan sangat serius menjalani proses terapi. Bisa dibilang tanpa ada resistensi sama sekali.

Lalu, mengapa kawan saya ini nggak bisa sembuh setelah melalui 7 sesi terapi?

Karena penasaran saya menanyakan bagaimana proses terapi yang dilakukan oleh di hipnoterapis. Dari apa yang diceritakan kawan saya ini akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Masalahnya justru terletak pada si terapis. Bukan pada kawan saya.

Apa masalahnya?

Ternyata teknik yang digunakan tidak sesuai. Hipnoterapis ini menggunakan satu teknik saja, selama tujuh sesi terapi, untuk menerapi kawan saya. Dengan kata lain, hipnoterapis ini "memaksakan" suatu teknik tanpa melihat hasil atau efek dari teknik tersebut. Istilahnya  therapist centered bukan client centered.

Lalu, salahnya di mana?

Secara prinsip yang dilakukan terapis ini tidak salah. Yang kurang tepat adalah ia tidak menyesuaikan tekniknya dengan kondisi klien.

Secara teknis, dalam hipnoterapi, ada empat teknik dasar terapi:

  • posthypnotic suggestion and imagery atau sugesti pascahipnosis dan imajinasi.
  • discovering the root cause atau menemukan akar masalah
  • release atau melepas emosi negatif yang melekat pada pengalaman traumatik
  • re-learning atau pemahaman baru 

Dari keempat teknik dasar ini yang digunakan oleh si hipnoterapis adalah teknik posthypnotic suggestion.

Bagaimana ia melakukannya?

Klien diminta melakukan relaksasi dan setelah dirasa cukup rileks terapis akan mensugesti klien. Sugestinya berisi pesan-pesan untuk pikiran bawah sadar yang bila pesan ini diterima dan dilaksanakan oleh pikiran bawah sadar maka klien akan mengalami perubahan positif.

Mengapa teknik ini tidak efektif terhadap kawan saya?

Ada beberapa kemungkinan. Pertama, level kedalaman trance yang tidak sesuai. Klien tidak bisa masuk ke kedalaman trance yang diinginkan karena hipnoterapis tidak memperhatikan tipe sugestibilitas klien. Kedua, teknik deepening tidak tepat. Ketiga, sugesti yang diberikan tidak melihat kepribadian klien, apakah bisa diberikan direct suggestion yang bersifat authoritative (paternal) atau passive (maternal/indirect). Keempat, kasus yang dialami klien masuk kategori "berat".

Jika dengan teknik posthypnotic suggestion and imagery tidak berhasil maka seharusnya digunakan teknik berikutnya, discovering the root cause atau menemukan akar masalah yang dilanjutkan dengan teknik release dan re-learning.

Mengapa perlu menemukan akar masalah?

Masalah atau hambatan hidup yang dialami oleh klien, dan ini tampak dalam perilakunya, sebenarnya hanya merupakan simtom. Untuk membereskan simtom maka terapis harus bisa menemukan akar masalah. Nah, untuk bisa menemukan akar masalah harus digunakan teknik terapi yang lebih advaced. Nggak bisa hanya sekedar menggunakan sugesti.

Simtom dapat diibaratkan dengan asap yang tampak keluar dari tumpukan sekam. Bagaimana caranya agar asap bisa hilang permanen? Ya sudah tentu dengan mencari, menemukan, dan memadamkan sumber api yang ada di dalam sekam. Betul nggak?

Seringkali yang terjadi adalah symptom removal. Setelah mendapat sugesti klien "merasa" masalahnya telah selesai. Namun selang beberapa saat masalah yang sama akan muncul lagi atau relapse. Hal ini mengindikasikan bahwa akar masalah yang sesungguhnya belum tertangani.

Yang lebih sulit lagi adalah bila sampai terjadi double symptom. Artinya, simtom yang tampak ternyata merupakan simtom dari suatu simtom dari suatu akar masalah. Nah, kalau sudah begini kondisinya maka teknik sugesti dijamin tidak akan bisa efektif. Saya menyebutnya dengan teknik band-aid therapy karena cara kerjanya seperti kalau kita menutup luka dengan plester (band-aid) tanpa membersihkan bagian dalam luka.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara untuk bisa menemukan akar masalah?

Ini pertanyaan yang membutuhkan jawaban teknis. Caranya bisa macam-macam. Secara prinsip uncovering techniques terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama yang disebut dengan minor uncovering techniques dan major uncovering techniques.

Untuk lebih jelasnya, he.. he…nggak bermaksud promosi ya, anda bisa membaca buku saya Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring. Bisa mengunakan teknik ideomotor response, regression, desensitization, gestalt therapy, relaxation, mimpi, dan masih banyak lagi teknik lainnya yang bisa digunakan sesuai kebutuhan.

Pembaca, selain kasus kawan saya ini, saya juga telah beberapa kali menemukan kasus berbeda namun dengan teknik terapi yang sama, yang dilakukan oleh terapis yang berbeda. Saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan.

Apa itu?

Banyak orang yang mengaku hipnoterapis ternyata hanya menguasai teknik terapi posthypnotic suggestion and imagery. Teknik ini yang digunakan oleh stage hypnotist dalam melakukan pertunjukkan. Mungkin mereka, para hipnoterapis ini, merasa bahwa kalau dengan sugesti saja bisa membuat subjek hipnosis melakukan apa yang disugestikan, misalnya nggak bisa jalan, lupa nama, kehilangan suatu angka, bahkan sampai mengalami halusinasi, maka prinsip yang sama bisa diterapkan untuk menerapi klien yang bermasalah.

