The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel
Penyembuhan adalah Proses Spiritual yang Mendalam
13 Juni 2025

Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, kata “penyembuhan” sering kali diasosiasikan dengan hilangnya gejala atau perbaikan fungsi fisik. Namun, semakin banyak orang menyadari bahwa penyembuhan sejati tidak hanya terjadi di tingkat tubuh atau pikiran, melainkan menyentuh dimensi yang lebih dalam—dimensi spiritual.

Ketika seseorang mengalami luka, terlebih luka batin yang mendalam seperti kehilangan, pengkhianatan, atau trauma masa kecil, yang terguncang bukan hanya pikiran atau emosi, tetapi juga identitas terdalam dan makna hidupnya.

Rasa aman, kepercayaan, bahkan eksistensi diri bisa ikut retak. Dalam kondisi seperti ini, penyembuhan tidak lagi cukup bila hanya diarahkan pada aspek biologis atau kognitif. Ia harus menjangkau, merawat, dan memulihkan inti terdalam keberadaan manusia.

Lebih dari Sekadar Menghilangkan Gejala

Penyembuhan sejati bukan sekadar hilangnya rasa sakit. Ia adalah pemulihan makna, penerimaan terhadap masa lalu, dan rekonsiliasi dengan diri sendiri. Dalam proses ini, seseorang akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial:

- Mengapa ini terjadi pada saya?
- Apa makna dari penderitaan ini?
- Apa yang perlu saya pelajari dan lepaskan?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah wilayah farmakologi atau terapi perilaku semata. Mereka adalah panggilan jiwa—sebuah perjalanan batin yang menuntun seseorang kembali ke pusat dirinya.

Ruang Keheningan dan Kesadaran

Penyembuhan spiritual berlangsung dalam keheningan, tidak tergesa, tidak ramai, berjalan secara alamiah. Ia menuntut keberanian untuk duduk bersama luka, merasakan yang tak ingin dirasa, dan menatap yang selama ini dihindari. Meditasi, doa, refleksi, dan praktik-praktik kesadaran menjadi jembatan menuju keutuhan kembali.

Melalui perjalanan ini, seseorang mulai menyadari bahwa ia bukan sekadar kumpulan luka, melainkan pribadi yang tetap utuh meski pernah retak. Ada kekuatan di dalam diri yang tidak hancur oleh trauma. Dan dari sanalah, penyembuhan sejati bermula.

Dari Keterpecahan Menuju Keutuhan

Trauma memecah. Ia menciptakan jarak antara pikiran dan tubuh, antara sekarang dan masa lalu, antara diri yang tampak dan jiwa yang terluka. Penyembuhan spiritual adalah proses penyatuan kembali. Saat emosi yang selama ini direpresi akhirnya mampu dilepaskan, saat makna yang hilang ditemukan, dan saat luka yang tersembunyi diakui tanpa penolakan—di situlah benih penyembuhan tumbuh.

Penyembuhan bukan berarti menjadi seperti semula. Melainkan menjadi pribadi baru yang lebih utuh, lebih sadar, dan lebih berbelas kasih—termasuk kepada diri sendiri.

Jalan Sunyi yang Menguatkan

Penyembuhan adalah proses spiritual yang mendalam. Ia tak selalu riuh. Ia tak menuntut sorotan. Namun, justru di dalam keheningan yang utuh, pemulihan yang paling sejati terjadi. Dan bagi jiwa-jiwa yang berani menempuh jalan ini, akan ditemukan tidak hanya kesembuhan, tetapi juga kedamaian, keutuhan, dan kebijaksanaan hidup yang tidak dapat diberikan oleh dunia luar.

Sembuh Adalah Pulang ke Diri

Sembuh bukan berarti melupakan apa yang telah terjadi. Bukan pula menutup luka dengan berpura-pura kuat, sementara diri luruh dalam kerapuhan.

Sembuh adalah keberanian untuk menatap masa lalu tanpa gentar—dengan mata yang baru, dengan hati yang telah melembut oleh kasih dan kearifan.

Sembuh adalah kembali ke fitrah—menyadari bahwa diri kita sejatinya baik adanya. Bahwa semua yang kita alami, termasuk luka dan keterpurukan, adalah bagian dari kurikulum jiwa.

Sebuah jalan pembelajaran dan pertumbuhan yang membawa kita menuju versi terbaik dari diri: insan yang sadar, bijaksana, mulia, dan paripurna.

Tidak ada peristiwa yang sia-sia. Bahkan luka sekalipun, bila diolah dengan kasih dan kesadaran, bisa menjadi pintu masuk untuk pulang ke rumah terdalam: rumah batin yang damai, rumah jiwa yang utuh.

Luka adalah bagian dari perjalanan, bukan inti dari siapa kita. Di balik semua itu, ada kesadaran—yang lembut, jernih, dan tetap utuh—menunggu untuk dikenali sebagai rumah sejati diri kita.

 

 

Baca Selengkapnya

Video

𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇)
Informasi Hasil Regresi, Valid?
Cara Mudah Menanam Impian ke Pikiran Bawah Sadar

Artikel

Penyembuhan adalah Proses Spiritual yang Mendalam
13 Juni 2025

Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, kata “penyembuhan” sering kali diasosiasikan dengan hilangnya gejala atau perbaikan fungsi fisik. Namun, semakin banyak orang menyadari bahwa penyembuhan sejati tidak hanya terjadi di tingkat tubuh atau pikiran, melainkan menyentuh dimensi yang lebih dalam—dimensi spiritual.

Ketika seseorang mengalami luka, terlebih luka batin yang mendalam seperti kehilangan, pengkhianatan, atau trauma masa kecil, yang terguncang bukan hanya pikiran atau emosi, tetapi juga identitas terdalam dan makna hidupnya.

Rasa aman, kepercayaan, bahkan eksistensi diri bisa ikut retak. Dalam kondisi seperti ini, penyembuhan tidak lagi cukup bila hanya diarahkan pada aspek biologis atau kognitif. Ia harus menjangkau, merawat, dan memulihkan inti terdalam keberadaan manusia.

Lebih dari Sekadar Menghilangkan Gejala

Penyembuhan sejati bukan sekadar hilangnya rasa sakit. Ia adalah pemulihan makna, penerimaan terhadap masa lalu, dan rekonsiliasi dengan diri sendiri. Dalam proses ini, seseorang akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial:

- Mengapa ini terjadi pada saya?
- Apa makna dari penderitaan ini?
- Apa yang perlu saya pelajari dan lepaskan?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah wilayah farmakologi atau terapi perilaku semata. Mereka adalah panggilan jiwa—sebuah perjalanan batin yang menuntun seseorang kembali ke pusat dirinya.

Ruang Keheningan dan Kesadaran

Penyembuhan spiritual berlangsung dalam keheningan, tidak tergesa, tidak ramai, berjalan secara alamiah. Ia menuntut keberanian untuk duduk bersama luka, merasakan yang tak ingin dirasa, dan menatap yang selama ini dihindari. Meditasi, doa, refleksi, dan praktik-praktik kesadaran menjadi jembatan menuju keutuhan kembali.

Melalui perjalanan ini, seseorang mulai menyadari bahwa ia bukan sekadar kumpulan luka, melainkan pribadi yang tetap utuh meski pernah retak. Ada kekuatan di dalam diri yang tidak hancur oleh trauma. Dan dari sanalah, penyembuhan sejati bermula.

Dari Keterpecahan Menuju Keutuhan

Trauma memecah. Ia menciptakan jarak antara pikiran dan tubuh, antara sekarang dan masa lalu, antara diri yang tampak dan jiwa yang terluka. Penyembuhan spiritual adalah proses penyatuan kembali. Saat emosi yang selama ini direpresi akhirnya mampu dilepaskan, saat makna yang hilang ditemukan, dan saat luka yang tersembunyi diakui tanpa penolakan—di situlah benih penyembuhan tumbuh.

Penyembuhan bukan berarti menjadi seperti semula. Melainkan menjadi pribadi baru yang lebih utuh, lebih sadar, dan lebih berbelas kasih—termasuk kepada diri sendiri.

Jalan Sunyi yang Menguatkan

Penyembuhan adalah proses spiritual yang mendalam. Ia tak selalu riuh. Ia tak menuntut sorotan. Namun, justru di dalam keheningan yang utuh, pemulihan yang paling sejati terjadi. Dan bagi jiwa-jiwa yang berani menempuh jalan ini, akan ditemukan tidak hanya kesembuhan, tetapi juga kedamaian, keutuhan, dan kebijaksanaan hidup yang tidak dapat diberikan oleh dunia luar.