Terapi dengan sugesti bukannya tidak ampuh. Saya tidak mengatakan demikian. Teknik ini tetap sangat ampuh namun harus memperhatikan kondisi klien. Kasus ringan misalnya  berhenti merokok, kurang percaya diri, kebiasaan menggigit jari/nail biting, bruxism, meningkatkan prestasi akademik, atau kecemasan ringan bisa sangat terbantu dengan menggunakan sugesti.

Namun kalau untuk kasus berat seperti trauma akibat pelecehan seksual, konflik diri, perasaan dendam, kebencian yang hebat pada seseorang, penolakan diri akibat kehamilan yang tidak diinginkan, proses pendidikan yang salah, atau pengalaman traumatik lainnya yang berisi muatan emosi negatif yang tinggi, maka harus digunakan teknik terapi yang lebih advanced.

Satu hal lagi yang cukup memprihatinkan adalah banyak orang yang hanya dengan membaca buku hipnosis atau hipnoterapi, atau mengikuti kursus hipnoterapi singkat, singkat maksudnya hanya dalam beberapa hari, setelah itu berani praktik, terima klien, dan yang lebih hebat lagi berani buka klinik hipnoterapi.

Pembaca, saran saya, anda perlu hati-hati dan selektif untuk memilih hipnoterapis. Jangan mudah percaya walaupun si hipnoterapis punya embel-embel gelar C.Ht. Gelar bukan jaminan. Apalagi kalau orang yang praktik hipnoterapi tapi nggak punya sertifikasi. Wah, ini bisa lebih gawat.

Mengapa saya perlu menekankan hal ini? Karena yang diotak-atik adalah pikiran. Kalau salah penanganan maka bisa sangat berbahaya.

Sebagai penutup, saya teringat saat diminta fakultas psikologi dari salah satu universitas terkenal di salah satu kota besar untuk menjadi penguji tamu di ujian skripsi. Kebetulan topik yang dipilih mahasiswa adalah aplikasi hipnoterapi untuk menghentikan kebiasaan merokok, mengatasi exam anxiety, dan penerimaan terhadap body image.

Karena mahasiswa tidak bisa melakukan terapinya maka mereka meminta bantuan seorang hipnoterapi, dan sudah tentu yang bersertifikasi, yang dikenalkan oleh dosen pembimbingnya.

Hasil penelitian ketiga mahasiswa ini terhadap efektivitas hipnoterapi dalam mengatasi masalah subjek penelitian ternyata "tidak signifikan". Saya jadi bingung. Lha, kok bisa nggak signifikan?

Ternyata setelah saya baca skrip terapi yang juga disertakan dalam lampiran skripsi akhirnya saya tahu mengapa kok hasilnya nggak signifikan.

Lha, bagaimana mau signifikan kalau ternyata si "hipnoterapis" hanya menggunakan teknik sugesti. Selain itu induksi yang dilakukan juga hanya satu teknik yaitu progressive relaxation tanpa memperhatikan tipe sugestibilitas klien. Pengujian kedalaman trance juga dilakukan dengan pendekatan stage hypnosis.

Bisa anda bayangkan, setiap sesi terapi dilakukan sekitar antara satu setengah hingga dua jam. Satu jam untuk melakukan induksi dan satu jam lagi untuk mensugesti. Lebih hebat lagi, hasil signifikan ini didapat setelah subjek penelitian menjalani 3 sampai 4 sesi terapi yang sama.

Yang lebih mengagetkan saya adalah selang beberapa bulan kemudian, dosen pembimbing ketiga mahasiswa ini, dengan menggunakan kesimpulan dari penelitian mahasiswanya, memutuskan untuk memasukkan hasil penelitian ini ke jurnal psikologi. Dosen ini dengan mantapnya menyimpulkan, "Hipnoterapi tidaklah seefektif yang digembar-gemborkan".

Untungnya hasil penelitian, yang sebenarnya kurang tepat ini, setelah mendapat banyak saran, kritik, dan sanggahan, akhirnya tidak jadi dimasukkan ke jurnal. Salah satunya adalah metode penelitian yang digunakan tidak tepat dan subjek penelitiannya terlalu sedikit.

Nah, pembaca, anda perlu hati-hati. Pastikan anda mendapatkan hipnoterapi dari seorang hipnoterapis dan bukan "hipnoterapis".

Baca Selengkapnya

Hypnotic Reparenting

21 Juli 2010

Saya ingin memulai artikel ini dengan pertanyaan,"Apakah mungkin kita bisa mengubah masa lalu kita?". Nah, pembaca, apa jawaban anda? Saya yakin anda pasti akan menjawab, "Ya…jelas nggak mungkin dong, Pak. Mana bisa kita kembali ke masa lalu dan mengubah alur dan pengalaman hidup kita. Cerita seperti ini hanya ada di film fiksi yang pake terowongan waktu atau time tunnel. Ada-ada saja Pak Adi ini".

Pembaca, saya ulangi ya pertanyaannya, "Misalkan mungkin, apakah anda ingin tahu caranya?"

Nah, penasaran kan?

Memang untuk kembali ke masa lalu seperti cerita yang di film-film itu nggak mungkin kita lakukan. Namun kalau bicara pikiran, memori, emosi, dan dalam konteks terapi maka kita dapat mengotak-atik, memodifikasi, dan kalau perlu mengubah masa lalu kita.

Apakah saya serius dengan pernyataan saya di atas? Kita dapat mengubah masa lalu kita?