Sembuh Adalah Pulang ke Diri

Sembuh bukan berarti melupakan apa yang telah terjadi. Bukan pula menutup luka dengan berpura-pura kuat, sementara diri luruh dalam kerapuhan.

Sembuh adalah keberanian untuk menatap masa lalu tanpa gentar—dengan mata yang baru, dengan hati yang telah melembut oleh kasih dan kearifan.

Sembuh adalah kembali ke fitrah—menyadari bahwa diri kita sejatinya baik adanya. Bahwa semua yang kita alami, termasuk luka dan keterpurukan, adalah bagian dari kurikulum jiwa.

Sebuah jalan pembelajaran dan pertumbuhan yang membawa kita menuju versi terbaik dari diri: insan yang sadar, bijaksana, mulia, dan paripurna.

Tidak ada peristiwa yang sia-sia. Bahkan luka sekalipun, bila diolah dengan kasih dan kesadaran, bisa menjadi pintu masuk untuk pulang ke rumah terdalam: rumah batin yang damai, rumah jiwa yang utuh.

Luka adalah bagian dari perjalanan, bukan inti dari siapa kita. Di balik semua itu, ada kesadaran—yang lembut, jernih, dan tetap utuh—menunggu untuk dikenali sebagai rumah sejati diri kita.

 

 

Baca Selengkapnya
Entropi Emosional dan Abreaksi: Kekacauan yang Menyembuhkan
10 Juni 2025

Dalam jagat fisika, Hukum Termodinamika Kedua yang digagas oleh Ilya Prigogine menyatakan bahwa dalam sistem tertutup, entropi—ukuran ketidakteraturan atau kekacauan—selalu meningkat. Artinya, tanpa intervensi eksternal, semua sistem akan bergerak menuju disorganisasi, menuju keadaan di mana energi menjadi tak lagi dapat digunakan secara efektif. Sebuah sistem yang hanya menyimpan, tanpa mengalirkan atau melepaskan energi, pada akhirnya akan mengalami stagnasi dan keruntuhan.

Namun, bagaimana jika prinsip ini kita tarik ke dalam ruang batin manusia?

Setiap manusia menyimpan emosi. Ketika emosi—khususnya emosi negatif—tidak terproses, seperti marah yang direpresi, duka yang tak ditangisi, atau trauma yang tak pernah diungkap, maka entropi emosional mulai terakumulasi, menekan dan mendesak keseimbangan sistem psikis kita. Semakin lama dibiarkan, semakin tinggi tekanan yang tercipta. Pikiran menjadi kabur, tubuh tegang, dan respons menjadi tidak proporsional. Sistem psikis pun menyerupai sistem tertutup: penuh energi yang tak tersalurkan, menyimpan kekacauan tersembunyi yang terus bergejolak menuju “keruntuhan.”

Di sinilah abreaksi menemukan relevansinya.

Abreaksi adalah pelepasan emosi yang terakumulasi dan tertahan di pikiran bawah sadar (PBS) melalui pengalaman ulang yang disadari dalam kondisi aman—biasanya difasilitasi dalam sesi hipnoterapi. Saat seseorang dalam kondisi hipnosis kembali mengakses momen-momen traumatis atau luka batin, dan diizinkan untuk mengungkapkan respons emosional yang selama ini tertahan, maka energi psikis yang selama ini “terperangkap” di PBS dapat dilepaskan.

Tangisan, tubuh yang bergetar, gerakan memukul, menendang, jeritan, atau napas yang mendesak—semuanya merupakan bentuk “kekacauan” yang, bila difasilitasi dengan benar, justru menyembuhkan. Ia bukan destruksi, melainkan restabilisasi dan rehabilitasi. Sama seperti dalam sistem termodinamika terbuka yang menerima energi dari luar, manusia pun membutuhkan ruang, relasi, dan fasilitasi eksternal untuk mencapai bentuk keseimbangan baru.

Konsep ini sangat sejalan dengan gagasan Ilya Prigogine, peraih Nobel yang mengkaji struktur disipatif—yakni sistem terbuka yang mampu mempertahankan keteraturan melalui reorganisasi setelah mengalami ketidakseimbangan signifikan. Menurut Prigogine, justru karena adanya kekacauan, suatu sistem dapat berevolusi ke tingkat keteraturan yang lebih tinggi. Sistem hidup, termasuk manusia, bukanlah sistem tertutup yang stagnan, melainkan entitas dinamis yang terus beradaptasi.

Dengan kata lain, dalam terapi, abreaksi dapat dipahami sebagai bentuk struktur disipatif dalam ranah psikologis. Klien datang dalam kondisi psikis tak seimbang, membawa entropi yang terus meningkat dan termanifestasi dalam berbagai gejala. Melalui sesi terapi yang tepat, klien diberi ruang aman, dukungan dan jalan untuk melepaskan tekanan tersebut, mengintegrasikannya, dan secara alami menyusun ulang dirinya dalam kondisi yang lebih sehat dan seimbang.

Manusia, dengan kesadarannya, adalah sistem terbuka yang selalu bergerak mencari homeostasis baru. Dan jalan menuju keseimbangan itu tidak selalu tenang—sering kali harus dilalui melalui badai emosi yang dilepaskan dengan keberanian dan penerimaan.

Abreaksi bukanlah kekacauan yang merusak. Ia adalah fase transisi menuju keteraturan yang lebih tinggi. Dalam konteks hipnoterapi, abreaksi merupakan proses yang disengaja dan difasilitasi dengan aman, tepat, dan terkendali oleh hipnoterapis yang memiliki kompetensi terapeutik tinggi. Saya menyebutnya sebagai controlled chaos atau kekacauan yang terkendali.

Abreaksi mengacu pada proses mengalami kembali dan mengekspresikan peristiwa atau emosi traumatis masa lalu—sering kali dengan respons emosional yang intens—sebagai cara untuk melepaskan perasaan yang terpendam dan memperoleh kelegaan psikologis (Wadsworth et al., 1995).

Namun, proses ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Untuk mengembalikan sistem psikis ke keseimbangan yang sehat, abreaksi harus menyentuh kejadian paling awal (ISE) yang menjadi akar masalah. Klien perlu mengalami pengalaman emosional korektif—yakni kembali hadir dan mengalami peristiwa tersebut, melepaskan emosi yang terperangkap, serta memperoleh pemahaman baru melalui proses pemaknaan, baik melalui analisis transferensi maupun dalam kondisi hipnosis (Alexander & French, 1946).

Terapi yang memberdayakan tidak sekadar bertujuan mengeluarkan entropi emosi negatif dari dalam sistem psikis, melainkan juga membangun pemahaman dan meningkatkan kesadaran. Dengan demikian, ketika klien di kemudian hari menghadapi pengalaman serupa, ia telah memiliki kapasitas baru untuk merespons secara lebih sehat, dengan perspektif dan kebijaksanaan yang lebih matang.

Agar aberaksi dapat menghasilkan dampak terapeutik optimal dan bertahan lama, beberapa syarat berikut perlu dipenuhi (Gunawan, 2013):

1. Dilakukan pada kejadian paling awal (initial sensitizing event) dari rangkaian memori yang memicu gangguan emosi dan perilaku.

2. Tuntas dan menyeluruh, memastikan seluruh emosi dalam memori awal dilepaskan sepenuhnya.

3. Klien dibantu memperoleh pemaknaan baru, agar mampu melihat kembali peristiwa tersebut dari perspektif yang lebih dewasa dan sehat.

4. Perlu dilakukan rekonstruksi memori sehingga yang tersimpan di pikiran bawah sadar klien, usai terapi, adalah memori positif dan menyenangkan.

Baca Selengkapnya
Pakai Skrip Ini, Dijamin 1000% Trance?
6 Juni 2025
Beberapa hari lalu, saya mendapat DM dari seorang sahabat. Ia bertanya tentang induksi, setelah membaca salah satu tulisan saya. Pertanyaannya singkat:
“Pak Adi, apakah skrip induksi yang Bapak ajarkan di kelas SECH dijamin berhasil membawa klien masuk ke deep trance? Berapa persen tingkat keberhasilannya?”
 
Ini pertanyaan yang tampak sederhana, namun membutuhkan jawaban yang lugas dan jujur. Tentu, saya sangat ingin menjawab, “Skrip Adi Induction yang saya ajarkan di kelas SECH memiliki tingkat keberhasilan 100% dalam membawa klien masuk kondisi deep trance.”
 