Tentu saya serius. Lha, kalo nggak serius kan nggak mungkin saya menulis artikel ini.

Sebenarnya yang kita ubah atau modifikasi adalah memori atau kumpulan memori dan emosi yang melekat pada memori itu. Perubahan ini akan menghasilkan efek yang luar biasa pada perilaku kita.

Sesuai dengan judul artikel di atas, dalam kesempatan ini saya hanya akan mengulas mengenai manfaat hipnosis untuk mengubah pengalaman masa lalu khususnya dalam konteks re-parenting atau pendidikan ulang keluarga.

Apa maksudnya re-parenting atau melakukan pendidikan ulang keluarga? Bukankah pendidikan keluarga ini kita alami hanya sekali, saat kita kecil? Lha kok bisa diulang lagi padahal kita saat ini sudah dewasa?

Pembaca, anda benar sekali dengan pertanyaan dan pernyataan di atas. Benar, parenting atau pendidikan keluarga terjadi hanya satu kali yaitu saat kita masih kecil hingga kita remaja atau dewasa. Namun dengan teknik tertentu, dengan menggunakan bantuan kondisi hipnosis, maka kita dapat melakukan hypnotic reparenting.

Masih bingung?

Intinya begini. Dan ini, sekali lagi, dilakukan hanya dalam konteks terapi. Ada klien dewasa, sebut saja Ani, yang mengalami sangat banyak masalah dalam hidupnya. Masalah yang Ani alami bersumber dari ketidakstabilan emosi, sikap yang negatif, konsep diri yang jelek, dan masih banyak hal lainnya yang negatif. Ternyata setelah dicari akar masalahnya, Ani berasal dari keluarga yang berantakan. Orangtuanya tidak bercerai, namun proses pendidikan keluarga, perlakuan yang ia terima dari orangtua dalam proses tumbuhkembangnya ternyata sangat memprihatinkan.

Ani tumbuh besar dalam lingkungan dan perlakuan yang negatif.  Ani ternyata adalah anak yang tidak diinginkan orangtuanya. Ibunya, saat tahu hamil lagi, mengandung Ani, sebenarnya ingin menggugurkannya. Namun karena agama melarang pengguguran maka dengan terpaksa si Ibu tetap mengandung dan akhirnya melahirkan Ani. Jadi, Ani adalah anak yang tidak diinginkan.

Ani adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Si Ibu selalu membandingan Ani dengan kakak perempuan Ani. Ani selalu diminta mengalah terhadap si kakak dan juga harus menuruti kemauan si adik. Jadi, Ani berada dalam posisi yang selalu tidak menyenangkan. Jika Ani tidak menuruti permintaan saudaranya maka orangtua Ani, khususnya si Ibu, akan marah besar dan mengucapkan kata-kata kasar terhadap Ani. Selain itu Ani masih diberi bonus pukulan dan hukuman.

Bagaimana dengan ayahnya Ani? Sama saja. Ayah Ani tidak memperhatikan keluarga. Prinsipnya, ayah kerjanya cari nafkah dan soal urusan di rumah itu tanggung jawab ibu. Jadi, Ani juga tidak mendapat dukungan kasih sayang dari ayah.

Singkat cerita Ani tumbuh dengan konsep diri negatif, harga diri jelek, merasa tidak berdaya, putus asa, memandang hidup dengan kaca mata suram, tidak bersemangat menjalani hidup.

Lalu, bagaimana caranya untuk membantu Ani? Bagaimana cara untuk melakukan re-parenting?

Pertama Ani harus bersedia berubah. Selanjutnya Ani diminta mencatat proses tumbuhkembang yang ia alami, sebisa yang ia ingat, mulai dari kecil hingga dewasa. Yang terutama dicatat adalah momen-momen istimewa dengan muatan emosi yang tinggi, baik itu emosi negatif maupun yang positif. Selanjutnya Ani diminta memberikan uraian yang lebih detil terhadap setiap peristiwa.

Proses penggalian informasi membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Selain berusaha mengingat sendiri, Ani juga menggali dan melakukan cross check data dengan orangtua, famili, atau siapa saja yang mengetahui kejadian yang dialami dan diingatnya.

Setelah dirasa cukup maka penggalian data dilakukan dengan menggunakan kondisi hipnosis yaitu dengan teknik age regression. Data yang terkumpul melalui teknik age regression selanjutnya dibandingkan dan digabungkan dengan data yang telah Ani kumpulkan sendiri.

Kalau sudah sampai di sini.. trus.. apa yang harus dilakukan?

Jika dirasa sudah cukup maka Ani dan terapisnya menyusun skenario baru yang akan ditanamkan ke dalam pikiran bawah sadar Ani. Skenario ini mengikuti alur sesuai dengan data yang telah berhasil dikumpulkan dan dengan melakukan modifikasi terhadap data-data yang berisi muatan emosi "negatif".

Jika semuanya sudah siap maka hypnotic reparenting atau pendidikan ulang keluarga dalam kondisi hipnosis bisa dilakukan. Ani selanjutnya dibimbing masuk ke kondisi hipnosis yang dalam (deep trance) kemudian diregresi, dibawa mundur, hingga ke masa ia di dalam kandungan ibunya.

Salah satu trauma besar yang ia alami adalah penolakan kehadirannya oleh ibunya. Data "negatif’ ini dimodifikasi sesuai kebutuhan dan Ani mengalami kembali alur yang sama namun dengan cerita dan muatan emosi yang positif.