Namun, nilai hidup dan integritas keilmuan saya tidak mengizinkan saya memberikan jawaban seperti itu—apalagi bila harus berbohong hanya demi mendapat pengakuan atau membuat orang lain terkesan.
 
Saya memberikan jawaban cukup panjang, dan secara ringkas, berikut poin-poin utamanya:
 
Satu hal sangat penting yang menentukan keberhasilan induksi adalah rasa percaya diri, keyakinan, dan kemampuan yang dimiliki terapis. Bila terapis tidak yakin dengan dirinya, maka keraguan inilah yang menjadi sumber resistensi terbesar dalam praktik induksi—bukan karena skrip atau kliennya.
 
Setelah itu, barulah kita bicara soal klien. Perlu dipahami, tidak semua orang bisa diinduksi dan masuk ke kondisi hipnosis dalam (deep trance). Ada beberapa kondisi yang membuat induksi tidak dapat dilakukan secara efektif, antara lain:
 
• retardasi mental
• sulit fokus
• gangguan neurologis
• hambatan komunikasi
• kendala bahasa
• ketidaksediaan klien
• tidak nyaman atau tidak percaya kepada terapis
• kecemasan dan ketakutan
• adanya resistensi dari pikiran bawah sadar
 
Untuk hasil induksi optimal, terapis harus memastikan semua hambatan dan resistensi dalam diri klien sudah diatasi. Ini baru langkah awal.
 
Skrip induksi yang efektif harus disusun dengan cermat dan detail: pemilihan diksi yang tepat, mempertimbangkan tingkat literasi, tipe kepribadian, karakter, sugestibilitas, tanpa dualisme, dan kebutuhan klien.
 
Dalam konteks terapi, terapis harus memastikan bahwa klien benar-benar siap dan bersedia untuk diterapi.
 
Sejauh ini, tingkat keberhasilan hipnoterapis AWGI dalam melakukan induksi dan membawa klien masuk ke kondisi hipnosis dalam adalah hampir 100%.
 
“Kegagalan” biasanya terjadi karena klien, karena alasan atau kondisi tertentu, hanya mencapai medium trance. Namun ini bukan masalah besar, karena kami tahu bagaimana cara mengatasi resistensi dan menuntun klien hingga mencapai deep trance.
 
Jika keberhasilan dinilai setelah resistensi teratasi dan klien berhasil masuk ke deep trance, maka tingkat keberhasilannya adalah 100%.
 
Kedalaman deep trance yang menjadi standar hipnoterapis AWGI ditentukan melalui Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, yang menggunakan indikator mental, bukan indikator fisik seperti napas melambat, wajah datar, REM, tubuh lemas, atau lainnya—yang semua itu adalah indikator light trance.
 
Sahabat yang bertanya ini akhirnya menyampaikan apresiasi atas jawaban jujur saya. Saya mengatakan padanya, “Saya bisa saja salah, tapi saya tidak boleh berbohong. Data harus disampaikan apa adanya. Tidak boleh dimanipulasi demi kepentingan sesaat.”
 
Saya balik bertanya, “Mengapa Anda menanyakan soal keberhasilan skrip?”
Ia menjawab bahwa dirinya juga seorang coach dan praktisi hipnoterapi. Dalam sebuah grup WA diskusi hipnoterapi, seseorang menyatakan bahwa skrip induksi yang ia ajarkan dijamin 1000% berhasil membuat subjek trance.
 
Sahabat ini mempertanyakan validitas klaim tersebut. “1000% berhasil? Trance level apa yang dimaksud? Apa indikator kedalamannya?”
 
Menurut sahabat ini, klaim bahwa sebuah skrip induksi dijamin 1000% pasti membawa subjek masuk ke kondisi trance merupakan pernyataan yang tidak didasarkan pada landasan ilmiah yang kuat, cenderung sembarangan, dan kurang mencerminkan kapasitas intelektual serta integritas akademik yang baik.
 
Ia bercerita bahwa terjadi perdebatan seru di grup tersebut. Sayangnya, pihak yang membuat klaim justru tidak bisa memberikan validasi dan jawaban tegas perihal kedalaman trance yang dimaksud.
 
Skripnya pun hanya sederhana, serta indikator yang dijadikan acuan menentukan kondisi trance adalah indikator fisik semata, yang adalah indikasi trance dangkal, seperti dalam skala Davis-Husband. Akhirnya pihak yang membuat klaim merasa terganggu oleh pertanyaan kritis yang diajukan.
 
Ketika saya menanyakan apakah diskusi masih dapat dilanjutkan, sahabat ini menjawab bahwa hal tersebut tidak memungkinkan. Ia telah dianggap mengganggu dan akhirnya dikeluarkan dari grup tersebut.
 
Dalam kondisi seperti ini, tentu diskusi tidak dapat diteruskan. Padahal, akan sangat menyenangkan apabila sebuah ruang diskusi ilmiah dapat menjadi tempat berbagi pandangan secara terbuka dan saling menghargai. Bisa saja pihak yang menyampaikan klaim memiliki data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
 
Di sisi lain, keraguan terhadap klaim tersebut juga merupakan hal yang wajar dan sah untuk diajukan, selama disampaikan secara etis dan ilmiah.
 
Idealnya, dalam sebuah forum diskusi yang sehat, perbedaan pendapat menjadi pintu masuk bagi pertukaran informasi, pemaparan data, serta penajaman pemahaman. Diskusi semacam ini justru dapat saling menumbuhkan dan memberdayakan seluruh pihak yang terlibat.
 
Apabila ternyata klaim yang diajukan tidak dapat dibuktikan, maka hal tersebut semestinya diakui secara terbuka dan jujur, serta disikapi dengan kerendahan hati untuk kemudian diperbaiki. Sebaliknya, jika klaim tersebut dapat divalidasi dan dibuktikan secara sahih, maka hal itu patut disambut dengan antusias, sebagai kontribusi berharga bagi pengembangan ilmu hipnosis dan hipnoterapi.
 
Namun demikian, dari pengalaman yang saya jumpai selama ini, tidak mudah memisahkan antara ide dan diri. Sering kali, ketika suatu pendapat dikritisi, alih-alih berterima kasih atas masukan yang memperkaya perspektif, individu justru bersikap defensif—seolah-olah yang diserang adalah dirinya, bukan ide yang ia kemukakan.
 
Padahal, dibutuhkan kedewasaan dan kematangan sikap agar sebuah diskusi dapat berlangsung secara bermakna, objektif, dan bermanfaat, tanpa ada rasa tersinggung hanya karena pendapat atau klaim yang diajukan ternyata dapat dipatahkan. Bukankah ide hanyalah produk dari pikiran? Ia bukanlah identitas diri kita yang sejati.
Baca Selengkapnya
Mengajar dengan Integritas
3 Juni 2025
Dalam praktik hipnoterapi, keterampilan menuntun klien masuk ke kedalaman hipnosis yang tepat merupakan aspek yang sangat krusial untuk memastikan proses terapi berlangsung efektif dan aman.
 
Hipnoterapi bukan sekadar membawa klien masuk ke kondisi rileks. Di dalamnya, kita memanfaatkan, memperdalam, mengarahkan, dan mengelola kondisi hipnosis secara terstruktur untuk mencapai tujuan terapeutik yang spesifik.
 
Oleh karena itu, seorang hipnoterapis profesional perlu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengukur kedalaman hipnosis yang dicapai klien, melalui uji kedalaman dengan tingkat presisi yang tinggi.
 
Trance sejatinya adalah kondisi alamiah. Seseorang dapat dengan mudah masuk ke kondisi trance, misalnya saat melamun atau menyetir tanpa menyadari detail perjalanan. Namun, trance alamiah ini tidak serta-merta dapat digunakan untuk terapi. Kedalamannya harus diukur, dikelola, diperdalam bila diperlukan, dan distabilkan, agar benar-benar berfungsi sebagai wadah yang efektif, aman, dan terarah bagi proses penyembuhan.
 
Hipnoterapis profesional, seturut standar AWGI, wajib memahami:
 
- indikator trance pada klien, baik dengan sugestibilitas fisik maupun emosional;
 
- variasi tingkat kedalaman trance;
 
- bahwa indikator kondisi trance dalam (profound somnambulism) yang valid dan konsisten adalah indikator mental, bukan indikator fisik seperti napas melambat dan ritmis;
 
- pentingnya menjaga kestabilan trance dalam agar terapi dapat berjalan dengan aman dan efektif sesuai dengan waktu yang dibutuhkan.
 