Proses selanjutnya diteruskan hingga Ani lahir, saat pertama kali dalam pelukan ibu, saat ayahnya menggendongnya, terus maju, saat usia satu bulan, tiga bulan, saat pertama kali bisa mengeluarkan suara, saat bisa membalik badan, tumbuh gigi, belajar jalan, ulang tahun pertama, ulang tahun kedua, masuk sekolah, belajar membaca dan menulis, belajar menyanyi, dan seterusnya sesuai dengan garis waktu dengan menggunakan skenario yang telah disusun sebelumnya. 

Selama proses hypnotic reparenting ini Ani benar-benar dibimbing untuk bisa merasakan emosi-emosi positif, perlakuan positif, dan berbagai pengalaman menyenangkan yang dulunya tidak ia dapatkan saat proses tumbuhkembangnya.

Ani juga dibantu untuk melakukan pemaknaan ulang atas berbagai kejadian "negatif" yang ia alami. Ia memaafkan orang-orang, kejadian, situasi, atau apa saja yang ia rasa pernah mengecewakan dan menyakiti hatinya. Selanjutnya Ani juga diminta untuk bisa menerima dan memaafkan dirinya sendiri.

Anda mungkin akan bertanya, "Lha, Pak, ini kan namanya manipulasi pikiran bawah sadar. Apa efektif dan nggak berbahaya?"

Benar, ini memang manipulasi pikiran bawah sadar. Lebih spesifik lagi ini adalah manipulasi program pikiran dalam bentuk memori dan emosi. Namun dalam konteks terapi cara ini dibenarkan dan sangat efektif.

Hypnotic reparenting bisa dilakukan karena pikiran bawah sadar menyimpan informasi/memori dan emosi. Pikiran bawah sadar cerdas namun bodoh. Pikiran bawah sadar tidak bisa membedakan antara imajinasi dan realita. Nah, kelemahan ini, yang sebenarnya juga merupakan kekuatan pikiran bawah sadar, kita gunakan untuk terapi.

Ada seorang mahasiswa saya yang mengaku sangat takut sama ular. Saat saya tanya bagaimana phobia itu bisa muncul, saya mendapat jawaban yang benar-benar di luar dugaan saya.

Jawabannya begini, "Suatu malam saya tidur dan bermimpi. Dalam mimpi itu saya dikejar-kejar banyak ular dan akhirnya saya tersudut dan dikerumuni sangat banyak ular. Saya takut setengah mati. Tiba-tiba saya tersadar, saya terbangun. Ah.. lega hati saya karena ternyata ini hanya mimpi. Tapi sejak saat itu saya sangat takut sama ular."

Nah, anda bisa bayangkan bagaimana anehnya pikiran kita. Dari mimpipun trauma bisa muncul. Aneh kan? Padahal hanya mimpi lho.

Pembaca, apa yang saya jelaskan di artikel ini tampak sangat sederhana. Benar, sebenarnya prosesnya tidaklah rumit. Namun untuk bisa melakukannya dengan benar dibutuhkan kecakapan dan pengetahuan psikologi, hipnosis, dan hipnoterapi secara mendalam. Karena yang diotak-atik adalah pikiran, lebih spesifik lagi pikiran bawah sadar, maka hypnotic reparenting hanya boleh dilakukan oleh yang benar-benar ahli.

Kembali ke Ani. Bagaimana perkembangan Ani setelah mendapat pendidikan ulang? Apakah ada perubahan? Lebih baik atau lebih parah kondisinya?

Keadaan Ani setelah menjalani terapi sangat positif. Emosinya menjadi lebih stabil. Kebenciannya pada orangtuanya, khususnya ibunya, telah berubah menjadi perasaan cinta yang dilandasi perasaan syukur yang tulus. Ani sekarang mampu menjalani hidup dengan positif dan dengan harapan akan masa depan yang lebih cerah.

Baca Selengkapnya

Lima Jurus Pengendalian Diri

21 Juli 2010

Baru-baru ini saya mendapat email dari seorang pembaca buku, sebut saja Pak Anton, yang menanyakan cara untuk mengendalikan pikiran. Pak Anton merasa selama ini bukannya ia yang mengendalikan pikirannya namun pikirannya lah yang mengendalikan dirinya. Saat ingin berpikir positif.. eh.. yang muncul malah pikiran yang negatif. Di lain kesempatan, menurut Pak Anton, ia sulit mengendalikan dirinya dari dorongan keinginan yang ia tahu tidak seharusnya ia turuti.

Misalnya Pak Anton ini baru makan. Saat ditawari kawannya makan, ia menerima tawaran itu dan ikut makan bersama kawannya. Di lain kesempatan, saat badannya lagi capek, habis bekerja seharian, ia diajak kawannya dugem. Lha, kok ya dituruti ajakan ini. Padahal Pak Anton tahu tubuhnya butuh istirahat. Dan benar, karena kurang istirahat Pak Anton jatuh sakit.

"Bagaimana ya Pak cara untuk bisa mengendalikan diri saya? Saya tahu apa yang harus saya lakukan namun ada bagian lain dari diri saya yang mendorong-dorong saya untuk melakukan hal yang tidak ingin saya lakukan. Seringkali saya merasa ada konflik dalam diri saya dan yang menang adalah bagian yang mendorong saya melakukan hal yang sebenarnya, menurut saya, tidak perlu saya lakukan. Setelah melakukannya saya merasa menyesal, bersalah, dan  jengkel pada diri saya", tanya dan keluh Pak Anton pada saya.

Pembaca, apa yang dialami Pak Anton ini sangat lumrah kita alami. Setiap hari pasti ada konflik kecil dalam diri kita. Bahkan untuk urusan bangun tidur saja kita sudah mengalami konflik diri, ada satu bagian yang berkata, "Hei... sudah pagi nih. Sudah waktunya bangun. Siap-siap ke kantor", dan bagian yang satu lagi berkata, "Nggak perlu bangun sekarang. Lima menit lagi lah. Kan tadi malam kamu tidurnya cukup larut malam. Kalo ditambah lima menit kan nggak apa-apa toh".

Anda pernah mengalami hal seperti ini?

Lima jurus yang saya jelaskan di artikel ini berguna sebagai strategi untuk mengendalikan diri dalam berbagai aspek kehidupan. Jurus ini bisa anda terapkan untuk apa saja, yang berurusan dengan pengendalian diri.

Ok, sekarang mari kita bahas masing-masing jurus. Anda bisa menggunakan setiap jurus ini, secara terpisah, berdiri sendiri saat anda mencoba mengendalikan diri, atau bisa beberapa jurus secara bersamaan.

Jurus pertama adalah mengendalikan diri dengan menggunakan prinsip kemoralan. Setiap agama pasti mengajarkan kemoralan, misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak menipu, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak melakukan tindakan asusila.

Saat ada dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, coba larikan ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama?

Misalnya kita mendapat kesempatan untuk mendapat untung dengan cara yang tidak wajar. Bahasa yang lebih langsung adalah kesempatan untuk korupsi. Saat terjadi konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada prinsip moral di atas. Agama mengajarkan kita untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang bukan milik kita, tanpa seijin pemiliknya. Kalau kita teguh dengan prinsip moral ini maka kita tidak akan mau korupsi. Korupsi itu dosa. Korupsi itu karma buruk. Bisa masuk neraka lho.

Jurus kedua pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesadaran. Kita sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada umumnya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang muncul. Dengan demikian mereka langsung lumpuh dan dikuasai oleh pikiran dan perasaan mereka.

Misalnya seseorang menghina atau menyinggung kita. Kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini muncul. Kita akan tahu saat emosi ini mulai mencengkeram dan menguasai diri kita. Kita tahu saat kita akan melakukan tindakan "bodoh" yang seharusnya tidak kita lakukan.

Saat kita berhasil mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Kalau masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk mengendalikan diri, larikan pikiran kita pada prinsip moral. Biasanya kita akan lebih mampu mengendalikan diri.

Bagaimana jika sudah melakukan jurus satu, prinsip moral, dan jurus dua, kesadaran, ternyata kita tetap sulit mengendalikan diri?

Lakukan jurus ketiga yaitu dengan perenungan. Saat kita sudah benar-benar nggak tahan, mau "meledak" karena dikuasai emosi, saat kita mau marah besar, coba lakukan perenungan. Tanyakan pada diri sendiri pertanyaan, misalnya, berikut ini:

  • Apa sih untungnya saya marah?
  • Apakah benar reaksi saya seperti ini?
  • Mengapa saya marah ya? Apakah alasan saya marah ini sudah benar?
  • Kalau saya marah dan sampai melakukan tindakan yang "bodoh" nanti reputasi saya rusak, kan saya yang rugi sendiri.

Dengan melakukan perenungan kerap kali maka kita akan mampu mengendalikan diri. Prinsip kerjanya sebenarnya sederhana. Saat emosi aktif maka logika kita nggak akan jalan. Demikian pula sebaliknya. Jadi, saat kita melakukan perenungan atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keinginan kita akan menurun.

Jurus keempat pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesabaran. Emosi naik, turun, timbul, tenggelam, datang, dan pergi seperti halnya pikiran. Saat emosi bergejolak sadari bahwa ini hanya sementara. Usahakan tidak larut dalam emosi. Gunakan kesabaran, tunggu sampai emosi ini surut, baru berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab. Oh ya, tahukah anda bahwa kata bertanggung jawab itu dalam bahasa Inggris adalah responsibility, yang bila kita pecah menjadi response-ability atau kemampuan memberikan respon?

Kalau sudah menggunakan kesabaran masih juga belum bisa, bagaimana?

Lakukan jurus kelima yaitu menyibukkan diri dengan pikiran atau aktivitas yang positif. Pikiran hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Ibarat layar bioskop, film yang ditampilkan hanya bisa satu film dalam suatu saat. Nah, film yang muncul di layar pikiran inilah yang mempengaruhi emosi dan persepsi kita. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal yang positif maka film di layar pikiran kita juga berubah. Dengan demikian pengaruh dari keinginan atau suatu emosi akan mereda.

Baca Selengkapnya

Kita Punya Banyak Diri

21 Juli 2010

I am not who I think I am
I am not who you think I am
I am who I think you think I am

Pembaca, pernahkah anda mengalami saat bangun pagi dan masih mengantuk ternyata diri anda "terpecah" menjadi dua bagian. Satu bagian berkata, "Hei… bangun. Sudah pagi. Sudah waktunya bangun dan berangkat kerja". Satu bagian lagi berkata, "Nggak usah bangun dulu ah. Masih enak nih kalo diterusin sedikit. Lima menit lagi...lah."

Atau di lain waktu anda mungkin pernah berada dalam posisi sulit untuk memutuskan sesuatu. Saat anda berpikir keras apa yang harus anda lakukan, eh, ternyata ada beberapa "orang" di dalam diri anda yang saling berdialog, berdebat, bahkan mungkin saling bertengkar. Masing-masing dengan argumentasi sendiri. Masing-masing ingin pendapatnya yang diterima dan dijalankan. Dan anda, karena bingung harus mendengarkan suara yang mana, akhirnya malah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pernah mengalami seperti ini?