Perbedaan pemahaman dan keterampilan ini menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan terapi klien selama sesi hipnoterapi.
 
Dan semua ini baru berbicara tentang keterampilan dalam mengelola kondisi trance. Belum menyentuh ranah teknik pengungkapan dan intervensi, yang juga harus dipahami dan dikuasai dengan sangat baik agar seorang hipnoterapis benar-benar mampu dan dimampukan untuk memberikan layanan hipnoterapi yang aman, efektif, bertanggung jawab, dan membawa dampak terapeutik yang optimal bagi klien.
 
Para peserta kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) saat ini sedang menjalani tugas praktik induksi. Dari laporan praktik yang mereka sampaikan di grup, saya dapat mengamati perkembangan pemahaman dan keterampilan mereka dalam menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam dengan efektif dan mudah.
 
Sejauh ini, semua peserta melaporkan berhasil menuntun klien masuk ke kondisi profound somnambulism, termasuk klien-klien yang mengaku sulit atau tidak pernah bisa dihipnosis.
 
Kompetensi melakukan induksi dan menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis/trance dalam adalah fondasi pertama yang harus dimiliki setiap hipnoterapis profesional AWGI. Selain mendapatkan banyak materi penting, teori, protokol dan strategi terapi, serta contoh kasus, tiga hari pertama dalam kelas SECH fokus pada kompetensi ini. Kompetensi ini menjadi syarat mutlak untuk dapat melanjutkan pembelajaran pada minggu kedua dan ketiga.
 
Berlandaskan kompetensi pertama ini, para peserta SECH akan mempelajari materi minggu kedua dan ketiga yang berfokus pada teknik pengungkapan, intervensi, dan berbagai strategi terapi yang dikembangkan dan disempurnakan berdasarkan pengalaman dan temuan di ruang praktik para hipnoterapis AWGI—yang secara kolektif telah melakukan lebih dari 130.000 sesi terapi sejak tahun 2005.
 
Sebagai pengajar, saya bertanggung jawab penuh untuk menuntun, mengajar, dan memastikan setiap peserta SECH mampu belajar, mengerti, dan menguasai setiap materi yang diajarkan di kelas.
 
Semua ini diawali dengan penyaringan dan pengujian ketat untuk memastikan peserta yang mengikuti kelas SECH benar-benar memenuhi syarat dan standar tinggi yang ditetapkan AWGI bagi setiap calon hipnoterapis.
 
Tujuan saya hanya satu: Semua peserta mampu membangun kompetensi terapeutik yang tinggi, sesuai standar AWGI, dan mampu mempraktikkannya dengan benar, aman, efektif, dan penuh integritas.
 
Saya bekerja sangat keras dan sungguh-sungguh, dengan segala daya upaya, untuk memastikan semua peserta bisa lulus dan berhasil meraih gelar Certified Hypnotherapist (CHt®) dengan gemilang.
 
Prinsip saya sejak pertama kali mengajar hipnoterapi pada tahun 2008: tingkat keberhasilan seorang pengajar ditentukan oleh sejauh mana ia mampu melakukan transfer pengetahuan kepada peserta didiknya dan mencetak hipnoterapis yang kompeten seperti dirinya—yang pada saatnya nanti, para hipnoterapis ini akan melampaui diri si pengajar dalam hal pengetahuan dan kompetensi terapeutik.
 
Seturut prinsip di atas, bila banyak peserta gagal, tidak lulus, atau tidak kompeten usai mengikuti pelatihan, ini sepenuhnya adalah tanggung jawab pengajar, mengingat ia telah melakukan tes dan seleksi pada para peserta. Dan fakta ini menunjukkan secara gamblang bahwa pengajarnya tidak kompeten dan tidak layak. Pengajar seperti ini sebaiknya berhenti mengajar.
 
Ketidakmampuan mendidik dan menghasilkan lulusan dengan kompetensi terapeutik tinggi bukan sesuatu yang patut dibanggakan, yang berusaha ditutupi dengan pernyataan bahwa ini semua karena lembaga pelatihan menerapkan standar yang tinggi dan ujian yang ketat sebagai syarat kelulusan.
Baca Selengkapnya