Apa yang terjadi? Apakah dalam diri kita ada banyak kepribadian? Apakah kita "kerasukan"? Lha, kok bisa ada "orang lain" yang berdialog dalam pikiran kita?

Pembaca, jangan khawatir. Apa yang terjadi, seperti yang saya jelaskan di atas, adalah hal yang normal. Yang nggak normal adalah kalau kita, yang telah sering mengalami hal seperti ini, tetap nggak sadar dan tidak mencari tahu apa sih sebenarnya yang terjadi.

Sebenarnya ada berapa "diri" dalam diri kita?

Jawabannya bisa macam-macam. Tansactional Analysis (TA) yang berawal dari hasil kerja Paul Federn yang selanjutnya dikembangkan oleh Eric Berne mengatakan dalam diri kita ada lima "diri". Ego State Therapy, yang awalnya dikembangkan oleh John Watkins,  mengatakan tidak ada jumlah yang pasti. Gestalt Therapy, yang dikembangkan oleh Frederick Perls berdasar Psychodrama-nya Jacob Moreno, tidak menetapkan suatu jumlah tertentu. Voice Dialogue dan Psychosynthesis mengatakan kita punya banyak "diri". Carl Jung juga mengatakan hal yang sama, tidak diketahui secara pasti ada berapa banyak "diri" dalam diri kita.

Namun untuk lebih mudah memahami maka saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh Rowan. Menurut Rowan kita punya antara empat sampai sembilan "diri" atau "bagian" yang masing-masing adalah tema besar yang menaungi "sub-diri". Masing-masing "diri" mempunyai kehidupan, fungsi, kepribadian, dan tugas masing-masing. Mereka saling terhubung antara satu dengan yang lain.

Oh ya, perlu saya luruskan terlebih dahulu bahwa yang saya jelaskan di artikel ini bukan kepribadian ganda atau Dissociative Identity Disorder (DID) atau Multiple Personality Disorder (MPD).

Jika kita merasa ada lebih dari sembilan "diri" dalam diri kita maka yang selebihnya itu biasanya merupakan "aspek" lain dari salah satu dari sembilan "diri" kita. Jika kurang dari empat maka yang terjadi adalah kita kurang memperhatikan sehingga tidak mengetahui adanya "diri" lain dalam diri kita.

Siapa saja sembilan "diri" atau "bagian" dalam diri kita?

Ada "diri" yang berperan sebagai Pelindung. Bagian ini melindungi kelemahan kita. Bagian ini yang membuat "diri" lainnya tersembunyi dan tidak tampak. Bagian ini bisa bergabung dengan Pengkritik. 

Ada yang sebagai Pengkritik yang memberitahu kita apa yang salah dan yang benar. Bagian ini sangat suka menggunakan kekuatannya. Ia bisa bergabung atau bekerja sama dengan "diri" yang lain.

Ada yang sebagai Pendorong yang mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang seharusnya kita lakukan, namun kita tunda. Bagian ini kesannya mendukung diri kita karena selalu mengingatkan kita akan hal-hal yang mungkin lupa kita lakukan. Namun dalam kenyataannya "diri" ini juga yang membuat kita selalu merasa kurang melakukan kerja atau usaha walaupun kita telah melakukan sangat banyak tugas dan pekerjaan.

"Diri" Perfeksionis menetapkan standar yang tinggi untuk diri kita. Bagian ini tampak sangat mendukung kita. Namun bila kita tidak hati-hati justru ia yang membuat kita "down" karena kita merasa belum melakukan yang terbaik. "Diri" ini bisa bergabung dan bekerja sama dengan Pengkritik.

"Diri" Pusat Kendali bertugas mengendalikan "diri" yang lainnya. Dalam diri orang tertentu "bagian" ini bisa terlalu mendominasi. Ada juga orang yang "Diri" Pusat Kendali-nya lemah sehingga yang mengendalikan dirinya adalah "Diri" Pengkritik atau "diri" yang lain. "Diri" Pusat Kendali akan sangat membantu kita bila ia dapat berperan secara seimbang dan proporsional.

"Diri" Anak Dalam atau Inner Child bisa muncul dalam beberapa bentuk sifat dan karakter. Selama ini banyak buku atau pembahasan mengenai Inner Child. Namun sayangnya kebanyakan orang menganggap bahwa hanya ada satu macam Inner Child.

Berikut adalah beberapa sub-diri dari Inner Child  :

  • Anak Penurut – anak yang selalu ingin disukai dan akan melakukan apa saja demi mendapat persetujuan dari hampir semua orang. Jika tidak hati-hati maka ia akan menjadi bagian yang mendorong seseorang untuk selalu menjadi "Yes Man" demi menyenangkan orang lain.
  • Anak Bebas – anak yang spontan dan tahu bagaimana bersenang-senang dan menikmati hidup.
  • Profesor Cilik – anak yang selalu menginginkan jawaban untuk segala sesuatu dan membuat kesimpulan tanpa didasarkan pada fakta atau data yang akurat.
  • Anak Dependen – anak yang sangat bergantung pada orang lain.
  • Anak Kritis – anak yang mengkritik apa saja tanpa didasari pengetahuan yang cukup, sering dapat masalah.
  • Anak Pendendam – anak yang tujuan utamanya adalah balas dendam, namun tidak punya banyak ide bagaimana mewujudkan keinginannya ini, dan tidak bersedia mengakui jika ia bermaksud melakukan balas dendam.
  • Anak Pelindung Diri Sendiri – anak yang selalu cari aman atau selamat. Anak ini bisa menggunakan cara yang tidak baik demi mencapai tujuannya. Rasa panik yang tinggi menunjukkan adanya trauma di awal masa kehidupan.

Ada bagian yang beperan sebagai "Diri" Orangtua Yang Peduli atau Sang Bijaksana. Bagian ini bertanggung jawab untuk memberikan dukungan, cinta tanpa syarat, perhatian, pujian, dan penguatan yang bersifat positif. Bagian ini biasanya disebut dengan Guardian Angel atau Protecting Parent. Bagian ini berfungsi melindungi diri kita dan  menginginkan kita bahagia.

Ada lagi "Diri" Pemberontak yang mengurusi kekuasaan, ambisi, dominasi, uang, dan sifat mementingkan diri sendiri. Semua ini tampak seperti "diri" yang terpisah. Namun bila kita amati dengan saksama maka semua "diri" ini mempunyai satu tema sentral yang sama. Seringkali "Diri" Pemberontak menutupi "diri" lain yang lemah.

Yang kesembilan adalah "Diri" Bayangan yang merupakan citra diri negatif kita. Ini adalah "orang" yang kita tidak ingin menjadi.

Setelah membaca sejauh ini anda mungkin bertanya, "Dari mana sumber "diri" yang dijelaskan di atas? Bagaimana proses pembentukan "diri"?"

Ada enam hal yang mempengaruhi pembentukan "diri" dalam diri kita.

Pertama adalah peran yang kita mainkan. Peran, kalau dalam kehidupan sehari-hari, adalah profesi atau pekerjaan kita. Misalnya peran sebagai hakim, guru, pimpinan perusahaan, atau peran yang lain.

Seringkali seseorang begitu larut dalam perannya dan sebagai akibatnya ia tidak bisa memainkan peran lainnya. Misalnya ia adalah seorang wanita yang memimpin suatu perusahaan besar. Nah, sudah tentu perannya di perusahaan berbeda dengan peran di rumah tangga. Jika wanita ini tidak hati-hati maka ia akan menjalankan rumah tangganya seperti perusahaan. Dan sudah tentu ia akan menempatkan suaminya sebagai bawahannya.

Kedua adalah lingkungan. Lingkungan, lebih tepatnya orang-orang di sekitar kita, akan mempengaruhi kita dan bisa membuat kita menjadi baik atau buruk. Semua bergantung pengkondisian yang kita alami sejak kecil.

Contohnya begini. Ada anak yang tadinya periang, ramah, pemberani, dan suka tantangan. Namun karena salah asuh, salah proses pendidikan di rumah atau di sekolah, akhirnya anak ini menjadi tidak percaya diri, pemalu, rendah diri, tidak berani mengambil keputusan, takut berbuat salah, merasa diri bodoh, dan masih banyak atribut negatif lainnya.

Ketiga adalah konflik internal yang kita alami. Konflik internal ini sebenarnya adalah konflik di antara "diri" yang ada dalam diri kita. Bila tidak terjadi resolusi atau kompromi atau penyelesaian maka yang akan muncul adalah "diri" yang lain yang berperan memainkan peran lain. Dengan demikian kepentingan "pihak" yang konflik dapat diredam namun ini sebenarnya tidak menyelesaikan masalah.

Bingung?

Contohnya begini. Misalnya setiap kali anda ingin membuat keputusan penting, anda mengalami konflik diri yang hebat. Akibatnya anda seringkali tidak bisa membuat keputusan. Kalaupun anda akhirnya bisa membuat keputusan, hasilnya seringkali mengecewakan anda. Nah, akhirnya anda tidak lagi mau membuat keputusan karena khawatir kecewa atau gagal seperti pengalaman anda sebelumnya. 

Cara keempat kita bisa membentuk "diri" atau bagian dalam diri kita adalah melalui pengalaman pribadi kita, mulai dari masa kecil.

Pada umumnya kita akan tahu ada dua "bagian" atau "diri" yang saling berkomunikasi. Proses ini kita kenal dengan nama dialog internal. Masalah muncul jika terjadi perbedaan pendapat atau konflik di antara "diri". Konflik internal ini harus segera dibereskan agar kita bisa maju dan berkembang.

Satu hal yang perlu kita sadari adalah bahwa meskipun terjadi konflik dan "ribut" di antara "diri" yang berselisih pendapat namun tujuan tertinggi dari setiap "diri" itu adalah selalu baik untuk kita.

Bagaimana caranya menyelesaikan perbedaan pendapat atau konflik di antara "diri"?

Ada banyak teknik yang bisa digunakan. Salah satunya dengan menggunakan Six Step Reframing dalam NLP. Salah duanya adalah dengan menggunakan Parts Therapy dalam hipnoterapi. Untuk lebih jelas mengenai teknik Parts Therapy anda bisa membacanya di buku Hypnotherapy : The Art of Subconscious Restructuring. Ada lagi dengan Ego State Therapy. Selain itu bisa dengan terapi kursi atau Gestalt Therapy.

Namun secara prinsip proses menyelesaikan konflik di antara "diri" terdiri dari lima langkah. Langkah pertama adalah mengenali keberadaan "diri". Setelah itu menerima keberadaan, sikap, karakter, atau kepribadian dari "diri". Langkah ketiga adalah koordinasi. Pada tahap ini kita mencari tahu hubungan antara masing-masing "diri" yang konflik. Langkah keempat adalah integrasi. Pada tahap ini kita membantu "diri" yang konflik untuk bisa menemukan resolusi, atau paling tidak melakukan kompromi, sehingga mereka dapat bekerja sama dengan baik. Dan langkah terakhir adalah sintesis yang merupakan proses harmonisasi menuju penemuan Diri Transpersonal. Pada tahap ini kita menyadari siapa diri kita yang sesungguhnya.

Satu hal yang perlu diwaspadai saat kita berusaha mendamaikan dua bagian atau "diri" yaitu kita hanya berperan sebagai mediator. Jika konflik ringan terjadi dalam diri kita maka kita dapat melakukan mediasinya sendiri. Bila konfliknya cukup berat maka perlu meminta bantuan orang lain sebagai operator.

Apakah penting untuk menyelesaikan konflik di antara "diri" dalam diri kita?

Oh, sangat penting. Baru-baru ini, saat membantu peserta Supercamp Becoming a Money Magnet meng-instal program pikiran mengenai masa depan, ada seorang peserta mengalami konflik diri yang cukup hebat.

Ceritanya begini. Peserta ini ingin sukses di masa depan. Ia dibimbing untuk meng-instal program sukses di pikiran bawah sadarnya. Pada tahap awal semuanya berjalan mulus. Namun saat ia menginstal program untuk mendukung keberhasilan yang besar dalam hidupnya, nah, saat ini muncul penolakan dari "diri" yang lain.

Satu "diri" ingin peserta ini sukses. Sedangkan ada satu "diri" lainnya menolak. Terjadi dialog internal yang intens. Bagian yang menolak berkata, "Hei.. saya tidak mau anda kerja keras seperti itu. Saya khawatir anda sakit. Saya adalah bagian yang mengurusi kesehatan anda. Kalau anda tetap memaksa mau mencapai hasil seperti yang anda inginkan, dan saya tahu itu butuh perjuangan yang tidak sedikit, kerja keras, ditambah lagi usia anda yang sudah agak tua, maka saya akan menghambat dan membuat anda tidak bisa bekerja".

Apa yang terjadi setelah ini?

Ternyata peserta ini mengabaikan pesan dari "diri" yang menolak. Ia tetap berusaha menginstal program pikiran yang mendukung ia mencapai sukses besar.

Akibatnya?

Secara tiba-tiba peserta ini merasakan pinggang sebelah kiri sangat sakit. Semakin ia memaksa menginstal program maka sakitnya semakin menjadi-jadi. Akhirnya ia memutuskan menunda menginstal programnya. Begitu ia berhenti menginstal program maka berhenti pula rasa sakit di pinggang sebelah kirinya. Rasa sakit ini adalah manifestasi dalam bentuk realita fisik dari penolakan yang dilakukan "diri" yang tidak setuju dengan keinginan peserta ini.

Nah, bagaimana cara mengatasi penolakan atau sabotase ini?

Kita perlu mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh "diri" yang menolak. Lakukan dialog dengan tenang dan netral. Tidak boleh memihak atau menghakimi. Dapatkan resolusi. Atau paling tidak, ciptakan kompromi sehingga bagian atau "diri" yang menolak bisa memaklumi atau menerima serta tidak melakukan sabotase. Syukur-syukur ia bersedia mendukung kita untuk sukses.

Ada peserta yang bertanya pada saya, "Apa boleh kita membekukan atau men-deactivate atau menon-aktifkan bagian yang "nakal", bagian yang menghambat kemajuan kita?

Tidak boleh. Jangan sekali-kali melakukan hal ini karena akan sangat berbahaya. Apapun yang diinginkan oleh "diri" yang menghambat kita, ini semua demi kebaikan kita. Dan kita tidak tahu apa peran lainnya dari "diri" yang menghambat kita.

Maksudnya begini. Ada kasus di mana ada satu "diri" atau bagian dari klien yang tidak mau diajak berunding untuk menyelesaikan masalah. Karena jengkel si terapis, yang kurang paham dengan teknik parts therapy atau terapi bagian atau "diri" dalam diri seseorang, akhirnya mengambil langkah mudah, jalan pintas, yaitu membekukan atau menonaktifkan bagian ini.

Apakah masalah terselesaikan?

Sekilas pandang, ya. Namun ternyata bagian yang dibekukan ini juga adalah bagian atau "diri" yang menangani rasa percaya diri, kemampuan berpikir kritis, dan membuat keputusan dengan cepat, dan efektif.

Akibatnya?

Klien ini akhirnya menjadi bingung dan tidak bisa beroperasi secara normal sebagai seorang manusia. Ia merasa ada bagian dari pikirannya yang lumpuh. Ia menjadi bingung, rasa percaya dirinya drop, dan tidak bisa membuat keputusan.

Dibutuhkan bantuan terapis lainnya yang benar-benar handal dan mengerti mengenai seluk beluk dan cara kerja "diri" atau bagian untuk bisa membantu klien ini. Prosesnya tidak mudah karena "diri" ini terlanjur marah, ngambek, dan tidak mau berkomunikasi karena telah dibekukan oleh terapis sebelumnya.

Setelah terjadi resolusi, klien ini bisa berubah dan semakin berkembang hidupnya karena konflik "diri" yang ia alami sebelumnya dapat diselesaikan dengan baik.

Nah, pembaca mulai sekarang, saran saya, perhatikanlah internal dialog yang terjadi dalam diri anda di antara "diri" dalam diri anda.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List